Matahari sudah menjulang tinggi, seorang pria berusia kurang lebih 26 tahun masih bergelut dengan selimut dan kasurnya.
"woy bangun!" ucap Rendra.
"hmm."
"Dimas, cepetan lo bangun kita ke pantai," ucap Gilang yang baru keluar dari kamar mandi.
"Udah kalian berdua aja, gue nyusul ntar," ucapnya langsung mengangkat selimutnya menutup kepalanya.
"Maneh mah, nyaho urang teu apal tempatna (kamu tuh gimana, udah tahu kita gak tahu tempatnya)," ucap Rendra dengan logat sunda yang fasih.
"Iya lo mah gimana kita mau liburan ke pantai malah berakhir di kasur, tragis," ucap Gilang.
"Berisik lo berdua, ya udah kalian tunggu di luar gue mandi dulu," ucapnya final.
Dimas, lelaki dengan tinggi 178 cm seorang pengusaha muda yang merintis kariernya sejak masih berkuliah. Dengan tubuh ideal dan wajah tampannya yang memikat kaum hawa, kulitnya sedikit putih dan badannya atletis beberapa otot tercetak di badan dan perutnya.
Dimas Adiputra, anak kedua dari 3 bersaudara, ia memiliki 1 kakak lelaki yang sudah menikah dan adik perempuan yang masih SMA. Keluarganya berasal dari Jogja namun saat Dimas sekolah Dasar ia pindah ke Bandung mengikuti Ayahnya yang bekerja sebagai polisi yang berpindah tugas dan hingga sekarang mereka tinggal di Bandung.
Dimas bersama 2 temannya sedang berlibur di Pantai Parangtritis, Rumah Bude dan Pakde Dimas yang berada di Jogja membuat teman Dimas yang sedang berlibur bekerja mengajaknya untuk menikmati liburan di Jogja selama 3 hari, mereka memilih menginap di penginapan dengan pantai karena jarak rumah Pakde Dimas dengan pantai yang lumayan jauh.
"Ehh itu banyak cewek-cewek pake jas Almamater cantik-cantik," ucap Rendra.
"Itu dari universitas mana ya? Kayaknya mereka lagi ada acara," ucap Gilang sambil memainkan sedotan es kelapa ijo yang baru mereka pesan.
Dimas hanya menatap jengah kedua sahabat karibnya sudah berteman dengannya sejak SMP itu, kelakuan 2 playboy dengan mata kerajang yang sering membuat Dimas terkadang ingin menenggelamkan kedua sahabatnya itu.
Rendra memiliki wajah manis khas sunda tubuhnya tidak terlalu berisi ia memiliki kumis tipis dan alis tebal, sedangkan Gilang lelaki tinggi dengan badan yang atletis seperti Dimas, wajar karena ia atlet basket saat SMA dulu, wajahnya lebih tampan dari Rendra sedikit ia memiliki lesung pipi di kiri dan mereka berdua memiliki kharismatik yang berbeda hanya saja mereka sedikit genit pada kaum hawa.
"Dim, diem bae lu kesambet ntar," ucap Rendra yang memang selalu ceplas-ceplos.
"Gue lagi makan gak lihat lu." ucapnya kesal.
"Ehh iya ini ada kerang ijo, ahh di Bandung juga ada kayak giniaan gue aja waktu SD suka beli gopean pake plastik," ucap Rendra kembali.
"Berisik lo Ren, kita makan dulu." ucap Gilang.
Tak berlangsung lama, mereka selesai menghabiskan makanan yang mereka pesan, Dimas masih sibuk berkutat dengan Handphonenya, ia mengecek urusan kantornya juga mengecek klien, Dimas memang sangat profesional dalam pekerjaannya, ia juga tak suka membuang waktu untuk hal yang tidak penting termasuk saat ini untuk liburan saja temannya harus menyeret pakaiannya agar ia bisa ikut berlibur, Dimas memang terlalu gila pada pekerjaan makanya ia sampai kini masih single karna terlalu sibuk dengan bisnisnya.
"Dim, kita kesana yuk, gue pengen ngeredem kaki tuh enak kayaknya," ajak Rendra.
"Kalian berdua aja, gue di sini aja panas," ucapnya malas karena memang Dimas sudah sering kepantai ini.
"Yaelah ngajak Dimas kudu pake jurus Naruto seribu bayangan biar ikut kita," ucap Gilang yang kesal pada sahabatnya itu.
Dimas hanya menatap kedua temannya itu yang sibuk berfoto ria dengan gaya macho mereka, Dimas hanya menggeleng-geleng kepala dan ia kembali sibuk dengan handphonenya.
"Mas Diki, udah ini kita ada acara apalagi atau langsung pulang?" tanya seorang wanita dengan jas almamater yang berwarna absurd.
Dimas yang sedang duduk mendengar suara wanita yang sedang berbincang itu dan melihat ke arahnya, ia sedang duduk di kursi dan memegang topi miliknya, Dimas hanya bisa melihat wanita itu dari arah samping.
"Kita udah selesai sih, tinggal habisin waktu liburan aja, besok pagi kita pulang," ucap lelaki itu dengan logat jawa yang khas.
Wanita itu hanya mengganguk dan tersenyum pada lelaki itu, dan Dimas hanya menatapnya, wanita itu tersenyum dan tertawa terlihat cantik bahkan sangat cantik, mereka sedang berkumpul beristirahat untuk makan bersama teman-teman kuliahnya, entah tugas apa yang mereka kerjakan hingga sampai ke pantai ini, dan Dimas masih menatap wanita itu yang kini meminum air putih.
"Dim, fotoin kita cepetan," ucap Gilang tiba-tiba datang menghampiri Dimas.
"Kalian bawa tongsis kenapa mesti gue yang motoin," ucap Dimas yang langsung meminum kelapa ijonya kembali.
"Saelah bentar doang minta fotoin doang Dim, cepetan." ucap Rendra menarik tangan Dimas dan akhirnya Dimaspun mengikuti dua temannya itu.
Dimas mencoba menahan rasa sabarnya tatkala temannya itu meminta berfoto dengan beberapa bule seksi yang berada disana dan juga meminta Kamera Cannon Dimas yang mengabadikan momen tersebut, benar-benar kesal Dimas hanya menghela nafas karena terpaksa menjadi tukang foto keliling Oleh sahabatnya itu.
"Ehh eta awewena galelis eung (Itu perempuannya cantik-cantik ya)," ucap Rendra melihat perempuan yang membuka jas almamater mereka dan langsung duduk di tepi pantai.
"Sayangkan kalau gak kenalan sama mereka mumpung ketemu sesekali," ucap Gilang yang malah memberi ide buruk.
"Woy sadar umur, masih aja genit-genit umur udah tua!" ucap Dimas.
Tanpa peduli ucapan Dimas Rendra dan Gilang langsung menghilang memulai aksinya, sedangkan Dimas memilih duduk di tepi pantai sambil memotret pemandangan dengan kameranya.
Mata Dimas tiba-tiba tertuju pada wanita yang sedang menggerai rambutnya, Dimas tampak asyik memerhatikan wanita cantik itu, ia wanita yang tadi Dimas lihat dan kini sudah membuka jas almamaternya, ia memakai kaos putih yang pas dengan lekukan tubuhnya yang tinggi dan sedikit berisi ia juga memakai celana panjang yang menutupi Kaki jenjangnya, rambutnya tertiup angin membuatnya merapihkannya dan Dimas yang sedang memegang kameranya dengan iseng memotret wanita tersebut, wanita itu memiliki kulit putih dan leher jenjang benar-benar sangat cantik batin Dimas berkata.
