Musik yang menghentak terdengar memenuhi seluruh ruangan dengan cahaya temaram itu.
Malam ini pengunjung 'Miracle', sebuah klub malam terbesar di ibukota nampak tidak terlalu ramai meskipun, tidak mengurangi hingar bingar yang ada.
Lana duduk gelisah disalah satu meja yang berada dipojok, sambil berkali-kali menatap jam tangan yang melingkar manis dipergelangan tangan kirinya.
Ia sedang menunggu Siska, sahabatnya. Mereka janjian bertemu ditempat ini sejak satu jam yang lalu, tapi siska tak kunjung muncul.
'On the way, dear..'
Begitu bunyi chat singkat Siska sepuluh menit yang lalu, namun yang ada sampai detik ini Siska belum juga muncul batang hidungnya.
Lima menit kembali berlalu, saat Lana merasa pundaknya ditepuk seseorang..
"Sori dear.. lama yah?" Siska muncul dengan wajah cengengesan tanpa dosa.
"Parah yah.. lelet banget sih kamu, Sis.." gerutu Lana tak tertahan lagi.
Siska tertawa kecil, sambil mengambil tempat dihadapannya. "Sorry.. tadi Om Romi meminta bertemu sebentar.. biasalah.." ujar Siska tersenyum dikulum.
"Huh.. sudah aku duga." gerutu Lana lagi.
Yah.. Siska, adalah sahabat Lana, dan mereka telah bersahabat sejak baru duduk di bangku kelas tiga SMU Pelita Harapan.
Sejak awal Siska sudah terkenal sebagai siswi yang tidak memiliki teman. Semua murid enggan berteman dan dekat dengannya tak terkecuali Lana, karena isu yang beredar bahwa Siska adalah gadis open BO. Namun anehnya, Siska malah seolah tidak peduli dengan semua penghakiman mereka semua.. dan tetap bisa melenggang acuh meskipun hingga akhir masa smu, Siska melewatinya nyaris tanpa teman seorang pun.
Sampai suatu ketika sebuah kejadian yang menimpa Lana membuat penilaiannya terhadap Siska berubah total.
Mereka nyaris menghadapi ujian akhir, dan Lana ingat betul hari itu, hari dimana ia begitu terpuruk.
Hubungan kedua orangtuanya yang telah retak sekian lama akhirnya sampai juga pada titik akhir, dimana mereka berdua, ayah dan ibu, akhirnya sepakat mengajukan perceraian, dengan ibu yang melayangkan gugatannya ke pengadilan agama terlebih dahulu.
Malam itu dengan pikiran kalap Lana masuk ke klub malam ini sendirian dengan satu tekad.. menghilangkan segala kegalauan, kemarahan, dan kekecewaan yang membuncah.
Lana kehilangan pegangan, marah pada keadaan, benci pada keegoisan ayah dan ibu yang hanya mementingkan kesenangan diri sendiri tanpa peduli sedikit pun pada perasaannya.
Malam itu, dengan nekad Lana telah memesan minuman. Duduk sendirian di pojokan yang remang, ditemani dentuman house musik yang menggila, sambil menyesap minuman pahit yang membuat tenggorokannya seperti mau terbakar saat melewatinya.
Lana merasa otaknya mulai berputar, ia mabuk, tapi saat seorang waitress melewati mejanya, Lana malah nekad menambah minuman.
Begitu pesanannya tiba Lana langsung meneguknya tanpa jeda.. dan detik berikutnya kepalanya langsung ambruk keatas meja, tak mampu ia angkat kembali. Matanya mulai sayu dan terpejam, hanya indera pendengar yang masih berfungsi.
"Wah.. santapan enak nih, Jo.."
Sayup-sayup telinga Lana menangkap kalimat seorang pria, terasa begitu dekat ditelinganya.
"Gila.. cantik banget, Ben.."
"Jangan sentuh aku..!" racau Lana berusaha menepis tangan pria bernama Jo yang telah menyibak helai rambut yang menutupi wajahnya.
"Calm down, honey.. jangan galak-galak, kita gak gigit kok.." Jo berucap sambil tertawa, pria yang bernama Ben pun ikut tertawa.
"Pesta yang sesungguhnya baru akan dimulai.." suara bariton milik Ben kembali terdengar, kali ini tanpa ragu langsung meraup pinggang ramping milik Lana.
