Namanya Rhibie Amoura, gadis yang merentangkan kedua tangannya untuk para perempuan yang mengalami kehancuran dalam hidupnya. Saat ini ada empat gadis yang berhasil ia selamatkan dari percobaan bunuh diri. Dan kini mereka tinggal dalam sebuah rumah kecil yang berukuran 5x8m di tepi pantai dari sebuah pedesaan kecil.
Jangan tanyakan siapa orang tuanya! Karena sampai saat ini, dia sendiri tidak mengetahui dari mana dirinya berasal. Satu hal yang dia tahu, dia di besarkan oleh Paman Jo. Seorang penguasa keamanan di wilayah pasar ikan di pantai tersebut, alias seorang preman. Namun beliau memiliki figur seorang ayah untuk Rhibie. Paman Jo menjaga Rhibie seperti berlian. Bayi mungil yang ia temukan dalam bangkai kapal 22 tahun silam.
Bertahun-tahun, Rhibie kecil di asuh dan di besarkan dalam lingkungan para preman yang bernaung di bawah kekuasaan Paman Jo. Hal itu menjadikan sosok Rhibie yang berkelakuan sedikit brutal, bahasanya kasar, urakan, namun masih memiliki attitude dan jiwa empati yang tinggi.
Namun sayangnya, sosok pelindung itu telah berpulang setahun yang lalu. Akibat kanker paru-paru yang menggerogoti tubuh Paman Jo.
Eldanno Ziggy Abraham. Pria berusia 27 tahun, anak tunggal dari seorang pengusaha di ibukota yang bergerak di bidang industri. Perusahaan tersebut mengolah kulit buaya dan ular yang siap di ekspor ke luar negeri sebagai bahan baku untuk pembuatan tas, dompet dan jam tangan dari brand ternama di Eropa. Bukan tanpa alasan brand tersebut melirik industri milik keluarga Abraham. Tentu karena kualitasnya yang dapat di andalkan untuk brand berkelas.
Namun sifat Eldanno, tak se-berkelas industri Ayahnya. Pria muda yang menyukai se* bebas, minuman keras dan segala isi tentang dunia malam. Semua sangat mudah untuk ia dapatkan dengan kekayaan dari orang tuanya yang takkan habis di makan tujuh turunan sekalipun. Karena industri itu sudah menyebarkan cabang perusahaannya di berbagai kota. Bahkan di negara-negara Asia.
Ditunjang dengan tubuh proporsional bak model berikut wajah tampannya. Hanya dengan menjentikkan jari, maka para wanita akan mengantri untuk mencicipi keperkasaannya, berikut uangnya. Tanpa adanya jalinan, apalagi sebuah kepastian. Bisa di gilir untuk sekedar menjadi teman tidur dari Eldanno saja, sudah membuat mereka bangga. Itu artinya, mereka sudah bisa dikategorikan gadis berkelas yang setaraf dengan selera Eldanno.
Sebab pria itu tak ingin bercinta dengan sembarang wanita yang asal bernafas saja untuk menyalurkan hasrat birahinya. Dia akan menyeleksi setiap wanita yang akan diajaknya tidur, sesuai selera Eldanno tentunya.
Sampai-sampai Retha sang Ibu tiri, hampir di buatnya mati penasaran. Hingga detik ini, wanita berusia 33 tahun itu belum menyerah untuk menggoda Eldanno. Apalagi? Kalau bukan untuk mencicipi kehangatan dan keperkasaan anak dari suaminya.
Wanita memalukan!
Hari ini, Eldan telah gerah dengan wanita berkepribadian ganda itu. Bagaimana Eldan tak memanggilnya begitu? Sebab di satu sisi, di saat Ayah Eldan ada di rumah. Wanita itu akan menjelma menjadi sosok Ibu yang hangat dan lembut, layaknya malaikat. Namun ketika suaminya pergi ke kantor, Retha secara diam-diam memasuki kamar Eldan dengan pakaian langrienya yang tembus pandang. Bahkan wanita itu berani menanggalkan pakaiannya di hadapan Eldan untuk menggodanya.
