NovelToon NovelToon

Teman Tapi Menyebalkan

TTM 01

Pernah memiliki bestie tapi beda gender? Nah, aku punya. Dia namanya Arsha. Dari sejak aku esdeh, sampe sekarang kami duduk di kelas dua bangku SMA, barengan terus. Satu sekolah dan satu kelas pula.

"Jangan-jangan kalian itu jodoh."

Seseorang pernah bilang gitu. Emak-emak. Namanya Mak Surwi. Usianya mungkin sekitar 60 tahun. Entahlah, aku pun tak pernah berniat melihat KTP atau bertanya padanya. Pokoknya dia udah tua dan jalan pun lambat. Kulitnya udah keriput tapi ombrengnya tetap jos.

Rumah kami tidak terlalu dekat. Beda desa malah. Rumahku berada di tengah penduduk, sementara dia berada di pesisian. Kampungan termasuk kampung baru. Kalau di aku namanya pamekaran. Alias kampung yang baru saja dibuat.

Setiap berangkat sekolah, aku dan teman-teman yang lainnya akan berjalan sejauh dua kilometer untuk sampai ke pasar. Di sanalah angkot menunggu kami anak-anak sekolah.

Cape?

Enggak, sih. Karena jalannya menurun dan juga barengan sama anak-anak yang lainnya. Diselingi dengan canda tawa, waktu dan lelahpun tidak begitu terasa.

Jangan ditanya saat kami pulang. Jika kami berangkat jalannya menurun, maka bisa ditebak dong ya pas pulang jalannya kek apa.

Aku bukan keluarga kaya raya. Emm, lebih ke cukup mungkin, ya. Toh, Alhamdulilah aku belum pernah kelaparan dan tidak dililit hutang. Cuma, rumahku dan isinya tidak seperti orang kebanyakan.

Tembok sih, tapi catnya sudah pudar. Lah, gimana gak pudar, orang beberapa tembok aja udah ada yang ngelupas. Batu batanya sampe terlihat.

Tau tegel? Itu loh, seperti keramik tapi gak kinclong dan gak halus juga. Warnanya hitam kalau yang kecil dan ada yang kuning juga, biasanya ukurannya lebih besar. Nah, itu lantai rumahku.

Atapnya terbuat dari geribik yang dicat pake kapur. Al hasil, kasur dan beberapa barang di bawahnya suka kotor karena remahan kapur yang jatuh.

Beda dengan Arsha. Dia itu anak pemborong kalau kata orang-oranh sini, sih. Mungkin kalau di kota mah di sebutnya kontraktor. Jangan ditanya deh dia kayanya seperti apa. Bagi kami yang tinggal di sini, dia itu orang paling kaya, deh.

Rumah bagus, motor bagus, punya mobil pula. Setiap warga yang hendak menjual tanahnya, pastilah datang ke mereka.

"Woiii, hak ikut?" Arsha memberhentikan motor ninja 250R nya di tepat di sampingku saat kami berjalan di atas jembatan.

"Gak, ah! Aku bareng sama temen-temen aja."

"Capek, tau!"

"Tau, kok."

"Udah tau kenapa ngeyel jalan kaki?"

"Berisik! Awas, tuh. Kamu ngalangin orang lain."

Arhsa menoleh ke belakang. Di sana memang banyak kendaraan lain yang ingin melintas. Sebenarnya jembatan ini hanya cukup satu mobil dan satu motor saja. Itupun jika lagi sepi. Kalau lagi pas barengan sama anak sekolah bubaran, jadinya malah sempit.

Arsha langsung menjalankan motornya dan berhenti di ujung jembar sana. Dia memang keukeuh. Selalu memaksa aku buat ikut.

"Buruan naik!"

"Gak mau, ih. Kok maksa."

Dia melotot.

Kalau udah gitu, aku gak akan basa-basi lagi untuk menentang keinginannya. Dia pasti bakalan marah. Asrha itu kek cewek. Kalau marah, lamaaaaaa banget. Noh, huruf a nya aja banyak banget kan?

"Kamu itu, pacar bukan, kakak juga bukan. Kerajaannya makasa!"

"Aku itu gak akan maksa kalau kamu gak nolak."

"Lah, aku emang gak mau. Kenapa coba, aneh!"

"Aus gak?"

"Gak usah nanya, kalau mau beliin mah tinggal beliin aja."

Arhsa memberhentikan motornya di depan warung yang ada di dekat sekolah dasar.

"Ceu, beli es tea jus gula batu dua."

