"Naya, dengerin Nenek baik-baik. Nenek mau jujur sama kamu karena Nenek rasa waktu Nenek udah gak lama lagi ...."
Seorang gadis yang dipanggil Naya menggelengkan kepalanya beberapa kali. Matanya menatap begitu nanar. Sungguh, dia tak bisa menahan diri agar tidak menangis. Rasanya begitu perih kala melihat orang terkasih sedang menahan sakit.
Terbatuk-batuk, sang nenek yang mengidap penyakit paru-paru pun menarik napas yang sudah mulai susah untuk dijangkau.
"Ibumu sebenarnya adalah seorang simpanan, Nay. Dan Ayah kamu masih hidup sampai sekarang. Jadi datengin dia, ya ... Nenek yakin dia seneng dengan kehadiran kamu ... Nenek udah gak bisa lagi jagain kamu ...."
"Nggak. Nggak, Nek. Tolong jangan begini ... Nenek harus kuat. Ayo kita ke rumah sakit," balas Naya. Dia mencoba membantu neneknya yang terbaring lemah di dipan kayu, tapi ditolak.
Menggeleng dengan pelan, matanya begitu sayu menatap Naya. Di ujung pelupuk mata bahkan ada setitik air yang menetes dengan perlahan. Bongkahan air bening dan kecil itu mampu membuat Naya ketakutan dan gemetar. Dia genggam makin kuat tangan keriput Mia, neneknya. "Tolong, Nek. Nenek harus kuat. Nenek jangan pergi. Ayo kita ke rumah sakit sekarang."
Naya mencoba meyakinkan lagi. Dia genggam tangan sang nenek yang sudah dingin. Namun, tetap mendapat gelengan kepala.
"Maafkan Nenek karena menyembunyikan semuanya," ucap Mia lagi. Napasnya terputus-putus.
"Nenek sadar kalau kamu menderita karena sering disebut-sebut tetangga anak haram dan pembawa sial. Asal kamu tau, kamu bukan anak haram, kamu juga bukan anak pembawa sial. Ibumu meninggal setelah kamu lahir karena memang takdirnya begitu. Kamu cucu berharga, Naya. Kesayangan Nenek. Kesayangan kedua orang tuamu," lanjut Mia lagi. Terdengar lebih berat.
"Nenek ...."
Mia tersenyum getir, dia hapus air mata Naya dengan tangannya yang sudah gemetaran. "Jangan nangis, ya. Sekarang pergilah, raih kebahagiaanmu dan mintalah hakmu pada ...."
Lisan Mia terjeda, dia menarik napas lagi. Begitu panjang dan dalam.
"A-yah k-kamu namanya B-burhan Putra Kusuma ...."
Tangisan pilu Naya pecah sesaat setelah sang nenek menyebut nama itu. Akhirnya Mia menutup mata untuk selamanya.
Sungguh, Naya merasakan sakit bagai tertusuk belati tepat di dada. Dia tak bisa berkata, hanya raungan pilu yang menjadi bukti betapa sedihnya dia saat melepas kepergian orang terkasih yang selama ini mengurusnya dengan baik.
***
Pergilah, pergilah ambil ke hakmu sebagai anak.
Ucapan itu selalu terngiang di telinga Naya, gadis berusia 19 tahun. Air matanya menetes tanpa bisa dicegah.
Terabaikan dan dikucilkan adalah situasi yang sudah lama Naya hadapi. Sudah seperti mendarah daging karena dia menerimanya sejak kecil.
Namun, jika harus menjadi anak simpanan rasanya sulit dipercaya dan diterima. Naya pun memutuskan mengabaikan permintaan sang nenek dan menjalani hari-hari seperti biasa. Sungguh, dia tidak ingin menyandang predikat baru dan pastinya hanya akan mengorek luka lama.
***
"Ini uangnya," ucap seorang pria tinggi berpakaian formal.
Merasa tak mendapat respon, pria tampan dengan rambut bergaya American style itu pun nekat melambaikan tangan di depan mata si kasir yang tengah duduk dengan tangan menopang dagu.
Sayangnya nihil, kasir itu masih kelihatan asyik dengan dunianya. Si pria yang mulai kesal pun menggetok meja kasir dengan empat buku jari. Dia berdengkus kesal.
