NovelToon NovelToon

Hantu CEO Nakal

Mia Calista

Aku Mia Calista, gadis manis nan ceria yang baru saja lulus dari sebuah universitas yang cukup ternama di ibu kota. Hari ini adalah hari wisudaku, tapi aku sendirian. Kenapa? karena orang tuaku enggan menghadirinya. Mungkin karena dulu aku kabur dari rumah untuk kuliah di sini.

Ya, dulu tepatnya empat tahun yang lalu saat aku meminta izin untuk kuliah karena mendapat beasiswa, orang tuaku menentang keras, karena di daerahku anak perempuan dianggap tidak perlu sekolah tinggi-tinggi toh nantinya akan menikah dan jadi ibu rumah tangga. Berbeda dengan adik laki-lakiku yang pendidikannya sudah direncanakan matang-matang oleh ibuku.

Karena tak kunjung diberi izin, aku akhirnya nekat pergi ke ibu kota sendiri dengan uang tabunganku sejak masih smp. Meski aku tinggal di daerah, tapi keluargaku termasuk keluarga berada, jadi uang jajanku yang lebih suka aku sisihkan untuk ditabung. Kutinggalkan surat agar orang tuaku tidak terlalu khawatir. Meski aku tak yakin mereka akan khawatir, tapi setidaknya mereka tau aku kemana.

Saat baru sampai, aku mencari tempat tinggal dan kerja paruh waktu, karena uang tabunganku hanya akan cukup untuk beberapa bulan. Dan beruntungnya, selama kuliah aku tak menemui kesulitan yang berarti, selama itu pula aku tak pernah pulang menemui orang tuaku. Bukannya tak mau, tapi karena setiap menelpon ibu dan ayah selalu berkata aku harus berhenti kuliah dan menikah dengan pria yang sudah melamarku, jadi aku takut jika aku pulang untuk liburan mereka akan mengurungku agar tak kembali ke ibu kota. Percayalah, mereka akan benar-benar melakukannya.

***

Hari ini, aku tidak kemana-mana. Hanya berleha-leha menunggu panggilan kerja dari surat lamaran yang sudah aku kirim ke beberapa perusahaan lewat e-mail.

tok..tok..

Aku membuka pintu rumahku saat kudengar ada yang mengetuk.

"Ya." seruku untuk menjawab ketukan yang ternyata adalah tukang pos.

"Atas nama Mia Calista?" tanya tukang pos itu.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Ini, non, tolong tanda tangan."

Aku pun menandatanganinya.

"Terimakasih." ucapku.

"Mari." tukang pos itu pun pergi.

Surat ini berlogo Astra Group, perusahaan raksasa dengan yang bergerak di segala bidang. Yang membuatku bingung, aku tak pernah merasa berurusan dengan perusahaan itu. Mungkin ini salah alamat, tapi nama dan alamatku tercetak jelas di amplop ini.

Setelah yakin bahwa surat ini memang untukku, aku pun berani membukanya. Isinya surat panggilan kerja dengan jabatan sekretaris. Aku heran kenapa perusahaan sebesar itu mau mengundang seorang fresh graduate sepertiku, apalagi jabatannya sekretaris yang pasti membutuhkan pengalaman yang mumpuni. Tapi dibalik itu aku juga senang, artinya aku bisa bekerja sesuai jurusanku.

Besoknya aku langsung menuju Astra Group di jam yang sudah disebutkan. Tapi, aku kesiangan. Ditambah dengan jalanan yang macet membuatku sedikit terlambat.

"Tunggu!" seruku saat melihat lift yang hampir tertutup.

Untung saja ada seseorang yang baik menahan pintu lift itu, kalau tidak aku harus menunggu lift berikutnya. Tidak mungkin juga aku naik tangga karena lantai yang aku tunggu adalah lantai 15, bisa-bisa kakiku patah sebelum mulai bekerja.

Ting..

Aku keluar dari lift yang hanya tersisa diriku. Berjalan menyusuri sedikit koridor akhirnya aku menemukan seseorang yang kutebak resepsionis.

"Permisi," sapaku.

"Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita yang duduk dibelakang meja itu.

"Saya ingin bertemu dengan Tuan Devan." aku berbicara sesopan mungkin.