Hal itu membuat Eldan memutuskan untuk pergi dari rumahnya dan bermukim di sebuah rumah mewah di bibir pantai. Dengan alasan untuk mengurus peternakan Buaya dan Ular yang telah dirintisnya bersama dua sahabatnya Baghal dan Axelle disana. Tentu saja, peternakan itu masih berhubungan dengan industri Ayahnya.
Eldan berdalih akan menjadi pemasok utama untuk industri sang Ayah. Karena alasan itulah, Dimas Abraham Ayahnya merelakan anak semata wayangnya pergi ke tempat yang jauh darinya.
Baghal Ryuga Damara. Pria tampan lainnya yang merupakan salah satu sahabat Eldan, berkarakter dingin, tak banyak bicara, peduli dan memegang teguh arti persahabatan.
Axelle Dion Attala, sahabat Eldan yang lain. Axelle berbeda dengan Baghal yang cenderung kaku. Pria ini mudah terbuka dengan orang lain, terutama wanita. Karena sifatnya yang sedikit playboy, sifat Eldan menular padanya. Hanya saja, dia lebih suka berhubungan dengan wanita lewat jalinan asmara. Namun sejauh ini, hubungan Axelle dengan beberapa wanita yang di pacarinya. Belum ada niatan untuk serius. Meskipun sedikit playboy, jangan lupakan jika Axelle juga sangat menjunjung tinggi sebuah persahabatan.
Jessica Jasmine. Gadis yatim piatu yang ditemukan Rhybie hampir sekarat karena kelaparan di malam yang dingin 2 tahun silam. Meski Rhibie memanggilnya sebagai sahabat, Namun Jessie memuja Rhibie sebagai Maha Dewi yang urakan di matanya. Dia sangat peduli pada Rhibie dan seakan tak mampu hidup tanpa sang Maha Dewi.
Joanna Flora Markus, gadis paling muda diantara mereka berlima. Hanya saja dia begitu bodoh, cuma gara-gara di putusin, Joanna seperti orang hilang arah dan membuatnya nekad menyayat urat nadinya sendiri untuk mengakhiri hidupnya.
Namun aksinya di gagalkan Rhibie dengan menyelamatkan nyawa Joanna dan membawanya ke puskesmas. Setelah Rhibie mengintrogasi kebodohannya, Joanna pun mencurahkan kesesakan yang tengah dihadapinya. Dengan murka, Rhibie pun mencerca gadis itu dengan segala petuah bijaknya. Padahal, mereka baru pertama bertemu lho!
Justru cercaan Rhibie menyadarkan Joanna dari kekhilafannya. Hingga detik ini, Joanna selalu berusaha untuk bisa membalas budi pada sang Maha Dewi, seperti yang dikatakan Jessie. Mereka akan melakukan apapun untuk Rhibie.
Dua lagi sahabat dari Rhibie, namanya Karmen dan Sandra. Dua orang ini tak begitu aktif, dikarenakan kondisi mereka yang sedang hamil. Kehamilan tanpa sosok suami yang mendampingi mereka. Karena kekasih mereka lari dari tanggung jawabnya. Sebab itulah, mereka di takdirkan bertemu dengan Rhbie karena sang Malaikatul maut belum waktunya menjemput mereka.
"Lo yakin, akan menjanjakan sayuran ini tanpa gue temenin?" Tanya Jessie meyakinkan. Namun tangannya tetap sibuk menata sayuran dalam keranjang di atas motor matic.
"Iya. kalian urus aja kebunnya. Dan pastikan harus kesiram semua!" Ujar Rhibie seraya memakaikan helm di kepalanya. Dan di balas sebuah anggukan dari mereka berempat.
"Hati-hati, Rhibie! Jaga dirimu!" Pesan Karmen seraya melambaikan tangan.
Rhibie yang sudah mulai memaut gasnya, seketika mengerem motornya ketika mendengar pesan menggelikan dari sahabatnya.
"Tumben, lo bucin sama gue?" Seringai Rhibie yang diikuti gelak tawa dari para sahabatnya. Kemudian gadis itu melanjutkan niatnya untuk menjajakan dagangannya mengelilingi perkampungan di sepanjang pantai.
Begitulah cara mereka untuk bertahan hidup. Mereka bercocok tanam di kebun belakang rumahnya. Rumah peninggalan Paman Jo. Kemudian mereka menjual hasil panennya dan menikmatinya.
