Gelegar petir menyambar saling bersahutan. Gemuruh angin menggulung bagai hantaman rudal yang memorak-porandakan setiap apa yang dilewatinya. Menerbangkan debu dan dedaunan kering yang berserakan. Mematahkan ranting-ranting pohon yang tak kuasa mempertahankan diri pada induknya. Cahaya kilat seolah berlomba menghantam apa saja yang menghalangi jalannya.
Duar ... duar ... duar!
Tak henti-henti suara itu memekakkan telinga. Sebagian orang menutup indera rungu mereka menggunakan kedua tangan, sebagian orang saling berpelukan berbagi rasa takut yang menguasai hatinya. Dan sebagian lagi berdiri menantang pada langit yang terlihat murka.
Langit tak henti menurunkan airnya, kian lama kian deras dan tak terbendung. Selokan-selokan menggenang oleh sampah yang sengaja dibuang. Air sungai meninggi, laut pun pasang. Tak ada yang berani melangkahkan kakinya keluar rumah.
Kecuali dia yang berdiri di depan jendela kaca yang besar. Di lantai tertinggi sebuah mansion yang dibangun bak istana raja itu. Pandanganya murka, dendam dan kebencian tersirat jelas di maniknya yang kelam. Kini nampak pekat dan dikuasai api amarah.
"Temukan dia! Rampas apa yang ada padanya. Bunuh dia dan buang mayatnya ke lautan!" Suaranya dingin menusuk. Perintah itu tak dapat ditolak mereka-mereka yang berbaris di belakangnya dengan seragam resmi pengawal.
"Baik, Tuan!" sahut mereka serempak.
Sepuluh orang berseragam serba hitam itu, bubar secara teratur saat Tuan mereka mengibaskan tangan ke udara sebagai perintah lanjutan tanpa suara.
Matanya menyipit menatap kilat cahaya yang tak berhenti disuguhkan langit di kegelapan. Ia menopang kedua tangan di belakang tubuh. Tegap dan gagah, rahangnya yang keras mempertegas garis wajah miliknya. Matanya tajam dibingkai bulu mata yang hitam dan alis yang tebal.
"Kau tidak akan pernah bisa lari dariku! Seberapa jauh pun kau pergi dariku, aku pasti akan menemukanmu." Senyum smirk tercetak di bibirnya yang tipis. Wajahnya terlihat licik penuh muslihat. Tangannya yang ia simpan di belakang tubuh, mengepal dengan kuat.
Dia Kevin Aji Negoro seorang pengusaha muda yang memiliki kekuasaan di seantero dunia bisnis. Namanya yang besar sangat membawa pengaruh pada perputaran roda usaha yang dirintisnya. Kejam, dan tak pernah basa-basi saat tangannya berniat menghancurkan siapa saja yang dianggapnya sebagai musuh.
Oleh karena kuasanya yang begitu besar, banyak pengusaha-pengusaha kelas teri yang menjadi penjilat. Bersikap manis di depannya bahkan rela menghambakan diri di bawah kakinya hanya untuk mencari simpati dari laki-laki berahang tegas itu.
"Sayang!" Suara lembut nan merdu seorang wanita cantik dan seksi mengalihkan perhatiannya. Sebuah pelukan hangat ia dapatkan dari belakang tubuh. Wajah yang terbenam di punggung tegaknya, ia tahu apa yang diinginkan wanita itu.
"Sayang, aku takut. Kenapa kau lama sekali? Aku bosan menunggumu di kamar," katanya merajuk manja. Laki-laki itu masih bergeming. Ia menutup mata rapat-rapat. Sesaat terbersit dalam hatinya, rasa hangat itu pernah ia dapatkan dari seseorang.
Ia berbalik berhadapan dengan wanita cantik yang berhasil merebut hatinya bahkan menjadikannya ratu di mansion besar itu. Iris kebiruan yang nampak indah dan berkilau saat terkena terpaan cahaya miliknya, selalu membuatnya hanyut dalam buai cinta yang memabukkan.
Tangannya menyapu lembut pipi seputih susu juga lembut terasa. Bibirnya mengukir senyum yang mampu membuat bergetar seluruh sendi setiap yang melihatnya. Senyum itu jarang ia tunjukan terkecuali pada mereka yang ia anggap berharga dalam hidupnya.