Beberapa foto berhasil Dimas abadikan, ia melihat kembali foto-foto yang ia tangkap, beruntung tidak ada yang melihat Dimas sedang mengambil potret wanita itu, jika tidak mungkin ia akan kena masalah karena wanita itu dikelilingi teman-teman kuliahnya yang berjumlah kurang lebih 20 orang dan dan 9 diantaranya laki-laki.
"Capek juga ya," ucap Gilang yang duduk di pinggir Dimas.
"Tapi enak sih liburan gini dari pada kerja lembur bagai kuda," ucap Rendra.
"Kalian memang dasarnya pemalas." ujar Dimas
"Ehh cing lihat foto yang tadi," ucap Rendra merebut kamera Dimas
Dimas yang refleks ingin mengambilnya namun Gilang juga ikut melihat hasil jepretannya.
"Lah ini cewek cantik banget loe fotoin," ucap Rendra.
"Wah gelo si Dimas jarang-jarang motoin cewek," ungkap Gilang.
"Eh jangan di hapus ya, kalau kalian hapus gue tenggelemin kalian sekarang juga," ancam Dimas.
"Eh gak boleh suudzon sama saya teh, masa foto cewek cantik di hapus sih," ucap Rendra dengan muka sok polosnya.
"Yang mana sih ceweknya?" tanya Gilang melihat ke arah wanita-wanita yang berkumpul di pantai.
"Eta tah nu make baju bodas, ehh geulis pisannya aslina (itu yang pakai baju putuh, ehh cantik banget aslinya), bisaan si Dimas nyarinya." ucap Rendra menggoda Dimas.
Dimas hanya diam memerhatikan wanita itu, memang cantik itulah kata pertama yang dilontarkan hatinya melihat wanita itu, ia berharap bisa berkenalan dengannya meskipun ragu karena Dimas memang tipikal pria yang cuek.
"Mau kenalan gak? Biar ku gue aja kenalinnya?" ajak Rendra.
"Apaan sih, gue cuman gak sengaja foto-foto aja cuman angle kebetulan bagus," ucap Dimas langsung mengambil kameranya kembali.
"Ah loe mah gimana sih diajakin kenalan malah gak mau, nanti ke mimpi-mimpiin baru tau rasa!"ucap Gilang.
Dimas kembali memerhatikan wanita itu yang sedang sibuk selfie dengan ponselnya bersama teman-temannya, tak lama seorang pria sebaya dengannya menghampirinya. Jika diperhatikan lelaki itu sangat akrab dengannya sepertinya dia pacarnya pikir Dimas, karena wanita itu langsung mengandeng tangan lelaki itu dan kembali duduk di atas pasir sambil berbincang-bincang dengan lelaki itu.
"Kayaknya loe pindah haluan aja, itu cewek udah ada yang punya kelihatannya si cowok itu kabogohna," ucap Rendra menepuk bahu Dimas.
"Saingan berat bro, si cowok ganteng masih muda juga cocok sama si ceweknya" ucap Gilang.
"Kalian berdua ngapain sih gue cuman fotoin dia aja gak ada rasa apa-apa udah ah bosen gue sama dua curut kayak kalian," ucapnya kemudian pergi.
Dimas tahu ia sedikit kecewa ketika wanita itu tiba-tiba di hampiri oleh pria yang tiba-tiba datang , umurnya terlihat masih muda sebaya dengan wanita cantik itu, Dimas tidak cemburu dia memang hanya mengagumi wanita itu karena wanita itu cantik natural dengan senyum manis tidak lebih.
*-*-*-*
Dimas kembali ke penginapannya setelah hari sudah sore, ia kembali membuka laptopnya untuk mengecek email yang masuk dari kantornya, memang begitu sibuk Dimas bekerja sampai liburan kini pun ia masih saja sibuk dengan urusan kantornya.
"Dim, kapan kita ke Malioboro?" tanya Gilang.
"Besok ajalah kita kan pulang besok pagi," ucap Dimas tanpa melirik dan masih fokus pada laptopnya sambil mentransfer foto dari kameranya.
"Lusa kita balik Bandung ya? Sebentar banget liburan teh," ucap Rendra.
"Kalian kalau masih betah terusin aja liburannya, gue masih banyak kerjaan dan gara-gara kalian narik gue kesini jadi pekerjaan gue numpuk," ucap Dimas menyeruput kopi yang ia pesan.
"Ah kaga gue malu sama Bude sama Pakde lo." ucap Gilang.
Dimas pun tak menghiraukan kicauan sahabat-sahabatnya, ia lebih memilih fokus pada Laptop kesayangannya. Setelah selesai dengan pekerjaannya Dimas kembali memainkan ponselnya, ia melihat beranda pada akun facebook, bagai tertimpan durian runtuh Dimas menemukan akun facebook wanita yang ia temui di pantai tadi siang, mungkin karena ia mengaktifkan lokasi di ponselnya jadi mudah menemukannya.
Dimas yang penasaranpun melihatnya namun tidak banyak yang dia harapkan karena mungkin wanita itu menyembunyikan akunnya dari publik, Dimas hanya melihat foto profilnya saja yang berada di beranda wanita itu.
Dimaspun menambahkan pertemanan padanya, namanya Anindira Maheswari kelahiran 1998 umurnya masih muda. Dimas berharap permintaan pertemanannya di sosial media di konfirmasi olehnya.
From : Dina
Mas lusa jadi pulang kan?
To : Dina
Kenapa?
From : Dina
Ibu sama Bapak mau ada acara, Mas disuruh datang,"
To : Dina
Inshaallah pulang,
Dimas menaruh ponsel di kasur dan ia mengusap wajahnya, ada rasa sedikit lelah yang ia rasakan, sejujurnya Dimas dulu tidak penggila kerja seperti sekarang, saat dia sekolah ia sama seperti teman-teman sebayanya yang selalu pergi keluar main dan menghabiskan waktu hingga larut malam. Saat itu Dimas memiliki kekasih yang sudah ia pacari sejak pertama masuk SMA mereka juga sering menghabiskan waktu bersama.
Saat itu Dimas memilih kuliah di Bandung, sedangkan kekasih Dimas bernama Friska memilih kuliah di Jakarta bersama kakaknya yang menetap di sana, awalnya hubungan mereka baik-baik saja karena masih terjalin dengan kabar yang mereka berikan.
Namun setelah satahun Friska menghilang dan Dimas juga tak pernah mendapat kabar dari Friska, ia selalu mencari info tentang Friska baik pada keluarganya dan sahabat-sahabatnya namun tak ada jawaban hingga akhirnya beberapa bulan setelahnya Friska datang pada Dimas membawa undangan pernikahannya dengan seorang pengusaha ternama di Jakarta.
Dan semenjak itu Dimas yang patah hati merasa kecewa karena pacarnya mengkhianatinya, sejak itulah Dimas melampiaskan semuanya dengan bekerja keras hingga ia memutuskan membuat usaha sendiri, yang ia tahu Friska meninggalkannya karena lelaki yang menikahinya seorang pengusaha kaya dan Dimas berusaha agar bisa menjadi seperti suami Friska sekarang, dan terbukti selama 4 tahun kerja kerasnya berhasil ia membuka perusahaan sendiri tak lepas dari bantuan Ayahnya yang memiliki sahabat pengusaha pula.