Si kasir yang tak lain tak bukan adalah Naya pun berjengket dan sontak berdiri tegak. Dia kaget ternyata sudah ada pelanggan di depan mata.
"Kamu lagi lomba ngelamun?" tanya pria itu.
"Enggak, kok. Beneran," balas Naya waswas. Dia sangat takut kalau orang yang ada di hadapannya ini mengadu pada pemilik minimarket.
Si dia terkekeh lalu menunjuk CCTV yang ada di samping kiri Naya. "Itu ada buktinya, loh. Kamu mau ngeles?"
Naya menggeleng. "Enggak, kok, Mas. Beneran. Aku gak melamun. Lagian bukannya kalau lomba itu harus ada temennya, ya. Dan sekarang, seperti yang Mas liat, saya cuma sendirian. Mana bisa disebut lomba."
Naya nyengir sedikit lalu menggaruk tengkuknya. "Oiya, Mas belanja apa ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Bisa brabe jika pelanggan itu ngotot dan memaksa melihat CCTV.
Si pria hanya menggeleng heran, lantas meletakkan keranjang belanjaan di meja. Beberapa minuman dingin ada di sana.
"Totalnya lima puluh ribu, Pak," ucap Naya.
Si dia mengangguk dan membayar. Namun, saat Naya ingin menyerahkan kembalian, dia justru mendapat libasan tangan.
"Kembaliannya ambil kamu aja."
Senyum Naya terukir, dia memasukkan uang itu ke dalam saku celana lalu membungkuk beberapa kali sembari mengucapkan terima kasih.
"Sudahlah, cukup. Dan ini ...." Si dia mengeluarkan sekotak minuman dingin yang tadi dibeli dan meletakkan di meja. "Apa pun masalahnya, jangan terlalu dipikirin. Semua ada solusinya. Jadi jangan pernah melamun yang bukan tempatnya."
Naya kembali nyengir. Dia tak bisa membela diri lagi karena memang nyatanya dia sempat melamun.
"Terima kasih, Pak. Saya janji gak bakalan lakuin itu lagi," sahut Naya. Pasrah dengan posisi menundukkan kepala.
"Bagus. Itu baru karyawan baik. Kasihan bos kamu jika karyawannya gak fokus kerja."
Naya manggut-manggut.
"Dan satu lagi," ucap pria itu.
Naya otomatis mengangkat kepala dan mendapati si dia tersenyum ambigu, lantas tanpa bicara langsung mendorong sekotak teh dingin tepat sesenti di depan mata. "Apa pun masalahnya minumnya tetep Teh Botol Sosro," lanjut pria itu sembari berkedip. Sudah mirip aktor pemeran iklan sungguhan.
Mendengar kalimat semangat yang dulu sempat viral itu pun akhirnya membuat Naya tersenyum. Dia pandang punggung pria itu hingga hilang ditelan pintu minimarket.
Menghela napas panjang, Naya betulkan seragam seraya merapikan rambutnya yang terkucir ke belakang. Dia mengepalkan tangan sembari menatap depan. Bak seorang proklamator yang tengah bersemangat.
"Ayo Naya, kamu kuat. Lagian kamu nggak perlu orang yang udah buang kamu. Biarkan dia dengan hidupnya dan kamu tetep dengan hidupmu. Ayo, semangat!" serunya mantap sebelum suara derap sepatu menginterupsi. Gadis itu melihat ke arah pintu dan mendapati seorang wanita berusia 45 tahun berambut sebahu dan berpenampilan glamor datang mendekat.
"Selamat datang, Bu. Ada yang mau Ibu beli?" tanya Naya ramah seperti biasanya.
Si wanita tua itu melepas kacamata lalu memelototi Naya beberapa detik, setelah itu senyumnya langsung terukir.
Naya yang sempat bingung pun membalas senyuman wanita itu. Terlihat sangat canggung.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Naya lagi.
"Apa kamu yang namanya Naya Auliani?"
Wanita itu balik bertanya. Suaranya terdengar sangat tak ramah meski sudah tersenyum. Entahlah, mendadak Naya menjadi suudzon.
