Pagi hari yang cerah Meira bersiap untuk berangkat ke kantor. Ia menuruni anak tangga, menuju ke ruang makan, dan melihat sang mama sedang menyiapkan sarapan.
“Pagi Ma.” sapa Meira
“Pagi Mir.” jawab Mama sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir Papa.
Meira meletakan tote bagnya di kursi, kemudian bergegas membantu Mama. Ia mengambil piring di dapur
“Mir, tolong sekalian ambilkan pisau untuk mengoles selai ya,” pinta Mama
“Ya Ma..” jawab Meira
la mengambil tiga buah pisau di lemari perkakas dapur.
Ketika Papa sampai di ruang makan, kebetulan sarapan sudah siap.
“Selamat pagi Pa.“ sapa Meira
“Ehh.. Pagi Mir.“ Papa membalas sapaan Meira sambil menarik kursi ke belakang dan mendudukinya.
“Kamu kalau sempat, nanti sepulangnya dari kantor mampir ke dokter Mir, Mama khawatir dengan kepala kamu“ saran Mama
“Kepala Mira nggak apa-apa kok Ma, mungkin karena efek habis terbentur aja jadi sakit“ sahut Meira
“Sekarang sudah nggak sakit .“ Meira tersenyum
Mama menyodorkan secangkir teh hangat pada Meira, “Ya sudah terserah kamu saja”
“Makasih ma.“ Meira menerima teh hangatnya.
“Terus kamu jadi berangkat ke kantor sama Papa hari ini Mir?“ tanya Papa sambil memoles roti tawar dengan selai coklat.
“Jadi dong Pa, kan mobil Mira baru selesai dikerjakan nanti sore.“ terang Meira sambil menyeruput teh hangatnya.
Papa mengangguk-angguk.
***********
Kemarin pagi waktu Meira berangkat ke kantor, mobil di depan Meira tiba-tiba mengerem mendadak, karena ada motor yang terjatuh. Meirapun terkejut dan turut menginjak rem, kebetulan memang jalan yang dilewati oleh Meira banyak yang berlubang. Itulah yang menyebabkan kepala Meira terbentur setiran mobil saat mengerem.
Tidak hanya itu, mobil Meira juga tertabrak motor yang saat itu berada di belakang mobilnya. Kaca lampu mobil sebelah kanan pecah dan bemper mobilnya penyok. Tetapi Meira juga tidak bisa menyalahkan si pengendara motor itu karena semua terjadi secara tiba-tiba dan tidak disengaja.
“Aduh maafkan saya mbak, saya tidak sengaja, soalnya mobil mbak tadi mengerem mendadak, jadi saya kaget,“ ujar seorang ibu pengendara motor itu, yang ia ketahui bernama bu Asih. Ia hendak belanja ke pasar, dan raut wajahnya penuh dengan penyesalan.
“Iya bu, nggak apa-apa, saya tadi memang mengerem mendadak.” Jawab Meira
"Tapi kaca lampu mobil mbak pecah.” Kata bu Asih sambil menunjuk kaca lampu sebelah kanan mobil Meira.
Seketika badan Meira terasa lemas melihat kaca lampu mobilnya yang pecah dan bemper mobilnya yang sedikit penyok. Tapi mau bagaimana lagi, dia tidak mungkin menyalahkan bu Asih apalagi sampai meminta ganti rugi.
“Nanti saya bawa ke bengkel bu, supaya diperbaiki di sana." Meira mencoba menjawab setenang mungkin.
Bu Asih merasa lega, “kalau begitu saya pamit dulu ya mbak, saya buru-buru mau ke pasar, nanti saya kesiangan jualannya.”
“Ibu jualan apa?” tanya Meira
“Saya jualan gado-gado mba?“ jawab Bu Asih
Meira mengangguk sambil tersenyum.
“Sekali lagi saya minta maaf ya mbak,” lanjut bu Asih sambil menyalami Meira.
“Iya bu, nggak apa-apa, hati-hati ya" jawab Meira
Meira masuk ke dalam mobil, ia duduk lalu menghela nafas panjang. Hatinya benar-benar campur aduk antara lelah, bingung dan kesal.
Ia mengambil ponsel dari dalam tasnya, lalu menelepon Deni.
“Halo Den.”
“Halo, ya Mir.” jawab Deni
“ Kamu dimana?” tanya Meira
“Aku di perjalanan mau ke kantor Mir “ jawab Deni.