Dimas menutup dirinya dari wanita, ia belum siap membuka hatinya pada wanita mana pun karena ia terlalu takut kejadian dahulu terulang kembali, baginya jika ia sudah siap ia akan memulai berhubungan serius dengan wanita, tapi untuk saat ini ia masih ingin mengabdikan dirinya pada perusahaannya.
Dimas masih dengan mimpi buruk ketika Friska datang padanya dan memberikan undangan pernikahan secara tiba-tiba dan setelah itu tidak tahu apa yang terjadi dengan Dimas.
Ya Dimas mengalami PTSD ( post traumatic stress disorder) yaitu kondisi mental di mana mengalami serangan panik yang dipicu oleh trauma pengalaman masa lalu. Mengalami kejadian traumatis adalah hal yang berat bagi siapapun. Itu terjadi saat kecelakaan 6 tahun silam saat ia bertemu Friska yang memutuskan hubungan mereka dan Dimas yang saat itu tengah hancur dan patah hati mengendarai motor dengan keadaan pikiran yang kacau, hingga kemudian motornya bertabrakan dengan motor yang melaju dengan cepat.
Tabrakan tidak bisa di hindari, dan itu membuat Dimas trauma karena motor yang menabraknya di kendarai bapak-bapak dan seorang anak kecil yang baru berusia 5 tahun yang tewas dalam kecelakaan itu, dan Dimas mengalami patah tulang dan trauma karena keluarga korban yang tidak terima nyawa anaknya menjadi korban karena Dimas, sejak itu Dimas menjadi ketakutan luar biasa karena takut akan masuk penjara dan ia begitu takut karena telah melayangkan satu nyawa orang tidak bersalah meski pun bukan dirinya yang menabrak.
Keluarga korban membawa masalah ini ke jalur hukum, namun Dimas tidak sepenuhnya bersalah karena motor korbanlah yang pertama menabrak Dimas dan ada saksi yang melihatnya pula, Namun Dimas begitu terpukul dan merasa selalu di hantui oleh anak kecil yang tewas tersebut hingga ia sulit tidur karena merasa cemas, dan akhirnya orangtuanya membawanya ke psikiater untuk diterapi, namun meskipun dinyatakan sembuh rupanya penyakit itu terkadang sering kambuh jika Dimas kelelahan seperti saat ini mimpi buruk dan ketakutan itu kembali lagi.
Dimas membuka kopernya mencari obat prazosin agar ia bisa tidur, namun ia lupa karena barang-barang di angkut oleh teman-temannya obatnya lupa tidak di bawa. Dimas menutup Kopernya dengan kasar, ia mengusap wajahnya gusar, ia sudah pasti tidak akan bisa tidur dan akan terus seperti ini hingga hari berganti.
Dimas gelisah, kedua sahabatnya sudah tertidur dua jam yang lalu, sekarang waktu menunjukan pukul 00:03 menit, Dimas sudah berkeringat dingin ia benar-benar ketakutan, bayangan saat ia motornya bertabrakan dan anak kecil terlempar dari motor dan jatuh ke aspal di depan mata Dimas masih terekam jelas di ingatannya. Dimas melihat darah yang keluar dari kepala anak kecil itu kemudian orang-orang berkeruman menyelamatkannya.
Dimas mengambil jaket dan ponselnya, ia memilih berjalan keluar dari kamar penginapannya dan mencari udara di luar. Dimas berjalan ke arah pantai, tidak begitu gelap karena banyak lampu yang bersinar menerangi, Dimas duduk di kursi dekat pohon tidak terlalu jauh dari tempat penginapannya. Ia mengambil Rokok di saku jaketnya dan kemudian menghidupkan korek dan mengesapnya dan membuang asapnya ke udara.
"Iya teh, nanti Anin pulang kok, sekarang kan masih sibuk kuliahnya," ucap seseorang sedang menelepon.
"yaudah teh udah malem , teteh juga besok mau kerja kan? Semangat yaa, dadah." ucapnya mematikan teleponnya.
Dimas yang sedang bersandar di kursi langsung mencari arah suara yang tengah menelepon itu, Dimas melihat wanita yang ia kenal ia Anindira wanita yang baru saja menjadi pusat perhatiannya, Anindira baru saja menelepon dengan seseorang di arah belakang tempat duduknya tepatnya di arah penginapan Anindira, wanita itu sedang duduk sendirian sambil menelpon.
"Bukannya itu Anindira? Kenapa malam-malam keluar?" tanya Dimas binggung.
Anindira memasukan ponselnya ke saku jaket, ia kemudian menghela nafasnya dan menatap langit, entah apa yang ia pikirkannha seperti beban yang begitu berat ia dapatkan, hingga beberapa tetes air mata lolos begitu saja tanpa ia sadari, kemudian ia memejamkan mata dan menghapus air matanya, kemudian ia tersenyum sebelum masuk ke dalam kamarnya.
Dimas hanya menatap heran dengan apa yang ia lihat, Anindira menangis tiba-tiba dan kemudian tersenyum? Ada apa? Dimas bertanya-tanya tapi entah untuk apa ia peduli.
*-*-*-*-*-*
Dimas sudah sampai di rumahnya, dengan badan yang lelah Dimas memasuki kamarnya dan membaringkan tubuhnya.
Dimas baru sampai tadi pagi, ia memutuskan mengistirahatkan badannya sebentar sebelum kembali ke kantornya karena ada beberapa urusan yang akan ia kerjakan.
"Mas Dimas, bangun" ucap Dina yang langsung masuk ke kamar Dimas.
"Ittss, apaan sih, Mas mau tidur!" ucapnya memeluk guling.
"Ihh Mas cepetan mandi Bapak udah nungguin tau," ucap Dina kesal.
"Mas capek mau tidur, bilang aja sarapan duluan," ucapnya dengan mata terpejam.
"Mas Dimas ih cepetan, nanti kalau Bapak meledak gimana?" ucapnya sambil menggoyang badan Dimas.
Dimas tidak peduli pada Dina yang terus berusaha membangunkannya. Dina adik satu-satunya yang paling cantik, mukanya hitam manis dengan bulu mata lentik, ia kini menginjak kelas 2 SMA di salah satu sekolah swasta berbasis Islam, Dina yang paling dekat dengan Dimas karena perbedaan usia mereka yang tidak terlalu jauh di banding kakak pertama Dimas bernama Arya. Dimas sangat menyayangi adiknya yang mengemaskan.
"Kamu tuh makan apa sih bawel banget kayak bebek, lagian mana mungkin Bapak meledak kayak bom aja," ucap Dimas kemudian bangun.
Dina mengerucutkan bibirnya kesal dengan Dimas yang malah meledeknya, Dimas tahu Dina akan kesal padanya jika menggodanya.
"Udah atuh jangan ngambek tambah jelek ntar," ucap Dimas mengelus kepala Dina
"Mas Dimas jahat ahh." ucapnya langsung pergi dengan muka cemberut.
Dimas hanya tertawa melihat tingkah adiknya yang menggemaskan itu, ia pun memilih mandi dan langsung turun ke bawah untuk sarapan pagi bersama keluarganya.
"Dimas kenapa lama banget sih?" omel Ibu yang sedang menuangkan nasi di piringnya.