Rhibie berkeliling untuk menjajakan dagangannya di pantai tersebut. Rupanya rejeki mereka hari ini, di takdirkan sedikit. Sudah menjelang petang, sayuran itu masih menumpuk di keranjang. Namun semua itu tak menyulutkan semangat Rhibie popuntuk menjual sayuran itu hingga tandas. Sebab persediaan susu Ibu hamil untuk Sandra dan Karmen sudah hampir habis.
Kesialan Rhibie tak sampai disitu, tiba-tiba hujan deras mengguyur wilayah tersebut. Rhibie memutuskan untuk berteduh di sebuah rumah besar yang kosong tak berpenghuni. Dan dia sudah sering mampir ke rumah besar itu untuk sekedar beristirahat atau berteduh. Sebab rumah itu tak memiliki kunci pagar dan tanpa satpam keamanan yang berjaga disana. Meskipun dia numpang beristirahat hanya di bagian terasnya saja. Tentu saja, pintu rumahnya di kunci dong...
*****
Disebuah tempat hiburan malam yang kecil di pinggir pantai. Tiga pria tampan itu sedang menenggak minuman kerasnya. Mereka menyebutnya sebagai perayaan tinggal di tempat baru.
Bukan Eldan namanya, jika setelah minum dia harus melewatkan kencan dengan wanita. Namun dia lupa, bahwa ini bukanlah club malam yang sering mereka kunjungi. Dimana kebanyakan dari para pengunjungnya, mengetahui pasti siapa mereka.
"Kau harus bayar DP-nya dulu, Bos! Jika ingin membawanya!" Seru sang mucikari dengan senyuman meledek. Padahal gadis "Asuhannya" sudah tak sabar ingin segera menghambur ke atas ranjang bersama Eldan.
Eldanno pun meraba saku celananya. Dan merabanya lagi ke segala tempat di pakaiannya. Aah... sial! Dompetnya tak ada disitu.
Tunggu sebentar! Bukankah sedari tadi dia sama sekali tak menyentuh dompetnya dan tak mengeluarkan uang sepeserpun.
Ya... Karena minuman itu di bayarin Baghal semua.
Dengan tubuh yang semakin memanas, Eldan kembali menghampiri sahabatnya.
"Bro, pinjem duit dong! Dompet gue ketinggalan" Bisiknya dengan wajah yang merah karena mabuk dan hasratnya yang mulai memuncak.
"Sorry, Dann! Gue gak bawa uang cash banyak. Uang gue udah abis pake bayar minuman" Sahut Baghal seraya menyalakan korek dan menyulut rokoknya, santai.
Pertanyaannya kini beralih pada Axelle dengan menggedikkan dagunya sebagai isyarat.
Tanpa basa-basi, Axelle pun mengeluarkan dompetnya yang tak di lengkapi uang cash. Membuat Eldan mengumpat kesal.
Eldan pun memutuskan untuk pulang sebentar ke rumahnya. Mengambil dompetnya yang ketinggalan.
Rhibie mengerjapkan matanya beberapa kali, setelah lampu mobil yang baru sampai di halaman rumah tersebut menyoroti wajahnya seakan menantang.
Rhibie pun terperanjat saat mengintip jam di layar ponsel jadulnya, sudah menunjukkan pukul sebelas lewat malam. Rupanya gadis itu ketiduran disana, saking lelahnya.
"Lo siapa?" Sapa Rhibie saat pria itu turun dari mobilnya. Dan memasuki teras rumahnya.
Pria itu tak menjawab pertanyaan Rhibie. Tentu saja, dia tak perlu mengatakan siapa dirinya. Karena rumah ini miliknya. Justru sorot matanya menyiratkan pertanyaan sebaliknya. Siapakah gadis yang sedang tiduran seenaknya di kursi teras rumahnya?
Makna pertanyaan yang terpancar dari sorot matanya hilang seketika, kala menatap wajah gadis itu yang nyaris sempurna. Pandangannya menyisir setiap lekuk tubuh gadis yang ada di hadapannya. Menjelajahi tubuh itu dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan menyelidik. Lalu senyum iblisnya menyeringai dari wajah tampannya.