Hadeuh, mentang-mentang anak orang kaya, dia main perintah aja tanpa turun dari motor.

Sebenarnya aku mau turun, gak enak sama tukang warungnya. Cuma tangan dia terulur ke belakang. Menghalangi lututku. Isyarat agar aku tetap di atas motor.

"Ini, Ar."

"Makasih, Ceu." Arsha memberikan uang lima ribu. "Ambil kembaliannya, Ceu."

"Waduh, hatur nuhun, Ar."

Bagi mereka, termasuk aku. Uang kembalian tiga ribu rupiah itu sangat berarti. Terutama bagi tukang warung itu. Pantas saja dia tidak keberatan Arsha tetap berada di atas motor. Ck!

"Pegangin." Dia memintaku memgang minumannya.

Dia itu memang seperti raja. Beli minum diambilin sama tukang warungnya dan diserah langsung pada Arsha yang duduk di motor. Sekarang? Kalau dia mau minum, aku yang harus nyodorin sedotan ke mulutnya dari belakang.

Menyebalkan memang. Mana ini motor bikin aku seperti posisi mau kentut. Apaan coba, pantat duduk kaya gini, bikin pegel.

Udah gitu, naiknya susah syekalee epribadehh. Kalian tau tinggiku berapa?

Hiks. Sebutin kagak ya? Pokoknya Arsha bilang aku itu semampai. Semeter tak sampai. Ngenesh pan?

Itulah kenapa dia manggil aku Unyil. Nasib. Hiks.

Si gemblung itu seneng banget ngerjain aku. Dia minta minum pas lagi banyak orang. Ya ampun, aku berasa kek orang pacaran. Dengan posisi duduk yang seperti pohon mau tumbang, terus ini tangan hatus bisa nyampe ke mulut dia, otomatis aku terlihat seperti sedang meluk dia.

Makin panas aja gosip tetangga. Selebewww!

"Lain kali jangan ngeyel kalau aku nyuruh sesuatu."

"Idih. Sapa elu."

"Sahabat kan kita tuh?"

Aku membuat mataku juling dengan bibir seperti pantat ayam yang hendak bertelur. Mau tau gimana pantat ayam bertelur? Coba cek ayam tetangga, tiup dah tuh pantatnya. Gk gk gk.

"Kalau kamu terlalu cape jalan kaki, gimana mau bantuin ibu kamu?" Dia melirik Ibu.

Meski menyebalkan. Alasanku mau berteman dan menuruti apa yang dia mau adalah ini.

Dia perhatian dan peduli pada keluargaku. Eh, sebenarnya hanya pada aku dan Ibu saja, kok. Orang aku memang cuma punya Ibu. Bapak udah lama meninggalkan karena kecelakaan. Tidak tahu kecelakaan seperti apa. Ibu tidak pernah menjelaskannya dan aku pun tidak ingin tahu lebih dalam. Jangan sampai pertanyaanku malah mengorek luka lama Ibu.

Biarkan Bapak tenang di sana dan Ibu bahagia di sini.

"Bu, mau keliling?" tanyaku pada Ibu yang bersiap mengangkat wadah lebar yang terbuat dari anyaman bambu, namanya nyiru kalau di sini. Entah di daerah lain.

Tidak hanya itu. Ibu masih mengais baskom dan juga jinjingan dari anyaman rotan sintetis.

"Iya. Kamu tolong angkat jemuran dan beresin rumah, ya."

"Iya, Bu."

Ibu keluar dari halaman rumah. Masih tanah. Kadang kalau hujan akan seperti kolam lumpur. Kami bahkan kesulitan melewatinya.

Sesampainya di jalan aspal depan rumah kami. Ibu akan berteriak. "Rujaaak."

Beliau adalah pedagang rujak kangkung. Ibu juga membawa berbagai macam gorengan juga bihun dalam baskom gang dia gendong. Serta kerupuk yang ada di jinjingannya.

"Semoga saja dagangan Ibu Karis mansi. Aamiin."

Seutas harapan dan doa untuk Ibu, sebelum aku melakukan perintahnya tadi.

TTM 02

"Eh, katanya hari ini ada ujian matematika, ya?" Desi memulai pembicaraan saat kami berjalan menuju pasar.

"Masa, sih? Kok gak ada yang bilang? Kemarin gurunya juga gak bilang apa-apa." Yanah penasaran juga resah. Yang lain pun ikut resah.

"Beneran. Yanto yang bilang."

