Bagian 1
Hallo Novi Wu hadir kembali....
jangan lupa tekan ❤ untuk notif jika novel ini update. Tinggalkan jejak like dan komen yang bisa membuat aku tenang, nyaman, dan semangat.
kalian bisa follow Instagram aku @Novi_wu01
Selamat membaca, semoga suka 🤗
Pyar ....
Suara gelas pecah selalu mewarnai pagi hari rumah Nesa dan Alan. Memecahkan barang atau melempar apapun ke tembok adalah hal lumrah untuk pria dua puluh delapan tahun itu, ketika ia tidak puas dengan kinerja sang istri di dapur.
"Kamu bisa buat teh nggak, sih?!" seru Alan membentak sang istri, yang sedang mengais pecahan gelas di bawah kakinya. "Teh rasanya pahit, nggak ada manis sama sekali!" imbuhnya lagi dengan sorot mata luar biasa tajam, menatap istrinya yang menunduk menahan air mata.
Beruntung Ribi gadis kecil berusia lima tahun sudah berangkat ke sekolah sejak jam tujuh pagi tadi, hingga tak perlu repot-repot melihat perangai buruk ayahnya yang suka berteriak dan membentak pada ibunya.
Alan memang tidak pernah memukul Nesa jika dirinya marah, tapi Alan akan menyalurkan kemurkaannya kepada barang-barang di rumahnya dengan cara membanting apapun yang ada di dekatnya, bahkan kata-kata tidak enak di dengar selalu menjadi santapan Beda setiap hari, wanita dua puluh enam tahun yang sudah enam tahun Alan nikahi itu hanya diam, dan tidak membalas perkataan suaminya, karena jika ia membalas maka akan berakibat fatal pada dirinya. Pernah suatu ketika Alan sengaja melempar gelas pada Nesa hanya karena lipatan bajunya tidak simetris. Meskipun tidak sampai terkena gelas tersebut, hal itu tentu saja membuatnya tersentak dan kaget dan berhasil membuat air matanya tumpah lagi dan lagi.
Sebenarnya perangai buruk Alan sudah tercium sejak mereka masih berpacaran, namun karena pria itu membuat Nesa mabuk kepayang, hingga wanita itu mengindahkan hal itu. Pernah suatu ketika saat Nesa mendapat pesan singkat dari teman semasa Sekolah Menengah Atas, karena cemburu dan begitu posesif pria itu membanting ponsel Nesa dan membuangnya begitu saja. Saat itu hanya dianggap hal biasa untuk Nesa yang sedang dimabuk asmara oleh Alan yang memang terkenal tampan di kampusnya saat itu. Tapi Nesa tidak menyangka, perilaku itu akan terbawa hingga mereka menjalani mahligai rumah tangga dengan pria itu.
"Buatin yang baru!" perintahnya, sembari menyendok sarapannya.
Nesa berdiri, dan kembali menuju dapur untuk membuatkan teh yang baru, air matanya sudah hampir merembes keluar dari celah matanya, namun cepat-cepat ia bersihkan karena takut—dilihat oleh Alan yang memang tidak suka dengan sikap cengeng dari istrinya. Rumah tangga mereka sangat hambar, Alan selalu melarang istrinya pergi jika tanpa dirinya, karena ia takut jika sang istri berselingkuh dengan pria lain saat tidak bersama dengannya. Bahkan untuk ke rumah orang tua Nesa, bisa dihitung dengan jari berapa banyak Nesa berkunjung, padahal Ribi adalah cucu pertama mereka, yang membuat mereka selalu rindu—tapi seperti manusia yang tidak berprikemanusiaan, Alan menjauhkan seorang cucu dengan kakek dan neneknya.
Setelah selesai, Nesa memberikan teh buatannya kepada Alan, ia bisa bernapas lega tatkala Alan menyesap teh itu, tanpa membuang gelasnya lagi, berarti rasanya sudah pas. Ia berdiri di depan meja makan menyaksikan sarapan pagi suaminya dengan tatapan kosong. Mata Alan melirik ke arah Nesa yang memasang wajah muram.
"Kamu kenapa? Duduk dan makan!" celetuknya santai seolah tanpa dosa.
Nesa menyeret kursi dan duduk di sebelah sang suami, perlahan ia mengambil nasi, sayur, dan lauk sedikit.
"Kenapa makanmu sedikit? Diet?" tanyanya menatap makanan istrinya. "Badan kurus kering gitu, sok-sokan diet!" cibirnya dengan nada merendahkan.