“ Ada apa? “ tanyanya kemudian.
“Mobil aku tertabrak motor Deni.” sahut Meira
“Hahhh..!!, dimana? kamu dimana sekarang? Kamu nggak kenapa-napa Mir?” Suara Deni terdengar panik
“Di jalan masih dekat-dekat rumah, aku nggak kenapa-kenapa kok, tapi kaca lampu mobil pecah dan bemper mobil penyok, aku bingung harus giman Den.” Ujar Meira
“Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa.” Suara Deni terdengar lega sekarang.
“Oke, kamu tenang aja ya Mir, tunggu di situ, sekarang aku ke tempat kamu, kita bawa mobil kamu ke bengkel, setelah itu aku antar kamu ke kantor,” lanjutnya.
“Oke,“ jawab Meira menutup percakapan.
Meira merasa lega.
“Untung ada Deni, aku tidak pernah tahu masalah mobil rusak, body mobil yang penyok, atau masalah perbengkelan seperti ini, aku tahunya cuma nyetir mobil aja,“ batin Meira
*********
“Ayo kita berangkat,“ ajak Papa sembari beranjak dari tempat duduknya.
“Sudah siang ini,” Papa melihat jam dinding yang terpasang di ruang makan. Lalu papa berpamitan ke Mama.
Suara Papa mengejutkan Meira.
“Siaapp Pa,” jawab Meira setengah berteriak sambil memasukkan roti yang tinggal sepotong ke dalam mulutnya, lalu mengambil tasnya di kursi sebelah.
“Mira berangkat ya Ma,” pamit Meira sambil mencium pipi Mama
“Hati- hati di jalan,” pesan Mama
Meira berlari menuju mobil yang sudah terparkir di jalan depan rumah. Papa sudah menunggu di dalam mobil.
Meira melambaikan tangannya ke arah Mama yang berdiri di depan pintu rumah, lalu ia masuk ke dalam mobil.
“Jadi kamu nanti pulangnya papa jemput, atau gimana Mir?“ tanya Papa
“Nggak usah Pa, nanti Meira pulang sama Deni, sekalian mau ambil mobil di bengkel.” Jawab Meira cepat.
“Oke kalau begitu,” Papa mengangguk
Kebetulan memang rute kantor Papa searah dengan kantor Meira.
Dalam perjalanan ke kantor Meira banyak bercerita dan mengobrol dengan sang Papa, dari bercerita tentang masalah pekerjaannya di kantor hingga bercerita tentang Deni.
“Lalu kapan kamu dan Deni akan menikah?“ canda Papa
“Ahh Pa, Mira masih mau fokus sama kerjaan dulu, begitu juga Deni, ia masih ingin mengejar karier dan mimpinya.“ jawab Meira sambil tertawa diikuti tawa Papa.
“Papa nggak keberatan kan, kalau Meira menikah sekitar dua atau tiga tahun lagi?” lanjutnya meminta pendapat sambil melirik ke arah Papa.
Papa menoleh ke arah Meira lalu tersenyum. “Itu semua terserah kamu Mir, kamu yang menjalani hidup, kamupun yang bebas menentukan kapan kamu akan menikah.“
Meira tersenyum dan memegang tangan Papa. “Makasih Pa.”
Meira sangat bersyukur mempunyai orangtua yang sangat liberal. Meira diberi kebebasan, namun harus bertanggung jawab dengan kepercayaan yang telah diberikan padanya. Papa dan Mama juga tidak pernah menuntut Meira untuk cepat-cepat menikah. Semua terserah Meira. Kapan Meira siap, Meira boleh menikah, tetapi kalau Meira belum siap, orangtuanya tidak akan memaksanya.
“Meira ke kantor dulu ya Pa, Papa hati-hati di jalan.“ Pamit Meira, saat mobil Papa sudah sampai di depan kantornya. Ia mencium tangan Papa.
“Oke, semoga pekerjaan kamu lancar hari ini Mir.” Pesan Papa.
Meira turun dari mobil, lalu berdiri memandangi mobil papanya, ia melambaikan tangannya.
Ketika mobil papa sudah menghilang dari penglihatannya, ia mengayunkan langkahnya memasuki gedung kantor tempatnya bekerja.
