NovelToon NovelToon

Kekasihku Adik Iparku

Kecelakaan

'Ckiiiiittt...!'

'BRAAAAKK...! BRAAAK...!'

'DUAAAARRR...!'

Suara ledakan yang cukup keras itu terdengar disepanjang jalanan kota yang sangat sepi. Udara malam yang dingin seketika berubah menjadi hangat karena kobaran api yang berasal dari sebuah mobil yang baru saja meledak karena menabrak sebuah pohon besar di tepi jalan.

Seorang gadis berambut coklat panjang yang baru saja selamat dari maut itu hanya bisa tertegun memandang mobil yang dikendarainya beberapa saat lalu kini di penuhi kobaran api.

Gadis itu termangu, dia membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya jika saja ia tidak segera melompat keluar sesaat sebelum mobilnya yang mengalami rem blong menabrak pohon.

Tidak ada luka berarti. Hanya luka kecil pada lutut, siku dan keningnya. Luka yang dia peroleh ketika melompat keluar dan terguling di atas aspal. Dengan langkah sedikit tertatih. Gadis itu meninggalkan lokasi kecelakaan.

-"-

"Sherly?!"

Gadis itu 'Sherly' yang sedang berbaring di kamarnya tampak sedikit terkejut dengan kemunculan pria yang sangat dia kenali tiba-tiba saja muncul di kamarnya dengan mimik wajah cemasnya.

Sherly merubah posisinya menjadi duduk dan bersandar. "Marcell, apa yang sedang kau lakukan di sini? Maksudku, bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Sherly terheran-heran.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Marcell memastikan. Alih-alih menjawab pertanyaan Sherly dia malah balik bertanya.

Sherly mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja. Dan hanya mengalami luka ringan saja, tapi dari mana kau tau jika aku baru saja mengalami kecelakaan?" tanya Sherly terheran-heran.

"Mamimu yang memberitahuku. Dan aku langsung kemari setelah mendengar kau mengalami kecelakaan." Tuturnya.

Sherly menarik napas panjang dan menghelanya. "Tidak usah berlebihan, aku baik-baik saja, sungguh. Jadi sebaiknya kau pulang saja," pinta Sherly pada pria dihadapannya.

"Sherly, jangan kurang ajar kamu!! Marcell, dia adalah calon suamimu, seharusnya kau bisa bersikap lebih sopan padanya," tegur Maria melihat sikap kurang ajar putrinya.

Sherly memutar matanya jengah. "Sudahlah, Mi. Jangan bersikap berlebihan. Lagipula siapa yang menyuruh, Mami menghubunginya? Ini sudah hampir tengah malam, Mi. Dan aku butuh waktu untuk istirahat. Kepalaku juga sangat pusing. Jadi mengertilah!! Dan jika, Mami tidak ingin dia pulang. Tinggal meminta pelayan menyiapkan kamar tamu untuknya, gampang 'kan!!"

"Sherly?!"

"Besok saja ceramahnya, aku benar-benar lelah dan kepalaku sangat pusing. Jadi bisakah kalian keluar sekarang?" Sherly menatap ibu dan calon suaminya itu bergantian.

Maria mendesah berat. "Cell, ayo kita keluar dan biarkan dia istirahat." Ucapnya.

Akhirnya Maria pun mengajak Marcell keluar, sedangkan Sherly langsung berbaring kembali. Kepalanya benar-benar sangat pusing dan dia ingin segera tidur.

-"-

Seorang pemuda baru saja meninggalkan sebuah club malam yang berada di jantung kota London. Aroma alkohol yang begitu menyengat menguar dari tubuhnya yang dalam balutan kemeja tanpa lengan dan jeans belel hitam.

Dari penampilannya saja sudah jelas terlihat jika pemuda itu bukanlah pemuda baik-baik dengan titlle brandal yang melekat kuat pada dirinya.

"Yakkk!! Where are your eyes when you walk?" bentak pemuda itu pada orang yang tidak sengaja bertabrakan dengannya.

Tak ingin mendapatkan masalah, pria setengah baya itu buru-buru pergi sebelum pemuda brandalan itu semakin marah dan kemudian menghajarnya. Pemuda berdarah China itu mendecih dan menatap tidak suka pada pria itu.