"Apakah sudah punya janji?" tanya wanita itu lagi.

"Tidak. Tapi, aku mendapat ini," aku menunjukkan amplop yang kudapat kemarin.

Wanita itu membuka amplop yang kutunjukkan. Dahinya sedikit berkerut, matanya bergantian menatapku lalu menatap surat ditangannya.

"Anda bisa masuk ke pintu sebelah sana." ucap wanita itu menunjuk sebuah pintu yang paling besar dari tiga pintu lainnya.

"Baik, terimakasih," aku mengangguk tersenyum sebelum pergi.

Aku berjalan menuju pintu itu. Agak canggung karena lantai ini lumayan kosong, total hanya ada 3 meja dengan meja resepsionis tadi. Mungkin ini lantai khusus untuk yang punya jabatan tinggi di Astra Group, karena aku melewati 3 pintu yang masing-masing ada nama jabatannya.

Tok.. Tok..

Aku mengetuk pintu terakhir dan terbesar ini dengan tulisan Chief Executive Officer.

"Masuk," saut dari dalam.

Aku pun masuk.

WOW..

Hanya itu yang keluar dari mulutku saat pertama kali melihat ruangan itu. Lebih besar dan megah dari bayanganku. Satu set sofa besar berjejer rapi di tengah ruangan, dindingnya dihiasi beberapa lukisan yang harganya pasti sangat mahal dan ada dua pasang kursi-meja kerja di ujung ruangan. Salah satunya sedang diduduki oleh seorang laki-laki. Apa itu Tuan Devan?

"Permisi, pak saya Mia Calista, saya--," ucapanku terpotong begitu saja.

"Duduklah, saya yang mengirim surat itu padamu!" Dingin sekali.

"Saya Leo, asisten Tuan Devan."

Oh jadi dia bukan Tuan Devan.

"Saat ini Tuan Devan sedang tidak ada di tempat,"

Aku tau.

"Saya hanya akan menanyakan satu pertanyaan, jika jawaban anda memuaskan anda akan langsung bekerja sebagai sekretaris."

"Puas? apa dia mesum?"

"Mesum? apa yang sedang anda pikirkan?" pertanyaannya membuatku terkejut. Ternyata aku menyuarakan keras-keras pikiranku.

"Maafkan saya, pak." Aku memilih untuk menunduk, malu.

Dia terdengar menghela nafas, aku takut akan diusir sebelum diwawancara.

"Apa sudah bisa saya mulai?" tanya pak Leo. Dia bersidekap dengan tatapan yang membuatku semakin ciut.

"Iya, pak," jawabku.

"Seberapa keras usaha anda untuk melindungi sebuah rahasia?"

Pertanyaan macam apa ini? Aku harus jawab apa?

"Saya akan melindunginya dengan nyawa saya." jawabku mantap. Hanya itu yang terlintas dipikiranku.

Kulihat pak Leo menaikkan sudut bibirnya, tapi hanya sekilas hingga aku tak yakin dengan penglihatanku sendiri.

"Oke, ini surat perjanjian yang harus anda tanda tangani." pak Leo menyerahkan sebuah map terbuka padaku. Sudah? begitu saja? sungguh wawancara kerja tercepat yang pernah aku alami.

Aku melihat isi map tersebut, tapi di sana hanya ada satu penggal kalimat yaitu harus menyembunyikan keadaan Tuan Devan Arkadiana apapun yang terjadi, jika melanggar akan dijatuhi hukuman yang sangat berat. Itulah garis besar dari surat perjanjian ini. Aku penasaran, memang apa yang terjadi pada Tuan Devan?

"Boleh saya bertanya?"

"Saya hanya akan menjawab setelah anda menandatangani surat itu, dan untuk gaji anda bisa mengisi sendiri nominalnya."

Aku ternganga, bagaimana bisa aku menuliskan berapa gajiku. Tentu saja aku akan menulis angka yang banyak kalau aku tidak tau malu.

"Saya tidak bisa," ucapku pelan.

"Kalo begitu tulis saja 30juta rupiah per bulan di kolom gaji itu." ucap pak Leo santai.

"APA? APA PAK LEO TIDAK SALAH?"

"Tidak. Dan cepatlah, pekerjaanku bukan hanya mengurusmu." tukasnya ketus. Kenapa sekarang bicaranya jadi santai seperti ini.