"?andi dulu Bu, tadi juga baru sampai jadi istirahat sebentar." ucapnya kemudian meminum air putih yang menjadi kebiasaannya sebelum makan.
"Gimana liburannya apa kabar Pakde sama bude?" tanya Bapak dengan logat jawa yang khas sambil menutup korannya.
"Alhamdulillah baik pak," ucap Dimas tanpa menatap Bapaknya itu.
"Sudah ini kamu antar Dina ke sekolah terus langsung pulang gak usah ngantor," ucap Bapak.
"Nggak mau, Dina mau naik ojeg aja ke sekolah," ucap Dina langsung menolak.
Ibu yang terkejut menatap ke arah Dina yang sedang mengunyah makannya sambil menatap tajam ke arah Dimas yang malah santai dan mengedipkan matanya pada Dina.
"Kenapa gak mau di anterin Mas? Nanti kamu kesiangan," ucap Ibu.
"Mas Dimas tuh jahat, Adek gak mau," ucapnya kesal langsung menundukkan kepalanya takut Bapak marah.
"Lho, kenapa toh kalian berdua? Katanya kemarin Dina kangen sama Masnya sekarang Masnya udah ada malah ndak mau," ucap Bapak.
"Nggak Adek marah sama Mas Dimas,"
"Dimas kenapa sama Adekmu?" tanya Ibu
"Nggak tahu Bu, Adek lagi PMS mungkin," ucapnya tak peduli.
Lagi-lagi Dina menatap kesal pada kakak keduanya itu, Dimas malah menatap cuek sambil tertawa kecil pada Dina yang sudah menatap tajam padanya.
"Sudah-sudah selesaikan makan kalian." lerai Bapak yang membungkamkan semuanya.
Sepuluj menit sudah berlalu, meja makan sudah bersih kembali, Dimas masih duduk di kursi makan bersama Bapak yang masih sibuk membalik-balikan korannya mencari berita kriminal yang menjadi hobinya.
Bapak Dimas sudah pensiun empat tahun silam, ia hanya menghabiskan waktunya di rumah dan bertemu beberapa temannya yang sering mengadakan kunjungan atau reunian, Dimas paling menghormati Bapaknya itu, Bapaknya memang asli jogja namun sangat tegas bahkan saat mendidik anak-anaknya termasuk Dimas, namun bukan berarti Bapaknya orang menakutkan, Bapaknya selalu mengembangkan ilmu agama pada Anak-anaknya, dulu Dimas disuruh untuk mengenyam pendidikan di Pasantren namun karena Dimas tidak mau akhirnya Bapak memilih memasukan Dimas kesekolah berbasis Agama hingga tamat sekolah dan terbukti Dimas selalu shalat 5 waktu meskipun sering telat namun tak pernah ia tinggal, jika berada di rumah Dimas akan selalu di tunjuk menjadi Imam shalat berjamaah.
"Pak, kenapa Dimas gak langsung ke kantor?" tanya Dimas heran.
"Bapak mau ada acara nanti siang jadi kamu harus di rumah," ucap Bapak langsung meminum kopinya.
"Acara apa Pak? Gimana kalau Dimas ke kantor dulu nanti siang Dimas pulang sebentar?".
"Ndak Bisa nak, Bapak udah terlanjur janji sama teman bapak, dia mau ketemu kamu," ucap Bapak kembali.
"Iya, kamu antar adekmu dulu gih, nanti langsung pulang," ucap Ibu yang menaruh kue di meja makan.
Dimas hanya menganggukan kepalanya dan langsung menemui adiknya yang sedang memakai sepatu di teras rumah.
"Pakai sepatu sendiri aja lama gini, gimana nanti pakein sepatu suaminya," ucap Dimas.
"Ih apaan si Mas, ganggu aja!" ucapnya yang sudah memakai sepatunya dan merapihkan kerudungnya.
"Nih pake helmnya," ucap Dimas memberikan helm pada Dina.
"Ndak mau, adek mau naik ojeg aja!" ucapnya memutar bola matanya ke arah gerbang.
"Yakin? Emangnya ada Mang ojeg di sini?" ucap Dimas.
"Gapapa ntar jalan aja kedepan komplek banyak ojeg," ucapnya langsung pergi.
Dimas menatap adiknya tersenyum, kelakuan adiknya memang tidak berubah, Dimas tak yakin jika Dina akan menaiki ojeg karena ia terlalu penakut.
"Neng ojeg Neng," ucap Dimas menghampiri Dina yang masih berjalan.
Dina tak menghiraukan Dimas dan langsung jalan lebih cepat.
"Neng jangan marah-marah nanti cepet tua," tambah Dimas sambil membawa motornya pelan-pelan.
"Ih Mas Dimas mah nyebelin!" ucapnya berhenti dan menatap Dimas.
"Udah cepetan naik, nanti kalau Mas udah nikah gak ada yang nganterin lagi," ucap Dimas.
Dina malah terdiam dan menunduk, kemudian menutupi wajahnya dengan telapak tangannya, Dimas yang heran langsung mematikan motornya dan berdiri ke arah adiknya itu.
"Eh kenapa malah ditutupin mukanya?" tanya Dimas.
"Mas Dimas mau nikah? Nanti gak ada yang nganterin adek lagi?" ucapnya menangis.
"Eh Mas tadi bercanda Dek, jangan nangis," ucap Dimas langsung memeluk Dina.
"Dina gak mau kehilangan Mas Dimas." ucapnya.
"Mas gak kemana-mana kan sekarang ada di depan kamu Dek " ucap Dimas mengelus kepala Dina.
"Tapi katanya kalau Mas Dimas nikah ntar gak ada yang nganterin Adek lagi," ucapnya tersedu-sedu.
"Mas belum ada rencana nikah, kan Mas masih muda masih cocok jadi anak SMA juga," ucapnya.
Dina menghetikan tangisnya dan menatap ke arah sang kakak yang tingginya jauh darinya, Dimas menghapus air mata Dina dan langsung merapihkan kerudung adiknya itu yang hampir kusut.
"Udah atuh jangan nangis nanti tambah jelek," ucapnya.
"Gapapa jelek juga yang penting Mas Dimas tetep sayang," ucapnya tersenyum.
Dimas ikut tersenyum ke arah adiknya dan langsung memeluk adiknya itu sebelum memberikan helmnya pada Dina.
*-*-*-*-*
"Mas sudah ganti baju?" teriak Ibu dari luar kamar.
"Iya Ibu ini mau turun sebentar lagi," jawab Dimas.
"Bapak sudah nunggu di bawah," ucap Ibu kemudian turun ke bawah.
Dimas hanya menghela nafasnya, baru kali ini Dimas di suruh untuk ikut bertemu dengan teman Bapaknya sampai libur ngantor, Dimas juga tak bisa menolak permintaan Bapaknya karena katanya acaranya penting Dimas hanya menuruti saja, ia sudah merapihkan rambutnya dengan pomade merk hits di indonesia, ia menggukan kameja panjang tangan yang ia gulung hingga sikut.
"Nah Ini Dimas," ucap Bapak saat Dimas turun menghampiri mereka.
"Lho sudah besar saja anakmu," ucap lelaki sebaya Bapak yang langsung menerima salam Dimas.