Meira keluar dari ruang rapat dan bergegas untuk menuju meja kerjanya, masih ada beberapa laporan keuangan yang harus segera ia selesaikan.
“Mirrr…. Miraaa,” panggil Farah
Meira menoleh, “Kenapa Far?“ tanyanya
Farah menarik tangan Meira. “Ke kantin yuk, aku lapar,” ajak Farah.
Meira melihat jam tangannya, kebetulan jam menunjukkan pukul 11.50, sebentar lagi memang waktunya istirahat siang.
“Lima menit lagi ya.” Ia meminta waktu pada Farah.
“Aku selesaikan laporanku dulu.“ lanjutnya.
Farah menggeleng.
“Sekarang aja Mir, aku sudah lapar sekali,“ ujar Farah sambil memegang perutnya.
Meira paling tidak tega kalau sudah melihat Farah merajuk seperti anak kecil.
“Baiklah.” Meira menyetujui ajakan Farah untuk ke kantin, meskipun ia sendiri sebetulnya masih belum terlalu lapar.
Farah tampak bahagia dan buru-buru menggandeng tangan Meira sambil berucap, “Nahh.. gitu dong Mir, itu baru namanya sahabat sejati.”
“Sebenarnya aku cuma nggak tega ngeliat kamu kelaparan, nanti kalau pingsan, siapa yang mau gendong?” Gurau Meira.
“Ya kamu lah yang gendong.” Jawab Farah cepat sambil tertawa.
“Nggak mau…," seru Meira.
Keduanya berjalan sambil bercanda menuju kantin.
Meira dan Farah memang sudah bersahabat sejak dua tahun yang lalu. Waktu itu mereka sama-sama diterima sebagai karyawan baru di kantor tempat mereka bekerja sekarang. Kedekatan mereka berawal dari Farah yang seringkali meminta informasi pada Meira, tentang dimana tempat belanja terdekat, atau dimana tempat makan yang murah dan enak, dan lain lain. Maklumlah Farah datang dari luar kota, dan dengan senang hati Meira memberitahunya, atau kalau ada waktu senggang, tidak jarang Meira mengantar Farah jalan-jalan serta mampir ke kostan Farah sepulang mereka dari kantor, kebetulan kostan Farah tidak jauh dari kantor. Meira sangat senang bertemu dengan Farah di tempat kerjanya.
Sesampainya di kantin, Farah langsung memesan ayam geprek level tiga, masih tambah telur dadar, tahu goreng dan es teh manis.
“Aku dari tadi pagi belum sarapan Mir, ditambah tadi Pak Irwan mimpi rapatnya lama banget, gimana aku nggak semakin kelaparan.” Ujarnya beralasan.
Meira hanya tertawa mendengar celotehan sahabatnya.
“Jangan tertawa kamu Mir!” hardik Farah. Ia pura-pura marah.
Mereka terdiam ketika pesanan makanan datang. Meira memesan bakso kuah dan es teh manis.
“Kamu diet Mir?” Selidik Farah
“Nggak diet, aku tadi pagi sudah sarapan roti sama telur rebus, jadi masih agak kenyang “ jawab Meira
“Kamu sih enak, tinggal di rumah.“ ujar Farah
“Kamu juga enak ada aku.” sahut Meira
“Kenapa begitu?” tanya Farah
“Demi kamu, aku rela ikut kamu kemana aja, termasuk ke kantin meskipun aku belum lapar,” jawab Meira
“Ah sweet banget kamu Mirrr…,” Farah tertawa sambil memeluk Meira.
“Hehh!!” hardik Meira, ia pura- pura menghindari pelukan Farah
“Dilihat banyak orang tuh, nanti mereka pikir kita sedang ngapain” lanjut Meira sambil melihat ke sekeliling kantin.
Farah terkikik sambil menutup mulut dengan kedua tangannya.
Meira menambahkan kecap, saus dan sedikit sambal ke dalam mangkok baksonya, dan ketika hendak menyantapnya tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Meira melirik ponselnya yang berada di atas meja. Karena di layar ponsel terlihat nama Deni, maka buru-buru ia mengangkatnya.
“ Halo Den.” Jawab Meira
“Halo Mir…” terdengar suara Deni dari seberang sana
“Ciee cieee….“ Farah menggoda Meira
Meira menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
Farah masih tersenyum-senyum menggoda Meira.