Aku menulis Rp. 30.000.000 di kolom gaji sesuai yang pak Leo katakan tadi, sungguh gaji yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Lalu aku tanda tangan di atas materai.

Pak Leo mengambil map itu dariku.

"Sekarang kita perjelas apa pekerjaanmu yang sebenarnya."

Aku diam menatapnya untuk menyimak.

"Pekerjaanmu adalah membantuku mengerjakan pekerjaan CEO yaitu Tuan Devan."

"Memangnya Tuan Devan kemana?"

"Nah, ini rahasia yang harus kau jaga, yaitu keadaan dan keberadaan Tuan Devan."

Aku semakin penasaran.

"Tuan Devan saat ini sedang berada di Singapura. Dia koma."

APA?

"Apa dia mengalami kecelakaan?" tanyaku hati-hati.

"Semacam itu." jawabnya, ambigu.

"Ohya, jangan panggil aku bapak, karena aku tidak setua itu. Panggil saja aku Leo."

"Bukankah itu tidak sopan?"

"Lebih tidak sopan memanggilku seperti orang tua."

Aku diam. Nada bicaranya ketus, tidak formal seperti tadi di awal.

"Sekarang kau rekap semua berkas ini, kau bisa pakai laptop ini dan kerjakan di sofa itu, besok mejamu akan disiapkan."

"Baik, pak," Kulihat matanya melotot tajam,

"Maaf,"

"Lain kali takkan kumaafkan," ketusnya lalu berjalan keluar dari ruangan ini.

***

bersambung.....

Bertemu

*POV Leo*

Gadis itu datang. Gadis mungil yang membuat Devan sang CEO jatuh hati satu tahun yang lalu. Waktu itu, Aku dan Devan akan rapat dengan klien di sebuah restoran. Di sanalah Devan melihat Mia yang saat itu bekerja menjadi waitress.

Entah apa yang dilihat Devan dari gadis itu sampai-sampai Devan yang selalu mendapat julukan 'ice prince' itu meminta sang manager restoran agar Mia yang melayani meja kami. Karena yang kulihat hanya seorang gadis mungil yang manis, tidak ada yang istimewa.

Sepulang dari meeting, Devan langsung menyuruhku untuk mencari tau semua tentang gadis itu, akupun tak bisa menolak. Selain karena dia bosku, aku juga tak pernah melihat Devan begitu penasaran terhadap wanita sejak aku mengenalnya 10 tahun yang lalu.

Setelah mengetahui kalau Mia adalah mahasiswi tingkat akhir di Universitas X yang memiliki beberapa pekerjaan paruh waktu, Devan sering datang ke tempat kerja Mia hanya untuk melihatnya. Entah apa yang membuat Devan begitu tak percaya diri untuk sekedar berkenalan dengan seorang gadis.

Sampai akhirnya satu bulan yang lalu Devan menyuruhku untuk membuat surat panggilan kerja untuk Mia dengan posisi sekretaris.

"Gue pengen kisah cinta romantis CEO-sekretaris kayak di drakor, Le," itu yang Devan katakan sambil senyum-senyum seperti orang gila.

Tapi, besoknya Devan masuk rumah sakit, ada seseorang yang menaruh racun ke dalam minumannya di apartemennya. Saat polisi memeriksa unit milik Devan, ternyata bukan hanya minuman yang baru diminum saja yang mengandung racun tapi di beberapa makanan dan minuman favorit Devan dalam kulkas pun ada racunnya.

Pelayan yang biasa menangani apartemen Devan pun di tangkap, tapi sampai saat ini dia tetap mengaku tidak tau-menau tentang hal itu, dan sepertinya memang begitu, karena saat melihat cctv gedung tersebut ada rekaman yang dihapus secara sengaja dan sepertinya tidak mungkin seorang pelayan bisa melakukan sejauh itu. Kalaupun memang pelayan itu yang menaruh racunnya, pasti ada dalang dibaliknya.

***

*Author*

Mia menghembuskan nafas berat saat melihat tumpukan berkas yang ditinggalkan Leo untuknya.

"Ayo Mia semangat! demi tigapuluh juta!" Mia mengepalkan tangannya sebagai tanda semangat. Lalu membawa berkas-berkas itu ke sofa seperti yang Leo katakan tadi.