"Kenapa? Apa karena petir dan angin di luar?" tanyanya lembut. Suaranya redam saat suara gemuruh guntur mengiringi. Wajahnya berkilat penuh pesona ketika cahaya kilat dari langit mengenainya.
Anggukan manja dari wanita itu membuatnya mengecup gemas setiap lekuk wajah cantiknya.
"Baiklah, my Queen! Kita kembali ke kamar," katanya menggamit hidung bangir wanita itu menggunakan dua jari. Ia tersenyum senang, laki-laki itu pada akhirnya takluk di bawah kuasanya. Mudah saja untuknya mengendalikan emosi laki-laki yang menggendongnya mesra.
"Bagaimana dengan dia?" tanyanya sembari ikut melingkarkan tangan di pinggang kekar lelaki tersebut.
"Kau tidak usai risau, dia sudah diurus orang-orangku. Aku tak akan membiarkan dia yang sudah berniat jahat ingin mencelakai cintaku ini hidup," kecamnya tanpa perasaan. Semakin senang si wanita mendengar penuturan tegas itu darinya.
"I love you!" bisiknya mesra di telinga. Lidahnya terjulur mencecap sedikit kulit di belakang telinga tersebut.
"Love you too! Kau nakal, ya!" Tanpa basa-basi ia mengangkat tubuh ramping itu dan menggendongnya ala bridal style. Jerit manja sengaja ia perdengarkan di tengah amukan badai malam itu. Seolah menantang bahwa ia tetap bersenang-senang meski alam sedang tak bersahabat. Laki-laki yang membopongnya itu akan menghalau semua rintangan yang menghambat langkahnya.
"Sayang, kau membuatku geli! Hentikan!" Gelak tawa sepanjang menyusuri lorong lantai tertinggi itu terdengar hingga ke lantai dasar. Membuat iri setiap pasang mata yang diam-diam memandang ke arah keduanya meskipun hanya berupa bayangan saja.
"Kau yang menggodaku lebih dulu, sekarang kau akan menerima hukumannya karena telah membangkitkan singa yang tertidur," katanya mengancam lengkap dengan senyum mesum yang mencuat ke permukaan.
"Aku mau! Jika hukumannya justru membuatku mengerang nikmat," tantangnya sembari melingkarkan kedua tangan di leher tegas sang pria.
"Oh ... benarkah! Tak akan aku ampuni kau malam ini, menjeritlah sekencangnya! Akan kubuat kau tak berdaya malam ini!" Ia menyeringai sembari menurunkan tubuh itu sesaat setelah memasuki kamar mereka.
Cecapan lidah terdengar di kesunyian ruang tersebut. ******* dan erangan pun tak ditahan saat lidah mereka menerobos dari sela-sela bibir yang terbuka. Pergumulan panas yang siapa saja dapat membayangkan kenikmatan yang disuguhkan laki-laki itu. Mereka selalu mendamba, mereka menginginkan hal yang sama seperti yang didapat wanita itu.
"Kenapa Tuan tidak bersikap adil kepada kita? Selalu dia yang diajaknya bercinta," gerutu salah satu dari ketiga pemilik pasang mata yang mengintai dalam diam.
"Kita tidak selevel dengannya, kau tahu siapa dia, bukan? Semua laki-laki menginginkan dirinya, mereka ingin mencecap setiap lekuk tubuh wanita itu. Aku sendiri bahkan merasa iri saat membandingkan tubuhku dengannya. Dia begitu sempurna, patutlah Tuan kita lebih banyak menghabiskan waktu dengannya untuk bercinta," sahut yang lain tak kalah cemburu melihat kemesraan sang Tuan dengan salah satu rekannya.
"Kau benar, aku terkadang minder. Tidak percaya diri saat Tuan datang ke kamarku dan meminta dilayani, aku ingin tahu bagaimana cara wanita itu melayani Tuan kita?" timpal yang lain terdengar putus asa.
"Tapi, berkat dia kita berhasil menyingkirkan wanita itu. Seperginya dia dari rumah ini, Tuan akhirnya melirik kita meksipun jarang. Seandainya wanita itu masih di sini, aku yakin dia akan terus-menerus meracuni pikiran Tuan untuk tidak menyentuh kita," kata yang lain lagi mengingat kembali masa-masa di mana mereka hanyalah seorang pelayan di dapur dan di rumah. Bukan di kamar.