"Dasar merepotkan." Desisnya tajam. Pemuda itu kembali melanjutkan langkahnya dan dia akan mengikuti kemana kedua kakinya akan membawanya melangkah.

Ketika malam menyingsing, udara malam terasa membekukan kulit.

Bulan tampak berkuasa dengan awan-awan yang bergerak. Kegelapan muncul seiring gemerlap lampu yang berpendar dengan begitu gagah, menyusul sekelompok burung yang terbang membentuk pola unik di atas langit tanpa halangan.

Desir angin malam terlihat mengudara, mengabaikan suara kendaraan yang terlihat tidak sabar akibat macet yang membuat penduduk merasa kesal tanpa alasan. Walau waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, kota yang merupakan sebuah jantung dari negara adidaya adalah tempat yang memiliki siklus sosial yang tak terhentikan.

Pemuda itu menghentikan langkahnya dan bersandar pada pinggir jembatan yang menjadi salah satu objek wisata untuk mereka yang datang dalam rangka menghiburkan diri. Ia terdiam di sana, memikirkan berbagai hal yang membuat hatinya menjadi panas.

Iris coklatnya yang biasanya terlihat tajam kini tampak meredup. Ia membiarkan Surai keperakannya mengikuti udara, teralun pelan akibat angin tampak pergi menuju barat. Bibirnya menghisap batang rokok yang di apit oleh kedua jarinya. Asap putih yang keluar dari sela-sela bibirnya membumbung tinggi dan kemudian menghilang tersapu angin.

Pemuda itu 'Zian' melirik ke bawah, di mana jalanan besar di kota London tampak terisi penuh oleh kendaraan roda empat yang saling berdempetan. Ia dapat mendengar suara protes dari sebagian pria maupun wanita, mengintip dari kaca mobil untuk melayangkan kekesalan akibat mereka yang belum juga bergerak.

Zian mendecih sinis. Pemuda itu menarik napas panjang dan menghelanya, ia mulai berpikir akan konflik yang sedang terjadi berkaitan dengan kehidupan yang dia jalani saat ini. Mulai dari pasangan, masa depan, pernikahan.

Pemuda itu mendengus samar, merasa konyol tanpa sebab. Ia tidak peduli dengan desauan angin yang semakin kencang, jeritan para gadis akibat tak sadar bahwa waktu sudah menunjukkan tengah malam, getaran protes oleh para pengendara, atau kekesalan yang perlahan berubah menjadi kesan emosional.

Perhatiannya sedikit teralihkan oleh getaran pada ponselnya. Alih-alih menerimanya, Zian malah mematikan ponselnya. Dia terlalu malas jika harus mendengar ocehan panjang dari orang yang menghubunginya.

Zian membuang puntung rokoknya yang hanya tinggal setengah. Kemudian dia beranjak dan melenggang pergi meninggalkan tempatnya berdiri.

-"-

"Kau masih di sini? Aku pikir kau sudah pulang."

Sherly menatap terkejut pada sosok pria yang masuk ke dalam kamarnya sambil membawa nampan berisi makanan untuknya. Sherly tidak bisa ikut sarapan bersama kedua orang tuanya karena luka di lututnya.

"Ibumu melarangku untuk pulang semalam. Jadinya aku menginap." Jelasnya.

Sherly menganggukkan kepala tanda jika dia sudah paham.Tidak mengherankan jika kedua orang tuanya meminta Marcell untuk menginap mengingat jika semalam sudah sangat larut ditambah hujan lebat yang tiba-tiba mengguyur kota.

"Sebaiknya kau tetap di rumah sampai luka di lututmu benar-benar membaik. Aku akan kembali setelah pulang kerja. Aku menyayangimu." Marcell mengusap kepala Sherly lalu mengecup keningnya. Tak ada respon dari gadis itu atas pernyataan sayang dari tunangannya itu.

"Hm, hati-hati." Pesan Sherly yang kemudian di balas anggukan oleh Marcell.

Selepas kepergian Marcell di dalam ruangan itu hanya menyisahkan Serly seorang diri. Sherly beranjak dari duduknya, dengan langkah tertatih Sherly berjalan menuju jendela yang ada di samping kamarnya.

