~Luka mengajarkanmu banyak hal.~
🍀🍀🍀🍀🍀🍀
🍀🍀🍀🍀
🍀🍀
"Maaf, aku mundur."
"Maksudmu?"
"Kita akhiri hubungan ini. Terima kasih untuk semuanya, Pak Riko."
Riko tersentak. Suara bising kendaraan yang berlalu lalang di depan cafe pun mendadak senyap. Apa ini? Ini bukan prank, kan?
"Kenapa? Bukankah kita sudah setuju untuk lakukan proses lamaran besok hari?" Riko mendesak. Tatapannya tajam seperti seekor singa lapar. "Jawab pertanyaan saya, Lily!" Kini suaranya sedikit meninggi, hingga menyita perhatian beberapa pengunjung cafe.
Lily menunduk. Ia menghitung jari jemarinya dalam hati.
"Apa ada orang lain?" Riko benar-benar penasaran. Setidaknya ia harus tahu apa alasan Lily yang terbilang mendadak, dan hampir membuatnya jantungan. "Jangan diam! Kita sudah sama-sama dewasa. "Emosinya sulit terkendali.
Lily berdiri, masih dalam posisi menunduk. "Maaf, Pak. Sekali lagi aku ucapkan maaf." Tanpa menjelaskan apa pun ia segera pergi dari hadapan Riko dengan bahu bergetar menahan air mata. Ini sudah benar! Dia tidak salah memilih keputusan?
Lily keluar dengan cepat. Ia tak berniat satu detik pun menengok ke belakang untuk sekadar melihat wajah Riko untuk terakhir kalinya, mungkin.
Ketika langkahnya baru tiga kali terayun di luar. Riko datang. Meraih tangan Lily, dan menyeretnya ke mobil. Lily menolak, ia meminta dilepaskan. Akan tetapi, Riko yang didominasi kemarahan seolah tuli dengan jeritan tersebut.
"Masuk!" Perintah Riko.
Lily menggeleng. "Maaf, Pak."
"Saya bilang masuk!" Suara Riko semakin meninggi.
Tubuh Lily bergetar, takut.
"Jangan sampai saya menyentuh lebih dari tanganmu!" ancam Riko yang habis kesabaran.
Lily menurut. Ia duduk di bangku depan. Riko segera masuk mobil yang terparkir. Suasana hening. Keduanya mencoba menenangkan pikiran masing-masing.
"Saya tanya sekali lagi. Apa ada orang lain?" Riko merasa bisa mengendalikan diri saat ini. "Jawab jujur!"
Lily mengangguk. "Maaf."
Riko memukulkan kepalanya dua kali ke stir mobil. Apa ini? Kenapa harus seperti ini?
"Apa dia lebih hebat dari saya?" Riko mengangkat kepalanya, menoleh ke samping. "Apa dia lebih kaya dari saya? Atau dia ...."
"Bukan itu, Pak," potong Lily cepat. Pandangannya lurus ke depan. "Ada hal yang tidak bisa aku ceritakan pada Pak Riko. Makanya, aku meminta putus sebelum lamaran itu terjadi. Aku tau, pasti ini sakit buat Pak Riko. Aku minta maaf yang sebesar-besarnya."
Lily sulit menahan tangis yang selalu ingin tumpah. Ia kalah. Mungkin ini terakhir dirinya menampakkan kelemahan di hadapan Riko. Lelaki yang menarik bagi wanita mana pun.
Tangan cantik Lily bergerak mengusap air mata yang masih bergulir. Perempuan muda itu membuka pintu, hendak mengayunkan langkah keluar.
"Jangan pergi!" Cegah Riko. Ia masih tidak bisa menerima kenyataan pahit yang hadir tiba-tiba tersebut. "Bukankah kita berjanji akan menikah setelah kamu lulus?"
Perkataan Riko tak sedikit pun membuat Lily goyah. Ia tetap melanjutkan langkah untuk keluar mobil, lalu pergi meninggalkan Riko sendirian.
Semua telah sirna. Rencana lamaran hanyalah tinggal wacana. Hubungan yang baru seumur jagung kandas begitu saja. Cinta pertama yang berlangsung singkat telah menorehkan sebuah luka yang dalam juga pelajaran bagi Riko. Ini sakit! Bahkan lebih sakit dari hanya dimarahi Adnan tentang kesalahan dalam membuat laporan.
