NovelToon NovelToon

Midori High School

Chapter 01 : Pilihan

Tuban, 2019

Semesta Ayyara

Hari terakhir masa orientasi siswa (MOS) berbeda dengan dua hari sebelumnya. Hari ini siswa baru Midori High School diberi kebebasan mengisi waktu sejak pagi hingga menjelang pentas seni dimulai. Beberapa memilih berdiam dalam kelas. Sebagian lagi sudah mengelilingi sekolah untuk mengenal lingkungan lebih dekat. Ada pula yang menyebar di stan bazar kakak kelas yang memamerkan berbagai macam produk mulai dari makanan ringan, minuman segar hingga aksesoris. Ada pula stan-stan khusus yang diperuntukan bagi ekstrakurikuler yang ada di Midori High School.

Aku dan Arata - teman yang sudah menemaniku sejak berusia delapan tahun, menjadi gerombolan siswa ketiga. Sudah 30 menit kami mengunjungi stan yang memamerkan berbagai jenis kegiatan ekskul. Mulai dari lukis, dance populer, tari tradisional, teater, karawitan, debat bahasa Inggris, basket, voli, pecinta alam, bulu tangkis, wall climbing, hingga fotografi yang terlihat sepi peminat dibanding yang lainnya.

Sebenarnya sudah ada pilihan ekskul yang ingin kuikuti. Bahkan tujuan utamaku masuk Midori High School juga karena ingin bergabung dalam ekskul itu. Namun Arata memintaku untuk melihat-lihat dulu ekskul yang lain. Siapa tahu ada yang membuatku tertarik. Padahal jelas, tidak ada ekskul lain yang membuatku tertarik. Sebagaimana dia juga tertarik pada fotografi.

"Kamu masih pengen gabung di ekskul fotografi?" tanyaku tidak yakin pada Arata saat kami berhenti di stan yang paling sepi dibanding lainnya. Hanya ada dua cowok penjaga stan yang memamerkan beberapa karya terbingkai pigura. Bahkan ketika kami mengunjungi stan mereka tak ada satu pun yang peduli. "Yakin mau gabung fotografi? Orangnya nggak ada yang peduli," bisikku pada Arata yang sibuk mengamati sebuah potret pohon beringin kembar bernuansa vintage di salah satu dinding stan.

"Entah," jawabnya singkat sambil mengangkat bahu.

"Dengar-dengar ekskul fotografi bakal dihapus kalau sampai tahun ini nggak dapat anggota. Kamu gabung ataupun nggak, apa bakal ada perubahan?"

Lelaki itu tampak berpikir mendengar celotehku.

"Coba duru kari ya," ucap Arata seperti kebanyakan nenek moyangnya, dia masih kesusahan saat melafalkan huruf "l" meski sudah delapan tahun tinggal di Indonesia. Meski begitu ada beberapa kata yang lancar diucapkan sekali pun memiliki konsonan “l”. Kelak akan aku ceritakan tentang Arata lebih banyak.

"Dih, mending bisa dimanfaatkan untuk hal lain 'kan? Siapa ya yang sering bilang gitu?"

Arata tertawa menanggapi sindiranku. Dia selalu bilang “mending dimanfaatkan untuk hal rain daripada membuang waktu percuma” untuk hal-hal yang belum pasti hasilnya.

“Aku pengen rihat ekskul fotografi bangkit seperti duru.”

Memang kami sering dengar dari kakak kelas SMP yang juga bersekolah di Midori High School. Ekskul fotografi sempat berada dipuncak keemasannya. Tapi karena beberapa alasan yang tak banyak orang tahu, ekskul itu sedikit demi sedikit mulai meredup. Wajar saja jika Arata tertantang membangun lagi ekskul fotografi yang mati suri.

Sejak dulu, Arata memang hobi sekali pada fotografi. Jadi ingat, aku pertama kali bertemu dengannya saat dia mencoba memotret capung yang seketika terbang karena ulahku. Waktu itu dia marah dalam bahasa nenek moyangnya. Tentu saja aku tidak paham apa yang dia katakan. Melihatku yang hanya bengong menatapnya membuat Arata tertawa. Sejak saat itu kami sering main bersama. Aku pun tak jarang menunjukkan tempat yang bagus untuk menjadi objek pemotretan.

Begitu cintanya Arata pada fotografi, sudah ada setumpuk album untuk menyimpan karyanya. Banyak juga yang dipajang di dinding rumah. Ah ya, puluhan lembar karyanya juga terpajang di dinding kamarku. Karena sudah pasti dia yang akan mengabadikan setiap momen narsisku.

Saat SMP beberapa karya Arata sudah banyak yang menjuari perlombaan baik tingkat kabupaten maupun nasional. Namun melihat kondisi memprihatinkan ekskul fotografi yang sepi peminat, rasanya hanya akan menyia-siakan bakat Arata. Bagaimanapun dia harus memilih ekskul yang bisa membuatnya berkembang.

"Kamu jadi masuk Midori Magz?"

Pertanyaan Arata menyadarkan satu hal yang terlewatkan. Tujuanku berkeliling di stan ekskul Midori High School.