"Kau benar, lagi pula siapa yang tidak ingin disentuh lelaki seperti Tuan kita itu?" Senyum-senyum genit mencuat dari bibir mereka yang dipoles gincu merah terang.
Ketiganya membayangkan saat-saat melayani lelaki yang mereka sebut Tuan itu. Mereka memang gila! Begitu inginnya didatangi laki-laki yang bukan berstatus sebagai suami. Apa yang mereka harapkan?
"Aku harap saat Tuan datang ke kamarku, dia lupa membawa pengaman," celetuk yang lain sesaat setelah mereka diam dalam hayal.
"Atau si tua bangka itu lupa untuk memberi kita pil," sungut yang lain kesal.
"Kenapa dia selalu tahu kalau kita tidak menelan pil tersebut, dia seperti cenayang yang-"
"Atau aku datangkan Dokter untuk memberikan suntikan obat pada kalian agar selamanya kalian tak dapat memiliki anak!" sarkas sebuah suara dari arah belakang mereka.
Kompak ketiganya menoleh dalam tegang. Tubuh mereka menggigil ketakutan, gentar kaki tak mampu menopang.
"Bu-bu Tin! Ka-kami ti-tidak bermaksud demikian, ka-kami ha-hanya-"
"Bubar! Tinggalkan tempat ini, kalian beruntung Tuan masih mau mendatangi kamar kalian. Saya tidak akan mentolerir lagi jika menemukan kalian masih berbicara sembarangan seperti tadi!" ancam wanita paruh baya itu dengan penuh wibawa.
Wajahnya yang tak pernah dihiasi oleh senyuman, membuat mereka bertiga selalu bergidik ngeri saat berhadapan dengannya.
"Ba-baik, Bu!" ucap mereka serempak. Lirikan mata yang tajam menusuk langsung di kornea mata mereka. Perih, hingga membuat ketiganya berlalu dengan mata tertunduk dalam.
"Apa aku sudah setua itu hingga mereka berharap aku lupa akan tugasku? Tapi aku belum menjadi orang tua pikun, aku masih mengingat dengan jelas apa saja tugasku di rumah ini, termasuk menertibkan mereka yang tak mentaati peraturan di rumah ini," katanya.
Ia berbalik, kedua tangan selalu disimpannya di belakang tubuh. Menimbulkan pertanyaan dalam benak setiap pelayan di rumah itu. Apa yang disembunyikan wanita tua itu di belakang tubuh? Apakah pisau? Barangkali, agar dia mudah mengeksekusi para pekerja yang berkhianat atau bahkan yang berceloteh sembarangan seperti ketiga wanita tadi.
Di malam yang sama. Suara gemuruh petir masih memenuhi seantero jagat. Angin menggulung menghancurkan apa saja yang dilewatinya. Langit seolah murka kepada manusia hingga menurunkan badai malam itu untuk memberi peringatan kepada mereka yang alfa.
Di tengah gemuruh badai itu, seorang wanita muda sedang berjuang antara hidup dan mati demi menghadirkan kehidupan baru pada dunia.
"Dokter ... tolong aku!" rintihnya seorang diri di ruang bersalin nan sepi. Ke mana perginya semua tenaga medis?
Mereka semua sedang berkumpul mendengarkan instruksi dari orang-orang berseragam resmi.
Namun, seorang Dokter yang tak tahu ada perkumpulan itu gegas mendatangi ruang bersalin. Ia bersiap membantu perjuangan wanita itu.
Seorang Suster datang sesaat sebelum ia menarik tuas pintu.
"Dokter, tunggu!" Ia menutup kembali pintu ruang bersalin yang telah terbuka sedikit.
"Ada apa, Sus?" Berkerut dahi sang Dokter saat melihat wajah tak enak suster tersebut.
"Begini, Dok ... Tuan memberi perintah agar kita mengambil bayinya, dan memberitahu dia bahwa bayi yang dia lahirkan mati," ucap suster itu setengah berbisik.
Wanita di dalam sana, terdiam. Menahan dorongan kuat dari si jabang bayi yang terus merangsek keluar. Telinganya yang tajam dapat mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan dua orang di luar ruangannya. Air matanya menetes, ia harus bisa bermain sendiri.
"Lalu, bagaimana dengan Ibunya?" tanya dokter itu, "bagaimana dengan semua biayanya? Apakah Tuan akan bersedia membayar semuanya?" lanjutnya bertanya. Ternyata hanya uang yang ada dalam pikiran mereka.
