"Mungil...!", panggil Rudy saat melihat Susi memasuki gerbang sekolah. Dengan segera Rudy melepaskan helmnya lalu mengemasi barang-barangnya dan berlari mendekati Susi. Sementara Susi tetap melenggang melewati lorong utama menuju kelasnya tanpa mengindahkan panggilan Rudy.
"Sial..., dia memang tidak pernah mau memperdulikan aku. Aku harus lebih cepat, agar bisa mengejarnya sebelum masuk kelas", gerutu Rudy dalam hatinya. Dengan cekatan Rudy menghadang Susi di depan pintu masuk kelasnya. "Ini bekal makan untuk kamu, dari mama, dihabiskan ya! Mama membuat khusus buat kamu", kata Rudy sambil menyerahkan tas bekal makan berwarna ungu yang ada nama Susi ke tangan Susi. Susi menerimanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Nanti aku antar pulang aku sudah bawa helm ungu kesayanganmu, kata mama, Pak Hasto ikut papamu ke Lembang tiga hari, jadi aku antar jemput kamu sampai beliau ada", lanjut Rudy sambil menatap wajah Susi yang semakin sebal. Rudy menggeserkan mukanya hingga berhadapan muka dengan Susi.
Susi mengerucutkan wajahnya, menunjukkan ketidaksukaannnya atas berita yang didengarnya barusan. Susi menatap mata Rudy dan berkata, "Iya!". Setelah mendengar jawab Susi, Rudy melihat jam tangannya dan segera berlalu meninggalkan kelas Susi menuju kelasnya yang berada di ujung lorong.
Sementara itu dari dalam kelasnya, beberapa pasang mata melihat kejadian itu sambil tersenyum simpul dan mulai menggoda Susi. Wajah Susi semakin mengeras melihat teman-temannya. Mereka tersenyum simpul dan berbisik-bisik menggosip. Hans yang sedari tadi matanya tak pernah lepas memperhatikan mereka mendekati Susi setelah Rudy meninggalkan Susi dan berseru "Cie... ada yang dibawakan bekal dari mama mertua nie. Enaknyo....". Susi diam saja tidak menanggapi ejekan Hans. Ia menuju tempat duduknya dan meletakkan tas dan bekal yang diberikan Rudy ke dalam lokernya. Ia membuka tas dan mengambil tempat pensil, buku teks, buku catatan biologi dan tugas yang harus dikumpulkan hari ini. Ia menaruh hasil kerjanya di meja guru.
Karena tidak diacuhkan oleh Susi, Hans mendekati loker Susi, membuka loker dan mengambil bekal makan Susi. Di putar-putarkannya bekal makan itu lalu berkata , "Buat aku saja ya! Apa isinya? Baunya enak ini. Lumayan ngirit" sambil duduk di kursinya. Susi hanya diam saja melihat tingkah temannya itu. Ia tahu Hans hanya menggodanya. Susi duduk di kursinya dan meletakkan buku dan alat tulisnya di laci mejanya. Dalam hatinya ia menggerutu, "Mengapa Pak Hasto harus ikut papa ke Lembang? Mengapa juga harus Si Jangkung itu yang antar jemput aku? Aku kan bisa naik taxi. Papa memang keterlaluan, aku benar-benar tidak suka seperti ini. Aku bukan anak kecil lagi".
Wati yang duduk di samping Susi mendekati Hans yang saat ia melihat Hans mulai membuka bekal Susi dan berkata, "Mau dihajar lagi sama Rudy? Kembalikan bekal Susi!" sambil menatap Hans dengan seringai tajam.
"Kenapa kamu selalu menyebut nama anjing penjaga itu untuk menakuti aku?" jawab Hans sebal. Ia menutup kembali bekal makan itu berdiri dari duduknya melangkah ke belakang dan mengembalikannya ke loker Susi. Hatinya menciut melihat Susi tidak bereaksi melihat semua yang dilakukannya. Ia mengutuki dirinya, "Kurang apa aku dibanding anjing penjaga itu, sampai kamu mengacuhkanku seperti ini Susi". Ia menggaruk-garuk kepalanya dan duduk di bangkunya.
Tak lama setelah itu bel berbunyi, semua mempersiapkan diri melihat Bu Cintya masuk ke dalam kelas.
Bel istirahat berbunyi, semua orang di dalam kelas berhamburan keluar kelas. Begitu pun juga Susi.