"Gomenasai1). Kayaknya kita harus pisah sekarang. Kamu nggak apa-apa ‘kan aku tinggal," kataku merasa sungkan meninggalkan Arata sendirian. Meski terlihat ramah, sahabatku itu orang paling susah bergaul. Dia merasa minder jika berbicara dengan orang asing. Salah satunya karena aksen bicaranya yang tak bisa dihilangkan.

“Daijoube2). Nanti aku kabari kamu.”

“Are you sure?”

“Hush…hush… kamu menganggu,” kata Arata pura-pura marah. “Sudah kubilang daijoube ‘kan. Aku baik-baik saja Ayyara. Ike3)!”

“Janji nggak akan lama!” kataku sambil mengatupkan tangan di depan dada. Aku bergegas meninggalkan Arata di stan ekskul fotografi. Ada hal penting yang tak boleh terlewatkan hari ini.

***

Semesta Arata

Lelaki itu mengamati punggung Ayyara sampai benar-benar menghilang di ujung koridor. Bibirnya tertarik ke atas. Menyisakan lesung di kedua pipinya yang seputih pualam. Selanjutnya dia kembali mengamati potret bernuansa vintage yang dipamerkan di stan ekskul fotografi. Ada sesuatu yang membuatnya tertarik hingga menikmatinya begitu lama. Sepasang pohon beringin yang diabadikan lewat kamera itu seolah menyampaikan cerita. Terlebih pemandangan orang-orang di bawah pohon yang berpakaian ala kadarnya. Sedang nun jauh di belakang pohon beringin kembar itu gedung pemerintahan berdiri kokoh tiga lantai. Kontras sekali dengan kehidupan di bawah pohon beringin itu.

Arata menyukai fotografi bahkan sebelum dia lancar berbicara akibat hobi sang ayah pada hal yang sama. Sejak balita dia sudah akrab dengan benda berbentuk kotak itu. Meski dulu dia masih sering menjadi objek. Namun seiring berputarnya bumi mengeliling matahari menjadikan Arata menikmati menangkap momen di balik lensa. Terlebih ada banyak hal yang ingin dikenang melalui potret yang dia ambil. Bahkan melalui foto dia juga bisa bercerita tentang banyak hal yang tak bisa diungkapkan lewat kata.

"Kamu tertarik dengan foto itu?" Perempuan berkaca mata menghampiri Arata yang masih terpaku pada foto yang sama. "Kenalin, aku Metha. Ketua ekskul fotografi. Kamu berminat gabung sama kami?"

Arata memperhatikan gadis manis berkaca mata dengan foto di depannya. Dia merasa, keduanya memiliki kesamaan. Entah di mana.

"Maaf, kakak yang punya karya dua sisi ini?" tanya Arata menyebut judul yang disematkan di samping foto itu.

Gadis itu hanya tersenyum. "Menurutmu gimana?"

"Kalian punya kesamaan. Maaf rancang, tapi kakak seperti punya dua sisi berbeda. Kayak foto ini."

Bukannya marah mendengar pernyataan Arata, gadis yang mengaku bernama Metha itu justru tertawa renyah. Menjadikan mata sipitnya semakin tak terlihat. Bahkan dia sampai harus memegangi perutnya yang terasa sakit.

"Kamu bisa banget ya nebaknya. Tapi nggak sepenuhnya keliru sih. Well, ini formulirnya kalo kamu minat gabung di ekskul fotografi. Welcome to Polaroid Island."

Kening Arata berkerut saat menerima kertas formulir dari Metha. Polaroid Island. Benaknya tak mampu mencerna kalimat perempuan berkaca mata itu.

"Nggak usah terlalu serius mikirnya. Itu nama ekskul fotografi kita." Balas Metha sambil memamerkan sederet giginya yang rapi. Lagi-lagi matanya menghilang saat dia tertawa.

"Oh, makasih kak. Saya akan pikirkan."

"Oke, nggak masalah. Aku tunggu kamu bergabung. Ngomong-ngomong siapa nama kamu?"

“Ah, Haruto,” kata Arata menyebutkan nama keluarganya.

Meski sudah tinggal jauh dari tanah kelahirannya, dia selalu mengutamakan nila-nilai yang telah ditanamkan sejak kecil. Terlebih budaya nenek moyangnya yang selalu menyebutkan nama keluarganya lebih dulu ketika berkenalkan dengan orang asing. Sejauh ini semua temannya memanggil Haruto. Hanya Ayyara yang diizinkan memanggil nama belakangnya. Arata.

“Hemm… oke Haruto, kami menunggu kamu bergabung.”

“Terima kasih,” balas Arata sambil membungkukkan badan.

Arata meninggalkan stan ekskul fotografi dan menyusul Ayyara yang lebih dulu pergi. Ditimbang-timbangnya kertas formulir pendaftaran pemberian Metha. Entah mengapa ada keraguan saat dia ingin memutuskan untuk bergabung. Dia perlu meminta pendapat Ayyara. Biasanya cewek itu yang mampu memberi pencerahan ketika sulit menentukan pilihan.