"Dokter tenang saja, kalau kita berhasil melakukan sesuai perintah Tuan, maka jangankan biaya Tuan akan melebihkannya untuk kita." Girang saat ia mengatakannya bahkan sedikit memekik yang hampir saja menjerit.
"Sstt ... tahan suara Anda, Suster!" Ia melongo pada kaca kecil yang terdapat di pintu ruangan. Memastikan bahwa wanita di dalam sana tak mendengar perbincangan mereka. Setelah puas memastikan, ia kembali pada suster di hadapan.
"Dokter ... tolong! Bayinya sudah mau keluar!" teriak wanita di dalam ruangan itu.
"Ayo, Dok! Mungkin sudah waktunya, kita harus hati-hati agar tidak terjadi sesuatu pada bayi itu," ucap suster dengan gelisah.
Dokter tersebut mengangguk, mereka masuk ditemani beberapa petugas lagi yang akan membantu kelahiran anak wanita itu.
"Dokter ... cepat! Dia sudah mau keluar!" jeritnya bersamaan dengan gelegar petir yang membahana di langit. Menyentak keempat orang yang sudah berdiri di depan kaki wanita itu.
"Tenang, Nyonya! Dengarkan instruksi dari saya!" titah Dokter tersebut dengan lembut.
"Dokter, saya sudah tidak tahan. Saya tidak kuat, Dokter! Tolong, cepatlah!" mohonnya dengan wajah menahan sakit yang teramat.
"Baik ... tenang, Nyonya. Tarik napas perlahan, lalu hembuskan! Terus lakukan itu berulang-ulang untuk mengurai ketegangan Anda, Nyonya," pinta Dokter.
Wanita itu melakukan apa yang diperintahkan dokter, menarik napas dalam-dalam dan menembuskannya perlahan.
Matanya terbuka lebar, menatapi setiap inci wajah para petugas medis yang membantunya. Mengunci mereka dalam ingatan, tak akan mungkin dia melupakannya begitu saja.
"Ayo, Nyonya! Apakah Anda sudah siap?" tanya Dokter lagi sembari melebarkan kedua kaki wanita itu lebih lebar lagi. Ia pasrah, anaknya harus terlahir dengan selamat. Anaknya harus hidup, dia ingin mendengar suara tangisnya.
Duar! Duar! Duar!
Di luar sana petir menyambar-nyambar tiada henti. Bergemuruh bagai sekumpulan hewan besar yang mengamuk.
"Dorong, Nyonya!"
"Eeerrgghhh!"
Wanita itu mendorong sekuat tenaga, berharap pada dorongan pertama bayi itu akan langsung lahir. Namun, nihil ia masih mencari jalannya di dalam.
"Tahan!" Dokter itu memerintahkan. Ia menarik napas sebanyak-banyaknya mengumpulkan tenaga untuk dapat mendorongnya lebih kuat lagi.
"Ya, Nyonya! Dorong lagi!" Wanita itu kembali mengedan. Lebih kuat dari sebelumnya. Kembali berharap pada dorongan kedua bayi itu akan keluar, kepalanya mulai menyembul.
"Bagus, Nyonya! Kepala bayinya sudah terlihat!" dukung Dokter memberi semangat pada wanita itu yang telah lunglai tak bertenaga.
"Saya tidak kuat lagi, Dokter!" katanya dengan napas terengah-engah. Hampir menyerah, dan putus asa mengingat suaminya akan memisahkannya dengan bayi tersebut.
"Ayo, Nyonya! Anda tidak boleh menyerah, Anda harus kuat demi anak Anda!" seru Dokter lagi menyentak kesadaran wanita itu. Dia harus kuat demi anaknya.
Wanita itu kembali mengambil posisi, bersiap untuk mengedan yang ketiga kalinya. Ia menjerit keras.
"Argh!"
Duar!
Suara jeritannya beradu dengan kilatan petir yang menyambar. Disambut tangisan bayi yang memenuhi seluruh ruangan.
"Selamat, Nyonya! Bayi Anda laki-laki," ucap salah satu suster bersandiwara.
Wanita itu tersenyum simpul sebelum tergolek tak sadarkan diri.
"Dokter, dia pingsan!" seru salah satu dari mereka.
