Ruangan terbuka yang penuh dengan warna-warni. Di tambah dengan dentuman musik keras yang membuat seisi ruangan meliuk-liukkan badan secara sensual.
Di tempat itu terdapat kursi tanpa penyangga yang berjejer rapi di sudut ruangan, di depan sang lelaki yang memakai celemek hitam.
Gelas-gelas berukuran kecil pun berbaris rapi di atas meja panjang, ditemani sebuah botol dengan aroma yang menyeruak masuk indra penciuman.
"Ahh." Desahan berat keluar dari mulut seorang gadis yang sedang duduk dengan tangan bertumpu pada meja. Di depannya sudah ada 5 botol kosong dengan gelas kecil di sampingnya. Gadis itu menggerakkan kedua tangan untuk memegang kedua matanya yang mulai sayu dan tertutup.
"Keras kepala." Suara berat itu membuat ia mendongak dengan mata sayu. Senyum manis terbit di bibir tipisnya ke arah lelaki yang sedang berdiri didepannya.
Suara dentuman musik yang sangat keras membuat lelaki tersebut mendesis dan ingin segera keluar dari tempat ini. Ia sangat benci dengan keramaian dan sesuatu yang membuat telinganya berdengung.
Ia menunduk untuk melihat jelas wajah gadis yang tidak ada kapoknya mendatangi tempat terkutuk ini. Melihat gadis itu sudah mabuk dan sebentar lagi tidak sadarkan diri, dengan decakan ia menggendong gadis itu keluar dan mengarahkannya kedalam mobil dan berlalu dengan kecepatan di atas rata-rata.
"Lo nggak pernah dengerin ucapan gue." Suaranya terdengar sangat tenang. Ia hanya sedikit kecewa dengan gadis di sampingnya ini. Berulangkali ia melarang agar tidak mengunjungi tempat itu lagi, tetapi percuma! Semua ucapannya hanya di anggap angin lalu.
"Kali ini apalagi alasan lo, Keysa?"
Suara deruhan nafas teratur membuat lelaki tersebut berdecak. Ekor matanya melirik seorang gadis yang baru saja ia serukan namanya Keysa.
Pria itu menghela nafas, saat melihat Kesya sudah tertidur dengan kepala yang bersandar pada sandaran mobil. Gadis itu begitu rapuh di penglihatannya, sehingga ia tidak akan bisa memarahinya berlama-lama.
Tapi, sikap keras kepala Keysa tidak dapat di ragukan lagi.
"Ver--rel maafin gue." Lenguhan keluar dari mulut Keysa. Ia bergerak gelisah di dalam tidurnya. Sesekali mengucapkan kata maaf dengan menyerukan nama Verrel--- lelaki yang sedang mengemudi mobil hitam ini.
Verrel menginjak pedal rem saat ia telah sampai di depan sebuah rumah sederhana dengan pagar berwarna coklat.
Rumah yang terlihat sangat asri jika di pandang dari jarak yang lumayan jauh, tetapi terlihat sangat berantakan dan tidak tertata jika kaki sudah menginjak ke halamannya.
Verrel membuka seat belt mobil dan sedikit mendekatkan tubuhnya pada Keysa. Tangannya terangkat untuk menepuk-nepuk pelan pipi Keysa yang basah.
"Bangun, kita sudah sampai."
Suara datar itu hanya terdengar samar-samar di telinga Keysa. Ia lebih memilih menggeleng dengan mata terpejam. Entah kenapa kepalanya terasa sangat pusing malam ini. Oh mungkin, karena botol minuman yang ia habiskan masih belum cukup. Biasanya, ia meminum 6 sampai 7 botol berbeda dengan tadi ia hanya meminum 5 botol.
"Jangan banyak tingkah! Turunlah sekarang!"
Walau suara Verrel sedikit meninggi, tapi Keysa belum juga ingin membuka matanya. Gadis itu hanya menggeleng lemah dan melirihkan hal yang tidak jelas.
Verrel kembali pada posisinya, tangannya berpegangan kuat pada setir mobil. Lelaki itu beberapa kali berdecak dan menghela nafas panjang.
"Lo! Benar-benar menyusahkan." Setelah mengatakan itu, Verrel membuka seat belt yang masih terpasang di tubuh Keysa. Ia kemudian turun dari mobil dan berjalan cepat membuka pintu mobil di samping Keysa. Saat pintu mobil terbuka, ia menggerakkan tangannya ke bawah lipatan lutut Keysa, dan sebelah lagi berada di punggung gadis itu.
Diam-diam Keysa tersenyum dalam dekapan tubuh tegap Verrel. Gadis itu menggerakkan tangannya hingga berhasil mengalung di leher Verrel.
"Gue tau, ini tipu muslihat lo!"