Apa jangan-jangan aku pernah buat salah sama ibu ini? Naya bermonolog.
Ragu-ragu Naya menggangguk. Dalam kebingungan itu tak dipungkiri ada rasa yang mengganjal.
Takut? Ya ... itu yang Naya rasa sebab tak banyak yang mengenalnya. Teman-teman seangkatan pun jarang berkomunikasi dengan dia. Dia cenderung diabaikan karena memang tidak mempunyai materi dan dari latar belakang yang tidak jelas.
"Iya, s-aya Naya. D-dan Anda si-apa? Ada perlu apa nyari saya?" Naya terbata. Jujur dia makin horor. Di matanya wanita itu sudah mirip pemeran antagonis di serial TV swasta.
"Saya Laura," sahut wanita itu seraya mengulurkan tangan kepada Naya. Naya ragu-ragu menyambut tangan itu lalu menyebutkan namanya.
Ini Visual mereka.
Naya
Ken
Mike
Moga kalian mau baca sampe akhir.
oiya jangan lupa follow Ig ya.
Riharigawajixjoe.
"Bisa kita bicara sebentar," sambung Laura.
"Maaf, Bu. Enggak bisa. Saya lagi kerja," balas Naya sopan.
"Ya sudah, kalau gitu saya tunggu kamu selesai kerja. Jam berapa kamu pulang?" tanya Laura lagi. Senyuman tetap tersemat di bibirnya.
"Sebentar lagi, Bu." Naya melirik jam dinding yang tergantung di dinding. "Saya tutup toko jam sepuluh malam."
"Baiklah. Saya tunggu kamu di luar."
Naya lagi-lagi hanya bisa mengangguk. Meskipun bingung dia tidak punya alasan untuk menolak wanita itu.
Detik demi detik berlalu hingga jam kerja Naya pun selesai. Si wanita yang berpenampilan elegan itu pun masih berada di dekat tokonya bekerja. Mobil mewah Alphard terparkir di ujung halaman.
"Naya, sini!" seru Laura setelah membuka kaca mobil.
Ragu-ragu Naya mendekat. "Maaf. Sebenarnya ada perlu apa, ya?" tanyanya setelah masuk ke dalam mobil dan duduk bersebelahan dengan
Laura.
Tanpa Naya duga, Laura menggenggam tangannya lalu tersenyum tulus. Sedetik kemudian dia menangis tersedu-sedu.
"Loh, Ibu kenapa nangis?" tanya Naya, heran. Dia celingukan di sana. Sayangnya tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Naya pun hanya membiarkan Laura menangis tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Maafkan Tante, Naya. Maaf karena Tante baru bisa bertemu kamu sekarang. Sudah bertahun-tahun Tante nyari keberadaan kamu tapi gak pernah ketemu," ucap Laura di sela isak tangisnya. Terdengar begitu pilu hingga
Naya makin bingung.
"Memangnya Ibu siapa? Apa kita kenal?" tanya Naya lagi.
Laura menghapus air matanya. Nanar matanya menatap Naya. "Tante ini istri Burhan, ayah kamu."
Seketika Mata Naya membulat. Dia lepas tangan Laura secara cepat. "Maaf, saya nggak ngerti maksud Ibu. Saya rasa Ibu salah orang."
"Jangan begini Naya," balas Laura, dia raih lagi tangan Naya seraya menggenggamnya. "Kamu anak kandungnya. Tante memang bukan ibu kandung kamu. Tapi tetap saja, kamu masih punya hubungan dengan Tante karena kamu anak suami Tante. Jadi tolong jangan begini. Jangan abaikan kami."
"Mengabaikan?" Naya tergelak miris. Dia abaikan tatapan mengiba Laura lantas mengalihkan pandangan ke depan. Sungguh, darahnya berdesir seketika.
"Bukankah kata itu lebih tepat ditujukan untuk kalian?" lanjut Naya tanpa mau menatap Laura.
Laura kembali terisak. Dia sesenggukan makin lirih yang entah kenapa membuat Naya jadi tak enak hati. Dia memang bertekat tidak ingin berhubungan dengan Burhan, tapi ....
"Ikutlah Tante, Nay. Tante dengar nenek kamu sudah meninggal," pinta Laura lagi setelah berhasil menghentikan air mata.