"Biarkan saja! Orang-orang Tuan di luar sana yang akan mengurusnya," ucapnya seraya meninggalkan ruang bersalin membawa bayi yang baru saja dilahirkan ke ruang khusus bayi.
Tinggal satu orang yang tak tega melihat kondisi wanita itu. Ia memeriksa jalan lahir dan berinisiatif membersihkannya. Beruntung, tak ada yang perlu dijahit. Ia hanya cukup membersihkannya lalu membiarkannya tak sadarkan diri.
"Maafkan saya, Nyonya. Saya sangat ingin menolong Anda, tapi saya juga butuh pekerjaan ini. Tuan akan memecat kami jika kami tidak melakukan perintahnya," ucapnya penuh sesal. Ia membungkuk hormat padanya sebelum meninggalkan ruang bersalin itu.
Mata wanita itu meneteskan air, ia sebenarnya hanya berpura-pura pingsan untuk mengelabui para tenaga medis. Tak lama pintu ruangan terbuka lagi, suster tadi kembali masuk dengan membawakan makanan untuknya. Diletakkannya nampan tersebut di atas meja samping ranjang bersalin.
"Nyonya, jika Anda sudah siuman, jangan lupa untuk memakan makanan itu juga obat yang saya sediakan. Anda adalah orang baik, tapi kenapa Tuan melakukan ini kepada Anda?" ungkapnya mengasihani sosok tak berdaya yang masih memejamkan mata meski ia tahu wanita tak akan mendengar karena kondisinya yang pingsan.
Ia kembali berbalik meninggalkan ruang bersalin dengan takut. Dia takut jika ketahuan merawat wanita itu, maka dia akan segera ditendang dari rumah sakit tempatnya bekerja.
Mendengar suara pintu ditutup. Wanita itu membuka mata setelah memastikan tak ada suara-suara yang ia dengar. Matanya melirik lemari, ia harus berusaha untuk dapat beranjak duduk. Tak ada siapa pun yang menolongnya, dia sendirian.
"Aku harus kuat demi anakku!" tekadnya seraya merubah posisi untuk duduk. Ia mengambil nampan dan meletakkannya di pangkuan.
"Aku harus memiliki tenaga, aku harus pulih." Ia bergumam sebelum melahap makanan itu hingga tandas. Ia juga meminum obat yang disediakan suster tadi. Vitamin dan anti nyeri.
Sedikit tenaganya pulih. Tak apa, yang penting sekarang dia memiliki tenaga untuk menjalankan rencananya.
"Aku harus bisa pergi dari sini sebelum mereka datang," gumamnya dengan tekad yang bulat.
Ia kembali berbaring saat mendengar suara langkah mendekat ke ruang bersalin. Tak lupa, menyembunyikan nampan bekas makannya.
Suara pintu terbuka, langkah terdengar mendekat. Dua orang, mendekat ke arahnya. Ia menunggu dengan gelisah, menanti siapa yang datang? Apakah orang-orang yang diperintahkan suaminya?
"Dia masih tak sadarkan diri, Tuan. Kondisinya sangat lemah, membuatnya langsung pingsan sesaat setelah bayi itu lahir. Kemungkinan nyawanya tidak akan tertolong jika tidak segera diberi tindakan." Suara Dokter tadi mengusik gendang telinganya.
"Bagus! Biarkan saja dia seperti itu. Orang-orangku akan mengambilnya pada saat tengah malam nanti," sahut suara lain yang begitu dikenali wanita yang berpura-pura pingsan di atas ranjang itu.
'Kau ingin menyingkirkan aku, bajingan! Lihat saja! Apakah kau mampu melakukannya?' Ia mengancam dalam hati. Ia adalah wanita pemberani, tapi untuk menjalankan rencana ia harus melakukan kepura-puraan ini.
"Bagaimana kondisi bayi yang dilahirkannya, Dokter?" Wanita itu memasang telinga baik-baik. Ia harus tahu bagaimana kondisi bayinya.
"Dia sehat, Tuan. Tidak kurang apa pun, putih dan bersih, juga tampan seperti Anda," jawab Dokter yang menerbitkan senyum lelaki itu meski samar.
'Putraku! Tunggu Ibu, Nak! Kita akan pergi sama-sama dari sini!' bisik suara hati wanita itu setelah mendengar kabar tentang bayi yang baru saja dilahirkannya.
"Apa aku bisa langsung membawanya?"