Mereka semakin resah dengan aduha-an masing-masing yang terlihat kesal dan juga panik. Aku sih santai aja.

Udah belajar?

Bukan.

Terus?

Mereka yang bicara tadi, itu tuh kelas dua SMP. Hahayyy.

Dari jauh, suara motor Arhsa sudah terdengar. Aku menyusup di antara anak-anak, berharap Arhsa tidak akan melihatku.

"Percuma, Teh. Yang pake rok abu-abu kan cuma Teteh."

Ucapan Sandra membuatku melirik ke semua rok yang ada di sini. Benar, cuma aku yang pake rok berbeda. Yang lain ke mana?

Bingung, dong pastinya.

Benar saja. Arsha berhenti saat ada di samping rombongan kami.

"Teh Zahira nya gak ada." Sandra mencoba menggoda Arsha.

"Kecil-kecil dah pada bohong. Yang bohong aku doain bisulan di pantatnya."

Mereka cekikikan sambil berjalan lebih cepat dariku. Otomatis, aku tertinggal dan terlihat jelas oleh Arsha.

"Norak amat."

Aku hanya bisa manyun dan manut untuk naik ke motor dia.

Sandra dan teman-temannya bersorak saat kami lewat. Tidak ketinggalan dengan kata, "Cieeee ...."

"Tuh, kan!"

"Apaan?"

"Mereka."

"Biarin aja. Kaya gitu dipikirin. Rugi beuddd."

Aku memasang beberapa wajah jelek dan paling jelek pokoknya. Mengulurkan lidah. Ngata-ngatain dia tanpa ada suara.

"Pegangan." Dia sedikit berteriak karena motornya berjalan sedikit lebih cepat.

Ogah! Tar orang nyangka yang macem-macem pula.

Kesal karena aku tidak mau pegangan. Dia menancap gas secara mendadak. Hampir saja aku terjatuh ke belakang.

"Makanya pegangan!"

Baiklah. Aku tidak ingin terjatuh dari motor dia. Maka, aku pun pegangan.

"Kamu itu kaya nenek lagi naik ojek, tau!"

"Yang penting pegangan, kan? Kamu macem-macem, biar gampangnya aku cekek!"

"Dasar sahabat laknat!"

Rasanya menyenangkan jika membuat dia kesal. Rasain!

Coba aja tar sampe sekolah, dijamin dia bakalan di ledek sama teman-teman satu geng-nya.

Eh, maksudku di tempat parkir. Di sekolah para siswanya dilarang membawa kendaraan. Hal itu dijadikan ladang usaha untuk beberapa orang cerdas dan tanggap.

Mereka membuat parkiran dengan baiya sewa sebesar dua ribu rupiah. Kecil, sih. Tapi motor yang diparkir dia ini bisa ratusan.

"Gitu aja kagak bisa. Ogeb banget, sih!"

Arsha itu bener-bener nyebelin. Mulutnya itu gak pernah dijaga. Ucapannya selalu saja asal bunyi.

Aku yang kesusahan membuka helm, semakin kesal mendengar ucapannya barusa.

Putus asa!

Akhirnya aku menyerah. Menghempas tangan dengan kaki menghentak tanah.

Arsha yang masih berkaca pada spion, menoleh padaku. Tangannya yang panjang karena memang dia tinggi, menarik kepalaku dengan helm yang menempel. Sungguh kasar!

"Gini, nih." Dia membantuku membukanya. "Gampang, kan?"

"Mendingan naik angkot," ujarku kesal. "Bisa ngobrol sama temen-temen. Gak kena debu juga."

Aku nyelonong begitu saja. Empet banget lama-lama berada dekat sama dia. Masa iya, aku harus menderita darah tinggi di usia muda.

"Woiii, tunggu!"

Bodo amatlah dia mau manggil berap ratus kali pun. Udah di ubun-ubun ini lahar.

"Heh, Unyil!"

Ya, ya, ya. Kakiku yang imut ini hanya bisa melangsungkan kecil sesuai ukuran kakinya. Sudah pasti kalah dengan Arsha si tiang listrik itu. Dia bisa menyusul langkahku dengan cepat. Padahal, dia jalan biasa sementara aku sedikit berlarian kecil.

Dia menghadang jalanku.

"Kalau sekolah itu harus rapi. Jangan kek gembel."

Kata-kata nya itu, loh. Nyesek!

"Rambut kamu acak-acakan."

Dia merapikan rambutku.

Beberapa teman yang kebetulan ada di sana, saking berdehem ria. Harusnya mereka minum obat kalau tenggorokannya gatel. Iya kan?