Riko menguatkan diri. Ia tak bisa menahan Lily lebih dari ini. Mungkin benang takdir untuk keduanya telah terputus sampai di sini. Entah akan tersambung atau tidak! Itu semua rahasia Sang Pemilik Semesta. Mereka hanya menjalani apa yang harus dilakoni. Setiap insan punya bagian masing-masing. Hanya kita sendirilah yang harus memahami, dan terus memperbaiki diri.
~Jika kita berjodoh. Semesta selalu tahu cara mempertemukan kembali.~
💞💞💞💞💞💞
💞💞💞💞
💞💞
Dua tahun berlalu setelah hari itu Riko sama sekali tidak pernah bertemu dengan sosok Lily. Perempuan berambut hitam panjang tersebut seolah ditelan bumi. Mungkin.
Selama itu pun Riko berusaha menata hati yang hancur. Beruntung kedua orang tuanya tak marah. Mereka hanya kaget ketika mendapatkan kabar buruk itu. Papanya bahkan meminta ia mencari tahu keberadaan Lily, tetapi ia benar-benar tak menemukan sisa jejak mantan kekasihnya tersebut.
Hari-hari menyakitkan penuh luka Riko lewati dengan baik. Ia sempat sakit beberapa hari. Perasaannya yang dalam dan tulus kepada Lily memang benar adanya. kenyataan jika Lily adalah cinta pertama juga lembaran kertas yang ia baca dengan hati-hati bukanlah bohong semata. Kini semua telah berlalu. Ia berusaha menikmati kesendirian dengan terus fokus bekerja tanpa memikirkan apa itu cinta.
🍀🍀🍀
🍀🍀
🍀
Suara azan berkumandang di masjid terdekat ketika Riko dan Riki sudah keluar dari rumah. keduanya memakai sarung, baju Koko, dan peci. Mereka berjalan beriringan.
"Ko, lo mau bolos kerja enggak?" tanya Riki iseng.
Riko menggeleng. "Lo pikir sekolah ada bolosnya!"
Riki tertawa. "Ya, kali, Ko. Gue pengen main, nih!"
"Umur udah tua, jangan mikir main mulu, Maemunah! Kerja yang bener biar rencana nikah sama si Lia jadi!"
Riko membenarkan kancing bajunya yang terbuka satu.
"Wih, si Bambang jadi tambah bijak semenjak ditinggal kabur!" Riki tertawa.
Riko tak tersinggung sama sekali. Ia merespon dengan gelangan kepala dua kali sembari berdecak. "Cepetan jalannya! Udah mau mulai, nih, sholatnya!"
"Baik, Pak Haji Riko." Lagi-lagi Riki bercanda.
Sesampainya di masjid mereka segera mengambil wudu, bergabung dengan jemaah lain untuk melaksanakan salat Subuh semana mestinya. Udara pagi yang segar memberikan sensasi sendiri saat menyentuh pori-pori kulit. Menjanjikan kedamaian bagi siapa pun yang terbangun di waktu Subuh.
Imam memulai salat. Semua makmum mengikuti di belakang dengan tenang. Jiwa-jiwa yang lapar akan ketenangan bersorak menikmati kekhusuan salat.
Salat selesai. Para jemaah bubar ke rumah masing-masing, begitu pun dengan si kembar. Dika sedang tak ada di rumah. Lelaki paruh baya itu terpaksa tidur di rumah sakit, karena ada panggilan darurat.
Seperti saat berangkat, Riki pun terus bercanda selama perjalanan pulang, dan Riko menanggapinya dengan santai tanpa beban. Its Oke!
Begitu keduanya menginjakkan kaki di rumah. Hal pertama yang Riko lakukan adalah mengganti pakaiannya dengan baju kaos dan celana training. Ia akan melakukan olahraga di halaman belakang seperti hari-hari sebelumnya.
Otot-otot kuat yang tampak menggiurkan itu adalah hasil dari olahraganya yang tak pernah absen. Riko senantisa menjaga kebugaran tubuh demi kesehatan diri. Sementara itu Dira terdengar sedang berbicara di dapur dengan Riki sembari memasak.
Lelaki yang kini beranjak dua puluh sembilan tahun itu akan menikah sekitar tiga bulan lagi. Tentu dengan kekasih hatinya Amalia. Mereka bahkan sudah mempersiapkan sebuah rumah untuk tempat tinggal keduanya. Usai Riko yang gagal melamar, Riki justru maju dengan berani meminta Amalia kepada orang tuanya. Ya, sekali pun banyak rintangan. Akan tetapi, semangatnya tak pernah padam.
Waktu terus bergulir. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Si kembar dan Dira berada di meja makan, dan bersiap menyantap makanan.