Keysa mencebikkan bibir, ternyata lelaki ini mengetahui niat terselubungnya. Tapi, Keysa sudah cukup senang, berada dengan jarak dekat seperti ini membuat tubuhnya dihantui rasa menggelitik.
Sampai di depan rumah Keysa, tanpa berbasa-basi Verrel langsung menurunkan gadis itu, membuat Keysa tentu saja terkejut dengan gerakan tiba-tiba Verrel.
"Eh, lo tega nurunin gue?" tanyanya cukup tidak percaya, lelaki di depannya ini benar-benar berwajah datar dan berhati benteng yang susah untuk di jelajahi.
Jangankan untuk menjelajahi, berniat untuk masuk saja Keysa sudah terhempas sangat jauh.
Kejam memang!
"Ini rumah lo, kan? Sudah sampai! Dan berterimakasih-lah karena gue udah nolong lo. Lagi!" Kata terakhir Verrel yang sengaja ia tekan mengundang cibiran halus dari bibir Keysa. Lelaki itu tidak peduli, ia sudah cukup baik sampai di sini, tidak ada lagi yang harus ia lakukan.
"Hm. Lagi dan lagi, seorang Keysa Radmijaya berhutang budi pada laki-laki bernama Verrel Aryanka Radeya!"
Verrel hanya mengangguk satu kali. Ia lantas membalikkan badannya, kemudian berjalan dengan cepat kembali pada mobil hitam yang terparkir di depan rumah milik gadis bernama Keysa Radmijaya.
🌻
🌻
🌻
VOTE DONG:'(
Keysa terkekeh kecil, ia senang bisa berinteraksi dengan Verrel. Benarkan? Hanya berbicara saja ia sudah sebahagia ini, apalagi saat dirinya didekap, digendong dan kedua pipinya ditepuk.
Namun, semua itu berakhir saat Verrel sudah sampai di depan pintu rumahnya. Dan malam ini Keysa menyesal, kenapa pagar rumah dan pintu rumahnya berjarak sangat dekat, seharusnya beratus-ratus meter agar ia bisa berlama-lama dengan lelaki itu.
"Keysa, sudahlah lupakan. Jangan sampai lo gila malam ini dan nggak bisa ketemu dengannya besok di studio." Menghentikan khayalan, Keysa sampai lupa bahwa ia masih berdiri di depan pintu rumahnya yang terkunci.
####
Malam ini sangat tenang, bintang pun mulai nampak walau hanya sendikit. Tidak seperti malam sebelumnya, dimana bintang tak terlihat apalagi bercahaya.
Jika ada yang bertanya, kemana perginya bintang, maka Verrel dengan lantang akan menjawab. "Bintang pergi, karena bosan menemani bulan." Apalagi saat Verrel di tanya tentang bintang yang memiliki sinar paling terang, maka ia akan menjawab. "Bintang itu tidak ada, ia pergi karena tahu ada bintang yang lain yang dapat menggantikan posisinya bersinar."
"Verrel, apa kabar?"
Verrel tidak langsung menjawab, ia hanya berjalan cepat ke arah sofa tanpa tahu malu dengan mengabaikan sang pemilik rumah.
"Lo nggak pernah berubah." Lelaki lain ikut bergabung, ia duduk di sofa depan Verrel. Ia sedikit ingin tertawa saat melihat wajah adiknya yang nampak masih sama dari hari-hari sebelumnya.
Yah! Lelaki lain itu tak lain adalah Farhan.
"Gue akan tetap seperti ini," jawab Verrel, mantap. Kakinya ia angkat dan ia taruh di atas meja. Kedua tangannya bahkan sudah terlipat untuk menjadi bantal kepalanya.
"Apa lo masih---"
"Sudah tidak! Dan jangan bahas hal itu lagi." Verrel dengan cepat menyela ucapan Farhan. Ia sudah tahu kalimat apa yang akan keluar dari mulut kakaknya itu, maka dari itu sebelum terlontar lebih baik ia mencegah.
"Banyak gadis di luar sana Verrel, untuk apa lo nunggu dia?" Farhan terlihat tertawa kecil, yang hanya dibalas penyatuan alis oleh Verrel.
"Siapa bilang gue nunggu dia?" Tawa Farhan terhenti, beralih dengan sorot mata menantang dan meremehkan.
"Gue nggak sebodoh itu tuan Farhan, gue bisa mencari gadis yang sempurna, bahkan melebihi istri anda!"
"Sialan!" Umpatan Farhan sudah tak dapat di elakkan lagi.
Verrel tersenyum miring. Ia tidak sebodoh itu, waktu tiga tahun bukanlah waktu yang singkat sehingga ia tidak bisa melupakan gadis itu. Verrel bisa, perlahan namun pasti perasaan yang bersemayam di hatinya akan hilang tak tersisa, dari seratus persen perasaan itu yang tertinggal sisa sepuluh persen.