"B-bajingan.. h-hentikan.." Lana memberontak dengan kekuatan yang tersisa, namun yang ada tubuhnya yang sudah sedemikian berat karena pengaruh alkohol nampak terhuyung.
Melihat Lana yang nyaris jatuh dari kursi membuat Ben dengan sigap menahan tubuh Lana, hingga tanpa terhalang apapun akhirnya jatuh begitu saja kedalam pelukan pria bejat itu.
"Ha.. ha.. ha.."
Tawa keduanya terdengar membahana, membuat Lana mulai bergidik ngeri.
"B-bajingann.. aku bilang l-lepaskan akkuu.." Lana berteriak kencang, namun suaranya tenggelam dalam kebisingan musik house yang hingar-bingar.
Tidak hanya itu saja, tubuhnya yang menggeliat justru membuat Ben semakin bernafsu untuk merengkuhnya lebih rapat.
"Beuhh.. kita bawa sekarang saja, Jo, kalau kayak gini bisa-bisa belum apa-apa aku sudah banjir duluan.." ucap Ben dengan nafas yang mulai turun naik karena pelawanan Lana untuk melepaskan diri membuat tubuhnya yang ramping namun sayangnya kurang gemoy itu tanpa sengaja terus menggesek tubuh Ben yang akhirnya malah keenakan.
"Sialan.. dasar kamunya yang lemah.." Jo terlihat menggerutu.
"Bajingaaaaann.. aku bilang lepaass.. kann.." Lana tak henti memberontak saat menyadari kedua pria asing itu telah benar-benar nekad menyeret tubuhnya yang tak berdaya itu dengan paksa.
Lana nyaris kehilangan harapan manakala sebuah suara lantang mampu menghentikan gerakan Ben dan Jo dengan seketika.
"Hentikan..!!"
Dalam temaram Lana bisa melihat beberapa pria bertubuh kekar telah mengelilingi Ben dan Jo yang sontak terpengarah.
"Lepaskan gadis itu secepatnya, karena kalau tidak.."
"Baik, bang.. akan kami lepaskan.."
"Iya, bang.. ampun.. ampuni kami.."
"Pergi dari sini..!!" hardik seorang pria yang terlihat seperti pemimpin dari beberapa orang bertubuh kekar yang sedang mengelilingi Ben dan Jo.
Ben dan Jo nampak gemetaran, dan langsung kabur begitu saja, usai menaruh kembali tubuhnya yang tak bertenaga ke kursi yang semula Lana duduki.
Lana belum bisa berpikir jernih. Apakah ia kali ini benar-benar telah selamat? jangan-jangan nasibnya malah seperti sebuah pepatah, keluar dari mulut harimau, jatuh kemulut buaya. Lana bahkan tidak mengenal sekumpulan pria berbadan kekar yang sedang mengelilingi mejanya itu.
Kepala Lana semakin pusing, dan Lana nyaris kehilangan kesadaran sepenuhnya manakala matanya yang mulai mengabur menangkap bayangan sosok wanita yang muncul dari balik tubuh beberapa pria bertubuh kekar itu.
'Siska..?'
Lana mengenalinya, tepat setelahnya ia telah benar-benar kehilangan kesadarannya.
Lana tidak tau berapa lama matanya terpejam, tau-tau ia telah mendapati dirinya yang tersadar saat sinar matahari pagi yang menyeruak dari balik tirai membuatnya terperanjat, terduduk begitu saja diatas sebuah ranjang sedang namun empuk, disebuah kamar hotel.
"Sudah bangun?" suara seorang wanita menyapanya dari sudut ruangan. Terlihat duduk santai disebuah sofa sudut sambil menghisap sebatang rokok.
"Siska..?" Lana terperanjat. Ternyata ia tidak keliru, wanita yang ada di klub semalam benar-benar Siska, teman sekelasnya di SMU Pelita Harapan.
"Maaf, aku membawamu kemari karena tidak tau rumahmu dimana. Aku tidak enak jika harus mengubek-ngubek tasmu untuk sekedar mencari alamat.." ujar Siska lagi menjelaskan, seolah tau apa yang sedang bercokol didalam otaknya.
Lana menggelengkan kepala sambil mencoba beranjak turun dari ranjang meskipun tubuhnya terasa remuk dan kepalanya bahkan masih terasa pening.
