Karya baru bertema Anak Jenius dengan genre cerita drama keluarga. Novel ini dibuat dalam rangka mengikuti Lomba Noveltoon Kategori Wanita - Tema Anak Jenius yang sedang berlangsung hingga bulan Oktober mendatang. Meskipun begitu, rasanya gak afdol kalau saya gak upload visual karakter para manusia penting di dalamnya. Oh ya, novel ini juga terinspirasi dari kisah nyata seorang anak kecil yang dijuluki sebagai dokter bedah termuda dari India. hehe, Tapi jalan ceritanya berbeda ya.. hanya sosok Kareem terinspirasi dari anak itu.. bisa kalian baca di gugel anak jenius di dunia, aku lupa namanya 😭😭
So, here it is...
LAKHSMI SINGH
KAREEM SINGH
MIRAJ FATTAR
ANANDH SAHEER
KAMALA RAJUU
Kumaar Khan
GAURIKA ANAAM
SRIDEVI FATTAR
Selamat menikmati kudapan baru, pembacaku ❤
..."Orang yang kuat bukan mereka yang selalu menang. Melainkan mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh." (Kahlil Gibran)...
...----------------...
"Ayah, aku nanti akan pulang terlambat dan tidak bisa memastikan jam berapa karena sedang ada promo besar-besaran di restoran, pengunjung cukup ramai. Jadi tidak perlu menungguku." Suaranya terjeda menunggu jawaban di seberang telepon. "Ya, aku membawa kunci cadangan seperti biasa. Dah, Ayah. Jangan lupa makan malam. Aku sayang Ayah." Telepon ditutup.
Lakhsmi Singh. Ia gadis ceria berusia jelang dua puluh satu tahun tahun ini dan tengah berjuang menghidupi dirinya serta ayahnya yang hanya seorang pedagang obat tradisional dengan bekerja part-time di sebuah restoran mahal di sekitar universitasnya. Oh, jangan khawatirkan soal biaya kuliahnya karena dengan otaknya yang cukup cemerlang, ia berhasil masuk ke universitas itu dengan beasiswa pendidikan penuh. Mereka hanya butuh uang tambahan untuk biaya hidup yang semakin hari semakin meroket seiring berjalannya waktu.
Oh, seandainya ibunya masih ada dan kecelakaan itu tidak merenggut sebelah kaki ayahnya, mungkin hidup Lakhsmi tidak akan sesusah ini. Tapi, takdir sudah berjalan. Yang terjadi tak mungkin diputar kembali. Lakhsmi takkan mengeluh untuk hidupnya yang terasa berat seperti kedua bola matanya yang sebenarnya sangat mengantuk karena shift panjang dan lembur selama satu minggu ini.
Sembari melihat keramaian di restoran yang dihilir mudiki pengunjung, ia memacu kaki-kakinya yang ramping dari satu meja ke meja lain untuk menurunkan pesan dari baki lebar. Di mana hidangan dengan aroma menggiurkan menguap di udara dan menggelitik indera penciumannya. Walaupun ia bekerja di sana, tapi ia sama sekali tidak pernah mencicipi hidangan mahal yang bahkan namanya saja susah diingat hanya dengan sekali pandang.
Lidah dan dompetnya takkan bisa beradaptasi, pikir Lakhsmi menghibur diri.
Senyum merekah khas waitress tak pudar dari wajahnya, bahkan ketika jam dinding restoran yang berbentuk simbol rumah menunjukkan angka satu dini hari. Pengunjung sudah mulai berkurang dan satu-satunya teman Lakhsmi hanyalah Aisyah, si koki restoran yang mendapat jatah lembur bergantian dengan koki yang lain. Gadis itu bahkan sudah membersihkan pantry restoran karena pesanan terakhir telah selesai dibuat dan bersiap memasuki perut pelanggan mereka yang begitu girang saat mendengar restoran melakukan diskon besar dari pukul delapan malam hingga dua belas.
Lakhsmi menghela napas pelan. Kakinya berkedut ngilu karena ia tidak duduk sama sekali sejak selesai dari jam istirahatnya, pukul tujuh tadi.
"Lakhsmi, apa kau lapar?" Aisyah bertanya sembari memakan bekal tambahannya berupa kue cokelat yang nampak lezat. Ia menyodorkan kotak bekal ke arah Lakhsmi.
"Ugh, terima kasih. Apa kau membuatnya sendiri?" Lakhsmi mengambil satu potong dan segera mengunyahnya sebelum mereka diinterupsi pelanggan yang mungkin akan membayar pesanan mereka yang telah habis.