Nesa hanya terdiam enggan memberi komentar atas perkataan sang suami, ia hanya berpikir semoga Alan cepat-cepat berangkat ke kantor, setidaknya saat Alan kerja ia bisa sedikit bernapas lega.
Alan memang terkenal loyal dengan teman-temannya, terlebih dengan teman satu komunitasnya, motor gede yang selalu ia banggakan. Ia bisa pergi touring ke seluruh penjuru kota bersama dengan tim komunitasnya, tapi
untuk meluangkan waktu pergi dengan keluarga kecilnya, ia selalu bilang tidak ada uang. Ya ... begitulah sifat dasar dari Alan. Ia akan menghamburkan uangnya hanya untuk spearpart motornya, ketimbang membahagiakan istrinya. Nesa juga enggan memprotes, karena jika dia bicara akan sia-sia saja.
Slow update, yah.
Terima kasih,
Novi Wu.
Bagian 2
"Aku berangkat kerja!" seru Alan mengulurkan tangan pada sang istri dan di sambut dengan kecupan lembut di punggung tangannya oleh Nesa yang sudah menjadi kebiasaannya saat Alan pergi kemanapun. Tak ada kecupan atau pelukan hangat dari suaminya itu. Nesa juga menjadi pribadi yang dingin saat bersama dengan Alan, padahal dulu Nesa adalah pribadi yang sangat ceria dan hangat.
"Kamu jangan keluyuran! Habis jemput Ribi, langsung pulang ke rumah!" perintahnya tanpa basa-basi, kemudian mengenakan helm hitam dof yang dibawa oleh Nesa tadi.
"Iya." Nesa hanya menyaut singkat, sembari tangannya menempel pada pintu gerbang hitam yang menyekat rumahnya dengan dunia luar. Saat Alan sudah tancap gas dan pergi ke kantor, barulah ia bisa menarik napas lega, dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Seolah sejak tadi ia tercekik oleh sesuatu yang berat membuat dadanya sesak, saat Alan ada di rumah.
Nesa masuk ke dalam rumah, menatap seluruh isinya dengan tatapan sayu dan sedih. Rumah yang diimpikannya memang terwujud namun tidak pernah hangat ia rasakan, yang ada hanya tertekan—dan tertekan. Dulu ia amat mencintai Alan, lelaki yang selalu membuatnya senang dan mabuk kepayang. Tapi nyatanya kini beda, cinta itu terkikis dengan tingkah Alan yang memperlakukannya dengan buruk. Ingin rasanya ia berpisah, tapi ia takut jika akan menambah beban kedua orang tuanya dan bagaimana bisa ia menjauhkan Ribi pada ayahnya.
Ia mengambil cucian kotor di dalam kamarnya, untuk ia masukkan ke mesin cuci. Saat ia merogoh salah satu celana jeans yang di pakai Alan semalam, ia menemukan sebuah struk sebuah hotel bintang tiga yang terdapat di kotanya, dengan harga lima ratus ribu permalam. Nesa menyerngitkan dahi saat membaca isi struk itu. Tapi ia benar-benar tidak memiliki pikiran macam-macam pada Alan, lalu membuang kertas itu begitu saja di tempat sampah.
Hingga pukul sepuluh tiba, saatnya ia menjemput Ribi, putri kecilnya buah pernikahannya dengan Alan yang berusia enam tahun. Kini anak itu telah bersekolah di Taman Kanak-Kanak tak jauh dari rumah mereka. Semua pekerjaan sudah beres, ia langsung pergi menuju sekolah Ribi dengan motor matic yang beberapa tahun lalu dibelikan oleh Alan untuknya sebagai sarana Nesa pergi ke mini market atau ke pasar dekat rumah.
Tidak lama ia telah sampai di sekolah putrinya, Ribi sudah keluar sejak tadi. Gadis cantik itu merengek pada sang ibu dengan suara khas anak kecil.
"Ibu, lama banget. Ribi udah nunggu lama," celotehnya, manja.
"Iyaa, maaf, ya. Ibu cuci baju dulu tadi," jawab Nesa mengelus rambut anaknya.
Ribi mengangguk pelan, lalu berkata lagi, " Ibu Ribi mau jajan! Di minimarket deket rumah Ridwan."
"Jajan apa, Nak?" tanyanya.
"Susu, permen, sama jelly," sahut Ribi, menggemaskan.
"Ayo! Ibu antar!"
Beruntung tiap bulan, ayah Nesa masih memberi uang pada anaknya lewat transfer bank, jika hanya mengandalkan jatah mingguan dari Alan, tidak akan pernah cukup untuk Nesa dan Ribi. Untuk jajan dan kebutuhan dapur saja kurang. Sebenarnya Nesa ingin berkerja, memanfaatkan ijasah S1 ilmu komunikasi yang ia raih dulu, tapi sayang. Alan tidak pernah merestui keinginannya.