'Tidak, sialan! Jangan kau bawa anakku! Dasar brengsek!' umpatnya dalam hati.
"Maafkan saya, Tuan. Untuk saat ini, bayi itu masih butuh pengawasan dari tim medis. Anda bisa menjenguknya setiap hari di sini, kami harus memastikan kondisinya terlebih dahulu. Baru setelah itu Anda bisa membawanya pulang," jawabnya takut-takut.
Lelaki yang mereka panggil Tuan, mendesah kecewa. Tersirat jelas dari raut wajahnya yang ditekuk.
"Baiklah, lakukan yang terbaik untuknya! Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada putraku," ancamnya sengit. Jari telunjuknya mengarah pada wajah Dokter tersebut. Tubuh yang dibalut seragam putih kebanggan itu, menggigil seketika.
"Ba-baik, Tuan!" katanya terbata.
Lelaki arogan itu berbalik dan membawa langkahnya keluar dari ruangan. Ia bernapas lega karenanya. Melirik wanita yang berwajah pucat sekilas sebelum ikut meninggalkan ruangan.
Wanita itu menangis tanpa suara, menuntut keadilan. Petir di luar sana masih berkilat-kilat menyambar. Ia tergugu sendiri dalam ruang yang sepi.
"Aku tidak boleh menyerah! Peperangan ini baru saja akan dimulai! Aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Aku tak akan membiarkan putraku hidup bersama para bajingan itu!" tekadnya seraya mengusap pipinya yang dibanjiri oleh air mata.
Sakit pasca melahirkan tak dirasanya karena hatinya jauh jauh lebih sakit mendengar rencana busuk suaminya.
"Lihat saja, Kevin! Kau akan kewalahan menghadapi aku! Kekuasaanmu tak akan menyurutkan langkahku untuk berjuang!" kecamnya dengan mata memicing penuh tekad.
Hujan di luar sana, masih menyisakan gerimis lebat. Belum puas mengguyur bumi, air terus turun mendatangkan banjir di beberapa tempat. Di dalam ruang bersalin rumah sakit terbesar di kota itu, seorang wanita masih berpura-pura terbaring lemah.
Di luar ruangannya, masih banyak petugas medis yang lalu-lalang ke sana ke mari. Apa yang mereka lakukan? Riuh rendah suara para penjenguk pun tak luput dari gendang telinganya.
Sumayah tengah mengumpulkan tenaga, mempersiapkan diri untuk melakukan rencana yang telah ia susun dengan baik. Malam terus merangkak, kian menurunkan gulitanya menyelimuti hati yang terluka.
Dalam gigil tubuhnya, Sumayah bertekad membawa serta bayinya meninggalkan rumah sakit itu. Hening. Tak ada suara apa pun lagi yang terdengar hingga derap langkah dan desas-desus di depan pintu ruang bersalin tertangkap rungunya.
"Apa pasien di dalam masih tak sadarkan diri?" tanya sebuah suara.
"Kudengar, iya. Dokter membiarkannya dan tidak memberinya penanganan," sahut yang lain menimpali.
Lewat sudut matanya, Sumayah dapat melihat kepala mereka berdua sesekali mengintip ke dalam ruangan.
"Kenapa tidak ditangani? Kasihan, dia bisa mati nanti."
Apakah dia mencemaskan Sumayah? Dalam hati, Sumayah menggumam heran. 'Bukankah semua orang di sini adalah antek bajingan itu? Kenapa dia justru mencemaskan keadaanku?' Bertanya bingung sendiri.
"Itu lebih baik, katanya. Tuan yang memerintahnya untuk membiarkan pasien begitu saja karena itu akan memudahkan orang-orang Tuan saat membawanya nanti."
Kejam! Jawaban yang diberikan salah satunya terdengar kejam di telinga Sumayah. 'Jahat kalian! Awas saja! Aku tak akan pernah melupakan wajah-wajah orang yang telah menindasku.'
Sedikit menggeram di ujung kalimat dengan gigi yang merapat.
"Coba kau lihat wanita yang di dalam sana! Apakah nadinya masih berdenyut ataukah sudah mati? Aku akan melihat kondisi bayinya," titahnya pada rekan sejawat yang terkejut mendengar penuturan kejam dari bibirnya.
"I-iya," jawabnya. Ia menunggunya berlalu dan menghilang di ujung lorong. Suster tersebut menghela napas berat sebelum memasuki ruang bersalin.