Tanpa ingin tahu siapa gerangan gadis yang bernyali besar, dengan mengumpankan dirinya pada kucing lapar seperti dirinya. Dia langsung menyeret Rhibie masuk ke dalam untuk melepaskan rasa laparnya.
"Lepasin! Lo siapa brengs*k?" Teriak Rhibie meronta.
Namun pria itu tak menggubrisnya. Begitu juga dengan Rhibie yang tak berhenti berontak. Berharap dapat meloloskan diri dari cengkeraman pria yang hendak menculiknya.
Karena dirinya yang terus berontak, pria itu langsung menaruh tubuh Rhibie di pundaknya seperti karung beras. Membawanya ke kamar, dan menguncinya.
Sesampainya di kamar, Rhibie langsung di lemparkan ke atas ranjang. Lalu membuka kancing kemejanya sendiri dengan kasar. Melepaskannya, dan melemparnya ke sembarang arah.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, Rhibie segera bangkit dari tempatnya dan berlari menuju pintu. Namun belum sempat dia meraih gagang pintu, pria itu sudah berhasil meraih tubuhnya kembali. Dan menghempaskannya lagi ke atas ranjang.
"Please! Lepasin gue!" Mohon Rhibie yang mulai terisak karena takut.
Kini dia sudah bisa menebak, apa yang akan terjadi padanya. Rhibie terus meronta, menepis tangan pria yang hendak melucuti pakaiannya. menendangnya, memukulnya, hingga ribuan cacian kotor terlontar dari mulut Rhibie.
Pria itu langsung menghimpit tubuh Rhibie dengan tubuhnya. Menghentikan gerakan si gadis, dan menyerangnya dengan ciuman gila. Menjelajahi setiap inci dari bibir dan leher jenjangnya. Menarik kasar t-shirt panjangnya ke arah samping, lalu menghujani bahunya dengan kecupan basah.
"Aku mohon, jangan lakukan ini padaku!" Pekik Rhibie gemetar dengan nyali yang mulai ciut. Di tariknya rambut si pria dengan kasar, sebagai bentuk pembelaan diri. Hingga mengundang kekesalan pria itu.
Dengan gusar, dia mengambil dasi dari lemarinya. Lalu mengikat kedua tangan Rhibie pada tepi ranjang. Membuat kedua tangan gadis itu tak mampu lagi berkutik. Namun Rhibie masih tetap berusaha berontak sebisanya.
Diiringi deru na*su yang memburu, pria itu melepaskan pakaian Rhibie menggunakan gunting tanpa ampun. Dan melemparkan serpihan kain itu ke lantai begitu saja.
Kini, tubuh putih dan mulus milik Rhibie telah terekspos, memamerkan bukit indahnya yang menggoda. Pria itu membinarkan bola matanya yang sayu karena mabuk. Menatap lapar pada gumpalan daging kenyal yang tersaji di hadapannya.
Takut? Malu? Risih? Jangan ditanyakan lagi? Semuanya Rhibie rasakan dan menyatukannya dalam tangisan. Kembali, gadis yang sudah tak berdaya itu mencoba berontak, menendang perut si pria asing untuk mengalihkan perhatiannya.
"DIAM!!" Bentak pria itu dan menonjok keras salah satu paha Rhibie yang masih di balut celana jeans-nya.
"Ah, sakit!" Pekik Rhibie dengan keringat dan air mata menyatu di wajahnya.
"Bersikap manislah, Sayang! Agar aku tak lagi menyakitimu!" Bisiknya dengan intonasi suara yang berubah halus seketika.
Kembali dia mengecup bibir Rhibie dan melu**tnya lembut. Tangannya berpetualang, meraba celana jeans milik Rhibie. Membuka kancingnya, lalu melepaskannya.
Rhibie tak lagi berontak, dia telah kalah dari lelaki itu. Andaipun dia berontak, semuanya akan sia-sia. Dan hanya akan menambah siksaan yang lebih menyakitkan lagi. Saat ini, dia sudah tak bisa lepas dari cengkeraman pria itu. Pria yang sedang asyik menghirup aroma tubuhnya. Menghisapnya dan meninggalkan beberapa jejak merah di sana.