Sisa satu kenangan yang sangat susah ia lupakan walau ia sangat ingin. Kenangan itu saat hari pertama ia berurusan dengan gadis itu. Saat tidurnya terganggu oleh pekikan konyol hanya untuk berterimakasih.
"Bagaimana keadaan papa?" Dengan mata terpejam Verrel melontarkan pertanyaan.
Farhan yang duduk sambil menonton televisi sekilas menoleh ke arah Verrel. "Alhamdulillah, semakin membaik," sahutnya tanpa mengalihkan pandangan dari televisi.
Verrel bernafas lega. Cukup sudah ia membuat Martin marah dan kecewa karena dirinya yang selalu membangkang.
Verrel sudah banyak berubah, lelaki itu kini menjadi seorang mahasiswa di universitas Indonesia. Sekarang ia adalah mahasiswa semester enam dengan prestasi yang lumayan mencolok di kalangan mahasiswa dan dosen.
Bukannya ia tidak mau menempuh pendidikan di luar negeri seperti saran Martin dan Widya. Tapi ia ingin berbakti dan melakukan hal yang jarang sekali ia lakukan saat menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Berkumpul dengan keluarga.
"Gimana studio, lo?" Farhan mengalihkan atensinya ke arah Verrel saat pertanyaan yang ia ajukan tak kunjung mendapat sahutan. Lelaki itu terkekeh kecil, tangannya meraih bantal sofa dan memukulkannya ke wajah Verrel beberapa kali.
Buk!
Buk!
"Apaan, sih, lo!" Verrel menepis dengan keras bantal sofa yang hampir saja kembali mendarat di wajahnya. Lelaki itu memperbaiki posisi duduknya dan menyorot Farhan dengan tatapan penuh kekesalan.
Farhan lagi-lagi tertawa kecil. Sudah lama sekali ia tidak melihat ekspresi lain dari wajah adiknya itu. Selain wajah raut datar dan dingin, sekarang sudah ter-install raut wajah kesal.
"Guratan di wajah lo keliatan!" ledek Farhan.
Verrel menghembuskan nafas panjang. Sebelum pandangannya ia alihkan ke arah lain, mencari seseorang di rumah besar ini, di dapur, di ruang tengah, dan di manapun ia tidak menemukan seseorang itu.
Verrel kembali menatap ke arah Farhan. Lelaki itu tampak tenang dengan mata yang menyorot ke arah layar televisi dengan siaran sepak bola.
"Bini lo kemana?" tanyanya lempeng sambil kembali menaikkan kaki panjangnya ke atas meja.
"Tidur," sahut Farhan, santai.
"Lo?"
"Belum ngantuk!"
Verrel mengangguk singkat. "Tumben, nggak n4ena?"
"MULUT LO!" geram Farhan melempar bantal sofa ke arah Verrel secara brutal. Lelaki itu sedikit tersulut mendengar kalimat Verrel yang frontal, namun meluncur dengan sangat santai.
Verrel menjauhkan dirinya dan menghentakkan kaki panjangnya untuk menapak lantai. Lelaki itu kemudian bangkit dan berjalan ke arah pintu utama yang sedikit terbuka.
"Gue mau pulang! Habis gue di sini!" gerutunya sebelum hilang di ambang pintu.
Farhan tertawa kecil.
🌻
🌻
🌻
DUKUNGAN VOTE\=-O
Hari ini tim mereka sedang mengerjakan proyek baru yang bekerja sama dengan sebuah perusahaan kosmetik brand internasional. Bahkan, sejak tadi studio di penuhi dengan banyak model dan beberapa utusan dari perusahaan kosmetik yang bersangkutan.
Setelah semua siap pemotretan akan berlangsung. Bahkan, Verrel tengah terlihat sangat sibuk memfokuskan kameranya pada satu objek, mengatur tinggi dari tripod yang ia gunakan agar pas dan terlihat sangat sempurna.
Verrel memang seorang fotografer yang profesional, ia sudah menekuni bidang ini saat menjabat sebagai mahasiswa semester dua. Tak sampai di situ, bahkan mimpinya untuk membangun dan menjalankan studio pemotretan pun sudah terkabul.
"Bos, gue manggil semua modelnya sekarang, agar bersiap-siap?" Suara itu milik Rangga Al-Ghifari, salah satu kru yang bekerja mengatur jadwal pemotretan, sekaligus memilih dan memilah model mana yang pas untuk produk yang akan mereka promosikan.
Rangga Al-Ghifari, lelaki yang mengambil jurusan yang sama dengan Verrel yaitu jurusan fotografi. Namun, Rangga berbeda ia adalah sosok lelaki sholeh yang terpaksa ikut bekerja di studio karena tuntutan ekonomi.