Susi keluar kelas membawa bekal makannya menuju kantin sekolah. Ia berjalan dengan memegang perutnya yang keroncongan sedari tadi. Ia memang belum sarapan, sepotong roti yang tadi disiapkan Mbok Jum (pembantu setianya di rumah) tidak jadi disentuhnya saat papanya menjelaskan kalau beliau akan ke Lembang pagi ini untuk urusan proyek selama tiga hari. Dan sudah meminta Rudy untuk mengantarkan Susi ke mana pun ia pergi. Hatinya sedih setiap kali papanya pergi ke luar kota, karena ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain papanya setelah mamanya meninggal lima tahun yang lalu.
Susi duduk di meja kantin yang paling ujung. Itu tempat favoritnya saat sedih seperti ini. Mejanya kecil, hanya muat untuk dua orang. Ia membuka bekalnya dan semua tempat makannya di keluarkan hingga memenuhi meja kecil itu. Susi sengaja melakukan itu supaya tidak ada orang yang datang dan bergabung di mejanya. Ia menatap isi bekalnya, ada nasi putih, oseng kangkung dengan udang, tempe goreng tanpa tepung, dan kerupuk udang. Matanya mengerjap gembira namun tak lama kemudian berkaca-kaca. Hasrat makannya yang menggebu karena lapar menghilang melihat isi bekalnya.
Rudy yang sedari tadi memperhatikan Susi segera melangkah mendekati Susi. Ia duduk di depan Susi dan mengambil sendok dari tangan Susi. Ia menyendok nasi dan oseng pare lalu menyuapkannya ke mulut Susi. "Ayo makan, aku tidak mau dimarahi ibu lagi kalau kamu sakit", kata Rudy sambil menatap mata Susi.
Susi membuka mulutnya dan mulai mengunyah makanan yang ada di mulutnya tanpa menatap Rudy. Ia tertunduk menahan rasa pilu yang sangat setiap kali mengingat mamanya. Ia mengambil garpu untuk mengambil tempe dan mengigitnya setelah menelan nasinya. Rudy menyuapi Susi dengan telaten hingga suapan terakhir dan semua bekalnya habis.
Rudy menatap lekat-lekat wajah cantik di depannya, dalam hatinya mendesah, "Seandainya kamu bukan anak Pak Surya, aku pasti sudah menembakmu dan menjadikanmu pacarku, Mungil. Aku sangat menyukaimu". Rudy merapikan bekal makan Susi dan memasukkannya ke dalam tas bekalnya.
Dengan pandangan kosong Susi menelan nasi terakhirnya dan mulai membuka mulutnya. Rudy memberikan kerupuk udang ke tangan Susi sambil menggoda, "Masih lapar? Aku belikan bakso ya!" dengan mencubit hidung mungil Susi.
"Aduh, sakit tahu!", gerutu Susi. "Sudah habis ya, maaf, baksonya nanti pulang sekolah saja. Bakso langganan Papa". jawab Susi lirih. Rudy mengangguk pelan, "Aku tunggu di tempat biasa, jangan kelayapan. Aku tidak mau pulang telat, hari ini ada latihan basket" lanjut Rudy sambil berdiri dan melangkah meninggalkan Susi duduk sendirian.
Sementara itu beberapa meja sebelah kanan tempat Susi duduk ada Hans dan Wati yang tengah duduk memperhatikan mereka. Pemandangan itu bukan sesuatu yang baru bagi mereka, tapi tetap saja menggelitik hati mereka. Sejak kelas satu SMA mereka selalu bersama, bahkan semakin dekat saja setelah Hans menembak Susi dua bulan yang lalu. Hans menghela nafas panjang dan bergumam, "Apa kurangnya aku dari Rudy? Kepandaian, kedudukan, ketenaran, kekayaan, ketampanan, aku lebih darinya" sambil memandang Wati.
Wati terkekeh mendengar gumaman Hans. "Maaf sepupuku, kau kalah banyak dari Rudy. Dia lebih lembut dan sopan dengan Susi. Dan satu lagi, kau kalah cepat darinya", jelas Wati dengan cepat.
"Sialan kau, mengapa tidak pernah mendukungku. Kau kan sepupuku", kata Hans dengan sedikit sewot. Tetapi Wati hanya terkekeh melihat wajah Hans yang marah.
Saat bel masuk berbunyi, semua anak beranjak menuju kelas, kecuali Rudy. Ia menunggu Susi beranjak dan ekor matanya mengikuti langkah Susi. Setelah Susi masuk kelas, barulah Rudy beranjak memasuki kelasnya.