"Kenapa ada orang begitu kejam seperti mereka?" gerutunya sembari membuka pintu ruangan dan melangkah masuk.
"Lihatlah wanita tak berdaya itu! Apa salahnya hingga mereka berlaku kejam seperti itu? Seandainya saja aku mampu memberinya pertolongan ... hah ... apa yang aku katakan ini?" Ia menggeleng.
Suster itu memposisikan dirinya di samping ranjang bersalin. Ia perhatikan wajah pucat di atas ranjang, betapa cantik makhluk yang satu ini. Kelopak matanya nampak indah meski terpejam. Dibingkai bulu mata lentik dan alis yang melengkung sempurna bak bulan sabit.
Hidung mancung sangat pas dengan wajahnya yang berbentuk oval. Kulit putih dan bersih, dia adalah seseorang yang menjaga kulitnya dengan baik. Jemarinya lentik dan nampak indah, membuat iri siapa saja yang melihat. Tubuh tinggi semampai, dengan lekuk yang menggoda. Dia makhluk paling cantik yang pernah ia temui.
"Nyonya, Anda begitu cantik! Membuat iri setiap wanita yang melihat Anda. Sempurna dan tanpa cela, tapi sayang ... nasib Anda tidak seindah paras yang Anda yang miliki."
Ia bergumam dan mulai memeriksa denyut nadi wanita itu. Dahinya mengernyit, sesaat ia merasakan denyut itu lemah. Detik kemudian, denyut itu menjadi normal seperti biasa. Matanya melirik wajah pucat di hadapan.
Usai memastikan, ia berniat kembali dan melaporkan yang baru saja dia lakukan. Namun, sebelum kakinya mengayun sebuah cekalan tangan yang kuat membuatnya terkejut. Ia menoleh dengan cepat. Lebih terkejut saat melihat wanita lemah itu melotot padanya.
"Nyo-nyonya!" pekiknya tertahan. Matanya membesar sempurna. Sumayah beranjak duduk tanpa melepas cekalan tangannya.
"Kau ingat siapa yang pernah menyelamatkan nyawamu? Kau ingat siapa yang memberikan pekerjaan ini kepadamu? Kau ingat siapa pula yang mengeluarkanmu dari kemiskinan?" tanyanya menuntut.
Suaranya parau dan berat, mata indah itu nampak dingin dan tajam. Tidak ada kehangatan yang biasa ia dapat saat kelopak indah itu terbuka. Terganti dengan dendam dan kebencian.
"Aku!" Cekalan di tangannya menguat. Meringis suster tersebut merasakan perih di pergelangan tangannya.
"Nyonya, tentu saja saya mengingat semuanya. Saya tidak lupa itu semua," ucapnya takut-takut. Air matanya menggenang di pelupuk mata. Bersiap turun kapan saja.
"Kalau begitu, balas semua yang telah aku lakukan padamu! Aku menuntut balas atas semua yang telah aku lakukan!" tuntut Sumayah dengan kejam tanpa perasaan.
"A-apa yang harus saya lakukan untuk Anda, Nyonya?" tanyanya gelisah. Firasat buruk datang menyergap, membuat perasaannya gelisah tak menentu.
"Bantu aku melarikan diri dari sini! Bantu aku membawa pergi bayiku dari tempat terkutuk ini!" pinta Sumayah dengan tatapan mata memohon padanya.
"Ta-tapi, Nyonya-"
"Kumohon! Bukankah kau juga seorang Ibu? Bagaimana rasanya jika kau dipisahkan dari anakmu? Jika aku tetap di sini, maka nyawaku terancam. Dan jika aku meninggalkan bayiku sendiri, keselamatannya yang terancam. Bukan hanya nyawaku yang mereka incar, tapi nyawa putraku juga ada dalam bahaya. Tolong! Untuk kali ini saja bantulah aku!" ucap Sumayah tidak melemahkan cekalan tangannya dan juga sorot mata itu tajam menusuk.
Bimbang, dia berada di antara dua pilihan. Membantu orang yang telah berjasa dalam hidup, atau menolak dengan alasan kehilangan pekerjaan.
"Sa-saya takut, Nyonya. Tuan mengancam kami siapa saja yang membantu Anda, kami akan dipecat dari pekerjaan ini. Saya masih butuh pekerjaan ini, Nyonya!" mohonnya tak enak. Ia bahkan tak berani bersitatap dengan manik abu-abu milik wanita itu.