***

Semesta Ayyara

Tak kusangka stan Midori Magz paling ramai jika dibandingkan lainnya. Tahun ini pun Midori Magz masih menjadi ekskul favorit bagi siswa baru. Bukan tanpa alasan ekskul majalah sekolah itu menjadi idola hampir seluruh siswa di Midori High School. Sejak pertama kali dibentuk, Midori Magz yang paling banyak menyumbangkan piala bagi sekolah swasta paling terkenal di kotaku itu. Bukan hanya itu saja, setiap lomba penulisan entah fiksi ataupun non fiksi tak jarang dijuari oleh anggota Midori Magz.

Rumornya Midori Magz hanya bisa ditembus oleh anak-anak cerdas saja. Untuk itulah aku ingin mencoba menguji kemampuanku menulis dan bergabung di dalamnya. Karena sejujurnya aku bukan termasuk siswa cerdas jika diukur dari nilai akademik. Satu-satunya hal yang bisa kubanggakan hanyalah sederet piala lomba majalah dinding dan beberapa kepenulisan fiksi saat duduk di bangku SMP. Namun untuk menembus Midori Magz, sejujurnya aku belum cukup percaya diri.

Aku pernah membaca salah satu edisi Midori Magz milik kakak kelasku di SMP yang juga bersekolah di Midori High School. Isinya benar-benar berbobot. Pantas saja jika Midori Magz tempat berkumpulnya orang-orang hebat. Jelas sekali semua perencanaan liputan hingga produk jadi, benar-benar dikerjakan secara profesional. Terakhir mereka berhasil mewawancara presiden saat kunjungan kenegaraan di kota kecil ini.

Pantas kan jika semua anak ingin bergabung di dalamnya. Entah itu memang murni keinginan belajar atau hanya cara mereka agar dekat dengan gebetan - seperti ketua ekskul yang pasti akan diprofil setiap edisinya.

“Ini formulir pendaftarannya. Silakan isi dan serahkan kembali saat tes perekrutan anggota. Syarat-syaratnya bisa dibaca di halaman kedua,” kata seorang senior saat aku mengambil formulir pendaftaran. Tentunya setelah antrean di depanku memendek.

“Terima kasih, Kak.”

“Eh Dek, boleh minta waktunya sebentar?” cegah senior itu saat aku akan melangkah pergi. Keperhatikan seorang cowok berkalung id card Midori Magz berjalan ke arahku.

“Saya, Kak?” tanyaku menunjuk hidung.

“Iya. Kenalkan saya Jonathan dari Midori Magz. Panggil Nathan atau Jojo juga nggak masalah. Bisa minta waktunya sebentar. Saya ingin mewawancara kamu tentang MOS dan Midori High School. Boleh?”

Aku memperhatikan sosok lelaki yang kini berdiri tepat di depanku. Dia sempat mengulurkan tangan sebelum menyebut namanya. Sikap sopannya mengingatkan aku pada sosok wartawan saat berjumpa dengan narasumber penting. Sungguh profesional. Bahkan dia pun memperlakukanku dengan cara yang sama. Tentu sulit menolak tawarannya. Tak mungkin juga kan aku bergaya seperti narasumber yang berlagak banyak acara seperti dalam drama?

“Selama aku bisa membantu, Kak.”

“Boleh kita duduk di sana. Biar lebih nyaman ngobrolnya,” kata Jonathan sambil menunjuk ke arah bangku semen yang memisahkan koridor ruang guru dengan kelas. Aku hanya mengikutinya saja ke mana dia pergi. “Bagaimana kesanmu setelah mengikuti MOS hingga hari ketiga?” pertanyaan Jonathan mengawali perbincangan kami.

Aku tak bisa langsung menjawab. Sejak dia berjalan ke arahku tadi, aku menyadari lelaki itu memiliki kemurahan hati Tuhan lewat wajahnya yang tampan. Bahkan postur tubuhnya yang tinggi menompang wajahnya yang bersih bersinar. Ditambah hidung mancungnya dan sorot mata yang ramah tapi tajam. Belum lagi rambut hitamnya yang tebal. Menjadikan kemurahan hati Tuhan padanya semakin sempurna.

“Ah, sesuai perkiraanku, masa-masa orientasi sangat menyenangkan. Kita bisa kenal banyak teman dan lingkungan sekolah lebih dekat,” jawabku saat bisa menguasai grogi berhadapan dengan Jonathan.

“Kalau Midori High School sendiri kamu menilainya sekolah yang seperti apa sih?”

“Sepertinya namanya. Midori4),” jawabku membuat Jonathan mengerutkan dahi. Aku tertawa melihat ekspresinya. “Midori dalam Bahasa Jepang berarti hijau, Kak.”

“Oh, kamu bisa Bahasa Jepang?”

Aku membuat simbol dengan telunjuk dan ibu jariku. “Sedikit. Itu pun karena temanku ada yang dari Negeri Sakura.”

“Oh, oke. Aku kira cukup untuk sesi wawancara kita. Terima kasih atas waktunya. Semoga betah sekolah di sini,” pamit Jonathan setelah merasa data yang dibutuhkan sudah cukup.

Sepeninggalan Jonathan, aku berlari kecil ke arah stan fotografi tempat Arata menanti. Sepertinya pilihanku untuk bergabung di ekskul Midori Magz semakin mantap setelah bertemu dengan Jonathan. Bagaimanapun ketampanan Jonathan membuatku terpesona.