"Ko, si Adnan pesen," kata Riki.
"Pesen apaan?" Dahi Riko berkerut. "Nasi goreng atau kwetiaw goreng?"
"Bukan itu, Bambang! Lo kira kita lagi main masak-masakkan!" ketus Riki.
"Makanya, lo kalau ngomong jangan dikit-dikit!" sergah Riki.
Dira seolah menutup kuping. Pemandangan ini akan terus ia nikmati sampai kedua bujangnya itu melepas masa lajang. Ia bahkan khawatir jika kedua anaknya itu akan tetap sering bertengkar, dan bercanda, meskipun sudah menikah. Lebih baik aku makan, pikir Dila.
"Katanya dia mau libur hari ini. Nah, kan, ada jadwal interview karyawan baru. Adnan minta bantuan lo," ungkap Riki.
Riko mengangguk cepat, tak ingin berdebat. "Ya."
"Sekarang mending kalian makan, terus berangkat kerja. Mama mau napas degan tenang dulu!" Dira angkat bicara.
Riki dan Riko saling melempar pandangan. Mungkin mama Dira sedang datang bulan.
Menu sarapan kali ini adalah udang goreng, sayur buncis, tempe goreng, dan sambal seperti biasa. Kedua anak itu memang sudah terbiasa sarapan dengan menu berat. Jadi ... mereka tidak pernah menolak.
Sarapan selesai. Dira membiarkan kedua anaknya berangkat daripada harus mendengar kegaduhan yang mereka ciptakan. Pusing.
Riki sudah meluncur lebih dahulu dengan mobil berwarna merah, sedangkan Riko masih berdiri di teras sedang mengirimkan pesan kepada Adnan. Sepupu sekaligus atasannya itu sepertinya sedang menikmati waktu bersama keluarga kecilnya yang telah lengkap saat ini. Ah ... Ia iri rasanya.
Kedua kaki panjang itu melangkah mendekati mobil berwarna hitam. Riko masuk, dan mulai menyetir membawa kendaraan beroda empat itu keluar perkarangan rumah dan bersiap mengukur jalanan Ibu Kota.
Keadaan jalanan macet seperti hari-hari sebelumnya. Makanan yang menjadi santapan pagi hari bagi semua pengguna jalan. Sudah biasa, komentar mereka.
Sepuluh menit waktu yang Riko habiskan untuk menempuh perjalanan dari rumah ke kantor. Ia memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Ya, setidaknya ia lebih disiplin daripada kembarannya.
Riko berjalan menjauhi parkiran. Dengan menenteng sebuah tas, dan berpakaian rapi dengan setelan jas berwarna hitam. Riko tampak menawan dan idaman bagi para wanita. Langkah kakinya baru sampai pintu utama kantor ketika ia mendengar dengan jelas suara indah yang lama tak teringang di telinganya lagi. Pemilik suara itu seperti sedang mengajak berb.icara seseorang.
Riko ragu, tetapi penasaran. Ia tertegun sebentar, lalu membalikkan badan dengan hati-hati. Begitu berbalik, kedua manik-maniknya mendapati sosok yang secerca kenangannya telah Ia hapus pelan-pelan di ingatan.
"Mami, cari kerja dulu, ya."
Kalimat yang Riko dengar dengan jelas seperti bom yang berhasil mehancurkan dirinya kembali. Ini gila!
~Sejauh apa pun kamu melangkah, tetaplah ingat bahwa Allah selalu bersamamu.~
🌴🌴🌴🌴🌴🌴
🌴🌴🌴🌴
🌴🌴
Dunia ternyata memang sempit. Ya, seperti pepatah. Mata Riko tak henti memandangi setiap adegan di depan matanya. Lily, sosok yang ia lihat dan mampu mengobrak-abrik jiwanya, saat ini sedang melambaikan tangan kepada seorang wanita paruh baya yang menggendong anak perempuan.
Riko sempat terpana dengan kecantikan anak tersebut. Usianya mungkin sekitar satu tahunan menurut kisaran Riko. Pipinya yang gembul dengan rambut hitam lebat membuat siapa saja ingin menciumnya.
Usai puas melambaikan tangan, Lily segera balik. Ia hendak mengayunkan kaki, tetapi netranya lebih dahulu melihat kehadiran Riko. Mata sebiji kaca almond itu membulat sempurna. Kakinya pun kembali ke pijakan asal. Lily tertegun, begitu pun Riko. Mereka saling beradu pandangan.