Bibirnya mulai menyusuri setiap keindahan itu. Memainkan lidahnya di ujung bukit yang kenyal, lalu menghisapnya kasar. Tangannya mengusap lembut bukit lainnya. Dan meremasnya dengan nikmat.
Kembali tangannya menjelajahi tubuh Rhibie yang lain, tepat di bagian bawahnya yang sensitif. Melepaskan kain penutupnya. Membelainya dengan perasaan, sesekali menekan bagian intinya dengan lembut. Lalu memainkannya hingga basah.
Rhibie sudah pasrah akan tragedi yang menimpanya. Mahkotanya telah direnggut pria asing yang tak di kenalnya. Bulir-bulir air mata terus berjatuhan seiring dengan rasa sakit dan perih yang menjalar di sekujur tubuhnya.
Pria itu mengangkat bok*ng Rhibie sejenak dengan satu tangannya. Dia melihat bercak merah di bawah sana. Senyumannya mengembang dengan sempurna. Lalu menjelajahi wajah Rhibie dengan kecupan lembut.
Dia melepaskan sarung pengaman yang dipakainya. Mungkin dirinya tertarik untuk mencicipi kelembutan yang tak pernah terjamah itu secara langsung.
Erangan nikmat terus keluar dari mulutnya. Kenikmatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Sungguh, gadis ini sangat luar biasa!
Entah berapa lama ia menikmatinya. Kini kenikmatan itu telah sampai pada puncaknya. Dan dia pun melepaskannya dengan kepuasan yang tak pernah sehebat ini.
Dari sekian banyak wanita yang pernah bercinta dengannya, namun tak ada satupun dari mereka yang membuat Eldanno terbang setinggi ini.
"Thanks, Beautiful!" Bisik Eldanno dan mengecup kening gadis itu. Diiringi senyuman manisnya, namun beracun!
Rhibie hanya memalingkan wajahnya datar. Mengunci mulutnya serapat mungkin. Menatap kosong pada arah yang tak ditentukan. Tatapannya begitu kosong. Sekosong pikirannya saat ini. Entah apa yang sedang dipikirkannya? Hanya isakkan dan isakkan yang terdengar darinya.
Tatapannya mulai sayu. Arah yang tadi di tatapnya, mulai kabur dari pandangannya. Rhibie pun terlelap dalam lelahnya.
Dengan hati-hati, Eldanno melepaskan ikatan pada tangan gadis itu. Dan dia pun ikut berbaring di sampingnya. Lalu memeluk tubuh Rhibie yang tidur membelakanginya.
Paginya...
Eldanno baru selesai mandi. Dia hanya mengenakan celana boxer dengan dilapisi bathrobe yang dibiarkan terbuka. Mengeksplor dada dan perutnya yang berbentuk kotak-kotak seperti dalaman lemari. Rambutnya yang masih basah di biarkan begitu saja, seakan menyuburkan pesonanya. Pria itu duduk bersantai di tepi tempat tidur yang masih ada penghuninya. Sesekali menyeruput secangkir kopi panas di tangannya.
"Dann..." Tiba-tiba suara Baghal mengejutkannya seraya membuka pintunya tanpa permisi.
Eldanno menatap Baghal, lalu melirik sekilas ke arah gadis yang masih terlelap dalam selimut hangatnya. Lalu mengalihkan tatapannya kembali, ke arah Baghal. Seakan mengisyaratkannya untuk tak mengganggu tidurnya.
Baghal pun mengangguk dan menelan ludahnya susah payah.
"Gue tunggu di bawah!" Ujar Baghal kemudian. Lalu menutup pintunya dengan perlahan.
Eldanno hanya mengangguk pelan menanggapinya, lalu menyesap kopinya lagi.
Rhibie meregangkan tubuhnya yang terasa remuk, menggeliat bebas. Membuka matanya perlahan dan mendapati ruang kamar yang begitu luas dan mewah dengan design minimalis yang manley.
Dia pun mengedarkan pandangannya lagi. Dan berhenti pada punggung yang sedang membelakanginya. Punggung pria yang merenggut kehormatannya semalam. Dengan cepat, Rhibie memalingkan wajahnya dari punggung itu. Isakkannya kembali terdengar, kala ia mengingat kejadian tragis semalam.
