Langit di sore ini, telah bergradasi dengan perpaduan warna jingga bercampur oren. Matahari pun telah menghilang di bawah garis cakrawala di sebelah barat.
Seorang perempuan sedang termenung di dalam mobil dengan tatapan lurus ke luar jendela. Hatinya berdesir, tatkala mendengar perihal perjodohannya dari sang bunda di sambungan telepon tadi.
"Sita, pulang kuliah langsung ke villa ya. Bunda sama Ayah udah sampai duluan ... Oh iya, kamu masih ingat kan sama yang namanya Sulthan? ... rencananya kami ingin menjodohkan mu dengannya."
Ucapan sang bunda, terus terngiang hingga masuk ke alam bawah sadarnya. Berkali-kali ia mencoba menerima, tapi ternyata hatinya memilih untuk menolak.
Kenapa aku harus dijodohkan?
Batin Sita yang terus menerka-nerka. Mencoba mencari tahu alasan dibalik semua ini.
Haruskah aku terima semua ini? Kenapa di saat aku belum siap?
Ucapnya dalam hati beriringan dengan napas yang ia hembuskan.
****
Sebuah mobil Sedan berwarna hitam baru saja tiba di halaman rumah mewah. Tetapi ini bukanlah rumah, melainkan villa.
Seorang perempuan yang turun dari mobil itu adalah Sita Arkania Ranggalih, seorang anak dari seorang pejabat tinggi di negara ini. Namun, sungguh disayangkan ... hidupnya selalu dirundung kesepian. Diusianya yang kini menginjak dua puluh dua tahun, justru membuat Sita semakin nyaman dan terbiasa dengan rasa sepi itu sendiri.
Sita pun melangkahkan kakinya masuk kedalam villa sambil membawa perasaan kesal. Ia sampai melewati laki-laki yang sedang duduk sendirian di ruang tamu itu dengan begitu saja. Laki-laki itu hanya menyunggingkan senyum tipis.
Pasti dia gak terima dengan perjodohan ini.
Laki-laki itu rupanya sudah bisa menebak dari raut wajah Sita. Selain itu, Rose (bundanya Sita) yang sedang berjalan menuju ruang tamu, berpapasan dengan Sita dengan raut wajah yang datar.
"Sita, kamu dari mana aja? Seharusnya udah sampai dari satu jam yang lalu, tapi kok jam segini baru sampai?" Rose mengekornya dari belakang sampai masuk ke dalam kamar Sita. "Calon suamimu itu, udah nungguin dari tadi. Emang kamu gak kasihan sih sama dia?" sambungnya sambil duduk di sofa.
"Kasihan?" Sita berdecak kesal. "Bunda, udah berapa kali sih Sita bilang, kalau Sita itu gak mau pake acara di jodohin segala! dikira Sita gak laku banget apa!" protesnya sambil bersilang dada memunggungi bundanya.
"Setidaknya kamu kenal dekat dulu sama dia Sita ... Dia ganteng, tajir, baik. Apa masih ada yang kurang?" Rose berusaha untuk meyakinkan Sita.
"Gak! aku pokoknya gak mau! kalau gitu bunda aja yang nikah, Sita pokoknya gak mau. TITIK!" Sita langsung pergi ke dalam kamar mandi.
"Aduh! ini anak kenapa ya? susah banget sih dibujuknya. Ampun deh!" Rose menggerutu dengan suara yang masih didengar oleh Sita yang ada di dalam kamar mandi.
"Sita! ini buat kebaikanmu juga ... " ucap Rose dengan suara yang sedikit berteriak dari luar kamar mandi.
Sita yang masih bersandar di balik pintu pun, hanya bisa memejamkan serta menenangkan hatinya yang cukup berkobar kali ini. Sebenarnya, dia sangat ingin marah kepada kedua orang tuanya, tapi rasanya tidak mungkin.
Setelah amarahnya mulai mereda, akhirnya Sita pun membuka pintu kamar mandinya. CEKLEK.
"Bunda ... " Sita berdiri dan berhadapan dengan bundanya. "Siapa sih yang gak pengen nikah? Sita juga mau nikah tapi gak sekarang bun. Lebih jelasnya lagi Sita pengen punya suami karena Sita cinta. Bukan paksaan dari Ayah ataupun Bunda."
Rose menarik napasnya dalam-dalam. "Lalu kapan siapnya? Ayah dan Bunda udah rencanain ini tuh, udah lama banget Sita."