 

\=======

1) Maaf dalam bahasa Jepang. Pada akhirnya aku belajar bahasa Jepang karena ingin bisa berbicara akrab dengan Arata. Meski dia sudah lama tinggal di Indonesia, khususnya di bagian wilayah Kabupaten Tuban, Jawa Timur, terkadang masih ada hal yang tidak bisa dipahaminya. Meskipun aku sendiri tidak begitu lancar berbahasa nenek moyang Arata.

2) Dia selalu mengakatakannya untuk memastikan bahwa akan baik-baik saja agar aku tidak khawatir. Baginya mengucapkan daijoube lebih mudah daripada harus bilang aku baik-baik saja.

3) Satu-satunya cara menghadapi keras kepalaku hanya menyuruh pergi. Arata sering melakukannya jika aku merasa khawatir berlebihan. Sedangkan ada hal lain yang harus kulakukan.

4) Berkat bergaul dengan Arata, aku merasa lebih cerdas dalam beberapa hal. Khususnya Bahasa Jepang yang tidak semua orang tahu. Terutama di Midori High School, karena menurut pengetahuanku mata pelajaran itu tidak diajarkan di sana.

Chapter 02 : Time Capsule

Semesta Arata

"Bagaimana, jadi daftar?" tanya Arata saat bertemu Ayyara tak jauh dari stan eksul Midori Magz.

Cowok itu sengaja mencari Ayyara untuk menanyakan perihal ekskul fotografi yang ingin diikuti. Namun begitu mereka bertemu, hal pertama yang ingin diketahui justru perihal Ayyara jadi mendaftar Midori Magz atau tidak. Meski Arata sudah tahu pasti jawabannya.

"Jadi dong, tapi belum. Syaratnya lumayan susah. Btw ketua ekskulnya lumayan keren," balas Ayyara dengan tatapan mata berbinar. Sosok Jonathan muncul dalam benak perempuan muda itu. Sedang Arata menanggapi dengan wajah mencibir.

Sudah berpuluh kali sejak zaman SMP, Ayyara selalu tertarik dengan cowok. Entah teman seangkatan ataupun kakak kelas. Namun tak ada satu pun dari khayalan percintaannya yang menjadi kenyataan. Sekalinya jadi kenyataan hanya mampu bertahan selama satu minggu. Ayyara diputuskan karena cowok itu - Andre, merasa cemburu karena Ayyara lebih memilih bermain dengan Arata setiap kali diajak kencan. Arata ingat tanggapan Ayyara saat itu.

"Dih, pacaran ya pacaran aja nggak usah kencan segala. Masih anak SMP juga ini. Ngapain kencan? Mending juga belajar di rumah."

"Trus kenapa kamu pacaran?" tanya Arata waktu.

"Penasaran, tapi ternyata biasa aja. Nggak ada yang spesial. Lagian lucu juga alasannya. Masa dia marah karena aku dekat sama kamu. Aneh. Kan aku kenal kamu lebih dulu. Ngapain dia larang-larang."

Pernah juga seorang adek kelas menyatakan cinta pada Ayyara. Namun cewek itu langsung menolaknya, karena belum jadian pun sudah diminta untuk tidak terlalu dekat dengan Arata.

Sejak saat itu Ayyara tak pernah dekat lagi dengan cowok mana pun selain Arata. Terlebih kelas sembilan menyita banyak waktu dan perhatiannya demi diterima di Midori High School. Sebab hanya siswa-siswa dengan kemampuan otak di atas rata-ratalah yang bisa dengan mudah lulus seleksi sekolah bergengsi itu. Dan, otak rata-rata Ayyara harus berjuang keras agar bisa lulus tes. Beruntung sederet prestasi kepenulisan yang pernah diraih bisa meningkatkan hasil akhir tes yang diikuti.

Begitulah akhir kisah dari khayalan percintaan Ayyara. Selalu berakhir dengan kekecewaan para cowok karena Ayyara lebih peduli pada Arata.

Arata tersenyum mengingat sifat teman masa kecilnya itu. Tanpa sadar dia telah melalui banyak momen bersama gadis periang itu. Lihat saja, dia sudah bercerita banyak hal dan sesekali menggerutu saat membaca syarat yang diajukan untuk bergabung dengan Midori Magz.

"Lihat deh Arata-chan5), masa mau daftar ekskul kayak tes masuk sekolah coba?" Gerutu Ayyara sambil memberikan selembar kertas pada Arata. Cowok itu hanya tersenyum lebar.

Sepertinya Ayyara belum sepenuhnya mengerti tentang sekolah mereka saat ini. Di Midori High School memiliki sistem pembelajaran yang unik. Ekskul ditujukan bagi para siswa agar bisa mengasah kemampuan mereka selain bidang akademik. Untuk itulah ekskul yang diikuti harus sesuai passion masing-masing siswa. Itu agar siswa juga bisa diarahkan untuk menuju dunia profesional setelah lulus. Karena tak sedikit para lulusan yang justru berkembang dari ekskul yang mereka ikuti. Bukan dari nilai-nilai akademik (meski dalam hal ini tetap ada nilai standar kelulusan yang harus terpenuhi). Itulah sebabnya ketika ingin bergabung dengan ekskul ada serangkaian tes yang harus dilalui.