"Uhum." Aisyah mengangguk dan membuat poni rambutnya bergoyang di dahi lebarnya. Gadis itu sudah menanggalkan hair net yang ia kenakan setiap kali memasak demi menjaga kehigienisan makanan restoran. Siapapun tidak akan mau melihat makanan mereka dikotori potongan rambut sang koki yang terselip di antara potongan bumbu atau dagingnya. Itu menjijikkan.
"Apa kau tidak apa-apa jika kutinggal sendirian setelah ini? Aku harus segera pulang karena ibuku sedang sakit." Aisyah menatapnya penuh permohonan maaf yang dibalas anggukan Lakhsmi.
"Tidak masalah. Aku hanya perlu membersihkan sisa piring dan lainnya seperti biasa. Jika pekerjaanmu sudah selesai, kau bisa pulang dahulu." Lakhsmi mengambil segelas air minum untuk membersihkan mulut– terutama giginya dari sisa-sisa cokelat yang mungkin bisa mengejutkan pelanggan saat mereka melihatnya tersenyum.
...----------------...
Jam menunjukkan pukul tiga ketika ia akhirnya selesai mengepel lantai restoran yang dijejaki serpihan makanan serta alas kaki pelanggan hingga ia perlu menggosok sedikit lebih kuat agar noda keringnya bisa hilang. Bosnya takkan suka jika pegawainya tidak membuat restorannya tidak licin dan berkilau setiap akan dibuka di esok paginya. Lakhsmi benar-benar menguras tenaganya minggu ini, tapi ia senang karena di akhir bulan ia akan mendapat uang lembur yang cukup banyak untuk disimpan.
Setelah memastikan bahwa restoran terkunci rapat secara otomatis, Lakhsmi merapatkan jaket berwarna biru gelap yang agak kekecilan untuk ukuran tubuhnya yang meskipun kecil tapi cukup berbentuk. Ia berpikir mungkin saat akhir bulan, ia bisa membeli jaket baru yang lebih longgar dan tebal karena udara yang tidak menentu suhunya. Seperti malam ini yang menjelang pagi. Dinginnya sangat menusuk tulang.
Lakhsmi sebenarnya ingin pulang dengan menaiki taksi, tapi ia tahu, tarif yang mereka kenakan saat malam hari jauh lebih mahal dibandingkan jam pagi atau siang dan ia tak ingin membuat dompetnya yang menipis menjadi menempel kedua sisinya karena tak disisipi selembar pun uang. Lebih baik ia berjalan kaki yang hanya membutuhkan sekitar empat puluh lima menit.
Lakhsmi teringat sepedanya yang rusak karena kelakukan jahat seseorang di universitas. Entah apa yang ada di pikiran mereka yang benar-benar biadab itu yang tega menabrak kendaraan satu-satunya milik Lakhsmi menjadi sebuah rongsokan hingga seorang montir langganannya pun berkata akan sangat sia-sia memperbaikinya karena biayanya akan sama seperti membeli sepeda baru. Lakhsmi meloakkan besi tak berbentuk itu dengan harga yang tak sepadan dengan harga sebuah sepeda yang bekas sekalipun.
Saat Lakhsmi tengah memikirkan betapa malang nasibnya, ia tidak memerhatikan jalanan sekitar. Sebuah klub malam yang masih beroperasi hingga pagi itu masih nampak ramai di pintu masuknya. Berbanding terbalik dengan area parkirnya yang dijejali mobil-mobil dan motor yang memenuhi lahan di sisi lain bangunan klub malam itu, tepat bersisian dengan tikungan gelap yang mengarah ke rumah Lakhsmi hampir satu kilometer jauhnya.
Tiba-tiba Lakhsmi mendengar suara seseorang tengah bergumam. Ia mengedarkan pandang dan melihat di depan gang gelap seseorang tengah bersandar pada dinding bangunan klub. Wajahnya mengarah ke bawah dengan satu kaki diangkat dan alas kakinya menempel pada dinding sementara sisanya menjejak di tanah. Seorang pria yang frustasi nampaknya. Oh, ralat! Pria perlente frustasi dengan setelan jas licin yang sudah kusut dan rambut acak-acakan.