Dimas duduk bersama Bapak , sedangkan Ibu sibuk membuatkan minum untuk tamu, teman Bapak tampak lebih Mudah sedikit, ia bersama Istrinya dan anak perempuannya yang berhijab tengah duduk di hadapan Dimas. Perasaan Dimas mendadak tidak enak tatkala memandang ke arah mereka bersama anak perempuannya.
"Dim, kamu tidak ingat sama pak Jajang?" tanya Bapak.
"Nggak pak." ucapnya tersenyum binggung.
"Sudah gak papa, dia lupa sama saya karena sudah lama juga tidak bertemu," ucap Pak Jajang tersenyum pada Dimas.
"itu lho yang nganterin kamu ke rumah sakit waktu jatuh dari sepeda waktu kamu SD," ucap Ibu yang tiba-tiba datang menaruh cemilan dan minuman.
"Bapak sama pak Jajang sudah kenal lama, kebetulan pak Jajang itu Camat di kompleks sebelah," ucap Bapak.
Dimas hanya mengangguk dan tersenyum kecil ke arah pak Jajang, sedangkan istrinya sedang asyik mengobrol dengan Ibu yang duduk disebelahnya dengan akrab.
"Hmm gimana Kirana sekarang sudah bekerja?" tanya Bapak pada wanita berhijab yang menunduk itu.
"Sudah Pak." ucapnya tersenyum ke arah Bapak.
Dimas yang dari tadi diam menatap gadis itu yang terlihat malu-malu karena wajahnya selalu tertunduk, Dimas menatap gadis itu berparas manis namun entah mengapa Dimas malah mengingat wajah Anindira yang sudah malah tiba-tiba menghantui pikirannya.
"Kerja dimana Nak?" tanya Bapak.
"Di perusahaan Astra Mandiri," ucap Kirana
"Lho itu perusahaan Dimas, kebetulan sekali," ucap Bapak menepuk bahu Dimas yang ikut terkejut.
"Dimas kamu bangun perusahaan?" tanya pak Jajang.
"Iya Pak, baru beberapa tahun," ucap Dimas dengan canggung.
"Kamu ndak kenal sama Kirana Dim?" tanya Ibu.
"Nggak Bu." ucapnya jujur dan tersenyum kaku ke arah mereka sambil menggaruk kepala belakangnya.
"Lah kalian satu perusahaan kok gak kenal, kamu gimana toh, karyawan kamu aja gak tahu jangan-jangan kamu bos yang sombong ya?" selidik Bapak.
Dimas hanya diam menahan nafasnya, tiba-tiba rasa gerah ia rasakan, ia juga merasa sedikit canggung dengan situasi seperti ini.
"Ya, sudah kalian harus kenalan, gimana bos sampai gak tahu yang kerja di sana," ucap Bapak kesal pada anaknya itu.
"Yang nerima karyawankan Bagian personalia Pak, Dimas jarang merhatiin karyawan juga," ucapnya sopan.
"Kirana kamu sudah kenal dengan Dimas?" tanya Pak Jajang.
"Sudah, pernah bertemu beberapa kali," jawabnya sopan
Dimas menatap ke arah wanita berhijab itu, ia mengerutkan keningnya heran, apakah mereka pernah bertemu apakah wanita ini karyawannya? Ia bahkan tak pernah ingat karyawan di tempatnya kecuali jika mereka menyapanya, Dimas memang cuek terlebih pada Wanita karena masih merasa sakit hati dengan masa lalunya.
"Dimas-Dimas, ya sudah begini saja kalian lebih baik berkenalan dulu, sesekali saling bertegur sapa, Dimas jangan sombong mentang-mentang kamu bosnya." tegur Bapak.
"Iya pak," ucapnya menunduk sambil tersenyum gugup pada Bapak.
Dimas merasa tidak enak berada dalam situasi seperti ini, mengapa juga ia harus bersikap ramah pada Kirana karyawannya, namun ia tak bisa menolak permintaan Bapaknya yang ia hormati itu bagaimanapun Bapaknya mendidiknya dengan benar.
"Kalau begitu mulai besok kalian berangkat kerja bareng, Dimas kamu jemput Kirana ya," ucap Ibu.
Dimas yang baru saja meminum teh buat Ibu langsung terbatuk dan menatap Ibu dengan tanda tanya.
"Nggak usah, Kirana bisa berangkat sendiri tante," ucapnya.
"Ndak papa, Kirana berangkat bareng Dimas aja mulai besok, lagipula rumah kamu gak terlalu jauh kan jadi sekalian lewat, Dimas kamu mau kan" tanya Bapak
"Eh tapi gimana Pak kalau ada gosip gak enak nanti?" tanya Dimas khawatir
"Lho ndakpapa, kan Bapak mau jodohkan kalian berdua, lagipula umur kalian sudah Pas, apalagi Kirana cantik baik juga cocok buat kamu," ucap Bapak spontan.
Dimas menatap ke arah Bapak dengan tatapan terkejut, apa maksudnya menjodohkan Dimas dengan Kirana? Dimas masih merasakan luka di hatinya yang belum sembuh, sekarang ia akan di jodohkan dengan karyawannya?.
Dimas menatap ke arah Kirana yang nampaknya tenang, sepertinya ia sudah mengetahui kabar ini, Dimas hanya terdiam dan binggung ingin menjawab apa pada Bapaknya karena seumur hidupnya Dimas tak pernah menentang atau melawan kata Bapaknya yang ia hormati itu.
Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat. [Buya Hamka]
Ya Dimas ingat sekali kata bijak dari Buya Hamka tokoh ternama dari Minang itu yang menjadi panutannya. Cinta? Bagi Dimas kini cinta adalah keluarganya yakni Bapak, Ibu, Mas Arya dan Dina hanya itu tidak ada lagi yang terselip dalam hatinya. Seperti tabrakan 6 tahun lalu yang membawa cintanya menjadi luka, selain luka fksik juga luka mental setelahnya. Dimas masih takut itulah yang dirasa hatinya.
"Dimas, Bapak ingin bicara serius sama kamu," ucap Bapak setelah keluarga pak Jajang pergi dari setengah jam yang lalu.
"Iyo pak?" tanyanya dengan bimbang.
"Bapak tahu kamu masih ingin hidup bebas dengan kesendirian kamu, tapi kamu tidak mungkin kan terus hidup sendiri sementara umur terus bertambah tiap jam, menit dan waktu kamu butuh pendamping untuk mengurus kamu dan menemani masa tua kamu," ucap Bapak yang membuka kaca matanya dan mengelap dengan tisu.
"Maksud Bapak bagaimana?" tanyanya membenarkan posisi duduknya yang mulai gelisah.
"Bapak ingin kamu menikah Dimas, kamu sudah dewasa umurmu juga sudah cukup untuk berumah tangga, mulailah membuka hati kamu dan memulai hidup baru jangan karena kamu trauma dengan masalalu kamu jadi takut untuk memulainya." ucap Bapak menatap serius pada Dimas.
Dimas hanya menunduk dan mencermati perkataan Bapaknya, beliau tahu hubungannya dahulu dengan Friska membuatnya trauma, dan kini Dimas belum siap untuk mencintai kembali.
"Boleh Dimas pikirkan dulu Pak? Dimas tidak mau salah memilih Dimas sudah dewasa, akan lebih baik jika memulai hubungan dalam tahap pengenalan dulu, Dimas tidak ingin menyesal untuk selamanya karena bagi Dimas menikah itu hanya sekali," ucapnya menatap Bapak dengan penuh keyakinan.