"Siska, terima kasih.." berucap lirih begitu sampai dihadapan Siska yang malah membalasnya dengan senyum tulus.
"Santai aja kali.."
Dan sejak saat itu, pandangan Lana berubah seratus delapan puluh derajat terhadap Siska, seiring dia mengenal Siska semakin dekat.
Siska ternyata adalah pribadi yang sangat baik, Siska pun sangat tulus dalam berteman. Namun mengenai gosip miring yang terus melekat didiri Siska sejak awal menginjak bangku SMU hingga mereka nyaris lulus..ternyata semua itu tidak sepenuhnya keliru.
Pergaulan Siska memang telah salah sejak awal, dan penyebabnya sama persis dengan yang dialami oleh Lana. Keluarga yang Broken Home.
Siska benar-benar menjalani kehidupan yang kelam, karena keputusasaannya menghadapi kemelut kedua orangtua yang tak kunjung usai.
Dan Lana pun akhirnya mengetahui bahwa pria paruh baya bertubuh kekar, yang semalam hampir membuat Jo dan Ben nyaris kencing di celana itu adalah Om Romi, kekasih Siska saat ini..
.
.
.
Bersambung..
"Aku ke toilet sebentar yah.."
Siska yang baru saja menghempaskan tubuhnya keatas kursi terlihat kembali berdiri dari duduknya.
"Dih.. baru dateng udah main pergi saja.." dumel Lana dengan suara kencang seolah ingin mengalahkan dentuman house musik yang membahana, memekakan telinga.
Siska tertawa menanggapi kalimat Lana. "Aku cuma mau benerin make up sebentar sama buang air kecil.." kemudian Siska menatap Lana lagi. "Sudah jangan cemberut begitu.. katanya mau senang-senang dan melupakan semuanya kan? calm down.. waktu masih panjang, dan kita pagikan malam ini.." seloroh Siska sambil tergelak saat meninggalkan Lana kembali, beranjak menuju toilet.
Yah.. sebenarnya hari ini memang adalah hari yang sangat buruk untuk Lana. Tadi sore Lana telah mengetahui, dari bibir ayah dan ibu langsung, bahwa pada akhirnya mereka telah resmi bercerai. Putusan palu hakim Pengadilan Agama telah diketuk untuk mengabulkan permintaan Ayah dan Ibu lebih cepat dari yang ia bayangkan.
"Terima kasih, Ayah.. terima kasih, Bu.. jadi ini kado khusus untuk Lana..?!" itu kalimat pertama yang meluncur dari bibirnya yang bergetar.
"Lana ini yang terbaik.." ucap Ibu sambil menatap Lana.
"Lana maafkan Ayah dan Ibu.." kali ini Ayah yang bicara.
"JUST STOPED IT..!!" Lana merasa tidak bisa mengontrol emosinya lagi. "Berhenti memberi alasan bahwa bercerai adalah jalan terbaik. Lana muak..!"
"Lana.." Ibu menatap Lana dengan wajah datar.
"Yang terbaik adalah Ayah dan Ibu tidak bercerai, berhenti bertengkar, dan tolong pikirkan perasaan Lana..!! Sebenarnya itulah hal terbaik yang harusnya Ayah dan Ibu lakukan, bukannya buru-buru bercerai untuk menjadi budak naf su kalian..!!"
"Lana..!!" suara Ayah terdengar menegur keras.
"Semua sudah terjadi, dan Lana tidak bisa memaksa. Silahkan Ayah dan Ibu jalani saja kehidupan kalian masing-masing, jangan lagi pedulikan Lana.. karena Lana bahkan tidak memiliki arti apapun dimata Ayah dan Ibu..!"
Tanpa memberikan Ayah dan Ibu kesempatan untuk mengatakan semua kalimat yang selalu saja menyakiti hatinya Lana telah berlari kedalam kamar dan mengunci diri disana.
Lana tidak peduli sekeras apa usaha Ayah dan Ibu untuk membujuknya dari balik pintu, karena ia memilih menyetel musik house keras-keras dan menangis sepuasnya diatas bantal hingga tertidur tanpa sadar.
Saat Lana bangun matahari bahkan telah tenggelam. Ia bangkit seperti orang ling-lung, langsung meraih ponselnya untuk menelpon Siska, hanya untuk mengatakan bahwa keluarganya telah resmi berakhir.