Arsha memang baik memperlakukan aku. Namun, itu tidak membuatku merasakan sesuatu.

"Beneran? Ah, elu mah pura-pura kali." Cindy tidak percaya pada pernyataan yang aku ucapkan. "Bolos banget!"

Cindy pindahan dari Betawi. Makanya, gaya bicaranya pun masih sedikit berlogat sana.

"Eh, Ra. Kalau yang lain diperhatikan dan diperlakukan kaya gitu, itu tuh udah pasti kelepek-kelepek. Aku aja pasti gitu, tau. Arsha gitu loh." Irma tampak takjub.

"Ah, aku mah malah sering membayangkan jika ada di posisi kamu." Mata Ira kedip-kedip manja. Dagu yang ditopang dengan tangan, serta wajah menatap langit-langit.

Tidak ada yang salah dengan mereka. Di sekolah ini, Arsha adalah salah satu laki-laki yang diidolakan.

Tubuhnya tinggi, karena itulah dia ada di tim basket andalan sekolah. Dia juga anak orang kaya, lihat saja diparkiran. Hanya ada lima motor yang sama dengan yang Arsha pake. Mereka semua adalah anak-anak orang kaya.

Namun, keistimewaan Arsha dari cowok-cowok kaya lainnya adalah Arsha itu tidak sombong.

Teman-teman di sekolah mengira kami ini pacaran. Gak salah juga kenapa mereka bisa mengira seperti itu. Sikap Arsha memang bikin gedek!

Hanya tiga orang sahabatku yang tahu seperti apa hubungan kami yang sebenarnya.

Sebuah air mineral dingin jatuh dipangkuanku. Botol itu kemudian terjatuh karena aku yang terkejut dan tidak siap, tidak bisa menangkapnya.

Seorang laki-laki kurus tinggi, baru saja lewat sambil menenggak minuman yang sama. Cih!

Dia berjalan dengan menenggak air tapi matanya terus melirik ke arahku.

Menyebalkan!

Tak pelak teman-teman yang ada di sana langsung menyoraki kami. Wajahku memanas. Bukan karena geer tapi karena kesal. Juga karena panas dan gerah. Kami baru saja lari keliling lapangan basket. Sekarang adalah jam olah raga.

Kebetulan, pelajar olah raga tepat sebelum jam istirahat. Makanya, saat pelajar berkahir. Teman-teman cowok memilih untuk tanding basket.

Sementara aku dan sahabatku yang lain, memilih untuk pergi ke kantin belakang.

Di kantin itu, aku dan mereka yang memiliki uang jajan pas-pasan, bisa jajan. Berbeda dengan mereka yang uang jajannya lebih besar. Jajannya di kantin depan ruang guru. Ber-AC.

Selain itu, jajannya pun beraneka ragam. Ada burger (yang harga sepulu rebuan), sosis bakar, jasuke, sostel, kebab dan aneka jajanan yang harganya di atas lima ribu.

Kalau di kantin belakang, sebenarnya bukan kantin. Kami jajan pada mereka penjual yang mangkal di luar pagar. Kami duduk di bangku-bangku yang sudah dianggap rusak. Yaaa, kalian tau lah ya, jajanan kami apa. Pokoknya jenis makanan yang bisa kami beli dengan uang dua ribu. Rata-rata yang mengandung aci. Ada cilok, cilor, cimin, cireng, cimol dan ci ci ci lainnya.

"Aku tanding, kamu ngapain malah ke sini?"

Suara yang membuat aku merasa bahwa tukang cimol ini mengganti cimolnya dengan kerikil.

Cindy caper banget, pengen gitu dianggap temen sama Arsha ketimbang aku. Dia beralih tempat duduk dan mempersilakan Arhsa duduk di samping.

"Hubungannya apa coba? Tanding mah tanding aja. Bukan pertandingan beneran ini," ujarku kesal.

"Heh!" Arsha menoyor kepalaku. Jarinya masih menempel di kepala saat dia bilang, "kamu itu temen aku. Harusnya ... Kamu itu menyemangati. Ngerti?" Lalu dia mengetuk-ngetuk kepalaku dengan jarinya.

Karena kesal. Aku menendang bangku reot yang sesang dia duduki.

Krakkk!

Kursi itu patah dan Arsha ikut jatuh. Teman-teman yang lain kaget dan mungkin berpikir, kok aku berani banget kasar sama dia. Ah, bodo amat. Cuekin aja. Habiskan saja dulu cimolnya.