Bukan berarti dalam ekskul yang tidak memiliki passion tidak boleh belajar. Hanya saja jika itu dirasa menjadi beban bagi siswa, guru pembimbing akan mengarahkan ekskul apa yang sebaiknya diikuti oleh siswa tersebut. Jadi, para siswa ini akan mengikuti tes minat bakat untuk menentukan ekskul mereka.

"Ini sih gampang buat kamu," kata Arata setelah membaca beberapa poin persyaratan bergabung dalam ekskul Midori Magz.

"Huft… Tetap aja 'kan harus mikir. Harus mencari ide tulisan biar resumeku bisa diterima," gerutu Ayyara.

Begitulah dia, selalu menggerutu jika menghadapi sesuatu yang dirasa berat sebelum mencoba. Padahal sebenarnya dia mampu jika sudah dikerjakan. Hanya saja dia malas untuk memulai hal-hal yang dianggap berat. Toh nyatanya dia juga bisa lulus tes Midori High School meski dengan nilai pas-pas dan tertolong dengan sertifikat lomba menulis.

"Ganbatte ne6), Ayyara-chan. Daijoube. Kamu pasti bisa."

“Yee… itu sih cara kamu aja biar aku nggak bad mood. Tapi bagaimanapun aku harus lulus tes Midori Magz kalau ingin cita-citaku tercapai.”

“Itu baru Ayyara yang kukenal.”

"Ah ya, gimana ekskul fotografi, jadi gabung?" tanya Ayyara saat dia sadar terlalu mendominasi pembicaraan.

"Entah, aku ingin mendiskusikannya denganmu."

Ayyara memutar bola matanya. Sudah hafal dengan tabiat Arata yang tidak bisa memutuskan sesuatu yang dianggap sulit sendirian.

"Ke kantin yuk. Lapar nih. Pensi juga masih lama," ajak Ayyara begitu menyadari ada peluang meminta traktir pada Arata.

Cowok itu mendengus. Hafal kelakuan Ayyara yang pasti ingin minta traktir begitu Arata ingin meminta bantuan.

"Oke, tapi jangan mahal!"

Ayyara hanya tertawa menanggapi pernyataan Arata. Meski sudah terbiasa bersama, terkadang ada saja aksen Arata yang membuatnya tertawa. Itu pulalah yang akhirnya membuat Arata minder untuk bicara dengan orang lain. Namun bagaimanapun Arata tak pernah bisa marah dengan Ayyara jika cewek itu menertawakan aksen bicaranya.

***

Semesta Ayyara

Kami memilih duduk di meja yang cukup sepi agar Arata lebih leluasa membahas permasalahannya tentang ekskul fotografi. Di depannya sudah ada segelas jus alpukat yang selalu menjadi favoritnya sejak dulu. Sedang aku memilih pesan mie ayam karena benar-benar kelaparan.

"Jadi, tadi aku bertemu perempuan saat merihat foto."

Tanganku berhenti di udara saat mendengar Arata menyebut kata perempuan. Demi apapun di dunia, ini pertama kalinya sejak aku kenal Arata, dia menyebut perempuan dalam pembicaraan kami. Arata dikenal dengan sebutan manusia es di kalangan cewek-cewek saat SMP. Karena seperti yang sudah kubilang, meski wajahnya terlihat ramah, dia adalah sosok yang susah bergaul. Apalagi dengan perempuan.

Dan, hari ini dia menyebutkan dengan lancar bahwa bertemu seorang perempuan. Wow... Ini sesuatu yang patut diabadikan. Setidaknya cukup dalam memori otakku.

Ah ya, kalau saja dia menyadari, sejak hari pertama MOS cewek-cewek Midori High School sudah banyak yang melirik ke arahnya. Dari teman seangkatan yang baru sama-sama ikut masa orientasi hingga kakak-kakak senior yang jelas menggodanya. Namun tak satu pun yang berhasil mendekatinya dan memilih lirik-lirik dari jauh.

"Kenapa, ada yang salah dengan perempuan?"

"Nggak," jawabku tegas setelah tersadar dari lamunan dan melahap mie yang sedari tadi masih mengambang di udara.

"Jadi, kenapa kamu bengong?"

"Nggak, cuma merekam apa yang baru aja terjadi. Ini hal langka. Aku harus ingat-ingat tanggal dan momennya."

"Kamu ngomong apa sih?" tanya Arata bingung dengan maksud perkataanku. Jelas, dia tak mungkin memahaminya jika yang baru saja diucapkan merupakan hal langka yang pernah terjadi dalam hidupnya.

"Nope. Jadi apa yang terjadi, setelah kamu ketemu cewek tadi?"

Sebagai jawaban, Arata menunjukkan formulir pendaftaran bertuliskan Polaroid Island. Aku menatapnya dengan wajah bingung yang tak bisa kusembunyikan. Apa kaitannya cewek yang disebut Arata dengan formulir pendaftaran? Namanya juga terlihat cukup aneh. Apa ini semacam sekte yang merekrut anak-anak sekolah?

"Jangan berpikir aneh. Itu nama ekskul fotografi."

"So?"

"Namanya Kak Metha, dia ketua ekskul fotografi. Karyanya menarik tapi..."