"Baiklah, jika kau takut maka tunjukan saja padaku jalan keluar lain untuk melarikan diri dari sini. Aku tahu di luar sana dijaga ketat orang-orang suamiku, tapi aku yakin ... kau tahu jalan lain yang tak dijaga oleh mereka." Lirikan tajam dilayangkannya dengan sinis.
Sumayah seperti seorang putus asa, tak memiliki harapan hingga membuatnya melakukan ini. Memaksa dan menuntut balas dari yang telah ia lakukan.
Gerakan gelisah tertangkap indera penglihatan Sumayah, ia yakin suster itu tahu jalan tikus di rumah sakit.
"Dari bahasa tubuhmu, aku yakin kau mengetahuinya. Hanya beritahukan kepadaku ke mana aku harus pergi! Tolong ... aku jamin mereka tak akan menemukan siapa yang telah membantuku," mohon Sumayah kali ini dengan biji manik melemah dan hangat seperti biasa.
Melihat Sumayah yang mengiba padanya, ia tak tega. Wanita ini bukan orang jahat, ia adalah orang baik.
"Ka-kamar mayat. Di bagian belakang bangunan itu, ada jalan keluar yang tak banyak orang tahu. Di sana juga sepi, jarang orang berlalu-lalang karena takut. Hanya ada petugas pengurus jenazah saja yang hilir-mudik ke ruangan itu," ucapnya terbata. Keringat dingin mengucur tak terkendali memenuhi wajahnya.
"Di mana tepatnya!" tuntut Sumayah kembali menajam.
"Anda hanya perlu berjalan lurus ke kiri dari sini, ikuti petunjuk yang tertulis. Jika malam, lampu di lorong itu akan meredup. Anda harus memiliki keberanian yang banyak, Nyonya," terang wanita itu.
"Aku memilikinya, aku bahkan akan melawan jika ada makhluk astral menghadang jalanku! Hidupku bahkan lebih gelap dari lorong itu, Suster!" kecam Sumayah penuh tekad.
Suster itu menelan saliva gugup, tenggorokannya terasa mengering juga menyempit.
Sumayah mengangkat pandangan, menatap manik kecoklatan milik suster di hadapan.
"Sekarang, ke arah mana aku harus pergi mengambil bayiku! Aku tahu, bayiku masih hidup. Aku mendengar semua percakapan kalian, aku tidak tuli! Cepat katakan! Di mana aku bisa mengambil bayiku!" tuntut Sumayah kembali mengeratkan cekalan tangan setelah sedikit melonggarkannya.
Suster itu terhenyak kembali, maniknya melebar tak terkira. Mendengar Sumayah yang sudah tahu apa rencana mereka.
"Di arah sebaliknya, Nyonya!" jawabnya menunduk takut.
"Baik, terima kasih! Sekali lagi aku meminta tolong ... jangan katakan pada siapa pun tentang aku dan rencanaku. Aku tahu kau orang baik, Suster," pinta Sumayah sebelum melepas pegangan tangan yang meninggalkan bekas kemerahan di pergelangan suster tersebut.
Ia memegangi tangannya sambil mengangguk. "Saya tidak akan mengatakan apa pun tentang Anda, Nyonya. Anda bisa pergi setelah beberapa saat saya meninggalkan ruangan ini. Hati-hati! Di luar, mereka bergantian menjaga setiap sudut rumah sakit ini," ingat suster tersebut.
Ia harus membulat tekad ingin membantu Sumayah melarikan diri.
"Pergilah! Ada yang mendekat!" Sumayah kembali berbaring memejamkan mata. Benar, di luar sana ada langkah mendekat. Ia menghela napas menormalkan dirinya sebelum keluar ruangan.
"Bagiamana?" tanya suster tadi yang baru saja datang.
"Denyut nadinya melemah, mungkin beberapa detik lagi ia akan kehilangan nyawanya," sahutnya berbohong.
"Baguslah! Itu lebih baik," katanya.
Sumayah membuka mata dan beranjak dari tidurnya setelah suara langkah mereka menjauh. Ia meletakkan guling dan bantal yang dibentuknya menyerupai sesosok manusia saat ditutupi selimut.
Dengan tekad yang kuat, ia akan melakukan aksinya malam ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!