Lakhsmi bisa menilai pria itu adalah manusia borjuis yang mungkin berdompet tebal dan tengah menghadapi krisis kehidupan di tengah timbunan kekayaannya hingga ia memilih menghamburkannya di klub malam dan menjadi tidak waras. Lakhsmi berjalan melewati pria itu tanpa menoleh sedikit pun. Tiba-tiba pria itu bergumam lagi dan mengangkat kepalanya. Sebelah tangannya menarik Lakhsmi dengan kasar.
"Apa yang-"
Plak!
Pria itu menamparnya hingga kepalanya pening. Lakhsmi meronta untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman kuat pria itu hingga ia mendapatkan satu tamparan lebih kuat sebelum ia berhasil menemukan jeritannya agar orang lain mengetahui apa yang terjadi.
Lakhsmi merasakan kegelapan mendatanginya karena pukulan si pria yang jelas tidak bisa dicegah Lakhsmi. Tubuhnya limbung dan ia berakhir tak sadarkan diri dalam tarikan pria dalam kegelapan itu.
...----------------...
Sengatan panas yang menyusup dari celah kain gorden yang ditutup asal-asalan membuat Lakhsmi mengerjap-ngerjap tidak nyaman. Silau matahari itu benar-benar mengganggu tidurnya.
Saat ia berhasil tersadar, Lakhsmi merasakan sengatan rasa sakit di segala sisi tubuhnya yang telah dipaksa bekerja keras. Beberapa detik kemudian ia menyadari sengatan nyeri di antara kedua kakinya dan selimut lembut yang menutupi tubuh polosnya. Ingatan terakhir menghantam kepalanya. Ia menoleh ke belakang tubuhnya, di mana seorang pria muda tengah tertidur damai dan aroma sisa alkohol yang ditenggaknya masih tercium.
Lakhsmi berdiri terkejut sembari meraih selimut itu menutupi tubuhnya, namun tak memberikan efek pada pria itu. Ia bergeming di sana dengan napas teratur seolah ia tak pernah tidur berhari-hari. Mata Lakhsmi yang berpendar karena dipenuhi emosi pun tak luput menangkap semburat warna merah di permukaan sprei yang telah mengering. Ia tahu sesuatu telah terjadi.
Pria itu memerkosanya!
Dalam kekalutan luar biasa, Lakhsmi langsung mencari potongan pakaiannya yang tersebar di lantai dengan sembarangan. Ia mengabaikan air mata yang mengalir dengan menggigit bibirnya yang gemetar. Ia tak ingin membangunkan pria amoral itu saat ia hendak kabur. Ia takut pria itu akan membunuhnya jika menemukannya terbangun dan masih berada di sana, mengingat perlakuannya yang melanggar hukum. Pria itu pasti akan menghabisi nyawanya untuk menghilangkan bukti dan Lakhsmi tak ingin mempercepat kematiannya ketika ada seorang ayah yang menunggu kepulangannya.
Butuh beberapa menit hingga ia mengemas semua benda yang dimilikinya tanpa menyisakan jejak untuk pria itu mendapatkan dirinya kembali. Ia berlari keluar dari kamar yang ternyata adalah sebuah hotel karena Lakhsmi melihat angka-angka menempel di pintu-pintu sepanjang lorong.
Adalah kelegaan luar biasa hingga Lakhsmi bisa keluar dari hotel yang untungnya tidak jauh dari klub malam yang ia lewati. Membuat Lakhsmi tak berpikir panjang lagi mengenai isi dompetnya untuk menyetop taksi yang pertama kali dilihatnya agar membawanya ke rumah secepat mungkin.
Ia telah menyiapkan seribu alasan untuk ayahnya dengan sekuat tenaga menahan tangis yang terus-menerus menyeruak keluar. Beruntung ia telah mengabari bahwa semalam ia lembur. Ia tidak akan mengatakannya pada siapapun. Ia akan menyimpan kejadian yang sesungguhnya untuk dirinya sendiri.
Cukup Tuhan dan aku yang tahu akan malam mengerikan ini, gumamnya dengan hati yang bergetar hebat.
Namun, apakah semuanya akan baik-baik saja? Lakhsmi tidak pernah tahu apa yang menunggunya di depan.
...----------------...
Jangan lupakan untuk selalu meninggalkan jejak kamu, ya ❤ Thankyou
...“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.” (Kahlil Gibran)...
...----------------...