Mia mengerjakan pekerjaannya dengan teliti. Dia adalah gadis yang cerdas, jadi yang seperti ini tidak terlalu menyulitkannya.

Saat tengah fokus pada salah satu berkas Mia tak sengaja menyenggol tumpukan kertas dengan sikutnya, membuat semua kertas itu berceceran di lantai.

"Yahh," keluh Mia.

Mia dengan segera memunguti kertas-kertas itu takut Leo tiba-tiba datang karena sudah lumayan lama Leo meninggalkan ruangan itu.

"Eh, apa ini?" Mia menyentuh sesuatu di sudut kaki meja.

"Cincin siapa ini?"

Ceklek..

Pintu ruangan itu terbuka, buru-buru Mia memasukkan cincin itu ke saku kardigannya lalu kembali membereskan kertas yang masih di lantai.

"Kamu ngapain Mia?" tanya Leo melihat Mia jongkok.

"Aku gak sengaja jatuhin berkas ini," jawab Mia agak was-was, takut dimarahi.

Leo mendengus.

"Ceroboh."

Mia menampilkan deretan giginya mendengar cibiran Leo.

"Apa sudah selesai?"

"Sudah, hanya yang satu ini aku kurang mengerti." Mia menunjukkan berkasnya kepada Leo.

"Oh, yang ini biarkan saja. Nanti aku yang urus."

"Bereskan semuanya setelah itu kau boleh pulang!" ucap Leo kemudian kembali keluar.

Mia melihat jam tangannya, ternyata memang sudah jam pulang. Mia cepat membereskan pekerjaannya dengan hati-hati takutnya ada yang terlewat atau tidak tersusun. Setelah tertata rapi di meja Leo, Mia keluar ruangan itu.

Ternyata sudah tak ada siapapun di lantai ini. Saat sedah melewati koridor meuju lift Mia berbalik badan dengan cepat karena merasa ada orang lain di belakangnya. Tapi ternyata tidak ada siapapun. Ah mungkin hanya perasaanku saja, batin Mia.

***

Begitu sampai di rumah kontrakanya, Mia bergegas mandi. Badannya terasa begitu lengket setelah seharian bekerja dan pulangnya berdesakan di dalam bus.

Saat memasukkan cucian kotor ke dalam mesin cuci, Mia mendapati cincin yang tadi dia temukan di kantor masih ada dalam sakunya.

"Ternyata gak sengaja kebawa. Besok aku tanya Leo ini punya siapa." Mia memakaikan cincin itu di ibu jarinya agar besok tidak lupa membawanya ke kantor.

Menyalakan mesin cuci, Mia menuju dapur untuk memasak makan malam, yaitu mie instan dengan telur dan sayur.

Mia asyik meracik menu makan malamnya, mie instan adalah makanan favoritnya.

"Hemm sepertinya enak." Mia kaget saat mendengar sebuah suara. Hampir saja dia menjatuhkan mangkuk yang dia pegang.

Mia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, tapi tak menemukan siapapun.

"Saking laparnya sampe halusinasi kayak gini."

Mia duduk di sofa empuk depan tv, menyantap mie sambil nonton adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi sebagian orang.

"Boleh aku minta?" suara itu terdengar lagi saat Mia baru menyuapkan sesendok mie ke mulutnya. Kali ini Mia yakin bukan halusinasi karena suaranya terdengar jelas.

Perlahan Mia menolehkan kepalanya ke samping. Satu.

Dua.

Tiga.

Wussss, Mia menyemburkan mie dalam mulutnya.

"Aaaaaaaaaaaaaaaa..." Mia berteriak sangat kencang saat melihat sosok laki-laki duduk di sandaran sofa yang dia duduki.

Hap.

Laki-laki itu menutup mulut Mia dengan satu tangannya. Mia terpaku menatap lelaki itu begitu dekat. Tapi, beberapa detik kemudian Mia melepaskan tangan lelaki itu dan "Aaaaaaaaaaaaaaa," Mia kembali histeris saat menyadari tubuh lelaki itu tembus pandang.

Mia lari ke kamar lalu menutup pintunya keras-keras dan menguncinya.