Terdengar nada ragu-ragu dalam suara Arata untuk melanjutkan ceritanya. Aku menunggu. Apa yang akan diucapkan selanjutnya.

"Ada sesuatu yang... apa ya sebutannya,” Arata memikirkan kata yang pas untuk menggambarkan Metha. “A... Misterius. Dia seperti punya dua sisi dalam dirinya."

"Berkepribadian ganda?" tanyaku pada kesimpulan yang kubuat seenaknya saja. Mulut Arata mencebik.

"Bukan, tapi... entah, aku merasa tidak nyaman, tapi aku penasaran."

"Rumit sekali. Ya kalau penasaran ikut aja," kataku memberi saran sekenanya. Arata menanggapi serius ucapanku.

"Begitu ya, jadi menurutmu aku harus ikut?"

"Hmmm..." Jawabku mulai tak tertarik dengan pembahasan Arata. Terkadang dia memiliki pemikiran yang sama sekali tidak bisa kucerna begitu saja. Mungkin nanti jika aku sudah paham betul maksud Arata, aku akan memberitahunya yang terbaik.

***

Selepas pentas seni yang dimanfaatkan ekskul band, pencak silat, teater, hingga karate unjuk kebolehan, seluruh siswa angkatan baru diminta ke kelas masing-masing. Arata yang duduk di sampingku terlihat tidak suka. Sejak tadi cowok itu terlihat murung dan ingin cepat pulang. Aku tahu dia bosan. Baginya pensi hanyalah hal yang paling ingin dihindari karena suara bising bisa membuatnya sakit kepala.

Seorang kakak OSIS memasuki kelas tak lama kemudian. Dia memberi pengumuman yang tak begitu jelas karena sebagian besar cewek di kelasku berteriak histeris saat kakak OSIS itu masuk kelas. Apalagi kalau bukan mengagung-agungkan wajah cowok itu. Selalu seperti itu selama tiga hari masa orientasi.

“Berisik!” teriak Arata membuat seluruh kelas mendadak hening dan menatap ke arahnya tidak suka. Merasa tak nyaman, dia hanya melengos ke arah lain. Namun teriakannya barusan membuat kakak OSIS memiliki kesempatan untuk bicara lebih lantang.

“Sebelumnya perkenalkan, nama saya Ardian Setiawan sebagai ketua OSIS Midori High School,” suara seperti gitar bass itu memperkenalkan diri.

Hmm… jadi ini wajah ketua OSIS Midori High School yang tak pernah muncul di hari pertama dan membuat kehebohan di hari terakhir. Pantas saja mereka semua histeris saat dia masuk kelas.

“Saya ucapkan selamat datang dan selamat bergabung di Midori High School. Sebagai tugas hari terakhir, saya harap kalian membuat surat untuk diri kalian saat berusia 27 tahun. Usia yang diangap matang dalam segala hal. Kumpulkan surat kalian ya. Saya akan membantu mengumpulkannya.”

“Semacam time capsule, Kak?” tanyaku penasaran atas penjelasan panjang seorang cowok di depan kelas yang mengaku sebagai ketua OSIS. Anehnya beberapa cewek yang tadi bersorak histeris juga menatapku tidak suka seperti halnya saat Arata membentak. Apa kira mereka aku mencari perhatian? Maaf saja, aku bertanya karena memang penasaran.

“Yups, tapi kalian nggak perlu susah menyimpannya. Karena kami yang akan menyimpan surat masa depan kalian. Nanti kalau kalian udah berumur 27 tahun, surat itu akan dikirim untuk mengingatkan mimpi-mimpi kalian hari ini.”

Mataku berbinar mendengar penjelasan Kak Ardian. Bagaimanapun sejak dulu aku ingin membuat time capsule dengan Arata. Namun karena minimnya lahan pekarangan rumah kami, ide itu hanya menumpuk dalam laci otakku. Bahkan aku lupa di mana menyimpan kuncinya.

“Are you ready guys? Jadi tulis surat kalian sekarang.”

Rasanya hanya aku seorang di kelas ini yang semangat menyambut permintaan dari Kak Ardian. Terlihat jelas anak-anak yang lain hanya bermalasan. Bahkan Arata hanya meletakkan kepalanya di atas meja. Dia benar-benar sudah berada diambang batas kenyamanannya.

Tanpa berpikir panjang aku menyobek kertas dari agenda yang selalu kubawa ke mana saja. Hal yang kupersiapkan jika sewaktu-waktu memiliki ide yang tiba-tiba muncul. Dan kini ide itu pun berlarian tak terkendali dalam imajinasiku.

Yah, meski aku tak akan menulis panjang lebar. Setidaknya saat aku membaca kelak, cita-citaku hari ini sudah terwujud ketika aku 27 tahun. Bermimpi sah-sah saja kan? Bahkan the founding fathers negeri ini juga pernah berkata,"bermimpilah setinggi langit, jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang."

 

\==========

5. Sebenarnya Arata tidak suka dipanggil -chan karena terdengar seperti anak perempuan, meski sebenarnya itu bentuk panggilan kesayangan.

6. Seharusnya ada kata yang tepat untuk memberi semangat kepada Ayyara, tapi terkadang Arata lebih memilih bahasa nenek moyangnya karena lebih cocok dengan aksen bicaranya.