Lily menarik napas dalam, meyakinkan diri bahwa semua baik-baik saja. Ia segera membawa langkahnya ke depan. Begitu jarak dengan Riko dekat, ia berhenti sejenak, mengangguk hormat, kemudian melanjutkan langkah tanpa berkata apa pun.
Riko bergeming. Mulutnya pun tak mengeluarkan sepatah kata. Pikirannya mengudara berkelana ke atas awan. Bayangan masa lalu kembali berputar, tetapi secepat kilat ia hempaskan. Ini saatnya bekerja, bukan waktunya mengurusi perasaan pribadi.
Riko segera masuk. Setiap karyawan yang ia temui melakukan hal yang sama dengan Lily, mengangguk pelan. Ia risih sebenarnya, tetapi mungkin itulah cara mereka menghormati atasannya.
Riko menggunakan lift untuk naik ke lantai atas. Begitu sampai, ia menengok ke arah kanan. Melihat meja seketaris Adnan telah terisi. Sejak kejadian beberapa tahun lalu, Adnan tidak ingin mempekerjakan sekertaris wanita kembali. Akhirnya seorang laki-laki muda yang dipilih langsung oleh Adnan menggantikan sekretarisnya yang dahulu.
Sembari melangkah masuk ruangan, Riko mengingat sosok Riko. Ah ... lelaki itu memang misterius. Hanya Adnan saja yang mengetahui keberadaannya.
Riko mendekati kursi, sebelum duduk ia terlebih dahulu melepas jaket dan menyimpan tasnya. Jadwal interview akan dilaksanakan lima menit lagi. Setidaknya ia masih punya waktu untuk sekadar diam menyiapkan hati.
Dari penampilan Lily, ia bisa menebak jika perempuan itu akan mengikuti seleksi hari ini. Kenapa harus dia? Adnan bahkan libur di saat sepenting ini. Ini benar-benar gila!
Bayangan Lily melompat-lompat di mata. Kata Mami yang wanita itu lontarkan terus teriang-iang di telinga. Riko tak bisa melupakan! Ini tidak baik.
Lima menit berlalu tanpa terasa. Riko bersiap. Ia berdiri, memakai jasnya kembali, kemudian keluar ruangan. Interview ini akan dilaksakan di lantai 6. Tepatnya di mana Riki bertugas. Ada beberapa lowongan yang sedang dibuka oleh perusahan Adnan termasuk bagian keuangan.
Riko turun ke lantai 6. Di sana ia melihat sekelibat bayangan kembarannya yang sedang memarahi karyawan. Lelaki itu memang kocak. Namun, soal pekerjaan Riki orang yang sangat serius.
Tak ingin ikut campur, Riko berjalan tanpa bertanya apa pun. Semua peserta interview pasti sudah menunggunya. Ketika langkahnya semakin mendekati ruangan yang dituju, ia bisa mendapati sosok Lily di antara kesepuluh peserta. Riko memalingkan wajah, menatap lurus ke depan, berpura-pura tak melihat.
Ia masuk. Duduk di kursi yang sudah disediakan. Seorang karyawan memanggil satu per satu peserta. Interview dimulai. Riko melihat daftar riwayat para peserta sembari memberikan beberapa pertanyaan.
Singkat cerita kesembilan peserta sudah terlewati. Kini bagian Lily. Perempuan itu ragu, tetapi ini adalah kesempatan besar. Ia tak punya pilihan.
Lily melangkah, mendorong pintu, masuk dengan hati-hati. Riko bertindak layaknya seorang atasan. Ia mempersilakan Lily duduk dan mulai melontarkan pertanyaan.
Pandangan mereka bertemu. Lily tak mungkin menghindari itu. Maka dari itu, ia mencoba menyembunyikan kegugupannya.
“Apa Anda punya pengalaman kerja sebelumnya?” tanya Riko tajam.
“Iya, Pak.” Lily menyebutkan sebuah perusahan dan jabatannya di sana.
Riko mengangguk. Tangannya ingin sekali meremas kertas yang tengah ia pegang. Namun, hatinya berkata lain.
“Begini ... di sini moto kami adalah bekerja dengan profesional dan saling menghargai. Andaikan Anda setelah bekerja di sini dan merasa tidak nyaman. Apakah Anda akan menghilang begitu saja tanpa jejak?”
Pertanyaan dari Riko berhasil membuat Lily terdiam. Sorot mata lelaki itu sama persis dua tahun lalu, menakutkan. Suasana pun terasa mencengkram. Apa ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!