Lakhsmi pikir semuanya akan lebih mudah dengan ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa malam itu takkan berarti apa-apa kecuali bahwa ia tidak lagi perawan. Sayangnya, semua kebohongan itu sama sekali tidak membantu. Terutama ketika ia telah memiliki seorang pria yang resmi menjadi tunangannya sejak beberapa bulan lalu. Kumaar Khan, sang kekasih sekaligus pengusaha retail besar yang memiliki reputasi tak tercoreng sekaligus keluarga yang terpandang di kotanya.
Hampir semua orang mengetahui siapa keluarga Khan, meskipun tidak semua orang tahu bahwa Lakhsmi adalah tunangan pria yang sering memasuki tabloid gosip sebagai salah satu pria lajang yang menjadi incaran para wanita muda. Lalu, Lakhsmi yang jelas telah ternoda, miskin dan sama sekali tidak memiliki satu pun reputasi yang patut dibanggakan, apakah masih pantas bersanding dengan pria itu?
Lakhsmi sedikit saja tak sanggup membayangkan Kumaar yang bahkan hanya pernah menciumnya selama tiga tahun hubungan mereka itu mendapati dirinya tak lagi perawan di malam pertama mereka. Ia takkan bisa memberikan penjelasan lain pada Kumaar saat pria itu mengetahui kenyataan bahwa istrinya telah dijamah pria lain yang bahkan jika hal itu terjadi tanpa disengaja karena kebiadaban seorang pria pemabuk sekalipun. Lakhsmi tak sanggup.
Entah dengan keberanian dari mana, Lakhsmi menemui Kumaar sore itu. Akhir minggu berlalu begitu cepat bagi orang-orang yang penat dengan keseharian mereka yang monoton dan tidak berubah ritmenya. Sayangnya, bagi Lakhsmi seperti seabad untuk menunggu keberaniannya terkumpul hari itu dan menemui Kumaar yang telah ia abaikan dengan berjuta alasan mengenai tugas kuliahnya.
Kumaar bisa saja tidak percaya mengingat pria itu dulunya adalah senior Lakhsmi di universitas yang sama dan hanya berjarak empat semester. Namun, pria itu memercayainya sama seperti ia memercayai Lakhsmi yang terus mengatakan bahwa ia baik-baik saja ketika pria itu mendengar suaranya yang terdengar aneh. Campuran emosi yang bahkan Lakhsmi tak dapat jabarkan dengan kata-kata.
Hatinya tengah letih dan berduka walau ia tetap menyunggingkan senyum. Isi kepalanya kusut bak benang pintal yang saling terjerat satu sama lain dan tak terlihat ujungnya. Meski tak mau mengakui, tapi malam itu selalu menghantui hari-harinya dengan mimpi buruk. Merusak konsentrasinya saat ia tengah duduk di antara puluhan mahasiswa yang tengah mendengar penjelasan dosen pengajar. Rasanya ia seperti mati rasa.
"Lakhsmi!" Senyum Kumaar mengembang melihat gadis yang ia rindukan selama satu minggu itu. Itu adalah kafe tempat biasa mereka menghabiskan waktu. Tempat di mana Kumaar menyatakan cintanya untuk Lakhsmi yang telah menjadi tunangannya.
Namun, berbeda dengan Kumaar. Lakhsmi bahkan sulit memperlihatkan senyum lebarnya disertai cuitan yang sangat menggambarkan betapa cerewetnya seorang Lakhsmi Singh di mata Kumaar.
Gadis itu duduk di hadapannya dan melihat segelas es susu coklat dengan satu sekop eskrim yang menjadi menu favoritnya di kafe itu telah tersaji. Kumaar sudah hafal betul Lakhsmi yang ia cintai. Hal itu jelas membuat Lakhsmi merasakan berat yang menghimpit dadanya semakin kuat dan bertambah besar. Ia bahkan bisa merasakan jika tenggorokannya tengah dijejali bongkahan batu besar yang membuatnya sulit menelan barang setetes liur.
"Kumaar..." Hanya satu kata dan Lakhsmi seolah baru saja menggulingkan sebuah mobil bermuatan penuh saat melakukannya. Sesak dan tak tertahankan.
"Ada apa?"
Lakhsmi jelas bisa menangkap raut kekhawatiran di wajah pria yang selama ini mengisi hari-hari dan juga angannya tentang sebuah pernikahan. Hari di mana mereka tak perlu lagi saling berdebat karena Lakhsmi memaksa tetap bekerja sementara Kumaar merasa mampu memberikan segalanya untuk Lakhsmi bahkan sebelum mereka resmi menikah. Sekarang, setidaknya Lakhsmi takkan menyesal tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk menolak tawaran Kumaar yang sangat bermurah hati.