Chapter 03 : Pertaruhan

Semesta Ayyara

Aku tak terlahir dari cerita-cerita lama macam Mahabarata ataupun Ramayana. Tapi aku merasa ada bagian dalam tubuhku yang diwariskan dari kitab-kitab usang. Bukan mereka yang beradu alur dalam tokoh pewayangan. Kisah mereka yang menjelma dalam tubuhku terasa lebih baru.

Ken Arok, patih yang bersumpah Palapa, empu pembuat senjata yang pernah menghuni desa tempat kelahiran ibuku, putri yang rela nyepi dan akhirnya moksa, bidadari swargaloka, semua terpatri di setiap inchi tubuhku.

Pernahkah kau mendengar cerita tentang bidadari Nawang Wulan?

Atau membuka kitab-kitab yang diturunkan pewarismu?

Bagiku, nama Nawang Wulan tak lagi asing. Sejak sekolah dasar, aku sudah terbiasa mendengar kisah raja-raja, putri kerajaan-kerajaan Jawa, bahkan mereka yang menjelma dari gaib.

Aku tumbuh bersama cerita tentang mereka. Entah dari lisan bunda atau buku-buku yang telah menguning di perpustakaan sekolah dasar.

Mungkin itu semacam pembelaan agar aku tak dianggap terlalu modern. Entah mengapa pula, aku juga tak ingin dianggap anak zaman milenial atau bahkan dianggap anak generasi Z yang katanya lebih suka melakukan apapun melalui dunia berlayar enam inchi. Aku takut orang lain mencemooh hanya karena istilah milenial atau “hei, Z”. Aku lebih suka dikenal sebagaimana seutuhnya diriku. Ayyara Ratri Raveena. Perempuan Jumat Pahing yang ingin selalu hidup dalam tradisi meski tak juga menolak modernisasi.

Maka anggap saja aku seorang perempuan jawa yang ingin berpandangan modern tanpa melupakan dari mana akarku berasal. Tanah para raja menguasai nusantara.

Atau anggap diriku seperti Faust yang dikawinkan dengan Arjuna. Kedua tokoh itu digunakan Sanusi Pane untuk mengawinkan budaya barat (Faust) dengan budaya timur (Arjuna) pada masanya. Semacam benteng pertahanan agar sebagai orang timur bisa memilah apa yang ditawarkan barat—orang-orang kulit putih tanpa melupakan akarnya. Maka aku lebih suka menyebut diriku sebagai hasil perkawinan Faust dan Arjuna.

Kupertegas sekali lagi. Aku hasil perkawinan dari Faust dan Arjuna.

 

Kursor di layar komputerku berkedip. Kupandangi irama itu serupa denyut nadi. Otakku mendadak tak ingin diajak berpikir. Padahal, besok batas akhir pengumpulan naskah sebagai syarat utama mendaftar di ekskul Midori Magz sebelum dilanjut dengan sederet tes lainnya.

Pertama, peserta dituntut mengenalkan siapa dirinya dalam bentuk tulisan maksimal dua halaman A4. Sedangkan otakku hanya mampu berpikir setengah halaman A4 sejak usai sholat Isya’. Alhasil, sampai selarut ini aku berusaha menyelesaikan tugas itu.

Kupandangi kamar di lantai dua yang berseberangan dengan kamarku. Lampu ruangan itu masih menyala. Aku membuka pintu pembatas kamar dan balkon yang menghadap ke rumah di seberang. Tepat ke arah jendela yang lampunya masih menyala. Aku tahu pemilik kamar itu juga belum memejamkan mata. Seandainya jam mungil di meja belajar belum menunjukkan pukul 11.00 malam, aku pasti memaksanya membuka jendela.

"Tapi kalau kamu membuka pintu sekeras itu juga aku pasti dengar," kata Arata tiba-tiba, seolah menjawab keraguan dalam benakku. Dia membuka pintu ke arah balkon kamarnya yang mengarah tepat ke kamarku. Saling berhadapan dan hanya terpisah beberapa meter saja. “Sudah rampung tugasmu?”

“Entahlah, aku nggak tahu punya kelebihan apa yang bisa dibanggakan.”

“Kamu bisa menulis ‘kan?”

“Dan anggota Midori Magz juga semuanya bisa menulis ‘kan?” kataku membalas pertanyaan Arata. Cowok itu hanya nyengir menanggapi perkataanku.

“Boleh aku ke sana?”

Kebiasaan, Arata pasti akan ke balkon kamarku jika pembicaraan kami tak juga memiliki ujung. Sebelum aku setuju, cowok itu sudah meloncati balkon kamarnya dan menjejakkan kaki di dahan pohon mangga yang menghubungkan kamar Arata dengan balkon kamarku. Kami sering melakukannya sejak kecil. Pohon mangga yang tumbuh di rumah nenek Arata memudahkan kami melakukan hal-hal nakal seperti ini. Terlebih pohon itu tumbuh tepat di samping balkon kamar Arata dan menjulur ke arah balkon kamarku.

Pernah suatu ketika nenek Arata ingin memangkas pohon itu saat kami berusia sepuluh tahun. Tapi Arata menangis histeris dan tak mengizinkan siapa pun menebang pohon itu. Jadilah pohon mangga itu tetap tumbuh subur hingga kini. Pohon itu pula lah yang menjadi saksi kenakalan kami berdua sampai detik ini.

