NovelToon NovelToon

Love My Dokter Husband

KEHILANGAN

Kiran Larasati, atau sang akrab di sapa Kiran. Seorang wanita biasa, yang tumbuh tanpa seorang Ibu. Gadis berusia 26 tahun. Pekerja keras, dan selalu ceria.

Rangga Wijaya, pria berusia 30 thn. Seorang pengusaha sukses, yang sangat begitu mencintai Istri-nya, yang seorang berprofesi sebagai seorang Dokter. Tegas, dan arogant. Tapi sebenarnya, Rangga memiliki hati yang baik. Dia akan sangat mencintai, jika benar-benar telah jatuh cinta.

Adisty Wirawan, gadis cantik berusia, 28 tahun, dan juga merupakan saudara tiri dari Kiran. Sombong, dan juga memiliki sifat iri yang begitu besar pada Kiran. Dan begitu, tergila-gila pada seorang Rangga Wijaya. Cantik

Terlihat begitu pucat wajah itu, dengan selang infus yang terpasang di tangannya. Terbaring lemah, dengan tubuh yang terbaring tidak berdaya.

Sudah hampir dua minggu ini, Kiran terbaring lemah tak berdaya di salah satu rumah sakit, karena menderita penyakit gagal jantung. Besar harapan wanita itu, agar ada yang mau mendonorkan jantung untuk-nya. Tapi sampai saat ini, mereka belum menemukan orang, yang bersedia mendonorkan jantungnya.

Dian mendesahkan napas-nya yang panjang, lagi-lagi wanita berusia dua puluh enam tahun itu, lagi-lagi mendapati sahabatnya meneteskan air mata.

"Sudahlah, aku sangat yakin kalau pasti akan ada orang yang akan mendonorkan jantungnya untukmu," ucap Dian. Wanita berambut pendek itu, berusaha menenangkan Kiran dari tangisnya.

"Tapi siapa Dian? siapa?? Sampai sekarangpun, belum ada orang yang mau mendonorkan jantungnya untukku. Sementara semua jenis pengobatan-sudah dilakukan, tapi hasilnya sama saja. Aku masih ingin hidup Dian...Aku masih ingin hidup.." tangis Kiran. Raut wajah wanita itu terlihat nampak sangat putus asa, kala berkeluh kesah pada sahabatnya.

"Bersabarlah, aku yakin pasti akan ada orang yang mau mendonorkan jantungnya untukmu. Bukankah Dokter Rani sudah mengatakan, kalau dia akan mencarikan orang yang bersedia mendonorkan jantungnya untukmu?"

Senyuman kecil Kiran lukis di wajah, saat Dian kembali mengingatkan padanya, tentang ucapan Dokter Rani-seorang Dokter muda, yang menangani penyakit gadis berusia dua puluh enam tahun itu.

"Semiga saja Dokter Rani, mampu menemukan orang yang mau mendonorkan jantungnya untukku." Dan tanpa sengaja tatapan mata itu berpaling pada sebuah jam dinding, dan di sana Kiran mendapati waktu sudah menunjukkan pukul 8.30. "Ini susah jam setengah sembilan, tapi kenapa Doker Rani belum datang juga?" tanya Kiran.

"Mungkin saja dia masih bermesraan, dengan suami-nya, yang tanpan itu. Ahh..Seandainya saja aku memiliki suami, setampan suami Dokter Rani, pasti aku akan sangat bahagia."

Mimik cemberut membingkai di wajah Kiran, mendengar apa yang baru saja Dian katakan.

"Dan apakah kau tertarik pada suaminya?"

"Bukan tertarik! Tapi menganggumi, karena aku sama sekali tidak tertarik pada suami orang."

****

Wajah Rani terus membingkai senyuman, dengan bundaran setir yang dia putar kekiri, dan kanan saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, tempatnya berkerja. Dua mata yang tengah fokus pada arah jalan raya, tiba-tiba saja beralih, saat tiba-tiba saja terdengar nada panjang, yang menyapa gawai miliknya. Tangan itu mengulir panjang, menjangkau ponsel miliknya yang dia simpan di samping kursi kemudi itu. Membuka aplikasi WA-nya, dan mendapati satu buah pesan masuk di aplikasi WA-nya.