Kepribadiannya yang tertutup, membuat Sita selalu merasa insecure dengan orang-orang yang ada di luar rumah. Ia selalu beranggapan kalau mereka, pasti tidak sedikit yang akan menghujatnya. Ada apa sebenarnya dengan Sita? Padahal jika mau, dia bisa kemana saja.
Pekerjaan Jundi (ayahnya Sita) di salah satu instansi pemerintahan, membuatnya selalu meninggalkan Sita sendiri di rumah. Itulah yang membuat keduanya selalu dilanda kekhawatiran yang sangat besar.
"Iya, Bunda paham ... tapi, kami cuma gak mau kalau kamu sendirian terus, karena sering kami tinggal tugas ... kalau menikah kan kamu bisa ada temennya. Sita mau ya nikah sama Sulthan?" Rose mencoba memberi pengertian. Dengan diusapnya kepala Sita, bicara bernada lembut, serta pembawaannya yang tenang. Sebab, Sita termasuk orang yang tidak bisa untuk diajarkan dengan keras.
Sulthan Airlangga Barista. Tidak! Sulthan bukan seorang barista—dalam arti yang sebenarnya. Akan tetapi, Barista adalah marga yang diturunkan dari keluarganya. Laki-laki itu, yang sejak tadi duduk di sofa krem di ruang tamu.
Seorang pemuda berusia dua puluh sembilan tahun yang berprofesi sebagai pengusaha di perusahaan yang bergerak di bidang Ekstraktif. Kecerdasan serta kerja nyata yang ia bangun, mampu mendongkrak pasar dunia. Itulah sebabnya, kedua orang tua Sita sangat yakin kalau Sita akan bahagia menikah dengannya.
"Sita udah biasa sendirian, Bun! Pokoknya, Sita cuma mau nikah, sama orang yang Sita cinta. TITIK!" Mendengar keinginannya yang sangat bersikukuh untuk menolak perjodohan ini. Rose menghela napas panjang lalu mendelik tajam ke arah Sita.
Tiba-tiba ... tercetuslah sebuah ide di otak Rose sambil tersenyum menyeringai.
"Baiklah, kalau kamu gak mau dijodohin sama Sulthan ... kamu harus ikutin dispensasi dari kami!" Rose berkata dengan lantang, seraya berdiri lalu bersilang dada.
"Bunda, ini soal jodoh loh! masa iya pakai acara dispensasi segala sih. Emangnya Sita lagi kerja apa?" ketus Sita dengan cibirannya. Akan tetapi, Rose justru tersenyum pongah.
Villa itu merupakan villa milik keluarga Ranggalih. Rencananya, kedua orang tua Sita akan melaksanakan acara pertunangan beberapa hari lagi di sana.
Selain acara tersebut, mereka pun memanfaatkan waktu libur ini untuk berkumpul bersama. Bukan hanya mereka bertiga, tapi juga dengan keluarga besar mereka yang lain.
Alasan Sita yang tidak ingin dijodohkan yaitu, karena merasa tidak percaya diri dengan wajah dan juga bentuk tubuh yang menurutnya jauh dari kata sempurna. Ia lebih memilih menutup diri sampai ada seseorang yang bisa menerima dia apa adanya, bukan ada apanya.
"Ya ... kalau kamu mau ikutin dispensasi yang Bunda ajuin ... kamu bisa menikah sama orang yang kamu cintai." Dengan percaya diri Rose mengatakan hal tersebut. Benar saja, Sita melebarkan pupil matanya seraya tersenyum.
"Yang bener Bun?" tanya Sita memastikan, Rose pun mengangguk.
"Bunda mau ngasih Sita kesempatan supaya bisa nikah sama lelaki yang Sita cintai?" Sita memastikannya lagi.
Rose mengangguk yakin sambil berkata, "Iya". Sementara Sita langsung turun dari tempat tidurnya lalu memeluk sang bunda sambil melompat-lompat kecil.
Cukup lama Sita terhanyut dalam kebahagiaan, kemudian ia pun melepaskan pelukannya yang cukup erat itu.
"Tapi Bun, emang apa dispensasi nya?"
...🌹🌹🌹Bersambung🌹🌹🌹...
Sita menatap lekat mata bundanya. Ia pun menelusuri manik mata itu dalam-dalam. Mencoba mencari tahu sendiri jawabannya di dalam sana.
