NovelToon NovelToon

Si Genius, Aqeel

Penawaran

Jakarta, 2014

"Ambil uang itu, untuk mengobati ibumu yang sudah tidak berguna!" Seru wanita paruh baya yang bernama Rina.

Arumi mengepalkan tangannya, mengeratkan gigi-giginya hingga berbunyi sembari menahan amarah yang memenuhi dadanya hingga sesak.

Gadis yang kini sudah tidak bisa dibilang gadis lagi. Ya, Arumi yang kini berusia 21 tahun terpaksa harus menjual keperawanannya, untuk mengobati seorang wanita yang sudah mengandungnya selama sembilan bulan.

'Jika bukan karena mu orang tuaku pasti akan hidup berbahagia. karena kau wanita yang tak tahu diri, semua jadi hancur!' Arumi kesal, namun kata itu hanya bisa ia ucapkan dalam batinnya.

Arumi adalah wanita lemah yang tidak mempunyai kekuatan apapun, hingga ia hanya bisa tunduk dibawah kaki orang-orang kaya seperti ibu tirinya itu.

Rina, wanita paru baya itu adalah istri kedua dari lelaki yang ia sebut sebagai ayah. Hendra Gunawan, lelaki itu yang sudah meninggalkan ibu dan dirinya merasakan pahitnya hidup.

"Aku harap kau tidak akan muncul lagi disini dan menghancurkan rencana perjodohan kakakmu!" Rina mengeluarkan ultimatum lagi dan Arumi hanya bisa mengangguk.

Alena, saudara kandung Arumi. Mereka diciptakan serupa, hanya saja takdir kejam memilih Arumi untuk merasakan penderita. Alena sang kakak, saat kedua orangtuanya bercerai ia diasuh oleh Hendra dan Rina menikmati semua kekayaan yang diambil secara paksa oleh pasangan itu.

Kekayaan yang seharusnya milik ibu Arumi. Dahulu ibu Arumi adalah seorang dokter yang terkenal, dari hasil ia bekerja sebagai tenaga kesehatan. Perlahan-lahan ibu Arumi membangun sebuah perusahan kimia, yang bergerak dalam industri obat-obatan.

Kembali ke kehidupan Arumi, takdir kejam yang baru saja menimpanya adalah dia terpaksa tidur menggantikan sang kakak dengan lelaki yang sebentar lagi akan menjadi tunangan Alena. Dalam ruangan yang gelap ia melayani lelaki itu, tubuhnya yang ramping berada dalam kukungannya hingga sampai saat ini, parfum milik lelaki itu masih melekat di tubuh Arumi.

"Terimakasih," ucap Arumi yang tidak bisa berkata-kata, lidahnya terasa keluh suaranya tertahan di kerongkongan. Hanya kata itu yang bisa ia keluarkan dengan nada serendah mungkin.

"Lalu, apa yang kau tunggu. Segera pergi dari sini." Perintah Rina dengan nada tinggi membuat nyali Arumi menciut, ia berdiri lalu berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu keluar hotel, tempat yang menjadi malam panjang ini terjadi.

"Hai, ingat! Jangan macam-macam, kau sudah menandatangani surat perjanjian ini!" Peringat Rina sebelum Arumi sampai pada pintu yang otomatis bisa terbuka dan menutup dengan sendirinya.

Di luar hotel, Arumi dengan tubuhnya yang remuk redam berusaha untuk tetap tegar. Namun, semuanya sia-sia. Air matanya keluar seperti bendungan yang sudah tidak kuat menahan tampungan air. Arumi menatap jijik pada tubuhnya sendiri, meskipun semua ia lakukan demi ibunya namun dalam hatinya yang terdalam, ia belum ikhlas jika harus kehilangan kehormatannya.

Bunyi ponsel menyadarkan Arumi agar ia segera memeriksa panggilan masuk. Ia melihat panggilan itu dari rumah sakit, dengan was-was Arumi mengangkat panggilan itu untuk mendengarkan, apa yang akan dibicarakan pihak rumah sakit.

"Apa meninggal?" Kabar itu seperti kilatan petir yang siap menyambar tubuh Arumi hingga hangus.