Bapak hanya tersenyum kearah Dimas, ia juga kemudian menepuk bahu Dimas dan beranjak pergi ke kamarnya. Jika dibilang Bapaknya tidak pernah memaksanya ia juga tidak mendesaknya, Dimas belum memikirkan untuk menikah dalam usianya sekarang, namun Dimas juga tak mungkin berlarut dalam trauma yang pernah ia alami di masalalu.
*-*-*-*-*
Dimas kembali ke kantornya setelah sehari kemarin ia meliburkan diri karena Bapak memintanya, Dimas masih teringat perkataan Bapak untuk menikah, dan Dimas juga masih binggung bagaimana ia akan memutuskan keinginan Bapak.
"Pak Dimas?" ucap Kirana terkejut saat Dimas berdiri di teras rumahnya.
"Mm, ayo kita berangkat," ajak Dimas salah tingkah.
"Saya bawa motor aja pak, gak enak nanti sama karyawan lain," ucapnya sopan
"Saya sudah berjanji sama Bapak dan Ibu jadi tidak mungkin kan saya mengingkarinya," ucap Dimas.
Dimas berjalan kearah mobil setelah berpamitan pada Mamah dan Papah Kirana.
Hari ini Dimas harus menepati janjinya menjemput Kirana karyawannya yang juga calon istri yang dijodohkan Bapaknya, Dimas bukannya enggan dijodohkan dengan Kirana, jika di lihat-lihat Kirana manis dengan hijab yang ia pakai.
Badannya tidak berisi namun tidak terlalu tinggi kira-kira hanya 160 tingginya, kulitnya tidak terlalu putih namun Kirana terlihat lemah lembut dan sopan memang jika di banding Friska mantannya yang bak model memang jauh berbeda namun dalam tingkah lakunya Kirana benar-benar anggun.
"Maaf Pak jadi merepotkan," ucap Kirana menundukan kepalanya.
Dimas binggung dan salah tingkah, ia masih tetap fokus menyetir, ia tak mau jika Kirana berpikir yang tidak-tidak bahkan menjadi takut padanya karena ia atasannya.
"Kamu sudah berapa lama kerja di Astra?" tanya Dimas memecahkan keheningan.
"Dua tahun Pak," ucapnya.
Dimas terdiam sebentar, sudah dua tahun Kirana bekerja di perusahaannya namun tak pernah sekalipun Dimas melihat dan bertemu Kirana, apakah Dimas selama ini terlalu sibuk pada urusannya sendiri tanpa peduli karyawan bahkan tak tahu siapa karyawannya? Dimas mencoba menelaah dirinya.
"Maaf saya tidak pernah tahu kamu bekerja di tempat saya, mungkin saya selalu sibuk jadi tidak pernah memperhatikan karyawan," ucap Dimas dengan tatapan lurus ke depan.
"Tidak apa-apa." ucapnya ramah.
Dimas terjebak macet di perjalanan, ia jadi merasa makin canggung berada bersama Kirana yang sedari tadi menunduk sambil memeluk tasnya, Dimas melirik ke arah Kirana tampak memang Kirana anak yang baik terlihat dari cara ia berbicara dengan sopan baik pada orang tua dan padanya, Dimas menjadi bimbang sendiri.
"Soal perjodohan kita, apa kamu sudah tahu? Apakah kamu setuju?" tanya Dimas dengan tangan masih memegang stir.
"Saya sudah tahu waktu itu Bapaknya pak Dimas datang ke rumah, hanya saja saya tidak tahu kalau beliau Bapak Pak Dimas, saya hanya tergantung Papah sama Mamah yang memilih saja," ucapnya menatap Dimas sebentar kemudian menunduk kembali.
Dimas menyenderkan badannya kebelakang kursi, ia yakin jika keluarga Kirana pasti akan menyetujui perjodohan mereka karena Kirana hanya menuruti orang tuanya, Dimas binggung bagaimana dengannya
"Saya belum terlalu mengenal kamu begitupun sebaliknya, saya tidak menolak perjodohan ini hanya saja bisakah kamu sedikit bersabar dengan saya, sekarang kita mulai saling kenal-mengenal dulu?" ucap Dimas menghadap Kirana seraya memberikan tangannya untuk di jabat dan Kirana dengan sopan menjabatnya seraya tersenyum pada Dimas.
*-*-*-*-*
3 bulan berlalu kedekatan Dimas dan Kirana sudah terjalin, mereka memutuskan untuk menikah bulan depan tepatnya di awal bulan. Karyawan lainnya pun sudah mengetahui kabar tersebut beruntung tidak ada gosip simpang siur tentang kedekatan mereka karena Kirana sudah resign dari kantor sebulan yang lalu.
Dimas memang belum mencintai Kirana namun ia sudah merasa nyaman dengan Kirana, ia selalu perhatian dan juga baik pada Dimas terutama selalu sabar pada Dimas yang tipikal cuek padanya dalam hal apapun, seperti sekarang untuk persiapan pernikahannya saja Dimas masih harus di suruh Bapak dan Ibu menemani Kirana pergi ke Butik memilih gaun pernikahan mereka yang akan mengandung unsur adat Sunda yang kental.
"Mas Dimas gak kerja?" tanya Dina.
"Ndak dek, Mas mau nganteri Mbak Kirana buat fitting baju," ucap Dimas bersandar di kasurnya sambil memainkan game di ponselnya.
"Mas Dimas beneran mau nikah?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
"Inshaallah Dek, Mungkin udah jodoh Mas datangnya sekarang ," ucapnya menatap sekilas Dina kemudian kembali fokus pada ponselnya.
"Kalau Mas udah nikah, Mas gak bakal tinggal di sini lagi terus Mas jarang ketemu sama Adek, nanti Adek gak dianterin Mas lagi berangkat sekolahnya," ucapnya dengan mata yang sudah berbinar.
"Dek, semua orang pasti punya jodohnya, ketika dia udah ketemu jodohnya pasti akan berumah tangga dan memulai kehidupan baru, Nanti juga Dina kan bakal punya suami punya keluarga baru juga pasti kehidupan kita bakalan berubah," ucap Dimas menutup ponselnya dan menatap Dina.
"Mas Dimas bilang katanya gak bakalan nikah dulu, tapi sekarang malah udah nikah, Adek cuman takut Mas Dimas nanti gak sayang lagi sama Dina dan cuekin Dina gara-gara udah punya istri kayak Mas Arya," ucapnya kemudian mengeluarkan air matanya.
Dimas menatap Adiknya itu dan memeluknya membiarkan ia menangis sebentar untuk menumpahkan apa yang ada di dalam hatinya, bagaimanapun Dimas paham ketakutan Dina, dulu Arya kakak Dimas setelah menikah jarang sekali berkunjung ke rumah bahkan jika pun berkunjung ia tak pernah menyapa atau menanyakan kabar Dina juga Dimas karena fokus pada kerjaan dan istrinya dan kini beliau sudah pindah ke Bogor bekerja di sebuah perusahaan disana bersama sang Istri dan anaknya, dan Dina tahu hanya Dimas lah yang perhatian dan selalu menjaganya dan ia akan takut jika Dimas menikah Dimas akan melalukan hal yang sama seperti Arya.