“Mir, siang ini aku harus ke luar kota, ada tugas dari kantor, jadi maaf ya nanti sore aku tidak bisa jemput kamu. Kamu nggak apa-apa kan pulang naik taksi dan ambil mobil di bengkel sendiri?” Suara Deni terdengar menyesal.
“Iya nggak apa-apa Den, aku ambil mobil sendiri.” jawab Meira.
“Kamu sekarang dimana? berangkat jam berapa nanti?“ lanjut Meira.
“Aku lagi di perjalanan pulang ke rumah Mir, mau siap- siap, nanti pesawatnya berangkat jam 15.10.” jawab Deni.
Meira melirik jam tangan pemberian Deni yang melingkar di tangan kirinya. Sebetulnya ia ingin sekali mengantar Deni ke bandara, tapi pasti Deni tidak mengizinkan. Apalagi di jam segini, lalu lintas sedang padat-padatnya.
“Kamu berangkat sama siapa Den?“ tanya Meira lagi.
“Sama Andre Mir.” jelas Deni
“Ya sudah kamu hati-hati ya Den, jangan sampai ada barang yang ketinggalan,” Meira mengingatkan.
“Ya Mir, aku siap-siap dulu ya, ini baru sampai rumah, kamu jangan lupa makan ya,” suara terputus-putus
Meira belum sempat menjawab, ketika terdengar suara tuttt…tut..tuttt…tuttt dari seberang sana, dan sambungan telepon terputus.
Tidak lama pesan masuk dari Deni “ Maaf Mir, baterai habis, nanti aku kabari lagi ya setelah aku sampai.”
“Oke!” jawab Meira singkat.
“Kenapa Deni Mir?” tanya Farah ingin tahu
“Dia ada dinas keluar kota.” Jawab Meira sambil mengaduk kuah bakso yang sedari tadi belum sempat ia makan.
“Yahhh… baksoku sudah dingin,” ujar Meira
“Masih untung nggak ada lalat masuk ke dalam mangkokmu,” sambung Farah
Meira melotot ke Farah pura pura marah, disambut tawa lepas Farah.
“Eh.. ngomong-ngomong berapa lama Deni keluar kota Mir?” lanjutnya
“Entahlah.. tadi aku belum sempat tanya, takut mengganggu, dia lagi siap-siap?” Ujar Meira
***********
Sore hari sepulangnya dari kantor Meira mengambil mobilnya di bengkel. Meira ingin memastikan apakah mobilnya sudah benar-benar diperbaiki. Ia meneliti satu persatu bagian yang diperbaiki. Kaca lampu mobilnya sudah kembali utuh, bemper yang penyok sudah beres dan cat mobil yang sedikit tergores sudah dipoles lagi dengan cat yang serupa dengan warna asli mobilnya.
Meira menarik nafas lega karena mobilnya sudah kembali seperti semula.
“Bagaimana mbak, apa masih ada yang kurang?” Tanya Pak Ramli pemilik bengkel mobil.
“Saya rasa sudah cukup Pak.” jawab Meira. Ia tersenyum puas.
“Nanti kalau ada yang dirasa kurang, mbak datang saja kemari, mobilnya bisa saya perbaiki lagi,” ujar Pak Ramli
“Baik pak, terima kasih.” Meira mengangguk
Lalu Meira memotret mobilnya yang sudah jadi dan mengirimkannya pada Deni.
Setelah membayar biaya perbaikan mobil dan mengucapkan terima kasih pada Pak Ramli, Meira pamit dan masuk ke dalam mobilnya.
Dalam perjalanan pulang Deni meneleponnya. Meira menepikan mobilnya dan berhenti. Ia menjawab telepon dari Deni.
“Halo Den.”
“Halo Mir, syukurlah kalau mobilnya sudah jadi.” Jawab Deni
“Aku sudah sampai Mir.” suara Deni terdengar lelah
“Ya sudah kamu istirahat dulu sekarang Den,” ujar Meira
“Aku ini masih di perjalanan dari bengkel mau pulang ke rumah.“ lanjutnya
“Oh ya sudah…hati- hati di jalan Mir, sampai nanti.” Deni mengakhiri percakapan.
Meira mematikan ponsel dan dan melanjutkan perjalanan pulang.
Hari Minggu pagi, sinar matahari begitu cerah menyinari bumi. Terdengar suara burung bersahut-sahutan dari dahan pohon. Meira memilih untuk tetap berasa di dalam kamarnya, dan duduk di atas tempat tidur.