"Aku ingin bicara." Lakhsmi mengambil napas dalam sebelum melanjutkan agar ia bisa menambah kekuatan untuk mengatakannya. "Aku ingin kita menyudahi pertunangan ini karena aku tak bisa lagi melanjutkannya."
"Apa yang kaubicarakan, Lakhsmi?" Wajah Kumaar mengerut tidak percaya. "Apa kau sedang mabuk?"
Lakhsmi menggeleng kuat sembari mengetatkan kaitan kedua tangannya di atas pangkuan untuk membuatnya tetap kokoh tanpa gemetar. "Aku serius, Kumaar. Kita tidak bisa melanjutkan pertunangan ini. Aku... Aku... Aku telah mencintai pria lain."
Susah payah Lakhsmi menyusun skenario dalam kepalanya sebelum datang ke kafe itu, namun sama sekali tidak berguna ketika ia dihadapkan pada kenyataan.
Wajah Kumaar pias. Ia memandang Lakhsmi, "Apa kau baru saja mengatakan bahwa kau telah menemukan pria lain yang membuatmu tidak lagi mencintaiku?"
"Ya. Kuharap kau mengerti, Kumaar." Lakhsmi segera melepaskan cincin emas putih yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang membuat Lakhsmi sering tersenyum di depan kaca meja riasnya yang mungkin mengolok tingkah konyolnya. Namun, masa itu telah berakhir setelah ia terbangun di pagi hari di hotel itu bersama lelaki biadab yang ia bahkan tidak tahu siapa identitasnya.
"Aku kembalikan cincin ini. Maaf, Kumaar. Kuharap kau menemukan cintamu yang sesungguhnya." Lakhsmi mendorong cincin itu di atas permukaan meja hingga berada di hadapan Kumaar. Ia lantas berdiri, "Terima kasih atas segalanya dan selamat tinggal, Kumaar."
Lakhsmi membawa kakinya pergi sesegera mungkin sebelum Kumaar mengetahui bahwa ia menangis sembari berjalan menjauh. Setengah berlari ia menjauhi kafe itu dan pergi ke tempat di mana ia takkan diganggu siapapun serta bebas menangis sepuasnya. Makam ibunya. Lakhsmi melajukan larinya ke tempat penuh keheningan yang berlawanan arah dengan rumahnya.
...----------------...
Berita itu telah tersebar. Kabar pertunangannya yang batal telah menyebar ke seluruh penjuru kota, mengisi tabloid-tabloid gosip yang juga mencatut namanya tanpa foto dirinya. Ia masih bisa bernapas lega, setidaknya mereka tidak akan menyadari bahwa itu dirinya kecuali tentu saja teman-teman di universitasnya yang mengenal keduanya. Lakhsmi pun sempat mengatakan pada Balraj Singh, ayahnya, sepulang ia dari makam ibunya bahwa ia baru memutuskan pertunangannya dengan Kumaar.
Tentu saja ayahnya terkejut mengingat Lakhsmi dulu sangat menggebu-gebu dengan hubungannya bersama Kumaar. Lakhsmi pun mengatakan bahwa ia tak lagi merasakan perasaan yang sama pada pria itu. Meski terdengar sangat egois dan kekanakan, namun ayahnya tidak mendorongnya lagi. Ia hanya menasehati Lakhsmi agar menjadi lebih bijak dan memikirkan setiap langkah yang ia ambil tanpa menyesalinya kemudian.
Nasehat itu bahkan terasa seperti mengejek Lakhsmi yang jelas-jelas tengah membodohi semua orang. Ia hanya bisa menangis dalam hati.
Sayangnya, berita yang Lakhsmi pikir akan berakhir begitu saja malah semakin menjadi-jadi. Ia bisa membaca sebuah headline tabloid yang menyatakan bahwa 'Seorang Khan Akhirnya Lepas Dari Jeratan Gadis Gold Digger!' yang menggantung di lapak pinggir jalan sepanjang arahnya ke universitas. Lakhsmi benar-benar harus menguatkan dirinya sendiri serta mentalnya karena tentu saja, para haters-nya takkan tinggal diam. Seperti Gaurika dan kawan-kawannya yang terdiri dari kumpulan gadis populer dengan background keluarga kaya di belakang mereka.
Mereka mengoloknya habis-habisan bahkan ketika ia tengah menghabiskan makan siangnya di kantin universitas yang mempertemukan seluruh mahasiswa lintas jurusan.