AKU MENCINTAIMU, SANGAT MENCINTAIMU.

Senyuman kecil Rani lukis di wajah. Saat lagi-lagi wanita yang berprofesi sebagai Dokter itu mendapati pesan cinta, yang dikirim oleh sang Suami, Rangga Wijaya.

Melaju pelan-kan kendaraan roda empatnya, saat menari-narikan jari-nya, di atas barisan huruf layar HPnya, saat membalas pesan itu.

AKU JUGA SANGAT MENCINTAIMU SAYANG...SANGAT MENCINTAIMU, HINGGA MEMBUAT DIRI INI BEGITU TAKUT KEHILANGANMU.

Usai membalas pesan dari suami-nya, Rani kembali meletakkan ponsel miliknya, pada kursi samping itu. Dan saat wajah itu kembali dia palingkan ke arah depan, betapa terkejutnya Rani saat mendapati sebuah truk besar, yang tengah melaju lawan arah dengannya. Dengan cepat wanita yang berprofesi sebagai Dokter beda itu-memutar haluan setir, agar terhindar dari kecelakaan. Kecelakaan dengan truk besar itu bisa terhindar, tapi Rani tak mampu menhentikan lajuan kendaraan, sebab rem-mobilnya, tidak bisa berfungsi.

"Tidak! Ini tidak mungkin," gumam Rani. Wajah wanita itu begitu memucat, saat dia berusaha menghentikan lajuan kendaraan, tapi rem-nya tidak berfungsi dengan baik. Hingga kecelakaan-pun, tak dapat dia hindari.

"Aaahhhh......"teriak Rani, saat mobil yang dia kendarai kian mendekat pada pembatas jalan.

BRAAK!" Suara yang sangat menggema, saat mobil yang Rani kendarai, menabrak pembatas jalan itu. Cucuran darah segar, membasahi wajahnya. Tatapan mata yang nampak buram, seolah dunia tak telihat jelas olehnya lagi, kala mau akan menjemput. Air mata jatuh, merasa hidupnya tak lama lagi. Menggapai ponsel itu, dan merekam suaranya.

Pesan

Buat Suamiku. Aku juga sangat mencintaimu, sangat mencintaimu, hingga membuatku diri ini, sangat takut kehilanganmu. Dan disaat kau mendengar rekaman ini, mungkin aku sudah tidak ada lagi." Dengan terus, meneteskan air matanya. "Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku, walaupun aku sudah tidak ada lagi. Aku ingin kau mendonorkan jantungku pada Kiran, salahsatu pasienku yang menderira gagal jantung. Aku sangat menginginkan kesembuhannya, dan semoga saja jantungku ini bisa menyembukan dia, dari penyakitnya. Aku mencintaimu Sayang...Sangat mencintaimu. Tapi takdir berkata lain, karena aku harus terlebih dahulu meninggalkanmu." Usai merekam suaranya, gawai itu terelepas sendiri dari genggaman Rani, dan akhirnya dia meninggal di sana.

Akses jalannpun macet, saat kecelakaan maut itu terjadi. Dengan cepat para pengguna jalan lainnya, menghampiri mobil naas itu, dan di sana mereka mendapati seorang wanita yang tewas dengan mengenaskan.

Salahsatu pria yang berada dilokasi kejadian, mencoba untuk memastikan masih hidup, atau meninggal dengan cara menyentuh denyut nadi wanita itu.

"Wanita ini, sudah meninggl," seru wanita itu dengan setengah teriakan.

Saat semuayang berada di lokasi kejadian nampak iba dengan kedaan Dokter Rani, yang sudah merenggang nyawa, justru ada satu pria yang berada di sana, yang sangat bahagia dengan tewasnya wanita itu. Senyuman kecil dia ukir di wajah, dengan jemari meraih gawai yang berada di dalam saku celananya, dan menghubungi seseorang di sana.

"Hallo," sapa-pria itu, pada penelpone diseberang sana.