Jari-jari lentiknya mendorong daun jendela dan membukanya lebar-lebar. Semilir angin pagi yang berhembus lirih menerpa wajah cantiknya. Sherly menutup rapat-rapat kedua matanya dan membiarkan angin pagi membelainya.

Dan kenangan masalah lalu yang begitu ingin dia lupakan kembali melintas dan mengusik pikirannya.

-

Di pagi yang cerah. Seorang gadis terlihat berdiri di halte bus seorang diri. Jika saja dia tidak mengalami kesialan, pasti saat ini ia sudah tiba di kampusnya. Ban mobilnya tiba-tiba kempes padahal dia sedang terburu-buru.

Satu jam berdiri di sana. Namun tak ada satupun bus maupun taxi yang melintas, dan hal itu membuatnya sangat frustasi. Sampai sebuah motor sport merah yang di kendarai oleh seorang pemuda dengan style serampangan nya tiba-tiba berhenti di hadapannya.

"Kau butuh tumpangan, Nona?" tanya si pemuda pada gadis itu.

"Pria cantik?!" pekik si gadis yang pastinya adalah Sherly.

"Ck, berhentilah menyebutku pria cantik, Nona Davis. Itu sama sekali tidak cocok dengan diriku," sinis pemuda itu menegaskan.

Sherly berdecak sebal. "Ck, terima saja kenyataan jika kau itu menang cantik, Zian!! Dan asal kau tau saja, baru kali ini aku melihat ada brandalan secantik dirimu!!"

"Kau sudah bosan hidup ya?!"

"Kau mengerikan." Ucap Sherly yang hanya disikapi putaran mata jengah oleh Zian.

"Naik sekarang atau aku akan meninggalkanmu di sini?!" tegas Zian dengan nada mengancam.

Sherly menggembungkan pipinya, kebiasaan yang sering dia lakukan ketika sedang kesal. Dengan kesal Sherly baik ke atas motor besar Zian. Dan dalam hitungan detik motor sport merah itu melaju kencang membela jalanan kota yang padat kendaraan.

Sherly melingkarkan kedua tangannya pada perut Zian dan memeluknya dengan erat. Tak ada penolakan dari pemuda itu. Zian membiarkan Sherly memeluknya. "Zian, pernahkan kau jatuh cinta?" tanya Sherly tiba-tiba.

Zian sedikit menoleh dan melirik gadis yang tengah di boncengnya. "Kenapa kau tiba-tiba tanya begitu?" tanya Zian kebingungan.

Sherly menggeleng. "Tidak apa-apa, hanya ingin bertanya saja." Jawabnya.

Dan setelah perbincangan singkat itu tak ada lagi perbincangan diantara mereka berdua. Keduanya sama-sama diam dalam keheningan. Sesekali Zian menoleh ke belakang, melirik Sherly dari ekor matanya. Andaikan saja dia bisa mengatakan yang sebenarnya. Tapi dia terlalu takut untuk mengakui perasaannya.

-

Sherly membuka kembali matanya yang sebelumnya tertutup rapat. Bibirnya mengurai senyum simpul. Gadis itu mendesah berat.

"Si bodoh itu, sebenarnya apa yang telah dia lakukan padaku? Kenapa aku tidak bisa membuang perasaan ini dari hatiku? Zian, aku merindukanmu."

-

Bersambung.

Saling Membenci

"Jemput adikmu pulang!!"

Marcell meletakkan ponselnya setelah mendengar permintaan ayahnya. Pria setengah baya itu memintanya untuk menjemput sang adik yang sudah satu tahun minggat dari rumahnya.

"Untuk apa, Pa? Jika dia ingin pulang, pasti dia akan pulang. Lagipula dia minggat dari rumah bukan atas kemauan kita, tapi karena kemauannya sendiri!!"

"Marcell!! Bagaimana pun juga, Zian adalah adikmu, tidak seharusnya kau bersikap seperti ini padanya."

Marcell mendesah berat. Pria itu bangkit dari duduknya dan berdiri menghadap sang ayah yang kini tengah menatap serius padanya.

"Aku tau, Pa!! Dan aku sadar akan hal itu. Dia bukan anak kecil lagi, seharusnya dia bisa mengerti mana yang baik dan mana yang buruk."

"Dia hanya terlalu kekanak-kanakan. Jadi biarkan saja, sebaiknya Papa tidak usah terlalu mencemaskannya!! Dia akan baik-baik saja meskipun hidup tanpa kita."