Dan Miracle, lagi-lagi merupakan tempat finish terbaik yang selalu mereka berdua kunjungi disaat hati sedang senang, galau, bahkan merasa gila.
Yah.. sejak kejadian beberapa bulan yang lalu dimana Siska telah menjadi dewi penolongnya, sejak saat itulah seluruh penilaian Lana tentang Siska berubah total.
Siska ternyata gadis yang baik, dan seorang teman yang asik. Mereka langsung menjadi sepasang sahabat yang akrab dan tak terpisahkan tanpa mempedulikan lagi isu dan komentar para julid di seantero SMU Pelita Harapan.
Awalnya Lana merasa gelisah saat memikirkan berteman dengan Siska berarti dirinya pun harus siap mendapati penilaian buruk seperti yang diterima Siska selama ini. Namun setelah menjalaninya Lana merasa tidak seburuk itu. Ia begitu pandai meniru gaya cuek Siska yang tidak merasa terpengaruh sama sekali oleh ujaran kebencian yang dilontarkan para hatters.
Lana memang telah bertekad untuk tidak lagi peduli meskipun semua isu miring mengenai Siska selama ini ternyata benar adanya, karena Siska bahkan telah terjerumus dalam pergaulan bebas sejak lama.
Tak berbeda jauh dengan dirinya, Siska juga merupakan produk broken home dari sepasang orangtua egois yang enggan memikirkan betapa hati anak mereka terluka karena keegoisan pribadi mereka. Alhasil Siska telah terjun bebas, masuk kedalam jerat pergaulan malam yang kelam sejak umurnya masih sangat belia.
Julukan open BO yang tersemat padanya oleh seluruh siswa-siswi SMU Pelita Harapan ternyata bukan hanya sekedar isu melainkan benar adanya.
Yah.. Lana telah mengetahuinya, karena Siska telah menceritakan semua rahasia kelamnya kepada Lana tanpa tersisa, tanpa bertingkah jaim sedikitpun.
Kepolosan otak Lana bahkan sampai nge-lag karena tidak bisa membayangkan alur kehidupan Siska yang teramat kacau balau.
Bagaimana mungkin gadis belia seperti Siska telah begitu berani menjajakan dirinya? Untunglah sekarang Siska tidak lagi menjalani hal tersebut, meski bukan berarti ia bisa keluar sepenuhnya.
Beberapa bulan yang lalu kehidupan Siska telah berubah drastis. tepatnya sejak pertama ia bertemu Om Romi, lagi-lagi di club malam ini, Miracle, yang merupakan club malam terbesar di ibukota.
Om Romi, pria paruh baya berbadan kekar yang telah menyelamatkan kesucian Lana dari kebejatan dua pria disaat Lana mabuk berat itu, ternyata bekerja sebagai kepala keamanan di Club Miracle, tempat favorite hang out milik mereka berdua.
Menjadi 'peliharaan' Om Romi ternyata membuat hidup Siska berubah. Karena kini Siska telah nekad menjalani hidupnya seorang diri, keluar dari rumah ibunya yang bak neraka dan memilih tinggal di kost seorang diri.
Hidup Siska terlihat sangat enjoy meskipun sehari-harinya rutinitasnya hanya bersekolah, namun Siska bebas nge-mall, nonton, makan enak, yang kesemuaannya itu diam-diam mulai membuat Lana iri dengan kehidupan Siska yang serba instan dan menyenangkan.
"Sis.. enak banget sih jadi kamu, mau apa-apa tinggal gesek.." imbuh Lana suatu ketika, usai menemani Siska menarik uang tunai di Anjungan Tunai Mandiri dengan sebuah kartu yang diberikan Om Romi.
"Enaklah.. gak perlu capek kerja, cuan lancar.." seloroh Siska dengan cueknya. Detik berikutnya Siska malah tertawa melihat wajah mupeng Lana.
Siska mengamit lengan Lana menuju sebuah restoran jepang yang ada di salah satu sudut mall. "Makan dulu yuk, laper, biar aku yang traktir.."
Yah.. Siska. Gadis itu sangat baik. Siska bahkan tidak pernah pelit mentraktir Lana, membuat Lana tidak enak karena seolah menjadi benalu untuk sahabatnya sendiri.
Lana memang tidak pernah memiliki uang sendiri seperti Siska.
Boro-boro.