Kini dirinya tak lagi memiliki mahkota itu. Entah apa yang patut di banggakan dari dirinya saat ini. Masa depannya telah terenggut begitu saja oleh pria di hadapannya. Pria yang sama sekali tak dikenalnya.
Jangankan untuk mengukur kadar perasaannya. Untuk mengetahui namanya saja, nilainya sudah nol besar dalam imajinasi Rhibie.
"Kau sudah bangun?" Sapa Eldanno seraya menoleh. Setelah mendengar suara isakkan dari arah belakangnya.
Tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut gadis itu untuk merespon sapaannya. Rhibie hanya sibuk dengan air matanya.
Eldanno hanya tersenyum tipis menanggapinya.
"Makanlah sarapanmu!" Eldanno menyodorkan bubur ayam yang tadi di belinya dari pedagang keliling yang melintas di depan rumahnya.
"Mana pakaian gue?" Rhibie sama sekali tak melirik apa yang di suguhkan pria itu. Dia hanya bangun dari posisi tidurnya. Dan duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Makan dulu sarapannya!" Perintah Eldanno lagi. Pria itu berlalu menuju lemarinya. Dan mengganti bathrobe-nya dengan t-shirt hitam yang bersimbol salah satu band metal favoritnya.
"Gue bilang, mana pakaian gue? Apa lo tuli?" Ulang Rhibie kesal.
Eldanno hanya mengarahkan tatapannya pada serpihan kain yang ia gunting sesuka hati, malam tadi. Lalu ia keluar dari kamarnya tanpa dosa.
"Kembalikan pakaian gue, Sial*n! Baj*ngan, gue ingin pulaaang!!" Teriak Rhibie seraya melempari pria itu dengan benda-benda di dekatnya.
Namun pria yang di teriakinya sudah berlalu dari hadapannya, tanpa merespon makiannya.
Rhibie beranjak dari tempat tidurnya dengan tubuh yang hanya di balut selimut. Dia mengguncang gagang pintu yang sudah terkunci dari luar.
"Sialan! Buka pintunya! Gue ingin pulang, Bangs*t!" Maki Rhibie lagi seraya menendang dan memukuli daun pintu itu hingga menimbulkan kegaduhan.
Jessie dan yang lainnya, menengok ke arah jalan berulang kali dari teras rumahnya. Berharap seseorang yang mereka tunggu menampakkan batang hidungnya. Namun hingga pagi ini, Rhibie belum juga kembali.
"Kenapa gak dari semalem aja lo telponin dia?" Protes Sandra pada Jessie yang sedang mengutak-atik ponselnya. Menekan kontak Rhibie berulang kali. Namun nomor yang dituju masih tidak aktif.
"Semalem, gue telpon dia sekali. Cuma, gak di angkat. Gue pikir, dia lagi di jalan. Jadi gue membiarkannya. Tapi sampe sekarang, Rhibie belum juga pulang" Suara Jessie terdengar sedikit bergetar, menahan tangisnya.
"Lo dimana sih, Bie?" Karmen pun tak bisa menyembunyikan keresahannya. Wanita berusia 21 tahun itu berjalan mondar-mandir di teras rumah, sambil sesekali mengelus perutnya yang belum terlalu buncit.
"Kita gak bisa diem kayak gini terus. Sementara Rhibie tidak diketahui keadaannya" Suara Joanna ikut nimbrung. Gadis itu nampak berfikir untuk mencari solusinya.
"Men, San... Lo diem di rumah! Gue sama Jessie mau cari Rhibie. Kalau Rhibie pulang, tolong kabarin kita!" Seru Joanna, mengambil langkah.
Tanpa protes lagi, mereka serempak mengangguk dengan wajah berornamen kegelisahan.
Jessie dan Joanna berjalan kaki untuk mencari Rhibie. Karena kendaraan yang mereka punya cuma satu. Itupun dibawa Rhibie untuk berjualan.
Mereka bertanya pada setiap orang yang ditemuinya. Mulai dari tetangga, para nelayan hingga para pengunjung yang datang ke pantai itu.