Marcell mengambil jasnya yang dia sampaikan di sandaran kursi kerjanya lalu memakainya."Aku harus pergi sekarang, ada rapat sepuluh menit lagi." Marcell beranjak dari hadapan ayahnya dan pergi begitu saja.

Tuan Lu mendesah berat. Dia tidak tau sampai kapan konflik diantara kedua putranya akan terus berlanjut.

Dan sebagai seorang ayah, tentu saja dia mengharapkan supaya Marcell dan Zian bisa akur dan saling menyayangi. Bukannya saling membenci seperti saat ini.

-

Zian Lu, dia adalah seorang pemuda berusia 25 tahun. Memiliki pola pikir yang sulit di mengerti oleh orang lain.

Bahkan dia di cap sebagai pemuda berandalan hanya karena dia tidak bersedia patuh pada aturan-aturan yang menurut nya tidak lah penting untuk di patuhi.

Zian adalah pemuda berjiwa bebas yang enggan dikekang, ia benci hidup dalam sebuah aturan yang rumit. Berakhir memutuskan kabur dari rumahnya.

"Kau terlihat buruk, Kawan!!"

Zian menangkap minuman bersoda yang di lemparkan padanya. Tanpa mengucapkan terimakasih Zian membuka kaleng minumannya lalu meneguk setengah dari isinya.

"Kapan kau kembali? Aku pikir kau akan lama di Korea."

"Awalnya sih begitu, tapi aku terlalu muak dengan aturan-aturan tidak penting dalam keluargaku. Dan benar apa yang kau katakan, Kawan."

"Hidup adalah pilihan, ini adalah hidupku dan orang lain tidak berhak mencampurinya. Dan mulai sekarang aku akan mengikuti apa kata hatiku."

"Bagus, akhirnya kau bisa berpikir terbuka."

Pemuda itu 'Andrew' menatap lengan kanan sahabatnya dan menemukan sebuah tribal baru yang terlukis di sana. Dan hal itu membuat Andrew tidak tahan untuk tidak bertanya.

"Kau menambah tatto lagi?" pemuda itu menatap Zian tak percaya. Itu adalah tatto ketika yang Zian miliki selain tatto di punggung dan dada kirinya.

"Hn,"

Lalu pandangan Andrew bergulir pada koper yang ada di samping tempat tidur Zian. "Untuk apa koper itu?" tunjuk Andrew pada koper hitam tersebut.

"Jangan bilang jika kau?!" Andrew tidak melanjutkan ucapannya dan menatap Zian dengan serius.

"Aku akan kembali ke Korea. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan di sana."

"Berapa lama?"

Zian mengangkat bahunya. "Aku tidak tau, tergantung situasi."

"Jika kau pergi, lalu aku dengan siapa? Oh, ayolah Zian. Kau jangan berlaku kejam padaku. Jika tau begini aku tidak akan kembali ke mari." Ujar Andrew setengah memelas.

Zian mendengus berat. "Kau terlalu berlebihan. Kau akan baik-baik saja meskipun aku tidak ada di sini."

"Tapi tetap saja rasanya akan sangat berbeda. Kau adalah sahabat terbaikku dan sekarang aku harus menjalani hidup tanpa dirimu. Aku pasti akan sangat merindukanmu." Andrew memeluk Zian dan merengek seperti bayi.

Zian mendengus berat. Sahabat jangkungnya ini memang sangat melankolis, dan Zian tidak merasa heran lagi dengan sikap Andrew.

-

Marcell duduk di ruang kerjanya. Memandangi berkas-berkas yang menumpuk dengan tatapan kosong. Hatinya terasa sedikit pilu ketika dia mencoba menerima kenyataan jika Sherly tidak pernah mencintainya.

Satu tahun telah berlalu, tapi sedikit pun Sherly belum bisa membuka hati untuknya. Ada orang lain di hati Sherly, tapi sayangnya Marcell tidak tau siapa orang itu. Dia hanya tau jika pemuda itu adalah cinta pertama dari tunangannya.

Sherly begitu istimewa di hatinya. Dia adalah gadis pertama yang berhasil mengetuk pintu hatinya setelah sekian lama tertutup setelah penghianatan yang dilakukan oleh mantan tunangannya. Wanita yang meninggalkannya di hari pernikahan mereka.