"Mas mungkin kalau sudah menikah gak akan tinggal di sini lagi, Mas kan sudah bangun rumah juga dan nanti tinggal sama Istri Mas, tapi bukan berarti Mas jadi lupa sama keluarga apalagi sama Adek Mas yang cantik ini, Mas memang gak akan sedekat ini lagi nanti tapi hubungan kakak-adek itu gak ada akhirnya kita tetap bersaudara hanya Mas nanti akan menganti status, kamu memang mau gitu Mas di bilang bujang Lapuk padahal muka Mas kayak opa-opa korea yang kamu suka itu lho," ucapnya.
"Ihh Mas mah kalau di ajak ngomong serius gitu mulu," ucapnya memanyukan bibirnya.
"Habisnya kamu tuh nangis mulu kan Mas jadi gak tega lihatnya, Mas gak mau kamu nangis kamu tuh cewek jangan nangisin hal yang gak penting lagian Mas juga pengen punya istri punya anak juga, nanti kalau kamu udah lulus terus nikah duluan dari Mas kan Mas nanti sendirian dan kamu ikut sama suami kamu." ucapnya.
"Maafin Adek Mas, Adek terlalu manja ya sama Mas sampai gak rela Mas Dimas nikah terus berbagi kasih sayang sama perempuan lain," ucapnya menatap Dimas.
Dimas menatap Adiknya yang menghapus air matanya, Dimas yang gemas dengan Adiknya itu malah meniup kerudung sang adik dan membuat Dina geram karena ulah jail sang Kakak yang menyayanginya itu.
"Mas ih kerudung Adek nanti kusut," ucapnya merapihkan kerudungnya.
"Nukan kerudung kamu yang kusut, muka kamu tuh kusut banget kayak kaset rusak ah pokoknya lebih parah deh kayaknya," ucapnya tertawa.
Dina membelalakan matanya dengan ledekan Dimas, namun semenit kemudian dia ikut tertawa dengan guyonan sang kakak, ada sedikit kelegaan bagi Dimas melihat adiknya tertawa bersamanya meskipun ia tahu mungkin ia juga akan kehilangan sang adik setelah menikah nanti karena mereka tidak akan sedekat ini lagi.
"Mas, Adek mulai besok gak usah di antar lagi, Adek mau naik ojeg online aja kemaren baru lihat ada di deket sini," ucapnya.
"Lho kenapa? Gapapa kali Mas antar kan Mas belum nikah, nikahnya bulan depan," ucap Dimas.
"Mas tuh Nikahnya dua minggu lagi tahu, terus kan Adek juga mau belajar berangkat sendiri tanpa Mas Dimas biar terbiasa juga berangkat tanpa Mas, terus kata Ibu Mas mulai minggu depan di pingit, "ucapnya tersenyum.
"Ah kamu gak mau nyelamatin Mas? Mas gak mau di pingit udah kayak anak kecil di hukum mendingan Mas anterin kamu sekolah aja," ucapnya merayu.
"Nggak ah, gak boleh pokoknya Mas harus setuju di pingit soalnya Adek udah janji sama Ibu mau berangkat sendiri, lagian Mas kenapa gak mau di pingit sih jangan-jangan mau kabur yaa?" selidiknya.
"Suudzon aja kamu, ya sudah gih kamu siap-siap berangkat sekolah," ucap Dimas.
"Libur Mas, kan sekarang hari minggu," ucap Dina.
"Lah iya yah hari minggu, eh terus kenapa kamu nanyain Mas kerja kan udah tahu kantor libur dek hari minggu," ucapnya setelah sadar hari ini hari minggu.
"Kan biar ada basa-basi Mas," ucapnya kemudian pergi dari kamar sambil nyengir.
Dimas hanya tertawa melihat kelakuan Adiknya itu, Tanpa mereka sadari sedari tadi Ibu memperhatikan dan mendengarkan percakapan mereka di balik pintu, tadinya Ibu mau membangunkan Dimas namun Dina sudah masuk duluan dan berbicara serius, Ibu yang merasa tidak enak karena Dina berbicara serius akhirnya mendengarkan percakapan kedua anaknya itu, Ia bersyukur anaknya bisa rukun dan damai dan beruntung mereka saling mengerti satu sama lain.
*-*-*-*-*
Hari ini Anindira kembali ke Bandung setelah 6 bulan lamanya ia tidak pulang, ya ia sudah berada di Jogja kurang lebih 3 tahun, kini kuliahnya hampir semester akhir dan sebentar lagi ia akan wisuda dan itu yang ia impikan, memakai toga dan tersenyum bahagia di depan kamera.
Sudah selesai UAS, Anin libur kurang lebih dua minggu, ia memutuskan untuk pulang ke Bandung terlebih sang Kakak yang ia sayangi akan menikah minggu depan dan ia tidak sabar untuk bertemu kakak kesayangannya itu.
"Assalammualaikum. " ucap Anindira membuka pintu.
Seperti biasa rumahnya memang selalu sepi dan sudah ia sudah terbiasa pulang tanpa sambutan dan pelukan. Anindira terdiam sejenak kemudian mengukir senyum dan langsung menyeret kopernya ke dalam kamarnya yang ia rindukan.
Sejak kecil Mamah dan papah
nya selalu sibuk bekerja, Papahnya yang seorang seorang penjabat jarang berada di rumah, dan Mamahnya ia juga sering pergi untuk acara karena Mamahnya juga bekerja di Instansi yang sama dengan suaminya itu.
Dan sejak kecil Anindira hanya dekat dengan Sang Kakak, Karena Kakaknya yang selalu berada disisinya dan paling mengerti dirinya, Anin hanya memiliki Kakaknya saja karena mereka hanya berdua saudara, perbedaan umur mereka hanya berjarak 4 tahun dan karena itulah mereka akrab dan sering menghabiskan waktu bersama.
Semenjak ia memutuskan kuliah di Jogja orangtuanya tak pernah sekalipun menanyakan kabarnya, meskipun mereka mengirimkan biaya sekolah dan makan sehari-hari untuk Anindira namun tak pernah sedikitpun Anindira gunakan uang itu karena ia tahu orangtuanya sekarang membencinya karena keputusannya berkuliah di daerah istimewa itu.
Beruntung sang kakak selalu setia menanyakan kabarnya juga kuliahnya, terkadang Anindira ingin menghubungi orangtuanya namun panggilannya tak pernah mendapat jawaban, dan Anindira paham orangtanya tak pernah setuju dengan keputusan yang Ia ambil sejak ia berkuliah.
"Teteh." teriak Anin saat Kirana baru saja datang bersama Mamah.
"Anin kamu udah pulang? Kok gak kasih kabar?" tanyanya langsung memeluk Anindira.
"Suprise dong biar teteh kaget," ucapnya melepas pelukan Kirana.
"Baru sampai kamu?" tanya Mamah dengan nada dingin.
"Iya Mah," ucapnya langsung menyalami sang Mamah.
"Ya sudah kalian ganti baju dulu setelah itu makan," ucap Mamah yang langsung pergi ke kamarnya.
"Teh Mamah masih marah ya sama Anin?" tanya Anin pada Kirana.
"Sutt, Mamah gak marah sama kamu buktinya dia nanyain kamu," ucap Kirana kemudian mengajak adiknya itu masuk ke kamarnya.
"Teh, Anin udah mau wisuda loh tahun depan, tapi Mamah sama papah gak ada nanya-nanyain, kayaknya mereka memang marah sama keputusan Anin," ucapnya menyenderkan dirinya di kasur Kirana.