Mia merapalkan doa-doa yang dia ingat, seumur hidup baru kali ini dia bertemu sosok seperti itu. Walaupun dia bukan penakut, tapi kalo bertemu langsung siapa yang tidak takut?

"Kau berdoa? Aku tidak merasakan apa-apa." lelaki itu sudah ada dihadapannya lagi.

"Aaaaaaa, pergi kau!" Mia melempar bantal yang dia peluk tapi bantalnya menembus badan lelaki itu.

Lelaki itu mendekati Mia dan kembali membekap mulutnya.

"Ssssttt diamlah, aku ingin bertanya padamu."

B**ukankah bantal tadi menembus badannya? lalu kenapa dia bisa menyentuhku?

Mia yang sudah lemas diam saja dibekap seperti itu. Entah nantinya dia akan dirasuki atau dibunuh olehnya, dia sudah pasrah.

***

bersambung....

Arka

Perlahan, sosok itu melepaskan tangannya dari mulutku. Dia duduk sangat dekat denganku, bahkan kaki kami saling bersentuhan. Tapi aku sudah terlalu lemah untuk sekedar bergeser.

Kuberanikan untuk menatap matanya yang ternyata sedang menatapku. Ada sedikit desiran di dadaku saat menatap wajahnya yang ternyata begitu tampan. Warna matanya coklat terang, hidungnya mancung, bibirnya merah merekah. Astaga Mia, apa yang kau pikirkan? bisa-bisanya kau mengagumi wajah hantu ini. Ya, hantu. Memang apalagi sebutan untuk sosok yang mirip manusia tapi tembus dengan segala benda, bahkan dia masuk ke kamar dengan menembus dinding.

"Aku mau nanya sama kamu," ucapannya membuyarkan lamunanku.

"Kenapa aku bisa ada di sini?"

Apa? dia menanyakan pertanyaan yang sangat ingin aku tanyakan.

"Justru aku yang harusnya bertanya seperti itu, kenapa kau bisa ada di rumahku?"

"Ini rumahmu? Lalu rumahku di mana?"

"Mana aku tau," perlahan rasa takutku mulai hilang.

"Kukira saat aku tiba-tiba tertarik ke sini, ini adalah rumahku." Wajahnya berubah sendu.

"Tertarik?" aku tidak mengerti dengan ucapannya.

"Tadinya aku sedang berada di tempat yang serba putih, tapi tiba-tiba muncul cahaya terang dan cahaya itu seolah menelanku lalu saat aku membuka mata aku sudah berada di sini."

"Awalnya kukira kau tidak melihatku karena kau melewatiku begitu saja di sana tapi ternyata saat aku bicara kau mendengarnya."

"Dimana?"

"Apa?"

"Di mana pertama kali kau muncul?"

"Di dekat mesin cuci,"

"Ohhh," jadi dari tadi dia sudah ada, tapi kenapa aku tidak menyadarinya.

"Maaf, aku tidak bermaksud menakutimu."

Aku menatap wajahnya yang berubah sendu.

"Sudahlah. Siapa namamu?"

Dia tampak berpikir lalu menggeleng.

"Aku tidak tau,"

"Lalu apa kau sudah meninggal?"

"Aku juga tidak tau,"

Aku bingung harus bicara apa lagi.

"Pergilah!" ucapku akhirnya.

"Ke mana?"

"Terserah," aku mengendikan bahuku.

"Aku gak tau mau kemana karena ditarik ke sini tiba-tiba, jadi aku akan tinggal di sini," dengan santai dia berbaring di depanku.

"Enak saja, pergi sana!" aku menarik tangannya agar dia bangun, tapi tenagaku tidak membuatnya bergeming sedikitpun.

Aku terus menariknya dengan sekuat tenaga. Tapi, tba-tiba dia menarik balik tanganku dan aku jatuh di atas tubuhnya. Deg deg deg jantungku berdetak kencang lagi. Sudah berapa kali aku dibuat begini oleh hantu ini.

Kalau dipikir-pikir kenapa aku tidak jatuh ke kasur? Bukankan tembok saja dia tembus tapi kenapa dia tidak menembusku? Bahkan sejak tadi dia bisa menyentuhku. Benar, kenapa aku baru sadar?

"Ekhemm."