Tubuh Arumi limbung tapi, saat ia mengingat bahwa tubuh ibunya yang berada di rumah sakit sendirian setelah malaikat maut membawanya, kakinya yang lentur ia paksakan untuk berlari mencari taksi untuk bergegas membawanya ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Arumi hanya bisa menangis seorang diri. Ia sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini, ibu yang seharusnya menjadi penyemangat untuk ia menjalani kehidupan di dunia ini pergi untuk selamanya.

Tangan Arumi bergetar, membuka kain yang menutupi tubuh sang ibu. Rasa tak percaya masih hinggap di benaknya, "Tidak mungkin, tidak mungkin, itu tidak mungkin," ucapnya berulang kali.

"Ibu bangun, Bu. lihat Arumi sudah membawa uang untuk ibu berobat. Ibu bangun," Arumi mengguncangkan tubuh sang ibu, berharap wanita di hadapannya bangun.

Namun, harapan Arumi kandas saat sang ibu tidak memberikan respon apapun. Tubuh Arumi luruh kelantai, hanya dalam semalam ia kehilangan semuanya.

***

Disisi lain, David Baskoro lelaki yang berprofesi sebagai dokter ahli bedah dan pewaris rumah sakit AB Medika terbesar di kota Jakarta perlahan-lahan membuka matanya, ruangan itu masih gelap namun tangannya meraba-raba sisi kanan, mencari sosok wanita yang sudah memberikan malam pertama yang indah untuknya.

David mengingat bagaimana miliknya, masuk kedalam milik wanita yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya itu.

"Ternyata orang tuaku tidak salah memilih mu yang masih tersegel ini." gumam David sembari menciumi punggung mutih mulus milik Alena, yang sengaja ia lepas pakaiannya agar terlihat ia sudah tidur dengan David.

Alena pura-pura memejamkan mata menyunggingkan senyumnya. Andaikan dia masih perawan tentu saja ini akan menjadi hal yang ia banggakan. Namun nyatanya saat umur 17 tahun Alena sudah kenal dengan dunia malam, hingga membuat malam pertamanya direnggut oleh lelaki yang tidak ia kenal karena mabuk.

Sekarang saat berumur 21 tahun, Hendra memberikan lampu hijau untuk ia menikah dan David Baskoro lah yang menjadi pilihan orang tua Alena. Selian untuk kepentingan bisnis, keluarga Baskoro bisa memberikan apapun untuknya. Namun, sebelum hari pertunangan David memberikan syarat pada Alena untuk tidur dengannya dan membuktikan jika ia masih perawan.

Tidak salah David menginginkan itu semua, karena lelaki yang sudah berumur 27 tahun itu terbilang lelaki yang sempurna.

"David, kau membuatku terbangun." Keluh Alena memutar tubuhnya menghadap David.

"Maafkan aku," ucap David dengan lembut, meskipun dalam kegelapan dalam ruangan itu masih ada sedikit cahaya rembulan yang masuk melalui jendela kamar.

David samar-samar memandang wajah ayu milik Alena, lalu menghirup aroma yang sudah ia simpan dalam benaknya saat pertama kali ia membuka baju milik wanita itu. Hal aneh yang membuat David mengerutkan dahinya, aroma tubuh yang sudah ia simpan baik-baik itu tidak lagi tercium pada wanita yang berada disampingnya.

Memilih pergi

Dua minggu telah berlalu.

Namun, kejadian menyakitkan itu masih segar terngiang dalam benaknya. Buliran bening dari kedua sudut mata Arumi masih terus mengalir sembari menatap sendu pada gundukan tanah yang masih baru itu.

Rasanya seperti mimpi jika ibunya kini telah dipanggil Yang Maha Kuasa.

Flash back.

Rasanya ia baru beberapa menit merasakan kebahagiaan saat sudah mendapatkan uang untuk biaya operasi. Namun, sekarang sang ibu, telah membujur kaku di hadapan Tuhan. Seolah tubuh paruh baya itu menolak untuk disembuhkan dengan uang haram.

Kaki Arumi yang tadinya berdiri tegar, kini melemas begitu saja saat melihat tanah merah yang mulai menutup peti.

"Ibu," teriak Arumi seakan tidak terima jika sang ibu kini ditimbun dengan bongkahan tanah.

"Mbak Arumi yang sabar ya," ucap Leni, tetangga Arumi.

"Ibu, kenapa ibu tega meninggalkan Arumi? Arumi sudah tidak memiliki siapapun selain ibu," lirih Arumi mengabaikan Leni yang sedari tadi mencoba menghiburnya.