Sudah sejak satu tahun yang lalu Sherly telah menempati ruang kosong dalam hatinya, memenuhi pikirannya dan mengacaukan khayalannya.

Marcell mendesah berat. Pria itu meraih ponselnya yang ada di atas meja lalu mencari kontak nama Sherly, Marcell menekan tombol memanggil dan panggilannya tersambung.

Tutt... Tutt... Tutt...

Panggilan tersambung namun tidak ada jawaban. Dan ini sudah yang ketiga kalinya tapi Sherly tak mengangkat telfon darinya.

Tapi Marcell tak ingin berpikir negatif, mungkin saja dia sedang beristirahat. Marcell mengakhiri panggilannya lalu meletakkan ponsel itu di atas meja.

"Presdir, ini beberapa dokumen yang harus Anda periksa dan Anda tandatangani,"

"Letakkan saja di atas meja, aku akan memeriksanya nanti."

"Baik, Presdir. Kalau begitu saya permisi," wanita berpakaian minim itu membungkuk dan pergi begitu saja.

Perhatian Marcell sedikit teralihkan oleh dering pada ponselnya dan nomor asing tertera, menghiasi layar ponselnya yang menyala terang.

Penasaran siapa yang menghubunginya, Marcell segera menerima panggilan itu.

"Halo,"

"Apa kabar, Kakakku sayang. Bagaimana kabarmu? Kau, apa kau tidak merindukanku?" tanya seseorang yang menghubunginya.

Kedua mata Marcell lantas membelalak. Itu adalah suara seseorang yang selama satu tahun terakhir ini tak pernah dia dengar, suara orang yang sangat dia benci.

Ya, itu adalah suara adiknya, orang yang dia anggap sebagai pemicu kematian ibunya.

"Zian!!"

~o~

"Zian!!"

Zian meneguk minumannya dan menyeringai sinis mendengar keterkejutan seseorang yang dihubunginya itu. "Kenapa? Kau terdengar tidak suka aku menghubungimu."

"Jadi kau masih hidup, aku pikir kau sudah mati!!"

"Oh, jadi kau mengharapkan kematianku? Aku tidak akan mati semudah itu. Aku hanya ingin memberitahumu jika aku akan kembali ke Korea dalam waktu dekat. Aku akan mengambil apa yang telah kau rebut dariku. Jadi persiapkan dirimu!!"

Zian memutuskan sambungan telfonnya begitu saja lalu melemparkan ponsel itu ke atas tempat tidurnya.

Pemuda itu menyeringai lebar, Zian sudah tidak sabar untuk segera bertemu kembali dengan kakak tercintanya itu. Dan kali ini dia tidak akan melepaskannya, dan dia akan merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.

"Kau akan berangkat hari ini?" Andrew menatap Zian dengan mata berkaca-kaca. Dia sungguh berat untuk melepaskan sahabatnya itu.

"Ck, jika kau tidak siap dalam waktu lima belas menit aku akan meninggalkanmu dan membatalkan keberangkatanmu!!"

Sontak saja kedua mata Andrew membelalak setelah mendengar apa yang Zian katakan.

"Zi, jangan bilang jika kau?! Kyyyaa!!! Kau memang sahabat terbaikku, baiklah berikan aku waktu untuk bersiap-siap." Zian mendengus geli, menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya.

-

Bersambung.

Pertemuan Kembali

Zian Lu menginjakkan kakinya di bandara Incheon, ini pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di negeri asal ibunya tersebut setelah kepergiannya satu tahun yang lalu.

Zian melepaskan kaca mata hitamnya yang sedari tadi bertengger di hidung mancungnya. Pandangannya menyapu, bandara itu masih terlihat sama seperti saat dirinya meninggalkan negara tempat ia dibesarkan tersebut.

Pemuda berwajah tampan nan cantik itu menyeret kopernya menuju pintu keluar bandara. Rasanya dia sudah sangat tidak sabar untuk bisa segera bertemu dengan kakak tercintanya itu.

"Kita berpisah di sini, ada sesuatu yang harus aku urus. Bawa koperku dan aku akan mengambilnya nanti!!" Zian menepuk bahu Andrew dan pergi begitu saja.