Verrel hanya membalas dengan deheman singkat, lekaki itu hanya fokus mengatur lensa kesayangannya.
Sama seperti Daniz Ravaelo, lelaki dengan jurusan bisnis itu tengah terlihat sangat sibuk di depan sebuah laptop bermerek iPhone. Laptop yang terhubung dengan kamera Verrel, jadi setiap foto yang Verrel bidik akan terkirim ke laptopnya, selanjutnya akan dibuatkan album baru.
"Jessica, ayolah, lo yang pertama." Rangga mulai memanggil salah seorang model yang duduk sambil memegang lipstik. Gadis yang dengan nama Jessica mengangguk, dan menyimpan lipstik-nya di dalam tas yang berada di atas meja.
"Lihatlah, Key. Gue yang pertama," ucapnya pongah. Jessica mulai bangkit dan berjalan dengan sangat anggun menghampiri sang fotografer yang akan mengambil gambarnya.
"Sombong!" cerca Keysa mencibir.
Kesal! Keysa sangat kesal pada Jessica yang selalu saja mencoba merayu Verrel. Gadis itu memperbaiki posisi duduknya saat Jessica baru saja mencolek dagu Verrel.
"Ih, murahan!" umpat Keysa dengan suaranya yang tertahan. Hatinya memanas melihat Jessica yang terus saja berusaha merayu Verrel. Walaupun ia melihat lelaki itu hanya diam dengan wajah yang memerah menahan emosi. Tapi tetap saja, Keysa tidak rela jika lelaki yang ia cinta di sentuh gadis lain.
Jessica tersenyum puas melihat wajah Keysa yang seperti ingin menikam seseorang. Apalagi saat Keysa mengepalkan tangan dan beberapa kali memukul ke arah meja yang berada di sampingnya.
"Jessica."
Teguran suara berat khas pria membuat Jessica menoleh dan tersenyum manis, nampak lesung pipi di sisi kanan. Gadis itu mulai berjalan dengan fokus dan berdiri di depan background pemotretan dengan anggun.
Verrel mulai mengarahkan kameranya agar fokus dan mendapatkan hasil jepretan yang terbaik. Hasil jepretan Verrel memang tidak dapat diragukan lagi, terbukti dengan Daniz yang terus saja tersenyum tipis dengan tangan kanan yang sibuk dengan mouse.
Tiga kali pemotretan. Jessica masih setia memperlihatkan postur tubuhnya yang jenjang, tinggi semampai dengan kulit yang mulus dan tidak terlalu putih, namun terlihat sangat manis.
Kilatan terakhir, berakhir dengan pose khas Jessica yang menggoda. Setelah selesai, Jessica berjalan dengan kaki menyilang ke arah Verrel yang sekarang tengah sibuk membersihkan lensa kamera.
"Hai."
Verrel hanya diam saat suara Jessica masuk ke pendengarannya. Itu karena Verrel sudah cukup lelah jika harus meladeni gadis seperti Jessica.
Melihat Verrel diam, seperti menjadi tantangan untuk Jessica agar semakin menggoda lelaki itu. Kini, kedua tangan Jessica sudah menempel dan bergelayut manja di lengan Verrel. Mau tidak mau, Verrel menghentikan aktifitasnya membersihkan lensa kamera dan memilih mengatur emosinya yang tiba-tiba mencuat keluar.
"Jangan ganggu gue!" Suara rendah Verrel tanpa mengalihkan pandangan dari kamera. Ia muak jika harus memandangi wajah Jessica dari dekat, jadi Verrel memilih menunduk ke arah kameranya saja.
"Bos, harus bersenang-senang. Bos juga membutuhkan istirahat," rayu Jessica, ia semakin bergelayut manja di lengan Verrel. Bahkan, kepalanya sudah bersandar di bahu lelaki itu.
Daniz dan Rangga yang sedang melihat-lihat hasil jepretan Verrel hari ini ikut menoleh ke arah Jessica yang sedang berusaha merayu sang bos yang datar dan dingin itu.
"Gue nggak butuh itu!" Verrel berucap dengan sarkas, ia menarik lengannya yang di peluk oleh Jessica. Setelah itu bangkit dan berjalan menjauh.
Di tengah perjalanan menuju ruangan pribadi miliknya, Verrel malah bertatap wajah dengan Keysa yang berdiri menyandar di depan tembok. Gadis itu melempar senyuman sangat manis ke arah Verrel yang hanya dibalas delikan mata.
"Ish, dasar Jessica! Tidak ada kapoknya menggoda Verrel." Dengan kekesalan yang membuncah Keysa berjalan ke arah Jessica yang tengah sibuk menata rambut di single sofa, tempat duduk yang telah Verrel tinggalkan.
🌻
🌻
🌻
HEEYY... AKU INGIN KAMU MEM-VOTE:-*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!