"Hallo, bagaimana? Apakah semuanya sudah beres?"

"Sudah beres, dan dia sudah berakhir."

"Baiklah. Aku akan segera mentransferkan uangmu," jawab penelpone diseberang sana, dengan langsung memutuskan sambungan teleponenya.

****

COMPANY GROUP

Dua mata itu Rangga terawangkan jauh, menatap keindahan kota Jakarta, dari lantai dua puluh miliknya. Lama menatap, dan dua mata itu beralih pada saku celananya, guna menjangkau ponsel yang dia simpan pada saku celana-nya.

Senyuman kecil mengukir indah di wajah tampan Rangga, mendapati wajah sang Istri, pada layar HPnya.

"Aku sangat mencintaimu Rani...Sangat mencintaimu," gumam Rangga, dengan tatapan penuh cinta pada wajah sang istri.

Terlalu mencintai, akhirnya membuat Rangga memutuskan untuk menghubungi sang istri-Rani. Saat melakukan panggilan pertama kali, dia harus menelan rasa kecewa, saat panggilan itu diabaikan.

"Kenapa dia tidak mengangkatnya? Apakah dia sedang memeriksa, adik angkatnya itu? Hingga sampai teleponekupun, dia abaikan!" gerutu Rangga. Wajah pria itu nampak sangat kesal, saat telepone-nya diabaikan.

Membiarkan beberapa menit berlalu, dan Rangga kembali menghubungi Istri-nya. Dan kali ini, panggilan telepone terjawab.

"Hallo.." Dan terdengar suara asing, yang menyapa padanya.

"Hallo siapa ini? Di mana Istriku?! Sampai anda yang menjawab panggilan teleponenya!" Nada suara itu terdengar kesal, saat Rangga melontarkan pertanyaan pada orang asing itu.

"Hallo Tuan, aku Sinta. Salah satu perawat, yang bekerja di rumah sakit XXX. Dokter Rani mengalami kecelakaan, dan.." belum selesai dia menyelesaikan kalimatnya, pengusaha kaya itu sudah menyela.

"Apaa?? kecelakaan?!"

"Iya Tuan,"

"Baiklah, saya akan ke sana sekarang." Dengan segera melangkahkan dua kakinya ke luar dari dalam ruang kerja, setelah kunci mobil dia sambar.

Ayunan kaki yang Rangga ayunkan nampak tergesa-gesa, saat dua kaki itu, dia ayunkanmenuju arah lift. Akibat rasa panik yang teramat sangat dia rasakan, membuat pria dengan tinggi 182cm itu, mengabaikan Doni sekretaris pribadinya, yang menatapnya dengan aneh.

"Tuan! Anda mau kemana?" Tatapan mata Doni ikut melempar, mengikuti arah perginya Rangga.

Langkah kaki yang telah Rangga ayunkan seketika dia jeda, saat mendengar seruan dari Doni. Membalikkan tubuh itu, dengan wajah panik yang menyelimuti.

"Kau urus kerjaan, hari ini. Istriku mengalami kecelakaan. Dan sekarang, sedang berada di rumah sakit. Dan batalkan juga rapat, dan pertemuanku dengan klien hari ini."

"Baik Pak! Dan kalau ada apa-apa, hubungi aku."

"Baiklah," jawab Rangga, dan dua kaki itu kembali dia lanjutkan.

AMARAH RANGGA

Kiran sudah terbaring di meja operasi. Air mata terus saja menggenangi dua pipi mulus gadis muda itu, saat dia mengetahui kalau Dokter Rani, Dokter selama ini merawat sakitnya, sudah meninggal dunia. Dan membuat kesedihan itu kian mendalam Kiran rasakan, saat mengetahui kalau Dokter Rani sendirilah, yang akan jantung untuk kesembuhannya.

"Aku sangat bahagia, sebab aku mempunyai kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. Tapi di balik rasa bahagia ini, ada nyawa yang sudah terbaring tak berdaya. Terima kasih Dokter Rani, terima kasih. Karena sudah begitu baik padaku, selama aku berada di rumah sakit ini. Bahkan sebelum meninggalpun,anda masih berbuat baik padaku," gumam Kiran dalam hati.