"Dasar gold digger!"
"****** tidak tahu diri!"
"Si miskin yang tidak tahu terima kasih!"
Lakhsmi bisa mendengar rentetan hinaan dari mulut mereka yang tak digubrisnya. Bagi Lakhsmi, mereka hanyalah burung dalam sangkar yang hanya bisa bersiul tanpa mengetahui dunia luar. Dan ia yakin, jika selama tiga tahun pendidikannya ia telah mampu menulikan telinga dari cacian mereka, maka beberapa tahun kedepan pun ia juga masih sanggup melakukannya. Namun, ia tak bisa tetap melakukannya ketika mendapati kenyataan bahwa ayahnya juga ikut terseret dalam pusaran dengki para penggemar gosip di sekitar tempat tinggalnya.
Mendapati bahwa mereka dengan tega melemparkan cacian pada ayahnya, membuat Lakhsmi marah. Ia tidak tahan untuk tidak menumpahkan emosinya pada mereka. Bahkan Lakhsmi yakin jika ayahnya tidak menyeretnya masuk ke dalam rumah walau dengan kaki terpincang, Lakhsmi mungkin akan mencakar wajah para penghinanya dengan kesepuluh jarinya.
Ia menangis di dalam dengan ayahnya yang begitu sabar menenangkannya. Lakhsmi tak tahan lagi, ia akhirnya mengungkapkan apa yang terjadi selama ini.
"Apa?! Mengapa kamu menyembunyikan semuanya sendirian, Lakhsmi?" Raut terkejut sekaligus kecewa di wajah ayahnya membuat Lakhsmi bersimpuh meminta maaf pada pria itu.
Barulah setelah mereka selesai bertangis-tangis, ayahnya meninggalkan Lakhsmi sendirian setelah mengatakan bahwa ia akan pergi sebentar. Nyatanya, pria itu ternyata mendatangi hotel tempat kejadian biadab itu terjadi. Ia mengais-ngais informasi seputar malam kejadian itu namun, pihak hotel tentu saja menolaknya kecuali ayahnya memiliki surat perintah dari kepolisian.
"Kita takkan mendapatkan apapun dari kepolisian kecuali omong kosong yang menguras simpanan kita, Ayah. Tidak. Aku takkan membiarkan Ayah melakukannya." Lakhsmi bersikeras. "Lagipula aku tahu benar pria itu bukan pria sembarangan. Segala hal yang berada di dirinya jelas hanya dimiliki oleh orang-orang kaya di kota ini yang mungkin bisa membuat kita terbunuh tanpa menyisakan jejak."
Lakhsmi mengerjap, ia membendung air matanya yang berlinang sekuat tenaga. "Kita hanya perlu bertahan hingga pendidikanku sebentar lagi selesai, Ayah. Dan kita akan memulai semuanya di tempat lain."
Balraj menangis dan merengkuh putrinya yang juga terisak di dalam pelukannya. Betapa jalan hidup yang mereka miliki sangatlah kejam.
Seandainya Lakhsmi bisa melakukan sesuatu untuk mengubahnya..
...----------------...
Butuh waktu tiga minggu yang berat dan sangat menyiksa setelah kabar busuk itu merebak, hingga Lakhsmi menyadari bahwa ia telah melewatkan jadwal haidnya yang selalu teratur hingga dua minggu lamanya. Ia bahkan sama sekali tidak ingat andai saja ia tidak mendengar Aisyah yang tergopoh masuk ke bilik toilet setelah mendapati tamu bulanannya datang di waktu yang tidak tepat.
Sepulangnya dari restoran, ia mengambil jalan memutar untuk pergi ke apotek. Hatinya waswas bukan main.
Sekalipun ia masih polos, tetapi ia tidak bodoh dengan hubungan antara pria dan wanita. Ia hanya berharap bahwa kekhawatirannya itu akan berakhir baik-baik saja dan keterlambatan tamu bulanannya sebagai efek betapa berat tingkat stres yang ia alami sebab kejadian selama sebulan terakhir.
Sayangnya, harapan hanyalah sekadar harapan semata begitu tanda dua garis biru tercetak di tiga buah alat tes kehamilan yang dibelinya malam itu. Lakhsmi menangis. Ia merasa bahwa masa depannya telah hancur begitu cepat.
...----------------...
Jangan lupa untuk selalu meninggalkan jejak kamu, ya ❤❤ Thankyou
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!