Sebagian dari mereka ada yang mengatakan tak melihatnya. Dan sebagian lagi, mengatakan mereka bertemu kemarin. Bahkan diantara mereka ada yang sempat membeli sayurannya.
Joanna dan Jessie kembali melanjutkan langkahnya dengan menelan ludah kecutnya. Hingga tengah hari menjelang sore, mereka masih belum menemukan jejak Rhibie. Karena lelah, mereka pun memutuskan untuk pulang. Dan melanjutkan pencariannya besok.
*****
Sudah jam sembilan lebih, Rhibie masih terpaku di tempatnya. Perutnya mulai berontak minta di isi. Sesekali, gadis itu melirik bubur yang di berikan Eldanno tadi. Namun dia masih ogah untuk menyentuhnya.
Semakin lama, perutnya semakin berbunyi tak terkendali. Pertanda cacing dalam perutnya sedang berdemonstrasi.
Dengan ragu, Rhibie mulai mendekati mangkuk itu. Dan hendak mengambilnya.
Tunggu sebentar! Bagaimana jika makanan itu beracun?
Rhibie menarik tangannya kembali.
Memangnya kenapa kalau beracun? Percuma juga 'kan dia hidup lama? Masa depannya sudah hancur sekarang. Bukankah kematian lebih baik untuknya?
Rhibie menyentuh mangkuk itu lagi.
Tapi, bagaimana dengan Jessie, Joanna, Karmen, Sandra...? Apa mereka takkan sedih jika dirinya mati?
Rhibie menghentikan pergerakannya. Dan memandang pilu pada isi dalam mangkuk di hadapannya.
Semakin lama di pandang, isi dalam mangkuk itu seakan melambai padanya untuk mendekat.
Aah... Persetan dengan racun! Andai dirinya harus mati hari ini karena bubur itu. Yakinlah, semua adalah takdir yang sudah di lukiskan Tuhan dalam cakrawala hidupnya.
Rhibie mengambil mangkuk itu perlahan. Dan menelan ludahnya beberapa kali.
"Joan... Jessie... Karmen... Sandra... Gue sayang kalian. Semoga kalian baik-baik aja! Dan please, jangan tangisi kepergian gue!"
Begitulah doa yang keluar dari mulut Rhibie sebelum menyantap makanannya. Rhibie mengunyah buburnya dengan meraba-raba. Takutnya ada yang tak beres dengan rasanya.
Tapi kenapa semakin lama bubur itu ada di mulut Rhibie, justru rasanya semakin lezat?
Tanpa fikir lagi, Rhibie kembali menyendok bubur itu ke dalam mulutnya dengan lahap. Ia tak menyadari, jika Eldanno tengah memperhatikannya di ambang pintu.
"Sudah kuduga!" Gumam Eldan sambil menyeringai tipis, dan menutup pintunya kembali. Lalu menguncinya.
Tiga menit...
Lima menit...
Sepuluh menit...
Rhibie masih belum merasakan reaksi apapun dari makanan itu.
Aah... Sistem imunnya kuat, kali? Makanya, racunnya tak bereaksi dengan cepat.
Sambil menunggu sakaratul mautnya, Rhibie melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya disana.
Bak seorang model sabun mandi. Sambil berjalan, Rhibie melepaskan selimut yang membungkus tubuhnya. Kini tubuh polosnya terekspos tanpa batas penghalang.
Di kamar mandi, Rhibie tak langsung sabunan. Dengan telaten, dia memeriksa dengan detail semua alat mandi milik Eldan. Seperti manusia kurang kerjaan, Rhibie menciumi aromanya satu-persatu.
Pantas saja tubuh pria itu begitu wangi! Perlengkapan mandinya aja, udah sewangi ini.
Batin Rhibie seraya tersenyum. Dia mengenang kembali, aroma tubuh si pria asing malam tadi. Masih tercium sangat jelas dalam ingatannya, dada berototnya menebarkan aroma wangi maskulin yang merasuk ke dalam rongga hidungnya. Saat dada itu berada di atas tubuhnya. Perutnya juga, sangat keras waktu Rhibie menendangnya.
Woy... Sadar! Itu otak udah mengarah ke jalur mana?