***

Suasana genting tengah menyelimuti depan ruang operasi. Para tim medis terpaksa menunda operasinya, akibat menghadapi amukan dari Rangga Wijaya, yang tak lain adalah suami-dari Dokter Rani. Pria itu begitu sangat marah, saat dirinya mengetahui, kalau para Dokter akan mengambil jantung istrinya, dan memberikan pada salahsatu pasien penderita gagal jantung, yang tak lain adalah Kiran Larasati.

"Apa kalian sudah, gila?! Melakukan operasi pada istriku, yang sudah meninggal. Aku begitu terpukul atas kematiannya, malahan kalian mau mengambil keuntungan dari dia, dengan mengambil jantungnya. Ingat! Aku sama sekali tidak setuju!" hardik Rangga. Pria itu terlihat begitu marah, saat mengetahui kalau para Dokter akan mengambil jantung Istrinya, dan mendonorkan pada seorang pasien, yang tak lain Kiran Larasati.

Devan, yang merupakan salahsatu Dokter sepesialis jantung, seketika menyela, mendengar apa yang baru saja dikatakan suami-rekannya itu.

"Kami tahu, kalau ini melanggar prosedur, apalagi tanpa persetujuan dari pihak keluarga. Tapi ini keinginan Dokter Rani sendiri, sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya, Tuan Rangga!"

Amarah yang tadi berapi-api, musnah seketika bergantikan dengan raut wajah kaget, setelah Rangga mendengar apa yang dikatakan , rekan Istrinya.

"Maksudmu, ini keingiannya sebelum meninggal?" Dua mata membulat lebih penuh,saat pria itu melontarkan pertanyaan pada Devan.

Untuk lebih meyakinkan Rangga. Devan menjangkau ponsel sahabatnya, dan memberikan benda pipih itu, pada pria Rangga Wijaya.

"Pasti anda mengenal, kalau ponsel ini milik Dokter Rani," ucap Devan, dengan menyerahkan gawai milik sahabatnya, ke tangan Rangga.

"Sebelum meninggal, Dokter Rani meninggalkan pesan lewat rekaman suara. Dia menginginkan jantungnya didonorkan pada Kiran, salahsatu pasiennya. Dan aku rasa anda juga sudah tahu, kalau Dokter Rani memiliki hubungan yang begitu dekat, bahkan sudah seperti saudara sendiri, dengan Kiran. Mungkin juga karena faktor itulah, yang membuatnya mendonokan jantungnya pada Kiran, sebelum dia meninggal," lanjut Devan lagi.

Sepasang pupil mata Rangga, dia lemparkan sekilas pada Devan, saat masih merasa ragu dengan ucapan Dokter muda itu.

"Bukalah rekaman suaranya, agar lebih percaya kalau kami memang tidak berbohong," seru Devan.

Ragu dia rasakan. Tapi untuk memastikan ucapan Dokter muda itu, akhirnya Rangga mengiyakannya. Memainkan Ibu jarinya pada layar datar itu, guna mencari aplikasi galeri di sana.

Airmata meluncur bebas dari sepasang pupil mata Rangga, begitu pria itu mendengar, ungkapan cinta terakhir sang Istri.

"Aku juga mencintaimu Rani, sangat mencintaimu," gumam Rangga pelan. Mengusap air mata itu, karena dia begitu mencintai sang Istri.

Tatapan mata itu Rangga alihkan pada Devan, yang masih terus menatap padanya.

"Lakukanlah, kalau memang ini keinginan Rani sebelum dia meninggal."

Devan menghembuskan napasnya yang panjang. Sesak teramat dia rasakan, melihat kondisi Rangga yang sangat begitu terpukul, dengan kematian Istrinya. Iba dia begitu dia rasakan, tapi ini memang sudah takdir yang kuasa. Baru beberapa tahun mereka menikah, tapi Rani sudah terlebuh dahulu meninggalkannya.

"Kalau aku berada diposisimu, pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. Tapi bagaimanapun, kita harus memenuhi keingian orang yang sudah meninggal. Apalagi ini keinginan terakhirnya."