Zian menghentikan taxi dan memberikan alamat tujuannya. Dan setelah tiga puluh menit, Zian tiba di tujuan. Pemuda itu segera turun dari taxi yang dia tumpangi dan berjalan tenang memasuki sebuah perusahaan yang memiliki puluhan lantai.

Kedatangannya di sana langsung menyita banyak pasang mata. Tanpa banyak bertanya pun, tentu para karyawan maupun staf yang bekerja di perusahaan itu sudah mengenalnya. Pemuda itu merupakan putra bungsu dari pendiri perusahaan tempat mereka bekerja dan mencari nafkah.

Zian terus berjalan tanpa peduli dengan tatapan memuja para karyawan wanita yang seolah-olah ingin menerkamnya. Zian memasuki ruang kerja Marcell dan mendapati ruangan itu kosong.

Pemuda itu melangkahkan kaki panjangnya memasuki ruangan lalu mendaratkan pantatnya di kursi kerja Marcell. Zian tidak sabar melihat bagaimana reaksi kakaknya itu ketika melihat keberadaannya di dalam ruangannya.

"Lakukan dengan segera, aku ingin mereka berdiri di pihak kita. Bagaimana pun caranya kita harus mendapatkan tender itu."

"Baik, Tuan."

Samar-samar Zian mendengar perbincangan dua orang di luar ruangan, dan dia sangat mengenali suara salah satu dari kedua orang tersebut. Kembali, sudut bibirnya tertarik ke atas. Zian menghitung mundur, dan tepat pada hitungan kesatu pintu ruangan itu terbuka dan persis seperti dugaannya, Marcell terkejut melihat keberadaannya.

"Zian?! Sedang apa kau di ruanganku? Dan kapan kau kembali?" tanya Marcell to the poin.

Zian bangkit dari duduknya lalu berjalan menghampiri Marcell. Seringai meremehkan tampak tersungging di sudut bibirnya.

"Kenapa, Kakak? Sepertinya kau tidak menyukai kedatanganku? Atau mungkin kau merasa cemas karena posisimu sebagai CEO di perusahaan ini bisa terancam setelah aku kembali, atau mungkin karena hal lain?"

"Apa maksudmu bicara seperti itu?"

"Dibandingkan diriku, tentu kau yang lebih tau. Sepertinya aku terlalu banyak membuang banyak waktuku di sini. Oya, jangan lupa bawa calon istrimu makan malam di rumah, setidaknya kau harus memperkenalkan dia pada adikmu.Terus terang aku sangat penasaran padanya. Baiklah, aku pergi dulu!!" Zian menepuk bahu Marcell dan pergi begitu saja.

Pemuda itu menyeringai di tengah langkahnya. Dia merasa sangat puas melihat wajah memerah Marcell karena menahan amarah.

Zian tidak akan membiarkan Marcell hidup dengan tenang, ia tidak akan mengalah lagi dan membiarkan Marcell terus menginjak-injak dirinya, kali ini dia akan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.

-

Napasnya terengah. Ia berlari mencari tempat untuk menghindari tetesan air hujan yang tiba-tiba membasahi bumi. Beruntung ia tidak memakai heels saat ini. Pasti tinggi tumit pada sepatunya akan mempersulit dirinya.

Sherly Davis mendesah lega ketika melihat sebuah halte bus yang sepi penunggu, ia berlari ke sana, berdiam diri seraya menepuk-tepuk kain bajunya yang basah tanpa menyadari seseorang yang berada di sampingnya.

Ia sungguh merutuki kesialannya hari ini. Mobil yang tiba-tiba mogok, ponsel ketinggalan. Dan sekarang hujan malah turun dengan derasnya.

"Sial!" ia mengumpat pelan, menyadari bahwa kain blus berenda putihnya menjadi tembus pandang, membuat akses mata bebas untuk melihat bra hitam yang tercetak jelas di sana.

Pandangan Sherly bergulir, melihat sekelilingnya yang benar-benar seperti pemakaman. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa di sini ia tidaklah sendiri. Ada seorang pria di sana. Tepat di ujung halte yang cukup jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

Sherly kembali mengumpat, menutupi area permukaan dadanya agar tidak terlihat oleh pria asing tersebut dengan tasnya. Namun sampai beberapa waktu lamanya, hanya keheningan, terlalu hening hingga rasanya ia dapat mendengar deru napasnya dan suara air hujan yang semakin deras.