Aku bangkit dari tubuhnya, kugaruk tengkukku yang tak gatal. Rasanya tetap canggung walau dia hantu.

"Kasurnya masih luas, aku gak keberatan berbagi sama kamu." Dia menepuk-nepuk lahan di sampingya.

"Enak aja, ini kasurku harusnya aku yang bilang begitu," protesku tak terima.

"Jadi aku boleh tidur di sini? makasih."

Aku menganga melihat dia yang berguling-guling di depanku.

"Bukan begitu, maksudku,"

"Lalu bagaimna maksudmu?" dia memiringkan tubuhnya ke arahku dengan tangan sebagai penyangga kepalanya.

Dia tampan sekali.

"Ka,, kau harus pergi dari sini," aku mengalihkan pandanganku.

"Kau tau sendiri aku tidak bisa kemana-mana,"

"Kau belum mencobanya,"

"Aku sudah tau, karna aku merasakannya. Seperti ada magnet yang menarikku di rumah ini."

"Cih, alasan." Aku mencebik.

"Terserah," dia kembali berbaring.

Hening beberapa saat, aku terus menatapnya sambil memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa aku tiba-tiba bisa melihat hantu? Dari mana dia datang? Lalu siapa dia? Apa dia arwah gentayangan yang dibunuh dan tubuhnya belum ditemukan? Lalu nanti aku harus membantunya menemukan jasadnya dan menangkap pembunuhnya?Aku bergidik ngeri memikirkan kemungkinan yang terjadi.

"Apa aku setampan itu?" tiba-tiba saja dia bicara.

Aku mendelik.

"Gak usah pe de ya, tuan hantu."

"Kau menatapku sejak begitu lama, kenapa lagi kalu bukan karna aku tampan,"

"Aku tuh lagi mikirin gimana cara nyingkirin kamu," ucapku ketus.

"Jahat," wajahnya berubah sedih yang dibuat-buat, sudut bibirnya turun ke bawah.

"Gak usah drama," aku bangkit dari dudukku.

"Bangun, ikut aku!" aku berjalan menuju ruang tengah. Saat aku baru saja menutup pintu kamar kulihat dia sudah duduk di sofa depan tv. Cih, dasar hantu.

Aku duduk di ujung sofa, menghadap ke arahnya.

Tangan ku silangkan di dada.

"Yakin mau tinggal di sini?"

Dia mengangguk-anggukan kepalanya sldengan mata yang membulat lucu. Aku berdehem.

"Kalo gitu kamu harus ikutin semua aturan aku."

"Aturan?"

"Ya, aku pemilik rumahnya jadi kamu harus nurut kata aku."

"Apa aja?"

"Satu, kamar adalah wilayah pribadi aku jadi kamu ga boleh masuk ke sana."

"Oke,"

"Dua, jangan pernah sentuh apapun!"

"Kayak aku bisa nyentuh barang aja,"

Benar juga.

"Terus apa lagi?"

Aku mengerutkan keningku, berpikir.

"Aturan lainnya nanti nyusul."

"Huh dasar," dia menyandarkan tubuhnya di sofa. Aku heran, kenapa dia bisa duduk di sofa itu sedangkan dinding saja dia tembus. Ah, sudahlah masa bodo.

"Kamu gak mau kasih aku nama?"

"Nama?"

Dia mengangguk.

"Emmmm, apa ya?"

"Hantu?" aku menatap ke arahnya tapi dia menatapku dengan tajam.

"A,,aku becanda, hehe."

"Arka. Gimana?"

Matanya membesar. "Aku suka,"

"Udah namaku Arka aja," dia tersenyum lebar dan bertepuk tangan seperti anak kecil yang di kasih mainan.

"Oke, Arka sekarang udah malem, aku mau tidur. Kamu jangan bikin ulah."

"Oke, tidur aja. Aku bakal jagain kamu."

Aku mendengus, "aku bukan anak kecil yang harus dijagain."

Akhirnya aku merebahkan diriku di kasur. Perutku lapar, tapi aku malas untuk keluar kamar lagi dan bertemu Arka. "Gara-gara dia aku jadi gak makan malam." Aku memilih untuk mulai memejamkan mataku dengan harapan kalau yang terjadi barusan adalah mimpi.

***

bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!