Hanya melukis senyuman kecil di wajah, senyuman berusaha dia untuk tampilkan, karena nyatanya itu palsu. Dan dia pun membenarkan ucapan yang baru saja dikatakan Devan. Apalagi kalau ini, keinginan terakhir mereka.

"Baiklah!"

Para tim medis saling melemparkan tatapan, setelah Rangga mengiyakan untuk melakuan operasi transpalasi ini.

"Baiklah. Kalau begitu, kami harus segera melakukan operasinya sekarang juga."

"Baiklah," jawab Rangga. Walaupun berat, pria itu tak mampu untuk menolaknya.

Kedua mata Rangga beralih pada ruang operasi, di mana lampunya telah menyala, pertanda operasinya sudah berlangsung.

Menghembuskan napas nya panjang, dan segera mengambil langkah lebarnya berlalu dari ruangan itu, saat tak kuat hatinya untuk berlama-lama, di depan ruang operasi.

Melangkah, dan terus melangkah. Saat ini, Rangga bagai sebuah tubuh tak berjiwa. Meninggalnya Rani, membuatnya dunianya terasa gelap seketika.

Tak kuat melangkah lagi, akhirnya tubuh itu Rangga labuhkan disebuah kursi panjang, yang berada di lorong itu. Menangis, dan hanya bisa menangis, karena kehilangan wanita yang begitu dia cintai.

"Aku begitu mencintaimu, Rani! sangat mencintaimu. Apakah aku bisa? Apakah aku bisa, menjalani hari-hariku tanpamu, Rani? Tak melihat dirimu sehari saja, sudah membuatku gila. Apalagi selamanya? Aku tak menyangkah kalau bagian dari dirimu, ada pada wanita lain," gumam Rangga dengan terus meneteskan, air matanya.

****

KEDIAMAN ANDI HERMAN

Cantik, dan juga terpelajar. Itulah gambaran saudara tiri dari Kiran Larasati, Adisty Sukma.

Kedua kakinya bertaut, dengan jemari terus saja menggapai cemilan ringan yang berada dalam topels kaca, saat tatapan mata itu terus dia tatapkan pada layar televisi.

Netra mata yang sedari tadi menampilkan tatapan biasanya, menyeruak seketika-begitu Adisty menyaksikan sebuah berita pagi, yang menayangkan kecelakaan tunggal, yang menimpah istri seorang pengusaha.

"Ma...Mama...."teriak Adisty pada sang Bunda, Mama Rati.

Mama Rati terlihat begitu kesal, dengan suara putrinya yang terasa begitu menyakitkan di telinga. Mulut wanita berusia lima puluh lima tahun itu, terus saja berkomat-kamit, saat dua kakinya dia ayunkan, menuju asal suara putrinya.

"Ada apa kamu teriak-teriak, Disty?!" Nada kesal, dengan tatapannya yang tajam.

"Tuh! Lihat di sana. Istri dari rangga Wijaya, sudah meninggal," seru Adisty. Sudut matanya beralih pada layar televisi, agar sang Bunda menyaksikan tayangan berita pagi hari.

Tatapan mata Mama Rati berpaling pada layar televisi, dan dia begitu kaget, saat menonton berita pagi yang ditayangkan di televisi. Tapi seketika wajah tegang itu, berganti dengan sebuah senyuman bahagia, karena bahagia dengan kematian Rani..

"Biarkan saja! Kalau dia meninggal. Karena dengan begitu kesempatanmu menjadi menantu keluarga Wijaya bisa terwujud, karena Papamu bersahabat baik dengan Papanya Rangga."

"Yang benar saja, Maa! Pasti Papa akan memberi kesempatan itu, pada putrinya yang kampungan itu."

Senyuman kecil mengukir indah di wajah tua Mama Rati, dengan tubuh yang dia labuhkan disisi putrinya.

"Kiran itu menderita penyakit jantung, dan kau lihat, sudah banyak uang yang dikeluarkan Papamu, untuk mengobati penyakitnya, tapi sampai sekarang, belum juga adanya kemajuan. Malahan yang Mama dengar dari Papamu, alau penyakitnya kian bertambah parah."