Bel pulang sekolah berbunyi.
Susi mengeluarkan semua bukunya dari laci meja lalu membawanya ke lokernya. Ia merapikan buku-bukunya yang akan ditinggal di sekolah dan memasukkan buku serta tempat pensil yang akan dibawanya pulang. Setelah selesai Susi mengunci lokernya dan beranjak keluar kelas. Langkah Susi terhenti saat Wati memanggilnya.
"Susi, pulang bareng kita saja yuk, kita kan searah", kata Wati dengan sedikit membujuk. Susi hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. "Kenapa Sus? Takut sama Hans, tenang, aku bisa atasi dia", lanjut Wati sambil menggandeng tangan Susi.
Susi kembali menggelengkan kepalanya, "Aku pulang bareng Rudy. Papa tadi pesan begitu. Maaf ya, kapan-kapan saja kalau ada kesempatan", jawab Susi sambil melanjutkan langkah kakinya keluar kelas.
Sepeninggal Susi, Hans mengepalkan tangannya dan meletakkan di atas meja. "Sialan, aku kalah lagi dengan anjing penjaga itu", dengusnya dengan amarah. Wati menepuk pundak Hans dengan agak keras, "Ayo pulang, sudah ditunggu mami nih", kata Wati sambil melangkah keluar kelas. Hans dengan segera mengikuti jejak langkah Wati dengan gontai.
***
Rudy menunggu Susi keluar dari kelasnya. Saat ekor matanya menangkap bayangan Susi melangkah keluar kelas, ia segera beranjak ke tempat parkir. Ia menaruh barang bawaannya di motor, memakai helm dan mulai menghidupkan mesin motornya. Rudy keluar dari tempat parkir menuju gerbang sekolah. Ia melihat Susi sudah menunggunya di bawah pohon mangga. Segera Rudy memencet bel motornya dan mendekati Susi.
Rudy memberikan helm kepada Susi dan menyuruhnya segera naik. Susi pun segera naik motor Rudy. Dan mereka keluar dari sekolah menuju warung bakso langganan Susi.
Setibanya di sana, Susi segera turun dan menyerahkan helmnya kepada Rudy. Ia segera beranjak masuk dan mencari tempat duduk. "Untung masih ada yang kosong, jadi tidak perlu menunggu", kata Susi dalam hatinya. Ia segera mengambil tempat duduk dan menuliskan pesanannya. Saat melihat Rudy mencari dirinya , Susi melambaikan tangannya. Rudy pun masuk dan mengambil tempat duduk di depan Susi.
"Kamu mau makan apa? Aku pesankan ya!", kata Susi memecah keheningan. Rudy mengangguk dan mengarahkan telunjuk tangannya ke gambar menu yang diinginkan. Susi menuliskan semua pesanan Rudy. Ia memanggil pelayan dan menyerahkan pesanannya.
Rudy tersenyum melihat Susi mulai bersemangat. Hatinya lega melihat binar mata dan senyuman Susi yang mengembang. Tak lama pelayan pun membawa pesanan mereka dan meletakkan semuanya di meja. Tak lupa mempersilahkan keduanya menikmati makanannya.
Susi menggeserkan bakso pesanan Rudy dan juga minumannya. Sedangkan Rudy mengambilkan sendok dan garpu untuk Susi. Lalu mereka melahap semua makanannya sampai habis tanpa sisa. Setelah membayar, Rudy segera menggandeng Susi ke tempat parkir dan kembali pulang ke rumah Susi.
Sesampainya di rumah, Susi segera menuju kamarnya di lantai satu. Sedang Rudy menaruh motornya di samping paviliun, rumah yang disediakan Pak Surya, papanya Susi untuk mereka tinggali. Selain untuk memudahkan pekerjaan mereka, juga untuk menjaga Susi, karena Pak Surya sering ke luar kota untuk pekerjaannya. Pak Surya mempercayakan semuanya pada Ibu Sinta, ibunya Rudy.
Rudy segera masuk kamarnya dan mandi. Ia harus bersiap untuk latihan basket. Rudy sangat suka bermain basket, dan ia mendapatkan kesempatan bergabung dengan club basket berkat Pak Surya. Itulah alasannya Rudy sangat menghargai Pak Surya dan mau menjaga Susi untuk beliau. Selesai mandi, ia pun segera meluncur untuk latihan basket.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!