Arumi jatuh terduduk di dekat makam ibunya yang telah dipasangi nisan. Ia terisak pelan, segala ucapan bela sungkawa baginya hanyalah omong kosong. Untaian kata itu tak sesenti pun mengurangi kesedihan yang merundung nya.

Flash back off

Arumi mengusap batu nisan Ibunya. Rasanya ini seperti mimpi jika di dalam sana ibunya sudah beristirahat dengan tenang. Sampai detik ini, Arumi masih belum bisa mengikhlaskan kepergiannya.

"Sekarang Arumi sendirian, Bu. Arumi harus kemana? Mama Rina sudah membuat ku tidak bisa melakukan apapun," tutur Arumi terus menggulirkan ceritanya seolah ibunya ada di sana dan mendengarkannya.

"Apa Mama Rina mau menerimaku bu, dan membatalkan perjanjian itu?"

Arumi menghela nafas berat. Sebentar lagi matahari akan kembali ke peraduannya. Kemilau cahaya keemasan menyadarkan Arumi untuk segera beranjak dari perkuburan itu.

Diusapnya lembut batu nisan ibunya sebelum Arumi benar-benar pergi.

"Arumi pergi dulu, Bu. Kapan-kapak Arumi ke sini lagi ya," ucap Arumi perlahan menyeret kakinya pergi.

Tujuannya kini hanya satu, kediaman Gunawan. Ia berharap ayah dan ibu tirinya mau menampungnya.

Arumi mengentikan sembarang taxi yang melewatinya.

Arumi tiba di sebuah rumah mewah tepat ketika langit telah gelap. Dengan ragu Arumi hendak membuka pintu pagar. Dahinya berkerut tipis tak kala melihat banyak mobil yang terparkir di halaman.

"Non Arumi?" Sapa seorang satpam yang yang mengenali Arumi.

"Iya, Pak. Maaf kalau boleh tahu, di rumah sedang ada acara apa ya, Pak?" tanya Arumi penasaran.

"Oh itu Non. Acara pertunangan Non Alena dan Den David," jawabnya.

Arumi masih tidak percaya disaat dirinya berduka, Ayahnya sedang bersenang-senang. Wanita itu nampak ragu untuk masuk kedalam, ia mengingat kembali perjanjian yang ia lakukan pada Rina. Hal itu membuatnya semakin tidak berdaya.

"Terimakasih, Pak." Ucap Arumi ia pun bergegas untuk pergi dari rumah itu.

Sesampainya di rumah yang sejak dulu ia tempati bersama dengan ibunya. Arumi hanya bisa menjerit dan menangis, keluarga satu-satunya yang ia harapkan bisa menjadi tempat ia berpijak sepertinya tidak akan menerimanya. Lalu ia mengingat bahwa dirinya bukanlah seorang gadis lagi dan lelaki mana yang akan menerima dia kelak.

Air mata Arumi seakan sudah habis untuk menangis nasib buruknya. Ia pun beranjak dari tempat duduk dan memutuskan untuk meninggalkan Jakarta menuju ke Yogja. Ia berpikir untuk memulai kehidupan baru dan melupakan semua hal yang ada di Jakarta termasuk ayah dan kakak yang tidak mengharapkannya.

"Pergi adalah cara terbaik untuk melupakan semua," gumamnya.

Wanita itu bergegas membereskan baju untuk ia siapkan berpergian besok. Sisa uang dari menjual diri kemarin ia gunakan untuk membeli tiket pesawat.

***

Pagi menjelang, Arumi sudah berada di Bandara sejak pukul lima pagi. Karena ia tidak bisa memejamkan matanya. Pesawat yang akan membawanya berangkat pukul delapan pagi dan kini ia sudah berada didalamnya.

"Permisi mbak saya bisa duduk di bangku sana?" tanya Arumi pada wanita yang seumur dengannya.

"Apa itu bangku mu?" tanyanya ketus.

Arumi yang tidak ingin memperpanjang masalah ia segera memperlihatkan tiket yang sudah ia beli.

"Oh, jika begitu kita tukeran saja!" Seru wanita itu.

"Terserah kau saja!" Arumi yang kesal menjawab dengan nada ketus juga.

"Wah, mbak biasa aja dong! Gak usah ngegas begitu!"