"Dan Papa, sekarang sedang mencari orang untuk mendonorkan jantungnya, Maa! Bukankah kalau mendapat pendonor, anak itu bisa sembuh?!"

"Iya, Mama tahu. Tapi dia kira gampang apa! Mendapatkan orang, yang mau mendonorkan, jantungnya. Dan Mama yakin, sebentar lagi anak itu akan menghadapi kematiannya."

Seringai jahat menyelimuti wajah cantik Adisty, setelah gadis itu mendengarkan apa yang sang Bunda tuturkan.

"Benar sekali, Maa! Dan aku akan segera mempersiapkan pakaian hitam, untuk kematiannya."

"Benar sekali," timpal Mama Rati, dan mereka pun tertawa bersama-sama.

****

RUMAH SAKIT

Kiran menerawangkan dua matanya, jauh. Air mata terus saja tumpah membasahi dua pipi mulus gadis itu. Bukan kesedihan karena memikirkan sakitnya, tapi karena memikirkan Dokter Rani.

"Sudahlah, jangan menangis. Mau sampai kapan, kamu bersedih terus?! tegur Dian.

"Aku merindukan dia, Dian! Aku merindukannya. Selama menjalani pengobatan di rumah sakit ini, dia begitu baik padaku. Bahkan sebelum kematiannya saja, dia masih berbuat padaku, dengan mendonorkan jantungnya untuk kesembuhanku."

Dian tersenyum getir. Tak berbicara, dan dia pun tenggelam dalam apa yang Kiran katakan, tentang mendiang Dokter Rani. Wanita itu bukan hanya cantik, tapi memiliki hati yang begitu baik. Dan wajar saja, kalau Kiran merasa begitu kehilangan.

TIBA-TIBA RINDU

Sudah melewati beberapa jam, gadis berambut panjang itu, hidup dengan jantung dari Dokter Rani. Airmata yang tadi tumpah menggenangi kedua pipinya, sudah terhenti saat dirinya di landa perasaan aneh.

Dag, Dig, Dug. Detakan jantung itu mulai bekerja, hingga menimbulkan rasa aneh seketika dalam diri Kiran. Menerawang jauh ke depan, saat rasa itu kian melanda.

Dian seketika menatap dengan intens pada sahabatnya, dengan tatapan heran kala mendapati Kiran larut dalam dunianya sendiri.

"Tadi kau menangis. Kenapa sekarang justru, kau diam? Apakah ada yang tiba-tiba mengganggu pikiranmu, Kiran?"

kedua matanya teralih pada Dian, yang tengah menatapnya dengan heran.

"Aku merasakan ada yang aneh dalam diriku, Dian!"

"Aneh!" dengan raut wajah tiba-tiba berubah serius, kala mendengar jawaban Kiran yang membuatnya seketika di landa penasaran.

"Aneh! bagaimana maksudmu? Aku tidak mengerti!" raut wajah itu semakin dilanda rasa ingin tahu, kala mendengar jawaban sahabat baiknya.

"Aku merindukan seseorang. Bahkan sangat merindukannya. Dan aku tidak tau kenapa?"

Kedua alis Dian bertaut, dengan senyuman yang nampak mencemooh pada teman baiknya itu.

"Papamu! apakah kamu merindukan dia? Bukankah kau pun tau, kalau dia itu hanya sibuk berkerja, tanpa memikirkanmu, Ran!"

Menyimpulkan senyum di wajah, dan hatinya sedikit tercubit dengan apa yang baru saja di katakan teman baiknya itu.

"Dan aku sangat beruntung memiliki teman baik seperti dirimu, Dian! dan buat apa aku merindukannya. Dia selalu saja lebih mengutamakan Kak Adisty, dan juga Mama Rati, dan sama sekali tak menganggapku."

Kian di landa penasaran, mendapati jawaban Kiran tidak sesuai dengan apa yang dia tanyakan.

"Kalau kau tidak merindukan Papamu! terus siapa yang kau rindukan?"

"Sulit untuk dijabarkan, Dian! karena akupun merasah aneh."