Jari jarinya beterbangan di atas tuts kibor. Semestinya Meira membenci tugas ini, karena di hari liburpun, ia tetap disibukkan dengan pekerjaan. Namun tidak begitu dengan Meira, ia justru sangat menikmati pekerjaannya, mengingat betapa beruntungnya ia bisa diterima dan bekerja di kantor tempatnya bekerja sekarang. Banyak orang berlomba-lomba untuk bisa diterima dan bekerja di kantornya.
Sesekali tampak Meira mengerutkan keningnya tanda ia sedang berpikir. Mata indahnya hanya sebentar beralih ke makanan yang ia buat tadi di dapur, sebelum memulai mengerjakan tugas kantornya. Ia hanya mencicipi sebentar lalu kembali menatap dengan penuh konsentrasi ke layar laptopnya. Lagu lagu bertemakan cinta yang ia putar mengalun indah di ruangan kamarnya.
“Yess, sudah selesai.” Meira mengepalkan tangannya.
“Tidak sia sia semalaman aku begadang,” gumamnya
Baru saja ia mau menyuapkan mie goreng ke dalam mulutnya, terdengar suara Mama dari depan kamar menghardiknya.
“Mirrr…jangan makan di atas tempat tidur, tidak baik itu.“
“Kamu makan di meja makan, Papa sudah menunggu kamu di sana dari tadi,” lanjut Mama
“Iya Ma.“ Sahut Meira sambil bergegas mengangkut piring berisi makanannya yang belum habis.
Meira berlari menuju ruang makan, dan Mama mengikutinya dari belakang.
Memang betul kata Mama, ketika Meira sampai di ruang makan, Papa sudah ada di sana, dan dengan sabar menunggunya.
“Maaf Pa, Papa jadi menunggu lama,” ujar Meira menyesal
Papa menoleh ke arah Meira “ Nggak apa-apa.”
“Yuk sarapan,“ ajak Papa . Meira mengangguk
“Mira tadi sarapan di kamar Pa,“ kata Mama sambil meletakan piring berisi buah apel yang sudah dipotong-potong di atas meja makan.
Papa tersenyum, “Kamu sedang mengerjakan apa Mir?”
“Pembukuan Pa, tapi sekarang sudah selesai.“ Jawab Meira sambil mengunyah potongan buah apel.
Ada perasaan menyesal dan bersalah dalam diri Meira, karena membuat Papa dan Mama menunggu lama, bahkan Mama sampai harus menyusulnya ke kamar. Mereka sudah terbiasa makan bersama bertiga. Kecuali ada yang sedang tidak di rumah.
“Hari Minggu kamu nggak pergi jalan-jalan Mir?“ tanya Papa
“Kan pekerjaan sudah beres,“ lanjut Papa
“Nanti sore Pa, sepulangnya Deni dari luar kota.” Jawab Meira
“Deni pulang hari ini?” Giliran Mama yang bertanya.
Meira mengangguk “Ya Ma.”
Selesai makan Meira membantu Mama membereskan meja makan. Ia membawa piring -piring dan gelas-gelas kotor ke dapur.
“Kalau kamu masih ada pekerjaan, letakkan saja piring dan gelasnya di situ Mir “ kata Mama sambil menunjuk wastafel tempat mencuci piring.
“Biar Mama saja yang cuci,” lanjut Mama.
“Mira saja yang cuci Ma, kerjaan Mira sudah selesai kok,” tegas Meira
“Ya sudah kalau begitu,” Mama mengangguk sambil kembali merapikan lemari es.
Mama orangnya sangat rajin dan rapi dalam urusan pekerjaan rumah tangga.
Lemari es, selalu dirapikan dan dibersihkan dalamnya. Dari buah-buahan, sayur mayur, botol minuman, dan makanan semua diatur rapi di dalam lemari es.
Keadaan rumah baik di dalam maupun di luar selalu bersih dan rapi. Dari teras sampai dapur semua terlihat bersih. Pot- pot tanaman koleksi Mama diatur berjajar di teras rumah, ada juga yang digantung. Buku-buku koleksi Papa disusun rapi di lemari buku. Meja dan kursi baik di ruang tamu, ruang keluarga maupun ruang makan diatur rapi, ditambah dengan hiasan dan tanaman hijau yang membuat sejuk ketika memasuki rumah. Di rumah Meira hampir tidak ada debu karena Mama rajin membersihkannya.