Selama ini Ayah selalu begitu pelit setiap kali Lana meminta uang jajan, tapi kalau untuk perempuan lon te peliharaannya, Ayah akan menjadi sangat dermawan. Ibu apalagi.. selalu menolak setiap kali Lana meminta uang dengan dalih tidak punya uang, tapi anehnya, ibu malah membiayai berondong dekil yang setiap hari hanya menumpang hidup kepada ibu.
Mengingat semua itu membuat Lana merasa semakin muak saja.
Siska, meskipun hidupnya kacau balau, namun tak sedikit pun ia mengiming-imingi Lana untuk mengikuti jejaknya, kendati pun nyaris setiap malam kerjaan mereka hanya keluyuran ke club malam.
"Hati-hati, dan pikirkan baik-baik, Lan. Karena sekali kamu jatuh, kamu gak akan bisa kembali utuh.." itu nasehat Siska setiap kali mengingatkan Lana.
Siska memang selalu menasehati Lana, namun Lana sendiri yang justru tidak yakin dengan dirinya. Nyaris setiap hari disuguhi kemesraan level tinggi oleh Lana dan kekasihnya Om Romi itu membuat denyut masa pubertas yang selama ini dilalui Lana tanpa warna berarti membuat Lana sering terkaget-kaget.
Om Romi terlihat sangat tergila-gila dengan tubuh Siska yang asli montok. Jauh beda dengan tubuh Lana meskipun tinggi dan berat badan mereka sama, yakni seratus lima puluh sembilan senti meter, dan empat puluh delapan kilogram, namun entah kenapa Siska mempunyai bo kong yang lebih besar, apalagi ukuran dua buah gu nung kembar milik Siska.. buset jangan ditanya lagi. Sampe tumpah-tumpah dari cupnya yang ketat.
"Sis.. kok bisa bo kong sama da da kamu montok begitu? Kamu olahraga apa sih..?" pertanyaan polos itu meluncur begitu saja diawal persahabatan mereka.
Saat itu Ujian Akhir Nasional sudah berada didepan mata, dan sore itu mereka berdua berencana untuk berangkat ke tempat bimbel secara bersama-sama.
Lana yang sengaja menjemput Siska itu memilih merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur Siska, manakala Siska keluar dari kamar mandi hanya dengan terbalut pakaian dalam, melenggang acuh bak miss universe yang sedang memeragakan pakaian renang diatas catwalk tanpa risih sedikit pun.
"Gak pake olahraga. "Jawab Siska sambil membuka pintu lemari guna mengambil sebuah celana jeans beserta blouse berwarna coklat susu bermodel sabrina.
"Masa sih..? tapi kenapa bisa segede gitu?" Lana masih saja kepo tentang dua bagian tubuh Siska yang padat berisi tersebut.
"Nanti juga punyamu ngembang sendiri.. kalau sudah waktunya.."
"Ihh.. emangnya aku adonan roti yang dikasih ragi? pake acara ngembang segala.."
Siska tergelak. "Beneran mau tau rahasianya?" Siska senyum-senyum saat menatap Lana lewat permukaan cermin yang ada dihadapannya.
"Maulah.. apa coba..?"
"Tangan pria.."
"A-appa..??!!"
Lana terhenyak mendengar jawaban Siska yang tanpa beban itu.
"Emang mirip adonan roti, sih.. kalau udah diaduk, diulen, dipijet, makin lama pasti makin ngembang.."
"Ishh.." Lana terhenyak mendengar jawaban vulgar itu.
"Egh, malah gak percaya. Yasudah.. yang penting aku sudah kasih tau rahasianya.."
Siska cengengesan menyaksikan sepasang mata Lana yang menatapnya dengan ekspresi terkejut yang menggantung jelas, namun pada kenyataannya Lana memang harus percaya dengan semua ucapan Siska, karena Siska memang selalu bicara apa adanya, blak-blakan, seolah urat malu sahabatnya itu sudah putus semuanya.
.
.
.
Bersambung...
Siska kembali dari toilet dengan langkah tergesa dan wajah yang dipenuhi senyum sumringah.
Ia ingin memberikan sebuah kabar besar untuk Lana namun kenyataan yang ditemuinya malah membuat matanya terbelalak.