"Aneh! aneh bagaimana? Apakah kamu tidak dapat bernapas dengan baik?"

"Tidak. Justru aku merasakan kondisiku jauh lebih baik, setelah operasi tranpalasi jantung ini."

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka, dan menampilkan seorang pria muda dengan jas putih, yang membalut pada tubuh atletisnya. Daven mengayunkan langkah ke dalam ruangan, dengan terus menyimpulkan senyuman pada Kiran yang tengah menatap padanya.

"Bagaimana keadaanmu, Nona Kiran? Apakah sudah jauh lebih baik, pasca operasi?" bertanya dengan menepi pada pinggiran ranjang hospital.

Melukis senyum tipis di wajah, saat tatapan matanya beradu dengan Dokter muda itu.

"Sudah jauh lebih baik Dokter, Daven! dan terima kasih."

Mengukir senyun di wajah, mendengar kata terima kasih yang di katakan gadis berambut lurus itu.

"Jangan berterima kasih padaku, karena Dokter Ranilah hingga kau bisa sembuh."

"Dokter!" panggil Kiran tiba-tiba.

"Ada apa, nona Kiran?"

"Kapan jenasah Dokter Rani, akan di makamkan?"

"Besok. Di tempat pemakaman XXX."

"Hemm...." dan diapun terlihat ragu, saat ingin menanyakan sesuatu pada Dokter muda itu.

"Apa yang ingin kau tanyakan, Nona Kiran?" dengan tatapan seketika menatap penuh pada Kiran, yang tersenyum kikuk.

"Dimana suami Dokter Rani?" wajah Kiran sedikit meronaz kala menanyakan keberadaan pengusaha kaya itu.

"Tuan Rangga sudah pulang, Nona Kiran! mungkin untuk mengurus pemakaman istrinya besok. Memangnya kenapa Nona Kiran? Apakah ada sesuatu yang ingin anda sampaikan padanya? Biar saya yang akan menyampaikan."

"Ti..tidak." jawabnya terbata. "Dokter! bolehkah saya mengikuti acara pemakaman besok?"

"Apakah kamu yakin? karena kondisimu, belum sepenuhnya pulih."

"Saya yakin, Dokter!"

"Baiklah, kalau memang kamu memaksa. Dan ingat, jangan lupa minum Obatnya. Dan kalau begitu saya permisi dulu," dengan mengayunkan langkah keluar dari ruangan itu.

"Terima kasih, Dokter!" seru Kiran, kala pria itu akan melangkah keluar.

Kiran kembali menerawangkan tatapannya, kala kerinduan kembali melanda pada Rangga Wijaya.

"Ada apa denganku? Kenapa aku merasakan hampa dalam hatiku? Aku merindukan dia! Tapi kenapa begini? Kenapa tiba-tiba aku merindukan, Tuan Rangga? Memang siapa dia? Padahal kami tidak memiliki hubungan apapun. Dan ada apa dengaku? Kenapa tiba-tiba aku merasakan hal aneh ini?" sejuta penasaran membelenggu diri Kiran, saat perasaan aneh kian membuatnya gelisah.

"Kiran.." Dian memanggil tiba-tiba, dengan menggoyang pelan tangan sahabatnya, saat Kiran larut dalam dunianya sendiri.

"Ada apa?" dengan tersenyum kikuk.

"Aku yang sebenarnya bertanya padamu. Kenapa kau melamun? Dari tadi kau terlihat aneh. Dan tadi kau menanyakan Tuan Rangga. Apakah ada hal penting, yang ingin kau bicarakan dengan dengannya?"

"Ti..tidak! memang hal penting apa yang harus aku bicarakan dengannya." dengan senyum kikuknya, berusaha menutupi hal itu dari sahabatnya.

****

Walapun sakit, dan hatinya begitu hancur tapi Rangga tetap berusaha untuk kuat. Melajukan kendaraan roda empatnya, di waktu yang sudah menunjukkan pukul dua siang.

Nada panjang terdengar tiba-tiba pada ponsel pria itu, yang seketika mengalihkan tatapannya yang tengah menyetir.