“Obaa-chan7) pasti marah kalau tahu kamu ke kamar gadis perawan saat jam malam,” godaku saat Arata sudah berhasil menjejakkan kaki di balkon kamar.

“Tidak apa-apa, aku sudah biasa dimarahi.”

Arata memilih duduk di kursi lantai. Sedangkan aku masih menopang dagu di pembatas balkon. Mengamati bintang yang entah sejak kapan hanya terlihat satu atau dua saja.

“Menurutmu apa yang perlu kutambahkan untuk resume Midori Magz?”

“Aku boleh lihat?”

Tanpa menunggu persetujuanku, Arata berdiri dan menuju ke arah meja belajar. Dia duduk di depan komputer dan sibuk membaca resume yang belum juga kuselesaikan. Sesekali dia memainkan tetikus untuk menggeser halaman word di komputerku.

“Harus dikumpulkan daram bentuk kertas ya?” tanya Arata setelah membaca resume yang kubuat.

“Hmm… begitu lah.”

“Apa kamu tidak ingin membuat sesuatu yang beda? Menggunakan power point?”

Arata memberi usul yang sebelumnya tidak terpikirkan olehku. Aku menyusulnya ke dalam dan membaca ulang syarat untuk bergabung di ekskul Midori Magz. Poin nomor empat menyebutkan jika resume ditulis atau diketik di halaman A4 Ms. Word maksimal dua halaman.

“Lihat poin empat.” Aku mengulurkan kertas pada Arata agar dia membacanya.

“Kenapa tidak fokus pada poin rima?”

Syarat pendaftaran kembali diangsurkan padaku. Kubaca ulang persyaratan itu dengan suara keras. “Buat resume kalian sekreatif mungkin yang menunjukkan dirimu sesungguhnya. Arata… arigatou8),” kataku sambil mencubit pipi Arata karena gemas.

Lelaki itu hanya meringis merasakan sensasi panas di pipinya. Sedang aku hanya tertawa. Lupa mengontrol suara kalau ini sudah pukul setengah 12 malam dan Arata masih berada di dalam kamarku. Untung bunda dan kedua kakakku sudah tidur sejak tadi. Jika belum, pasti mereka akan benar-benar menebang pohon mangga milik Nenek Lastri dengan dalih demi kabaikan kami berdua.

Sebenarnya aku memiliki tiga saudara. Kakak perempuan pertamaku sudah menikah dan tinggal di Surabaya bersama keluarganya. Sedangkan kedua kakak lelakiku yang belum berkeluarga masih tinggal bersama bunda. Kami tinggal berempat, bunda, Mas Aditya, Mas Rama dan aku. Ayahku sudah lama meninggal saat aku masih balita. Mereka lah yang menjadi penggati ayah. Jadi meski tanpa kehadiran sosok ayah dalam hidupku, aku tak pernah kesepian karena ada mereka. Toh dengan begitu aku menjadi pribadi yang cenderung mandiri.

"Jadi apa yang kamu pikirkan?"

"Ah ya, sesuatu yang kreatif seperti kamu bilang," kataku setelah sadar dari lamunan.

Aku bergegas mengambil kotak kado berukuran besar di atas almari. Ada beberapa bahan prakarya yang kusimpan di sana. Mulai kertas karton, kain flanel, perca, berbagai macam lem, klip kertas, hingga berbagai jenis bahan-bahan lainnya.

“Apa yang mau kamu buat?”

“Sesuatu yang menunjukkan siapa diriku. Ayyara Ratri Raveena,” balasku sambil memamerkan sederet gigi kepada Arata.

Lelaki itu membalas senyumku sambil menepuk-tepuk ujung kepalaku. Sikapnya yang seperti itu bahkan terasa lebih manis dibanding kedua kakak lelakiku yang lebih banyak bertingkah rese. Dalih mereka karena tak ada yang bisa dikerjain seperti aku saat di tempat kerja. Huufffttt... Menyebalkan bukan.

“Aku pulang, ya. Oyasuminasai9),” pamitnya sebelum melangkah ke batang pohon mangga yang menjulur ke balkon kamarku untuk kembali ke kamarnya.

“Ehm… nanti aku kabari kalo udah selesai,” balasku tanpa melihat kepergian Arata. Aku masih sibuk memotong kain flanel warna biru langit berukuran 21 x 27,9 centimeter. Malam ini aku harus menyelesaikannya jika tak ingin gagal mendaftar di ekskul Midori Magz.

 

 

\========

7. Aku jadi ikut memanggil Nenek Lastri dengan sebutan obaa-chan seperti Arata. Bahkan sekarang rasanya aneh kalau memanggil tetangga di samping rumahku itu dengan sebutan nenek.

8. Aku lebih suka mengucapkan terima kasih dalam Bahasa Jepang. Itu salah satu kata yang menjadi favoritku.

9. Mungkin ini salah satu keberuntunganku berteman dengan Arata. Di saat remaja seusiaku mendambakan seseorang mengucapkan selamat tidur\, tanpa diminta Arata sudah melakukannya. Hehe… meski itu sebenarnya cara budaya nenek moyang Arata.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!