Namun, suara mereka yang berbisik-bisik terdengar aneh.

"Unyil!" Arsha kesal. Bomat, deh! Bodo amat.

Ira menyenggol sikutku. Cimol yang terakhir yang hendak mendarat cantik di mulutku, terpaksa pergi. Dia meloncati jauh ke tanah.

Amsyonggg.

"Ra, itu Arhsa." Irma berkomentar.

Sebenarnya aku sendiri bertanya-tanya, setelah dia terjatuh, Arsha tidak kunjung bangun.

"Ya Allah, Arsha," pekikku.

Aku memintal ujung kaos olah raga. Merasa bersalah atas apa yang aku lakukan pada Arsha.

Di sini, di ruang UKS sekolah, lengan Arsha sedang diobati. Hanya pertolongan pertama karena setelah ini dia harus segera ke puskemas atau rumah sakit terdekat.

Takut kena tetanus katanya. Lengan Arsha kena goresan paku berkarat yang cukup panjang.

Duh! Nyesel banget, sumpah!

TTM 03

Parah! Besoknya, Arsha tidak masuk sekolah. Pun dengan beso dan besoknya lagi. Tuh, udah berapa besok rupanya?

Tidak masuknya Arsha ke sekolah selama tiga hari, membuatku dilirik sinis oleh beberapa wanita. Tau kan ya, kenapa itu mata pada sinis?

Yups! Arhsa memang Don Juan. Dikagumi banyak cewek. Arsha terluka, mereka ikut merasakan sakit. Suer tak kewer-kewer. Itu, tuh, lebay banget. Ishhh.

Bahkan, ada yang namanya geng ceria di sekolahku. Terdiri dari tiga cewek yang mengakui dirinya paling cantik, pinter dan kaya raya.

Okeh. Aku akuin untuk yang ketiga itu, memang benar. Sisanya? Relatif, sih, untuk yang pertama. Namun, untuk yang ke dua itu sangatlah bohong!

Mereka tidak pernah masuk ke tiga besar di kelasnya. Pinternya dari mana coba? Mendingan aku lah. Masuk ke sekolah ini karena prestasi. Juara lomba matematika gitu loh! Sudah beberapa piala yang aku persembahkan untuk sekolah ini.

Makanya, meski bukan anak orang kaya dan juga masuk ke dalam sebuah geng ternama di sekolah ini, aku pun cukup terkenal. Tentunya, terkenal karena dianggap sebagai pacarnya Arsha juga.

Ngeselin!

Geng ceria itu menghampiri saat aku dan teman-teman sedang menikmati cilok.

"Dududu. Enak, ya, makan cilok. Semenjak Arsha lagi sakit karena ulah kamu."

"Ck! Becandanya yang elit dikit, dong. Masa sampe nyelakian orang, sih!"

"Lagian, kenapa Arsha barus deket sama anak tukang rujak ini, sih? Gimana kalau dia kena soal juga? Kasian kan Arsha."

Sabar ... Sabar ... Godaan iblis memang sangat menggiurkan. Andai saja aku tidak berpikir baik, mungkin sudah aku hajar mereka.

Jangan dikira. Aku ini ikut ekskul karate. Bisa babak belur jika sampai aku hilang kendali.

"Heh! kamu itu di sini beruntung karena dapet beasiswa. Jadi, gak usah belagu. Arsha itu cuma deketin kamu karena kasian."

"Terus?"

"Ya kamu harus sadar diri, dong. Kalian itu cuma sebatas teman, bukan pacar."

"Gak apa-apa cuma temen tapi mesra, dari pada elu, ngaku pacar tapi kaya kek judul lagu. Kekasih yang tak dianggap. Kan ngenes."

Cindy memang berani dalam urusan menjaga martabat. Dia anti sekali pada yang namanya penindasan.

"Dia makan nasi, sama kaya kita. Ngapain takut. Kecuali kalau dia makan kecoa."

Begitulah yang Cindy katakan, dulu. Okay, kita balik lagi pada acara labrak melabrak.

"Ih, ngeselin banget sih! Dasar mulut cilok!" Farah terlihat sangat kesal. Bagaimana tidak, karena ucapan Cindy, dia ditertawakan teman-teman.

Dia pergi.

"Aku mau bicara sama kamu, Ra."

Malas sebenarnya. Dia temen Farah yang kata teman-teman, suka pada Arsha. Dia terlihat santai, tapi kita semua tau kalau dia itu keras dan suka main pukul. Bukan sekali dua kali dia kena marah karena sering berantem di sekolah.