Arumi menarik nafas dalam-dalam, seumur hidupnya baru kali ini bertemu dengan orang yang nyebelinnya tingkat dewa. "Mbak nya juga jangan ngegas dong. Ini bangku saya, harusnya mbaknya minta dengan baik-baik. Kenapa malah kayak saya yang merebut milik mbak!"

"Ah, sudahlah diam saja. Kau duduk disana aku disini. Oh ya aku Lulu, jika mau kenal dan jangan panggil mbak karena aku bukan tukang jamu!"

Perdebatan mereka belum selesai juga, sementara pramugari memberikan instruksi jika pesawat sebentar lagi akan landas.

Satu jam sepuluh menit perjalanan itu berlangsung kini mereka sudah tiba di Bandar Udara Internasional Adisutjipto. Arumi yang baru saja menginjakkan kaki di Jogja seperti orang linglung karena tidak punya arah tujuan. Begitupun dengan Lulu yang seperti anak itik kehilangan induknya.

"Hai, kau mau kemana?" tanya Lulu yang melihat Arumi masih berdiri mematung di pintu keluar Badara.

"Aku tidak tahu mau kemana, aku tidak punya tujuan." Jawab Arumi dengan wajah sendu. "Kau sendiri mau kemana?" Imbuh Arumi.

"Sama denganmu," jawab Lulu.

Merekapun saling melempar senyuman seakan merasakan takdir memang sedang mempertemukan mereka dalam keadaan susah seperti ini.

Dua wanita yang tidak tahu arah dan tujuan mencoba berdamai dengan keadaan, mencari tempat tinggal bersama dan pekerjaan. Lulu yang memiliki pengalaman kerja di bidang apoteker mencoba melamar pekerjaan dan akhirnya ia mendapatkannya.

Sementara Arumi belum juga mendapatkan pekerjaan, namun tak berselang lama Arumi mendapatkan tawaran pekerjaan di perusahaan tempat bekerja Lulu sebagai marketing.

Satu bulan berlalu, hari ini Arumi sangat lelah sejak pagi perutnya terus bergejolak dan merasakan ada sesuatu yang tidak beres dalam tubuhnya. Ia kemudian ingat dengan malam itu.

"Tidak mungkin, aku hamil! Itu baru sekali." Gumamnya. "Tapi jika benar aku harus apa?" Lirihnya lagi.

"Arumi, kau baik-baik saja? Wajah kau pucat sekali?" tanya Lulu yang melihat Arumi tergeletak tak berdaya di atas rajang.

"Aku tidak apa-apa, hanya saja aku merasa mual sejak pagi."

"Kau gak lagi hamil kan?" Lulu merasa aneh selama satu bulan ini ia mengenal Arumi adalah sosok wanita yang baik dan tidak pernah macam-macam. Apalagi pernah berkencan dengan seorang lelaki.

"Aku tidak tahu, Lu. Jika aku hamil bagaimana ya?"

"Kau berkata apa, Rum. Lagipula mana ada pembuahan jika kau tidak pernah tidur dengan lawan jenis?"

"Maaf, Lu. Sebenarnya aku sudah pernah melakukan itu, saat aku sedang tertimpa musibah." Jelas Arumi sedikit membuka rahasia yang sudah ia kubur dalam-dalam.

"Baiklah, aku ada testpack. Kita coba test saja ya. Jika memang ia, kita rawat anak itu bersama-sama, lagipula anak itu tidak berdosa. Kau melakukan semua karena terpaksa."

Benar saja, setelah dilakukan testpack. Arumi mendapati alat itu melihatkan dua garis merah yang artinya ia positif hamil.

Kembali

Tujuh tahun kemudian.

Arumi dan Lulu memutuskan kembali ke Jakarta setelah 7 tahun lamanya mereka menetap di Yogja. Arumi yang bekerja di perusahaan yang bergerak dalam bidang distributor alat kesehatan dan obat-obatan kini, mendapatkan kesempatan untuk bisa naik jabatan dengan syarat dia harus memenangkan tender kerjasama dengan rumah sakit medika AB grub.

Tujuh tahun selama di Yogja, Arumi membesar putra kecilnya yang bernama Aqeel Elvano yang kini berusia enam tahun. Aqeel, sesuai dengan namanya yang memiliki arti berpengetahuan luas, di usianya dua bulan anak itu sudah bisa berbicara. Lalu di usia satu tahun ia sudah bisa membaca dan menghafalkan angka perkalian. Yang lebih mengejutkan bagi Arumi,sebagai seorang ibu, saat diusia empat tahun Aqeel bisa memberikan pertolongan pertama pada orang pingsan.