Rose yang sangat paham tatapan Sita, hanya terdiam sambil bersilang dada. Tampak sebuah keseriusan yang ia tunjukkan kepada Sita.
"Kamu tetap harus menerima lamaran Sulthan! tapi ... dalam waktu satu bulan, kamu harus udah mencintainya!" Rose berkata sangat tegas. Sontak, kedua mata Sita pun terbelalak.
Sesaat kemudian, kedua alisnya mengernyit, napasnya pun seolah tertahan. Rose yang menyadari raut wajah Sita yang tampak menolak keras, sebisa mungkin bersikap dengan tenang.
"Tenang dulu dong ... " Rose memegang kedua pundak Sita, lalu dipapahnya untuk duduk di tepi tempat tidur. Kemudian berkata lagi, "Kalau dalam satu bulan kamu gak cinta sama dia, kamu bisa bilang sama Bunda atau Ayah, kalau kamu gak bisa melanjutkan pernikahan ini sama dia. Sampai sini paham?" Ia mengangkat sebelah alisnya. Menunggu jawaban dengan pandangan yang tidak beralih sedikit pun dari Sita.
Sementara Sita bersusah payah menelan salivanya. Sungguh ini keputusan yang sangat sulit untuknya. Bukan hanya berkata ia atau tidak, melainkan harus benar-benar dari hati. Sita menghela napas panjang—diam—itulah yang bisa ia lakukan saat ini.
Otaknya terus bekerja keras untuk terus membangun keyakinan atas dirinya sendiri. Sebab, Sita tidak ingin perjodohan ini justru akan menjadi boomerang untuk kehidupannya mendatang.
"Bunda ... tapi kan Sita sama dia baru ketemu cuma satu kali. Itupun udah lama banget. Kenapa bunda yakin banget kalau dia itu terbaik buat Sita?" tanya Sita yang sedang mencoba bernegosiasi dengan bundanya.
Memang, Sita dan Sulthan, dua orang yang pernah diperkenalkan saat pertemuan keluarga beberapa tahun silam. Akan tetapi, itulah pertemuan pertama mereka dan tidak ada lagi pertemuan selanjutnya.
Sebab, Sita yang sibuk dengan akademiknya begitupun dengan Sulthan yang sibuk dengan profesinya sebagai pengusaha muda. Kabar perjodohan itu pun sangat mengejutkan keduanya.
Beragam ketakutan seketika menghampiri Sita, terlebih profesi yang Sulthan geluti. Ia tidak begitu yakin dengan laki-laki itu.
"Bunda sama Ayah tuh yakin karena Sulthan termasuk laki-laki yang bertanggung jawab. Kamunya aja yang jarang bergaul sama orang, coba deh ... kamu lebih terbuka lagi sama orang-orang di sekitarmu. Coba percaya diri tampil di depan orang banyak. Biar pikiran negatif itu bisa berangsur hilang." Ucapan Rose bagai tamparan untuk Sita.
"Tapi, Bun .... " Sita menghela napasnya.
"Pokoknya Bunda sama Ayah udah lama sepakat buat jodohin kalian berdua. Gak pake nolak!" Rose tetap bersikeras dengan kesepakatannya dengan Jundi dan juga mendiang orang tua Sulthan terdahulu.
"Bunda ... gimana sama Sulthan sendiri, apa dia mau terima Sita jadi istrinya?" Sita meremang sambil berjalan, lalu berhenti di depan sebuah cermin yang besar. "Lihat deh! muka Sita aja biasa, apalagi ini badan. Gak banget! Penampilan Sita pun gak kayak pekerja kantoran yang sering dia lihat itu Bun. Pake rok span pendek sama kemeja yang ketat. Apalagi body-nya seksi banget!" Ia merendah seraya melihat sang bunda dari pantulan cermin.
"Huss! kok kamu jadi gibahin mereka sih! Di sini tuh tentang kamu sama Sulthan. Kalau pikiran kamu berbeda dari mereka, jawabannya tentu jelas kamu berbeda, Sita. Kenapa? karena kamu lebih istimewa dari mereka." Rose tersulut emosi. Kadang, ia pun sering bertanya-tanya tentang sikap Sita yang sangat tertutup dan tidak mau kehidupan pribadinya di sentuh sekalipun—membuatnya cemas dan gusar.
Bukan hanya Rose, tapi juga Jundi. Terkadang ada rasa bersalah yang selalu datang menghampiri mereka ketika mereka sedang sibuk dan tidak ada waktu dengan Sita, baik telepon, chatting, atau video call.