Kami berjalan melewati belakang gedung. Tempat yang sepi. Biasanya ini dijadikan tempat berkumpulnya anak-anak pecinta gunung. Tempatnya memang seperti lapangan tapi kecil.

Dia berhenti. Aku yang ada dibelakangnya pun ikut berhenti. Lama sekali dia membelakangi.

Bugh!

Aku yang lengah tidak mengira akan mendapatkan serangan darinya.

Meski tidak sampai jatuh ke tanah, aku sedikit oleng. Rasanya panas dan perih. Mungkin jga berdarah karena aku merasakan benda cair yang asin.

Benar saja. Saat aku mengusap sudut bibirku, ada noda merah di telapak tangan.

"Itu hanya peringatan. Jauhi Arsha atau aku akan melakukannya lebih dari ini. Persetan jika harus dikeluarkan dari sekolah."

Matanya sangat tajam saat menatapku. Dia begitu serius saat berucap. Jujur saja, aku merasa takut padanya. Dia anak orang kaya yang bisa melakukan apa saja. Sementara aku? Taulah, ya.

"Kenapa selalu aku yang disalahkan atas kedekatanku dengan Arsha?" Langkah Keysha terhenti saat mendengar suaraku.

"Tanyakan sesekali padanya apa hubunganku dengan dia. Kami hanya berteman. Em, bukan. Kami hanya kebetulan satu kelas dari mulai SD hingga kini. Akrab pun tidak. Apa lagi pacaran."

"Justru ini yang membuat aku muak! Kamu berlaga sok jual mahal. Mau nunjukin kalau kamu itu lebih hebat dari aku, hah? Seorang Arhsa yang disebutkan banyak orang, terus kamu berlaga sok cuek. Menyebalkan!"

Keysha kembali ingin memukul tapi aku tangkis. Ilmu karateku lumayan bermanfaat saat ini.

"Woiii! Norak banget tau!"

Seseorang berteriak. Aku dan Keysha sama-sama mengalihkan pandangan pada arah suara itu. Bukan hanya satu, tapi mereka ber empat. Semua teman Arsha.

Keysha terlihat grogi dan salah tingkah. Dasar cewek mulut rombeng. Bilang tidak takut kalau dikeluarkan dari sekolah, tapi dia panik hanya karena teman-temannya Arsha.

"Apaan sih, Key? Lagu-laguan pengen berantem sama dia." Samsul menunjuk wajahku. "Yang ada, kamu itu bakalan dibenci sama Arsha. Mau?"

Keysha menggelengkan kepala cepat-cepat.

"Ya udah, pergi sana." Samsul mengeratkan giginya.

Keyhsa pergi. Lari terbirit-birit. Kini, hanya ada aku dan mereka ber empat. Takut? Sedikit. Secara, mereka itu empat cowok dan aku hanya seorang diri.

Samsul mendekat. Berjalan seperti preman yang hendak minta iuran.

Dia mengeluarkan ponselnya. Diutak-atik. Lalu memberikannya padaku.

"Arsha mau ngomong."

Aku melihat layar ponselnya. Ada Arhsa di sana. Dia tampak sedang tiduran di kamarnya. Aku menutup sedikit layar ponsel itu karena silau terkena sinar matahari.

"Jangan di sini, ah. Pacaran kok tengah lapangan kecil kaya gini." Samsul mengajakku berteduh.

Wajah Arsha terlihat jelas.

"Maaf, ya."

"Buat apa?" tanyaku malas.

"Bibir kamu berdarah gak?"

"Emang kenapa?"

"Tapi tetep cantik, kok."

"Duuuh, Arsha. Bisa gak sih kamu tuh gak usah ngasih aku perhatian kaya gini? Aku tuh bosen tau dilabrak terus cewek. Kita itu gak ada apa-apa tapi aku selalu kena sial gara-gara digosipkan pacaran sama kamu!"

"Ya udah, gosipnya dijadikan kenyataan aja atuh."

Bugh!

Aku memukul pelan perut Didi. Dia meringis sambil memegang perutnya.

"Bilang sama temen kamu yang satu itu, jadi teman itu jangan menyebalkan!"

Aku memberikan ponsel milik Samsul tepat di dadanya. Ponsel itu masih menyala.

Benar-benar menyebalkan! Ada apa dengan Arsha? Dia memang baik, tapi kebaikannya menimba masalah untukku.

Apa dia mau aku slepet? Geram sungguh!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!