Jadi tidak heran bila kesuksesan Arumi saat ini berkat bantuan sang anak, yang ikut mempromosikan alat-alat kesehatan hingga membuat penjualan Arumi meningkat setiap tahunnya.

"Kau yakin dengan keputusan mu ini?" tanya Lulu yang sejak tadi memperhatikan gerak gerik Arumi yang seperti sedang bimbang.

"Ini kesempatan langka, Lu. Aqeel juga makin dewasa, aku harus memberikan kehidupan yang layak untuknya. Kau tentu tahu bakat Aqeel yang sangat luar biasa itu," jelas Arumi.

Menjadi single parent tak mematahkan semangat Arumi untuk berjuang demi sang buah hati. Ditambah dengan seorang sahabat yang menjadi support sistem terbaiknya. Hidupnya seolah menjadi sempurna dan bahagianya terasa lengkap.

"Baiklah apapun itu aku akan mendukung mu," putus Lulu yang mendapatkan anggukan dari Arum.

***

Di Bandara Soekarno Hatta, Arumi berjalan dengan membawa dua koper besar. Kini ia berpenampilan baru dengan rambut sebahu dan tompel besar yang terletak di pipi kanannya, serta tak ketinggalan kacamata tebal. Arumi sengaja mengubah penampilannya karena masih ingat dengan jelas bahwa di kota Jakarta masih ada Alena, kembarannya.

Di sampingnya berdiri seorang gadis cantik seusianya yang setia menemaninya selama tujuh tahun terakhir, ia adalah Lulu.

Sementara Aqeel, bocah itu begitu tampak tampan dengan model rambut belah tengah ala Korea yang juga dikenal dengan nama curtain cut. Alis matanya yang tebal semakin membuatnya kesan tegas.

Ia memiliki mata hitam legam dengan sorot mata yang tajam tengah mengamati dengan pemandangan di sekelilingnya. Ini pertama kalinya Arumi membawanya ke tampat baru. Ia begitu tak sabar untuk mencari hal-hal baru di tempat ini.

Aqeel berdiri tegap dengan tangan dimasukkan ke saku celana, menatap Arumi dengan kesal sembari berkata, "Bunda, sangat jelek. Bisakah kau lepaskan tompel itu!"

"Anak ganteng, ini tuh gaya terbaru kota ini. Ayolah, Bunda tidak sejelek itu," ujar Lulu yang membela Arumi. Walau dalam hatinya ia juga terkikik lucu dengan penampilan Arumi yang tampak culun.

"Betul itu," sahut Arumi tersenyum lebar.

"Terserahlah!" Aqeel menghentak kakinya kesal. "Jangan salahkan orang lain jika menganggap kau sebagai pembantuku," imbuhnya.

"Oh, astaga! Apa kau ingin jadi anak durhaka?" tanya Lulu gemas.

"Kalian berdua para wanita yang membuat ku selalu salah. Jadi jangan protes jika aku seperti ini!" Aqeel berjalan mendahului Arumi dan Lulu untuk keluar dari bandara. Ia sudah malas untuk berdebat.

Arumi menarik nafas panjang, begitupun dengan Lulu mereka serempak menggelengkan kepalanya sembari berujat, "Lelaki memang selalu salah."

Aqeel yang samar-samar mendengar itu mencoba tidak memperdulikan, ia masih berjalan dengan gagahnya keluar dari bandara. Hingga semua mata tertuju padanya.

"Astaga anak siapa itu, tampan sekali," bisik salah satu pengunjung dengan seseorang yang berdiri di dekatnya.

"Kalau sudah besar lamar bibi saja buat jadi pendamping mu," ujar yang lainnya.

"Apa kau mau jadi anak angkat ku? Nenek punya cucu yang cantik, siapa tahu kalian berjodoh!"

Suara itu terus bersahut-sahutan memuji Aqeel, tapi anak itu seperti menutup telinganya berusaha tidak ingin mendengar apapun. Ini bukan kali pertama orang memuji ketampananya. Hampir setia saat dirinya keluar, celotehan serupa selalu ia dengar.

Sementara itu, Arum dan Lulu berusaha mengejar Aqeel dengan membawa koper mereka.