"Lalu kenapa? Aku bisa urus hidupku sendiri kok. Jadi jangan merasa bersalah," balas Naya, terdengar dingin. Dia lantas keluar dari mobil, membungkuk sedikit lalu kembali menatap Laura. "Maaf, Bu. Aku nggak bisa, aku suka hidup di sini. Dan juga, maaf atas nama mama yang sempat mengacaukan keluarga kalian. Jadi, aku harap ini pertemuan pertama dan terakhir kita."
Naya lantas memutar tumit, tapi lagi-lagi terhenti karena Laura memanggilnya. "Pikirkanlah, Naya. Pikirkan sekali lagi."
Naya tak merespon, dia melangkah maju meninggalkan mobil mewah itu begitu saja. Rasanya ada belati tak kasatmata yang menusuk dada. Baru saja seminggu yang lalu dia kehilangan orang terkasih dan sekarang dia juga harus menerima kenyataan aneh. Sang istri sah memintanya untuk tinggal. Benar-benar di luar dugaan.
Tak berapa lama ponsel Naya bergetar. Meski bukan android seperti gadis lain, tapi ponsel layar hitam putih itulah satu-satunya penghubung Naya dengan beberapa teman.
Naya menempelkan benda itu ke telinga dan dalam sedetik bola matanya membulat lebar. Gegas dia berlari dan menuju sepedanya yang terparkir di sana.
Tibalah di rumah. Naya langsung merosot ke tanah. Rumah, ah tidak, lebih tepatnya gubuk sederhana tempat dia tinggal selama ini ternyata sudah rata dengan tanah. Hangus, semuanya tak tersisa sedikit pun. Bahkan ijazahnya yang cuma tamatan SMA pun ludes terbakar bersama dengan rumah-rumah orang lain.
Entah bagaimana mulanya, tapi yang jelas lima rumah semi permanen yang ada di kiri dan kanan rumah Naya juga telah ludes dimakan si jago merah.
Naya sesenggukan, dia duduk di tanah dengan orang yang sibuk berlalu lalang memadamkan sisa-sisa api. Tak hanya Naya, beberapa orang yang sudah kehilangan rumah pun tampak shock. Bedanya Naya sendirian, tak ada yang menghibur maupun menenangkan.
"Nek, aku harus gimana? Aku harus ke mana?" lirih Naya sambil menghapus air matanya. Rasanya begitu takut. Ini Jakarta, apa pun bisa terjadi pada dia yang masih muda. Tak punya keluarga dan kini sudah tak punya tempat tinggal.
Tak berapa lama ponsel Naya bergetar. Naya yang masih shock mengabaikan panggilan itu. Dia termenung duduk tertunduk di kursi tepi jalan. Orang-orang memandang, hanya saja dia tak punya tenaga untuk mengangkat kepala karena tahu betul kalau tatapan itu bukan tatapan iba melainkan tatapan mencemooh.
Anak haram anak pembawa sial, itulah yang sering dia dengar kala telinga baru bisa berfungsi dengan semestinya.
Sekarang kata-kata itu terlintas lagi. Penduduk sekitar kembali mencibir tanpa peduli bahwa dirinya juga sedang susah.
"Nek, apa benar kalau aku anak pembawa sial? Nenek pernah bilang kalau aku anak berharga, tapi kenapa yang terjadi malah sebaliknya?" Naya bergumam sambil menghapus air matanya sebelum suara getaran dari dalam saku celana kembali membuatnya sadar. Dengan malas Naya menjawab telepon itu.
"Naya, kamu nggak apa-apa?" tanya suara perempuan dari seberang telepon.
"Siapa ini?" balas Naya dengan suara yang serak karena habis menangis. Sungguh dia bingung.
"Ini Tante, Sayang. Tante Laura. Kamu baik-baik saja, 'kan?"
Terdengar lebih perhatian dari sebelumnya. Naya yang pikirannya sedang semrawut pun menangis makin jadi. Dia tersedu-sedu hingga Laura kembali berkata, "Tenanglah, Sayang. Tante sebentar lagi ke sana."