Sherly kembali menoleh pada samping kanan tubuhnya. Pria itu masih di sana, masih dengan posisi yang sama. Dahi Sherly menyernyit, melihat dari postur tubuhnya sepertinya ia mengenali sosok itu. Tapi Sherly tak yakin jika itu memang dia karena sebagai wajahnya tertutup oleh tudung rompi hitamnya.

Ia menghela napas, kemudian menggeleng kecil. Pria itu tidak mungkin dia. Jika memang dia pasti dia sudah menyapanya dari tadi. Tapi orang itu hanya diam dalam posisinya berdiri.

Arah jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul empat sore. Hujan deras dan ia sama sekali tidak bisa menghubungi siapapun untuk diminta jemputan, karena ponselnya tertinggal dan tidak ada telfon umum di sekitar sini.

Sherly mengentak-entakkan kedua kakinya di atas keramik halte, merasa sangat sial dan luar biasa kesal. Jika saja ia bisa memprediksikan cuaca dan tidak melakukan kecerobohan. Pasti kini ia tidak akan terkurung di dalam halte sampai entah kapan langit akan berhenti menangis.

Orang yang sedari tadi berdiri di samping kanan Sherly tiba-tiba menolehkan kepala ke arah gadis itu.

Pandangannya bergulir, sepasang binernya menatap sosok gadis yang duduk dengan mimik muka di tekuk, kesal. Berbagai ekspresi tersirat dari tatapannya yang dingin dan datar.

Pemuda itu mendesah berat. Ia terlihat beranjak kemudian berjalan mendekati Sherly dan berhenti tepat di depan ia duduk.

Sherly terkejut, gadis itu mengangkat wajahnya dan betapa terkejutnya dia saat melihat siapa yang saat ini berdiri menjulang di hadapannya. Sherly segera berdiri sambil membekap mulutnya dengan kedua tangannya.

"ZIAN!!"

.

.

Di sini mereka sekarang. Duduk di sebuah cafe yang letaknya tak terlalu jauh dari halte tempat mereka berteduh tadi. Sepuluh menit telah berlalu, namun tidak ada perbincangan diantara mereka, keduanya saling diam dalam keheningan.

Sherly mengambil nafas panjang dan menghelanya. Kembali ia menatap Zian. "Kapan kau kembali?" tanya Sherly mengakhiri keheningan.

"Pagi ini. Bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang kau lihat, aku baik." Sherly tersenyum.

Zian menggulirkan pandangannya pada cincin yang melingkari jari manis Sherly. "Sepertinya kau sangat bahagia dengan pertunangan mu," Sherly tersenyum miris mendengar ucapan Ken.

Sherly mendesah berat. "Bahagia, aku rasa tidak. Aku hanya bisa menunjukkan kebahagiaan di depan orang lain, tersenyum seolah aku baik-baik saja. Tapi di balik itu aku hancur dan rapuh. Bertunangan dengan orang yang tidak aku cintai rasanya begitu menyiksa, tapi aku tidak memiliki pilihan." Tuturnya panjang lebar.

"Apa yang membuatmu tidak bahagia? Bukankah calon suamiku adalah pria yang sudah mapan dan bisa menjamin masa depanmu? Hidupmu akan enak jika menikah dengannya." Zian memicingkan matanya.

Sherly menggelengkan kepala. "Kau salah. Kebahagiaan tak bisa di ukur dengan manteri dan kekayaan. Lagipula untuk apa semua itu, jika aku harus kehilangan orang yang paling aku cintai dan paling berarti dalam hidupku." Jawab Sherly tanpa mengakhiri kontak matanya.

Kedua mata gadis itu tampak berkaca-kaca, yang kemudian dia seka sebelum jatuh membasahi wajah cantiknya. "Sepertinya hujan sudah mulai reda. Aku harus pulang sekarang." Zian menahan pergelangan tangan Sherly ketika gadis itu hendak melangkah pergi.

Sherly menoleh pada Zian, lalu menatap pergelangan tangannya yang digenggam oleh pemuda itu. "Aku akan mengantarmu." Sherly tersenyum dan kemudian mengangguk.

-

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!