"Akhirnya," ucap Lulu merasa lega mengejar Aqeel seperti mengejar kopaja yang sedang berebut penumpang.

"Aqeel kenapa kau meninggalkan Bunda? Jika kau tersesat bagaimana?" Kesal Arumi.

"Itu tidak mungkin, lihatlah ada petunjuk untuk keluar!" Ketus Aqeel menjawab Arumi.

"Baiklah, baiklah, kita segera panggil taxi saja agar cepat sampai apartemen," Arumi mengalah berdebat dengan Aqeel. Berbicata dengannya hanya akan membuat mukanya semakin menua. Dirinya memanggil sembarang taxi dan menjentikkan jemarinya.

Tak jauh dari tempat Arumi memanggil taxi, ada seorang lelaki paru baya menyebrang jalan. Karena tidak melihat sekeliling, lelaki itu tertabrak mobil yang sedang melaju dengan kencang.

"Astaga ada korban tabrak lari," teriak wanita yang dekat dengan korban.

Semua orang berbondong-bondong untuk melihat. Aqeel yang sedari tadi mengamati sekeliling tak sengaja juga melihat kejadian itu. Naluri Aqeel yang tinggi dalam menolong sesama layaknya seorang dokter, membuat Aqeel tak tega hanya berdiam diri. Ia pun segera berlari menuju tempat kejadian.

Dengan sigap ia menyibak kerumunan. Dan duduk jongkok di depan laki-laki paruh baya yang terkulai lemah. Hal itu menyebabkan para pengunjung merekam aksi Aqeel yang tampak gantle.

Arumi menoleh ke arah sana, dahinya berkerut tipis. "Ada apa ya?" Gumam Arumi penasaran.

Lulu mengendikan bahunya, tubuhnya sudah lelah. Tak ingin mencampuri urusan orang lain. Toh untuk apa menjadi penonton jika tidak ingin menolong. "Mungkin kecelakaan," ujar Lulu acuh.

Dua wanita itu belum menyadari jika Aqeel sudah pergi meninggalkan mereka.

"Baiklah, ayo kita masuk." Ajak Arumi.

Lulu Melihat kanan dan kirinya, ia merasa ada yang kurang. "Astaga, Rum. Sepertinya kita kehilangan seseorang," tutur Lulu panik. Ia menoleh ke kanan kirinya, mencari bocah yang tadi ia gandneg sekarang sudah raib.

"Siapa?" tanya Arumi polos.

"Apa kau tidak merasakan, hawa dingin sejak enam tahun bersama kita sekatang kini sudah tidak ada?"

"Astaga Aqeel!" Teriak Arumi seketika teringat dengan putranya. Mereka berdua menoleh ke sana kemari dan sekilas melihat ke arah kerumunan.

Sementara itu, Aqeel sedang memeriksa pernapasan pada korban kecelakaan dengan dua jarinya didekatkan ke hidung, merasa kurang jelas jari itu turun ke leher mencari denyut nadi.

"Segera panggil ambulan," perintahnya. Sedangkan mereka semua masih sibuk menonton dan memfoto tindakan Aqeel.

"Apa kalian tidak dengar? segera hubungi ambulan," teriaknya lagi.

Aqeel merasakan denyut nadi lelaki paru baya itu sedikit melemah, dalam kecelakaan seperti ini banyak kemungkinan yang terjadi. Hal yang harus dilakukan adalah memberikan pertolongan pertama melakukan CPR, pikir Aqeel.

"Anak itu apa dia seorang dokter cilik. Kenapa ia begitu lihai dalam memberikan pertolongan pertama?" pertanyaan itu keluar dari mulut orang-orang yang menonton Aqeel, mereka seperti melihat sebuah pertunjukan.

Tidak lama petugas medis datang. Bapak setengah baya itu dibawa petugas medis, masuk ke dalam mobil ambulan.

"Kau pasti anaknya. Ayo, ikut masuk kedalam ambulan," ucap petugas medis meraih bahu Aqeel dan menuntunnya masuk.

Aqeel merasakan ada yang aneh dengan lelaki yang baru saja ia selamatkan, ia pun mengikuti kata petugas medis. Bisa saja ia nanti membantu dalam menjelaskan keadaan korban.

"Baik," ucap Aqeel, ia segera masuk ke dalam ambulan tanpa ragu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!