Sita dibuatnya benar-benar terdiam dan sulit berkata apapun lagi. Kedua tangannya *******-***** ujung kemeja kebesaran yang ia pakai.
"Sita, listen to me! Please ... lihat diri kamu dari sisi positif. Kamu cantik, pintar, anak kami yang sangat baik dan penurut. Kamu memiliki banyak kelebihan, dibanding mereka yang rata-rata hanya terlihat 'WAW' diluar nya aja." Rose mencoba membuat Sita tidak merasa insecure lagi.
Memang, waktu bersama dengan anaknya hampir dibilang tidak ada. Jadi, karena kurangnya dukungan kedua orang tuanya sejak kecil, membuat Sita selalu merasa minder.
Padahal, Sita termasuk perempuan yang cerdas dan juga mandiri. Kendati demikian dibalik semua itu, ada sikap dingin yang selalu ia tunjukkan kepada orang-orang di sekelilingnya.
Sita lebih banyak memakai otaknya saat mengamati dan berpendapat tentang apapun itu. Namun sayangnya, dia sama sekali belum pernah merasa jatuh cinta kepada seorang laki-laki.
Perlahan, ada secercah semangat dari dalam diri Sita setelah bundanya memberinya 'tamparan' serta mengajak dirinya keluar dari ketertutupannya selama ini.
Sita menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya ia berbicara. "Baiklah, aku akan menerima dispensasi dari Bunda."
Seketika senyum pun terbit dari kedua sudut bibir Rose—sedikit ada rasa lega di dalam hatinya.
"Yuk, ikut Bunda ke depan. Kalian bisa saling mengenal satu sama lain lebih dulu." Rose bangkit dari duduknya. Begitupun dengan Sita.
"Tapi sebelum itu ... kamu ganti baju, terus keluar kamar. Pake yang udah Bunda siapin di dalam lemari ya ...." Rose berkata kembali sembari melangkahkan kakinya keluar dar kamar Sita lalu menutup pintunya kembali.
"Ih Bunda! kenapa keluar duluan? Menyebalkan!" protes Sita seraya mendengkus kesal.
Kemudian ia mengernyit saat ingat perihal pakaian yang sudah disiapkan oleh bundanya. Padahal sebenarnya, Sita sendiri membawa pakaian dari Jakarta dan masih tersimpan rapi di dalam kopernya.
Dengan rasa penasaran, ia segera membuka lemari yang ada di kamarnya itu. Matanya seketika terbelalak setelah melihat pakaian yang mengisi lemarinya.
...🌹🌹🌹Bersambung🌹🌹🌹...
Bukan aku tak sudi untuk mencintai, tapi hati masih enggan menyambut hadirnya cinta, selain cinta dari kedua orang yang telah kucintai sebelum diriku hadir di dunia ini.
*****
Barisan berbagai macam dress serta setelan outfit on the day masa kini ada di dalam lemari itu terpampang nyata di hadapan Sita. Ia pun membuka pupil matanya lebar-lebar. Tatapan tidak percaya kalau Rose yang telah menyiapkan semua ini.
"Ini seriusan Bunda yang siapin semuanya?" Monolog Sita dengan ekor mata yang meraba dari ujung ke ujung lemarinya.
Cukup lama ia berdiri di depan lemari, lalu pilihannya tertuju pada setelan outfit perpaduan warna peach dan abu-abu. Lalu ia kaitkan ke hanger yang ada di walk in closet, kemudian pergi ke kamar mandi.
****
Di ruang tamu, Sulthan dan Jundi sedang berbincang dan tampak seru. Rose menghampiri mereka.
"Ayah, Sulthan, sebentar lagi makan malam. Yuk kita ke ruang makan!" Rose mengingatkan lalu mengajak mereka.
"Iya, Bunda ... " Jundi tersenyum menatap istrinya lalu mengalihkan pandangannya ke Sulthan. "Ayok Sulthan!" ajaknya lalu mereka pun berdiri kemudian pergi ke ruang makan bersama.
*****
Di kamar Sita, ia telah selesai mandi dan juga memakai pakaiannya, lalu berjalan keluar dari kamarnya, menuju ruang tamu.
Kemana perginya tamu tadi?
Ia pun kemudian membalikkan tubuhnya, dan ....
Haaaaa!
Sita memejamkan kedua matanya.
Asem!