Lana tengah meneguk minuman beralkohol. Sepertinya mungkin belum terlalu banyak.. namun seperti biasa gadis itu sudah terlihat mulai mabuk karena memang tidak terbiasa meminumnya.
"Lana.. Lana.. astaga.. kenapa malah minum sih?" Siska mengambil alih gelas ditangan Lana beserta pitcher yang hendak diraih gadis itu, menjauhkannya dari jangkauan Lana.
Siska memang tidak tau persis sudah seberapa banyak Lana meminumnya, namun dasarnya Lana memang tidak tahan dengan pengaruh alkohol, satu gelas kecil saja sudah sanggup membuat Lana ngaco.. apalagi jika lebih dari itu..!
"Kenapa malah bertanya? kau kan sudah tau sendiri, Siska.. memang niatku kesini malam ini mau mabuk dan menghilangkan semua kenyataan yang ada diotakku ini. Jadi jangan halangi aku. Okeh..?"
Lana berusaha untuk kembali menjangkau minuman yang dipesannya namun Siska telah lebih dahulu menepis tangan Lana begitu saja.
"Ishh.. dengarkan dulu apa yang ingin aku katakan." ucap Siska usai menghalangi niat Lana yang ingin kembali meraih minuman yang telah ia pesan.
"Hhmm.. baiklah, apa?" tanya Lana tak sabar.
"Jangan mabuk dulu. Setidaknya untuk sekarang.."
"Memangnya kenapa sih?" raut wajah Lana terlihat kesal.
"Kita akan ikut Om Romi."
"Kemana..?"
"Kapal pesiar.."
"Kapal pesiar?"
"Bos besar baru saja memenangkan tender dengan nilai fantastis, makanya dia mengajak Romi berpesta untuk merayakannya.."
"Bos besar..?"
"Iya, bos besar.. Tuan Arshlan.. pemilik club Miracle ini.."
"Tapi.."
"Astaga Lana.. tapi apa lagi sih? dari tadi bertanya terus tanpa henti..?" protes Siska mulai gemas.
Lana meringis mendengar omelan Siska. "Tapi, Siska.. apa kita diundang..?" tanya Lana lagi ragu, cukup membuat sepasang mata Siska melotot kesal.
"Kata Om Romi, Tuan Arshlan memperbolehkan mereka semua membawa kekasih. Come on Lana, ini party.. mana mungkin party tanpa kehadiran gadis-gadis..?"
"Tapi aku bukan kekasih Tuan itu maupun anak buahnya.."
"Sudah.. sudah.." pungkas Siska semakin pening mendengar celotehan Lana yang terus mendebatnya. "Makanya jangan buru-buru minum, sana cuci muka biar seger, sekalian ilangin mabuk.. supaya kalau nanti Om Romi datang menjemput, kamu udah gak rese lagi.."
Lana lagi-lagi terkekeh mendapati omelan Siska. Namun tak urung ia menurut juga, berjalan kearah toilet dengan langkah sempoyongan.
Sungguh kepala Lana saat ini benar-benar berat, karena pengaruh alkohol yang mulai merasuki aliran darahnya.
Lana pun berjalan tertatih dengan fokus pandangan yang bergerak kesana kemari, ditambah suasana yang temaram, disertai hingar-bingar musik yang membahana.
Sementara itu..
Arshlan baru saja hendak melangkah keluar dari toilet pria usai membuang air kecil. Dibibir pria itu tersungging sebuah senyum dingin yang penuh kepuasan.
Yah.. hatinya sangat senang, usai memenangkan sebuah tender besar dengan mengalahkan Marco, pesaingnya, yang juga merupakan musuh besar baginya.
Saat ia bergegas keluar tiba-tiba saja sebuah tubuh mungil langsung menabraknya tanpa ampun.
"Aahhh..!" pekik kesakitan campur kaget terlontar dari mulut Lana begitu saja.
Gadis itu hampir saja tersungkur kalau saja Arshlan tidak segera menangkap tubuh mungilnya dengan sigap, hingga jatuh tepat dipelukan Arshlan.
"Pangeran.." Lana terhenyak mendapati wajah kokoh nan tampan yang hanya berada beberapa centi dari wajahnya.
Tangan Lana refleks terangkat.. ingin meraba rahang yang mengeras itu begitu saja, bak sebuah pahatan mahakarya yang sempurna, seolah ingin menguji keasliannya.. apakah wajah tampan itu hanyalah khayalannya saja. Tapi belum apa-apa tubuhnya keburu berpindah tempat, karena lengannya yang ditarik dengan sedikit kasar.