Menggapai benda pipih itu, dan mendapati nomor baru di sana.

Hening sesaat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan masuk itu, setelah jemarinya dia labuhkan pada icon hijau.

"Hallo!" sapanya pada penelpone di seberang sana.

"Hallo! apakah ini dengan Tuan Rangga Wijaya?"

"Iya benar, ini dengan saya sendiri. Dan kalau boleh tau, ini dengan siapa?"

"Kami dari kantor polisi. Dan bisakah anda datang sekarang? Sebab ada hal penting yang perlu saya bicarakan, dengan anda."

Wajah serius seketika menyelimuti wajah tampan Rangga, dan segera menepihkan mobil mewahnya pada bibir jalan seketika terlibat perbincangan serius dengan anggota polisi.

"Maaf! kalau boleh tau, ada hal penting apa? hingga anda meminta saya untuk datang ke kantor polisi."

"Kami menemukan kejanggalan atas kecelakaan yang menimpah istri anda, tadi pagi. Jadi saya ingin membicarakan hal ini, dengan anda."

Wajah tampannya seketika berubah tegang, setelah mendengar apa yang di katakan oleh anggota polisi itu. Dengan segera kembali menyalakan mesin mobilnya, dan melajukan kendaraan itu dengan kecepatan tinggi.

"Baiklah. Saya akan kesana sekarang."

Bundaran setir memutar dengan cepat, dengan raut wajah gelisah semakin menyelimuti.

"Kejanggalan! tapi siapa? Siapa yang sudah tega melakukan ini pada istriku?" raut wajah gelisah sembari bolamata yang sudah berkaca-kaca, saat amarah bercampur dengan kesedihan dalam diri.

****

Memutar haluan setir, memasuki sebuah area gedung perkantoran, kala dirinya sudah tiba di tempat tujuan.

Membuka pintu mobil, dan segera mencondongkan tubuhnya keluar dari dalam, dengan melangkah cepat menuju kantor itu.

"Selamat siang! saya ingin bertemu dengan pimpinan kalian." Rangga menyapa, kala berada dekat dengan satu oknum polisi yang tengah berjaga.

"Tuan, Rangga Wijaya!" seru polisi muda itu, mencoba untuk menebak.

"Iya saya sendiri."

"Ayo masuk, Tuan! Brigadir Anto sudah menunggu." dengan kaki melangkah ke dalam kantor, yang di ikuti oleh Rangga.

Polisi muda itu segera melabuhkan ketukan pada badan pintu, saat sudah berada di depan ruangan pimpinannya.

"Masuk.."

Melebarkan daun pintu, yang menampakkan seorang pria gagah dengan seragam polisinya yang sedang sibuk dengan komputernya.

"Maaf Pak! saya mengantarkan Tuan Rangga."

"Selamat Siang! kenalkan saya Rangga Wijaya." dengan mengulurkan tangannya pada pria itu, saat sudah bertatapan dengan polisi muda itu.

"Anto." dengan membalas uluran tangan pengusaha kaya itu. "Dan silahkan duduk," ucapnya kemudian.

Rangga segera melabuhkan tubuhnya pada sebuah kursi tunggal yang berjejer rapiz di ruangan oknum polisi dengan pangkat Brigadir itu. Dan tanpa berbasa-basi, lelaki dengan tinggi 182cm itu, segera melayangkan pertanyaan, untuk menjawab rasa penasaran yang sedari tadi begitu mengusik dirinya.

"Anda mengatakan. Kalau kecelakaan yang menimpa istri saya, ada kejanggalan. Maksud Bapak? Apakah ada yang ingin membunuh istri saya, dengan membuat seperti terjadi kecelakaan?" wajah serius, dan tatapan penuh pada pria muda itu.

"Kami menemukan tali rem putus pada mobil istri anda. Dan kemungkinan, ada orang yang sengaja melakukan hal ini."

"Apakah anda yakin?" semakin memicingkan kedua matanya, untuk mempertegas ucapan pria itu.

"Kami sangat yakin, Tuan! dan pasti ini melibatkan orang yang tinggal di rumah anda."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!