Tidak hanya itu, ia pun sampai terlonjak kaget melihat Sulthan yang telah berada di depannya. Mata keduanya saling terkunci.
Sita merasa, darahnya berdesir, detak jantung yang berpacu cepat, serta napas yang tidak beraturan karena sempat dikagetkan oleh Sulthan.
"Sejak kapan kamu berdiri di sini?" Sita berusaha menutupi rasa gugupnya. Sulthan berdesis sembari berjalan ke teras.
"Ternyata, perempuan sepertimu bisa kelihatan menarik juga ya," sindir Sulthan membuat Sita mendelik tajam.
Apa maksudnya dia ngomong kayak gitu? bukannya menjawab pertanyaanku, malah mengalihkannya. Sungguh menyebalkan!
Sita mendengkus kesal kemudian.
"Yuk, kita pergi sekarang!" ajak Sulthan tanpa melihat Sita. Pandangannya masih lurus ke depan dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana.
"Udah, sana jalan-jalan. Mumpung cuacanya lagi bagus loh malam ini." Sita terkejut saat Rose menepuk pundaknya dari arah belakang.
"Iya, Bun." Sita pun pasrah lalu menyusul Sulthan ke teras.
"Kami berangkat ya Pak, Bu." Sulthan pamit dengan wajah ramahnya kepada Rose dan juga Jundi.
Tetapi, Sita merasa aneh melihat raut wajahnya yang seketika bisa berubah ramah seperti itu. Berbeda saat berbicara dengannya tadi.
Sulthan masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi, sedangkan Sita duduk di sampingnya. Kaca mobil sengaja Sulthan buka untuk melambaikan tangannya di udara kepada kedua orang tua Sita, ia pun menyalakan klakson kemudian.
"Bye, Yah, Bun." Sita melakukan hal yang sama seperti Sulthan.
Wajah yang berseri dan lambaian tangan yang masih di udara pun mengiri kepergian anak mereka dari halaman villa itu.
*****
Di dalam mobil, Sita masih terdiam, begitupun dengan Sulthan.
Duh kenapa deg-degan banget sih! Ya Tuhan berasa lagi uji adrenalin aja ini.
Sita bermonolog dalam hatinya. Deheman Sulthan membuatnya terkesiap.
"Sita, umur kamu sekarang berapa?"
Aduh! kenapa aku tanya yang jawabannya udah aku tau sih! Sul mikir Sul! gugup apa ya aku? Batin Sulthan bermonolog.
"Dua dua." Sita menjawab singkat, dengan pandangan yang masih menatap lurus ke depan.
"Dua dua sayang Ibu?" sahut Sulthan kemudian. Niatnya hanya ingin mencairkan suasana, tapi malah menjadi datar.
Sita hanya tersenyum jenaka, sedangkan Sulthan hanya bersikap biasa saja.
Dikira aku anak kecil kali ya!
"Sorry ... garing ya?" tanya Sulthan menoleh sekilas ke Sita yang menganggukkan kepala.
Ini orang aneh! tadi pas ngagetin sok stay cool. Sekarang sok ngelawak. Salah makan kayaknya deh. Ya Tuhan kenapa harus di jodohin sama orang macam gini sih? batin Sita menjerit.
"Kamu lapar gak? atau lagi mau makan apa gitu? jujur nih, aku juga gak tau mau ngajak kamu kemana. Aku cuma ingin ngobrol aja sih dan ikutin apa yang dimau oleh kedua orang tuamu," papar Sulthan membuat Sita terperangah.
Apa? dia ngajakin aku tapi dia sendiri juga gak tau mau kemana? asem!
"Kenapa kamu mau melanjutkan perjodohan ini, Sulthan?" tanya Sita tiba-tiba, mengalihkan pertanyaan yang tadi Sulthan lontarkan.
Sulthan langsung terdiam. Bukan ia tidak tahu alasan sebenarnya, tapi ada satu hal lain yang akan dia bicarakan juga dengan Sita.
"Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan jawab pertanyaanmu." Sulthan menegaskan kata-katanya, membuat detak jantung Sita seketika terhenti sejenak.
Galak juga ini orang, jadi takut.
"Kita ke mall aja!" ujar Sita dengan raut wajahnya yang datar. "Sekarang giliranmu," sambungnya tanpa menoleh ke arah Sulthan.
"Sita ... "
...🌹🌹🌹Bersambung🌹🌹🌹...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!