"Lana..?" pria bertubuh kekar itu terhenyak saat menyadari siapa gerangan gadis yang tadinya berada dalam rengkuhan Tuan Arshlan itu.
"Romi? Kau mengenal bocah ini..?" Arshlan bertanya dengan nada datar seperti biasa, sambil mengibaskan setelan jasnya yang kusut karena kejadian tak terduga barusan.
Romi menggaruk tengkuknya sebentar sebelum akhirnya mengangguk. Sebelah tangannya masih menahan tubuh Lana yang berdiri terhuyung kesana kemari.
"Ini.. sahabat kekasih saya, Tuan.." ujar Romi kikuk.
"Inilah resiko pacaran dengan abg. Akhirnya hidupmu sekarang dikelilingi bocah semua.."
"Maaf, Tuan.." Romi tertunduk malu, dan terus tertunduk sampai Tuan Arshlan berlalu dari hadapannya.
"Lana.. Lana.. " desis Romi sedikit kesal. Karena gadis ingusan ini sepertinya belum berubah. Selalu membuat keonaran kecil, dimanapun ia berada.
XXXXX
"Bagaimana..? Sudah enakan?" Siska menatap Lana lewat pantulan cermin didepan wastafel, dimana Lana terlihat berkumur dan membasuh wajahnya berkali-kali.
"Hmm.."
"Yakin..?"
"Iya, udah enakan. Kan sudah keluar semua tadi.." seloroh Lana ringan sambil tersenyum salah tingkah kearah Siska yang terlihat mencibir.
Tapi Lana memang mengatakan hal yang sebenarnya. Karena usai memuntahkan seluruh isi perutnya barulah ia merasa kondisi tubuhnya membaik. Gantinya, saat ini ia merasa sangat lapar.. namun sungguh Lana tak berani merengek kepada Siska, takut kena omel lagi.
"Siska.."
"Hhmm.."
"Jadi.. pangeran itu Tuan Arshlan..?" tanyanya kepo sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, memperhatikan Siska yang telah membuka tas nya, mengeluarkan lipstick dan bedak padat guna memperbaiki penampilannya yang always perfect.
"Pangeran..?" ulang Siska dengan alis bertaut.
Lana tersenyum sumringah. "Iya pangeran. Tuan Arshlan tampan sekali, Sis, jantungku bahkan masih berdebar sampai sekarang jika membayangkan wajah tampannya.." ucap Lana dengan nada lebay saat kembali terbayang wajah kokoh Tuan Arshlan, dengan aroma maskulinnya yang menggetarkan, seolah masih melekat kuat di indera penciumannya.
Mendengar itu Siska terlihat mencibir lagi. "Memang jantungmu sudah berdebar dari sononya kali. Karena kalau tidak berdebar lagi, itu artinya kamu sudah wafat..!" Sembur Siska galak. Kelihatan masih kesal dengan ulah Lana yang susah diatur sehingga nyaris membuyarkan rencananya untuk ikut Om Romi ke pesta Tuan Arshlan.
Huhh, untung saja Om Romi masih bisa ia rayu. Karena kalau tidak, Siska pasti benar-benar akan menjitak kepala sahabat labilnya ini.
"Iya deh, maaf.. mulai sekarang aku akan mendengarkanmu. Tapi pliss.. kita harus pergi ke pesta pangeranku yah..?" rayu Lana semanis madu, membuat Siska yang semula kesal mau tak mau tertawa juga mendengar rayuan lebay itu.
"Tentu saja kita akan pergi. Kau tenang saja.." ujar Siska sambil mengulum senyum.
Ada dua alasan mengapa Siska harus memaksa pergi ke pesta Tuan Arshlan.
Pertama, karena ini adalah kali pertama baginya bisa naik kapal pesiar, apalagi bisa berada didalam sebuah pesta seorang milyuner tampan sekelas Tuan Arshlan.
Dan kedua, karena dipesta nanti pasti akan dipenuhi para gadis-gadis cantik. Siska harus menjaga kekasihnya, Om Romi yang perjaka tua itu, agar tidak mempunyai kesempatan menengok gadis lain..
...
Bersambung..
Vote dong kaka.. 🥳
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!