"Tante ini di mana?" tanya Naya. Matanya membesar melihat gedung tinggi yang berdiri kokoh di hadapan. Orang-orang berbaju putih pun terlihat mondar-mandir di dalam sana.
"Kita di rumah sakit, Nay. Kamu nggak mau jengukin ayah kamu?"
Jantung Naya terasa dihantam palu.
'Apa ini? Rumah sakit, Ayah, jenguk. Apa jangan-jangan dia ....'
Naya menelan ludah. Dia cekal tangan Laura dari belakang. Gadis itu mulai ragu.
"Gak apa-apa. Ayo, kita masuk. Tante yakin dia kangen sama kamu. Dan kamu pasti penasaran
dengan wajahnya."
"Tapi ...."
"Naya ...." Laura menggenggam tangan Naya. Mata mereka bersitatap. "Tolong jangan terlalu benci sama dia. Bukan salah dia. Semua ini salah ibu kamu. Ibu kamu begitu pandai menyembunyikan diri padahal jika dia mengaku kalau mencintai suami Tante juga Tante bakalan lepasin Burhan. Asal kamu tahu, Tante sama ibumu itu berteman baik."
"Benar begitu?" tanya Naya. Matanya menelaah ekspresi Laura untuk mencoba mencari kebenaran. Dia tidak kenal Laura, tapi juga tidak pernah bertemu ibunya. Bisa jadi yang dikatakan Laura adalah benar, tapi tidak menutup kemungkinan jika ibunya adalah korban.
Laura menggangguk. Dia tersenyum. "Ya sudah, ayo kita masuk. Sebenarnya jam besuk sudah lewat. Cuma tadi Tante sudah menghubungi petugas. Jadi ayo kita sapa dia."
Tibalah Naya dan Laura di depan sebuah pintu ruang VVIP rumah sakit.
"Masuklah, Tante tunggu di luar. Kamu temui dia. Situasinya pasti canggung, tapi Tante harap kamu bisa maafin dia," papar Laura lalu meninggalkan Naya sendirian di sana.
Perlahan-lahan Naya pun mendorong pintu dan aroma obat-obatan khas rumah sakit pun merasuk dalam hidung. Tiba-tiba saja Naya gemetar. Namun dia tetap melangkah mendekati ranjang yang ada di depannya. Tampak seorang pria tengah terpejam dengan damai. Pria itu tampak tertidur lelap meski ada alat bantu pernapasan bertengger di hidung.
Dup-dup-dup-dup.
Jantung Naya bertabuh bagai genderang perang. Entahlah, dia tak tau apa yang diinginkan. Otak menyuruh pergi tapi tubuh justru melangkah maju.
Hening, Naya mematung di depan tubuh Burhan yang sedang terbaring. Seketika kenangan lama mengudara dalam kepalanya tanpa diundang. Terlintas bagaimana sulit masa kecilnya yang selalu dibully teman-teman hanya karena tidak mempunyai ayah.
Tiba-tiba saja Naya terkekeh hambar. Dia duduk di kursi yang ada di sana lalu menatap Burhan begitu nanar. Rambutnya beruban dengan kumis tipis, di dagu pun sudah ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna putih.
"Apa kamu beneran ayahku?" tanya Naya akhirnya.
Akan tetapi, Naya terkekeh lagi. "Kenapa kamu tidur saat aku datang? Sekarang aku sudah di sini. Anak yang kamu abaikan. Bukankah seharusnya kamu minta maaf? Bangunlah, tebus kesalahanmu. Tebus rasa sakit dan kesepian yang sudah kamu beri untuk aku dan ibu. Jangan mati terlalu mudah. Ayo bangun, minta maaf sama aku."
Naya terus bergumam. Dia mengutuk Burhan tanpa air mata. Aneh, rasanya nano-nano. Dia marah pada Burhan tapi merasa kasihan di saat bersamaan.
Naya terus mengoceh dan mengeluarkan kekesalan yang selama ini dia simpan rapat sebelum akhirnya suara derit pintu menyadarkan. Tampak Laura masuk dan diikuti beberapa orang pria berbadan tambun berpakaian serba hitam.
Menelan ludah, Naya berdiri sembari melihat Laura yang berjalan mendekat. "T-tante, m-mereka siapa?"
Habis baca jangan lupa Like.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!