Rhibie terperanjat dari angannya. Berusaha mengembalikan seluruh kesadarannya. Lalu mengguyur tubuhnya di bawah shower. Dan membersihkan tubuhnya menggunakan alat mandi milik Eldanno.
Perang batin tentang bubur baru saja berakhir. Kini Rhibie kembali di hadapkan dengan masalah baru. Dirinya memang sudah mandi. Lalu, bagaimana dengan pakaiannya?
Rhibie menatap sedih pada potongan pakaiannya yang sudah tak berwujud. Dan mengarahkan tatapannya pada celana jeans-nya yang masih utuh.
Apa Rhibie yakin, akan mengenakan celana itu saat area sensitifnya masih luka kayak gini?
Uh!... Membayangkannya saja, Rhibie sudah ngilu sendiri.
Otak briliannya mulai bekerja, Rhibie berjalan ke arah lemari. Dan menggeledah isinya, tanpa izin dari Tuannya.
Rhibie mulai menunjukkan keonarannya. Dia melempar pakaian yang di anggapnya tak menarik ke lantai. Lalu berpindah pada pakaian yang lain. Dan begitu seterusnya. Gadis itu sama sekali tak mengindahkan kamar Eldanno yang berantakan karena ulahnya. Hingga akhirnya, dia menjatuhkan pilihannya pada kemeja putih milik Eldan.
Gadis itu bercermin, sambil memutar-mutar tubuhnya kesamping kanan dan kiri. Dan berdiri lagi mematung. Kemeja itu nampak over size di tubuh Rhibie. Tapi tidak berlaku jika yang memakainya Eldanno.
Persetan dengan ukuran! Yang penting, kini tubuhnya tak terlalu polos.
Rhibie berjalan ke arah balkon di kamar itu, berharap dapat mengusir penatnya. Dia berdiri mematung di tepi pagar pengaman. Mengeluh resah atas apa yang terjadi pada dirinya kini. Kenapa dia harus berteduh di rumah ini, kemarin? Membuatnya harus bertemu pria itu dan merenggut kehormatannya. Kenapa harus rumah ini yang di pilihnya untuk berteduh?
Tapi bukankah sebelumnya, gadis itu sudah terbiasa numpang beristirahat atau berteduh di rumah ini? Tapi kenapa pula, rumah ini tiba-tiba ada penghuninya?
Rhibie kembali menangis tersedu, menyesalinya.
*****
"Ini Bos, belanjaannya!" Seorang pria membungkuk hormat dihadapan Eldanno, seraya menyerahkan kantong belanjaan dari sebuah mini market.
Eldanno hanya mengangguk, seraya menggerakkan tangannya untuk mengusir pria suruhannya itu.
"Tumben, lo beli snack banyak? Kayak cewek aja!" Ledek Axelle dan merapihkan kembali kantong belanjaan yang baru saja di geledahnya.
Eldanno hanya menyeringai tipis menanggapinya.
Kening Axelle pun mengerut, tak mengerti.
"Ada tamu di kamar Eldan, mungkin itu untuk dia" Ujar Baghal, menguraikan benang kusut di otak Axelle.
Mata Axelle pun membulat seketika, mendengar pernyataan itu.
"Cewek yang lo booking semalam, belum di pulangin? Kalau dia masih betah, bolehlah entar di pindahin ke kamar gue!" Pinta Axelle seraya nyengir. Dia tertarik untuk mencicipi, bagaimana rasanya berbagi wanita dengan sahabatnya sendiri.
"Jaga mulut lo, Xell!" Bentak Eldan, kasar.
Seketika Axelle tercengang, terkejut dengan sikap Eldan yang seakan tersinggung dengan ucapannya. Tak biasanya, Eldan semarah itu jika di singgung tentang wanita bookingannya.
Hanya tentang wanita bayaran 'kan, yang mereka bicarakan? Se-spesial apa sebenarnya wanita itu untuk Eldan?
Baghal hanya melirik datar ke arah mereka, sekilas. Lalu kembali acuh.
Eldanno menarik nafasnya, dan menghempaskannya kasar. Berusaha menstabilkan kembali emosinya. Tanpa bicara, dia langsung naik ke lantai atas. Menuju kamarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!