"Gak boleh suudzon ah, apalagi sama orang tua sendiri, udah jangan berprasangka buruk, kamu bentar lagi selesai kuliahnya kan bakalan balik ke Bandung lagi tinggal di sini " jelasnya.
"Tapi nanti teteh udah nikah terus aku sendirian,".
"Kamu juga kan nanti nikah, kita bakal punya kehidupan masing-masing," ucapnya sambil menarik dagu Anindira.
"Ehh tapi calon teteh tuh baik gak? Ganteng gak?" tanya Anin penasaran.
"Alhamdulillah baik Dek, dia juga sering silahturahmi sama Mamah sama Papah, kalau Ganteng itu relatif Dek kita gak boleh membandingkan inshaallah kalau akhlaknya baik pasti wajahnya tampan," ucapnya.
"Teteh yakin nikah sama dia? Aku cuman mastiin aja takut teteh nanti sakit hati sama dia, pokoknya aku gak mau teteh sampai kecewa dan disakitin," ucapnya.
"Inshaallah ini pilihan terbaik teteh, gak akan salah pilih semoga ini yang terakhir buat teteh," ucapnya menarik tangan Anindira untuk meyakinkannya.
Anin hanya tersenyum pada Kirana ia sedikit tenang karena kakanya sekarang sudah menemukan pendamping hidupnya yang ia cintai, Anindira percaya kakaknya akan bahagia setelah ini.
*-*-*-*-*
Hari pernikahan yang di nanti akhirnya datang, Dimas sudah gagah dengan baju putih sedangkan Kirana terlihat sangat cantik dengan baju kebaya dengan hijab dan ditambah singer di kepalanya membuatnya tambah sangat cantik hari ini.
Dengan mantap Dimas mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas, hingga terdengar suara saksi yang mengatakan Sah dan orang-orang yang mengucapkan Hamdallah bersamaan termasuk Kirana yang juga mengucap syukur.
Dengan tangan gemetar Dimas memasangkan cincin di jari Kirana begitupun sebaliknya, Dalam hati Dimas ia berharap benar-benar bisa membuka hatinya untuk Kirana karena ia sudah menerima Kirana di dalam hidupnya, ia berharap Kirana akan sabar menunggunya yang entah kapan akan mencintai Kirana.
Tak lama resepsipun dilaksakan, undangan tamu yang tidak lebih dari seribu sudah memadati Gedung, Dimas dan Kirana juga sudah mengganti baju mereka dengan warna Gold yang di pilih Kirana saat Fitting baju.
"Anindira Dimana? Kita mau foto keluarga dulu," ucap Mamah yang sudah berdiri di pelaminan.
"Tadi dia ngajak Faqih," jawab Kirana.
Dimas hanya berdiri tenang sambil menyalami tamu-tamu namun saat nama Anindira disebut Mamah Mertuanya itu entah Mengapa ia merasa berdebar-debar dan merasa teringat pada Anindira yang pernah ia temui di Jogja lima bulan lalu.
"Ehh itu Anin, cepetan kesini kita foto," teriak Mamah.
Dimas yang mendengar teriakan Mamah mertuanya langsung menatap ke arah pandang yang sama, seorang gadis cantik dengan rambut di gelung dengan khiasan di kepalanya sedang berjalan mengandeng anak kecil.
Anin menatap ke arah pelaminan dan berjalan ke arahnya seraya meninggalkan anak kecil itu bersama Ibunya. Jantung Dimas berdetak lebih cepat, wanita yang pernah ia kagumi saat pertama kali ia lihat sekarang berada di pernikahannya, lebih tepatnya sekarang dia menjadi adik Iparnya, Dimas tidak pernah tahu jika yang Kirana ceritakan adik perempuannya bernama Anindira adalah Anindira yang ia temui di Jogja saat liburan.
"Iya Mah?" tanyanya sudah naik ke atas pelaminan.
"Kita foto keluarga dulu," ucap Mamah menarik tangannya.
Dimas melihat Anindira yang tersenyum ke arahnya dan Kirana dan berjalan ke arah Mamah mertuanya untuk mengambil posisi.
"Maaf Untuk Ibu sama Mbaknya bisa bertukar posisi sama Bapak, Mbak dekat sama Mas pengantinnya terus Ibunya di sebelahnya, Bapaknya pindah kepengantin perempuan," ucap fotografer yang akan mengambil gambar mereka.
Anin berjalan ke arah Dimas, Dimas memperhatikan wajah Anin yang begitu cantik bahkan dengan makeup yang tidak berlebihan, ia tersenyum pada Dimas, tingginya hanya setelinga Dimas, badannya memang bagus tinggi kurus, lebih tinggi dari Kirana dan lebih putih. Anin terlihat sangat cantik, Namun Kirana lebih manis dan terlihat imut di tambah lebih terlihat sopan dengan hijabnya.
"Oke tetehnya coa badannya ke samping," ucap fotografer
memberikan arahan pada Anindira.
Aninpun menuruti, Dimas sebisa mungkin menahan dirinya karena ia benar-benar terkejut melihat Anindira yang ia kagumi tiba-tiba berada di sebelahnya dan ia melihatnya secara langsung dan lebih dekat, dan kini kenyataannya Anindira adalah Adik Iparnya, Dimas menghela nafasnya ia sedari awal hanya kagum pada paras Anindira namun sekarang Kirana menjadi istrinya tentu saja ia lebih kagum pada Istrinya sekarang yang sudah menutupi dirinya dengan hijab dan lebih terlihat damai baginya.
Setelah selesai foto keluarga, Anindira menyalami Dimas dan Kirana sebelum pamit pergi menemui anak kecil tadi yang juga sepupunya. Pandangan Dimas tak lepas dari Anindira, ia selalu mengembangkan senyumnya, bahkan banyak mata melirik ke arahnya dengan tatapan kagum juga suka, dia memang cantik ya Adik iparnya kini memang cantik sama seperti Dina itulah kata hati Dimas.
"Dim, gawat cewek yang waktu itu ternyata adik ipar loe," ucap Rendra menyalami Dimas dan berbisik padanya karena takut Kirana mendengarnya.
"Ia dia jadi Adek gue, gue juga baru tahu barusan," ucap Dimas.
"Wahh awas aja kalau loe selingkuh sama Adeknya jangan ampe loe embat dua-duanya," ucap Rendra memperingatinya.
"Ngak gila aja, gue cuman kagum sama dia, lagian sekarang udah jadi adek gue," ucap Dimas.
Rendrapun kemudian tersenyum dan mengangguk kemudian Gilang pun turut berbisik di telinganya.
"Oke karena Loe udah nikah jadi biarin Adek buat gue, soalnya cantik banget," ucap Gilang di telinga Dimas.
"Terserah loe, tapi gue gak mau iparan sama loe," ucap Dimas.
Gilang pun melepas jabatannya dan menyikut Dimas dengan pelan sebelum keduanya tertawa berasamaan.
Dalam hati Dimas dia merasa tidak tenang, dia memang belum mencintai Kirana namun ia akan berusaha membuka hatinya, namun ia hanya binggung mengapa Tuhan menakdirkannya bertemu Anindira yang sempat ia kagumi dan kini menjadi adik iparnya, namun Dimas tak pernah berpikir mencintai Anindira karena bagi Dimas Kirana jauh lebih baik dari segi Akhlas dan perilakunya Dimas yakin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!