Meira mengikat rambut hitamnya yang lebat. Ia menuangkan sabun ke dalam dispenser sabun cuci piring, kemudian mulai mencuci piring-piring dan gelas-gelas kotor. Sesekali terdengar ia bersenandung lirih.
Selesai mencuci, Meira meletakkan piring dan gelas di atas rak yang berada di dekat wastafel untuk dikeringkan, kemudian ia membersihkan wastafel dengan lap kering. Setelah itu Meira mengepel lantai dapur supaya tidak licin, karena terciprat sabun.
“Bersih dan wangi.“ Ujar Meira sambil memandangi sekeliling dapur.
Meira hanya bisa membantu mama memebersihkan rumah di saat weekend saja, karena dia hari-hari biasa, ia harus ke kantor dari pagi sampai sore, atau kadang kalau ada lembur, bisa sampai malam hari.
Setelah pekerjaan beberes selasai, Meira mengayunkan langkahnya ke ruang keluarga untuk bergabung dengan Papa dan Mamanya menonton televisi.
Papa memutar saluran olahraga untuk menonton pertandingan tenis lapangan. Meira sendiri tidak terlalu paham soal permainan tenis. Ia lebih mengerti permainan bulutangkis. Tetapi melihat Papa dan Mama begitu asyik menyaksikan pertandingan tenis tersebut, ia pun turut larut dalam permainannya.
Meira juga ikut berteriak dan bertepuk tangan pada saat jagoannya berhasil menambahkan poin, dan merasa kecewa saat jagoannya tidak bisa mengembalikan smash dari lawan.
“Seru juga ya Pa, nonton tenis,“ ujar Meira
“Ya, apalagi kalau kita menyaksikan langsung di lapangan, itu lebih seru,“ jawab Papa bersemangat
“Kapan-kapan ajak Mira ya Pa, kalau Papa mau nonton langsung,“ pinta Meira
“Mama juga ikut,” Mama turut menyahut
Papa mengangguk, “Oke!”
Ketika pertandingan set kedua berlangsung, terdengar bel rumah berbunyi.
“Ada tamu,”pekik Meira
“Coba kamu lihat siapa yang datang Mir!” pinta Mama
“Ya Ma,” jawab Meira.
Lalu ia beranjak dari tempat duduknya menuju pintu depan. Meira tampak terkejut ketika melihat siapa yang datang.
“Kok kamu sudah pulang, bukannya baru nanti sore?“ tanya Meira.
“Kenapa? Kamu tidak suka aku pulang lebih cepat?” Deni balik bertanya.
“Senang..senang sekali,“ jawab Meira dengan mata berbinar.
“Aku cuma kaget aja, tahu-tahu kamu sudah ada di depan rumah” lanjutnya.
“Kamu tahu kenapa aku pulang cepat?” Tanya Deni
“Karena pekerjaan sudah beres mungkin” jawab Meira ragu.
Deni menggeleng.
“Terus apa?” Tanya Meira
“Karena aku tahu, kamu pasti kangen banget sama aku.” Ujar Deni percaya diri.
Meira menyeringai
“Sekarang kamu ganti baju, kita jalan yuk,“ ajak Deni.
Meira mengangguk.
“Kok tamunya nggak diajak masuk Mir,” Mama tiba-tiba sudah muncul di ruang tamu.
Meira menoleh, “Ya Ma, ini baru mau diajak masuk.“
“Siang tante.” Deni menganggukkan kepala ke Mama
“Siang Den, ayo masuk,” ajak Mama
“Ya tante.” JawabDeni sopan
Meira mengajak Deni masuk ke ruang tengah, supaya Deni bisa mengobrol dengan Papa dan Mamanya sembari menunggu dirinya mengganti pakaian.
Papa nampak masih asyik menyaksikan pertandingan tenis.
“Siang Om.” Sapa Deni.
“Ehh.. siang Den, ayo duduk sini,“ jawab papa. Deni mengangguk dan duduk di kursi ruang tengah.
“Aku ganti baju dulu ya,” pamit Meira pada Deni.
Deni mengangguk sambil mengedipkan matanya, seolah memberi kode supaya Meira tidak terlalu lama meninggalkannya.
Meira tersenyum sambil memberi isyarat oke.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!