Sesampainya di minimarket, benar saja. Ribi anak yang baik, ia hanya mengambil susu kotak, permen, dan jelly sesuai perkataannya.
"Ini nanti dimakan, enggak?" tanya Nesa lembut.
Ribi mengangguk tersenyum, memperlihatkan gigi-gigi mungilnya.
"Janji—"
"Iya, Bu. Ribi Janji," jawabnya berlari ke arah kasir. Hanya Ribi yang menjadi penyemangat hidupnya, hanya karenanya ia mampu bertahan berdiri di atas duri yang tajam ini.
•
•
•
Bersambung
Bagian 3
Selesai sudah Ribi berbelanja jajanan yang ia suka, dengan lucu dan polosnya ia berlari hingga tidak tahu ada batu cukup besar menghalangi langkahnya dan membuatnya terpelanting dan jatuh, lutut gadis kecil itu lecet dan mengeluarkan darah, karena perih Ribi menangis luar biasa kencang membuat Nesa kebingungan. Ia menggendong sang putri dan menyambar platik putih berisi jajanan yang tadi Ribi beli.
"Ibu obati di rumah ya, Nak. Ribi diem, cup ... cup ...." ucapnya menenangkan sang putri. Ia cepat-cepat menaruh putrinya di belakang, lalu menyalakan motor agar segera sampai ke rumah.
Sesampainya di rumah, benar saja. Ribi masih tetap menangis dengan kencang karena luka yang ia rasakan di lututnya. Nesa menggendong sang putri untuk masuk ke dalam rumah. Dan meletakkan tubuh mungil itu di kursi tamu, ia berlari ke dalam kamar guna mengambil kotak P3K. Dengan cepat Nesa mengobati luka putrinya agar ia tenang dan tidak menangis lagi. Setelah Ribi lelah dengan tangisannya gadis kecil dengan rambut di kepang dua itu tampak terlelap tidur dengan—masih memakai seragam. Kini Nesa membopong tubuh kecil itu yang hanya seberat lima belas kilogram masuk ke dalam kamarnya dan membiarkannya istirahat.
Tiba-tiba ponselnya berdering mengagetkan Nesa yang masih sedikit panik. Nama suaminya terpampang jelas di layar ponsel Nesa, cepat-cepat ia menggeser layar ponselnya dan menjawab panggilan itu.
"Halo ...."
"Lama banget sih, angkatnya? Kamu ngapain aja?!" ujar Alan dengan mendengus kesal.
"A–aku lagi ngurus Ribi, Mas. Barusan dia jatuh," jelas Nesa terbata.
"Jatuh? Kok bisa?! Mata kamu kemana? Jaga anak satu aja nggak becus kamu!" ucap Alan setengah membentak.
"Maaf, Mas."
"Jangan minta maaf ke aku! Minta maaf ke Ribi sana!" Alan menutup panggilannya.
Seketika Nesa bersandar di dinding, saat mendengar kata-kata Alan yang memang tidak pernah lembut kepadanya.Ia bisa lima sampai sepuluh kali telepon dalam sehari hanya untuk memastikan apakah Nesa berada di rumah atau tidak. Batin Nesa memang tersiksa, tapi ia mencoba kuat saat ia menatap kembali anaknya yang masih butuh sosok seorang ayah.
***
Sore harinya saat Alan pulang dari kantor, mendengar deru suara motor ayahnya. Ribi langsung berhambur keluar dan langsung meminta gendong kepada ayahnya.
"Ayah ...."
Alan menangkap tubuh putrinya dan langsung membopongnya.
"Ah ... putri Ana sudah besar, berat nih," keluhnya pada putri semata wayangnya.
"Loh ... kok Ana! Ribi tu Ratu Elsa!" hardik Ribi dengan mulut manyunnya.
"Loh ... udah ganti lagi, ya?" tanya Alan lembut, lalu mengecup pipi sang putri, dan menurunkannya. Ia menyerahkan tas yang ia bawa kepada sang istri.
"Nanti aku mau pergi main ke rumah teman!" pungkasnya, tanpa menatap istrinya yang sedang mencium tangannya.
Nesa hanya terdiam dan memeluk tas hitam milik Alan, kemudian masuk untuk membuatkan kopi. Kali ini ia harus hati-hati karena takut jika lemparan gelas yang seperti tadi pagi Alan lakukan akan dilihat oleh Ribi.
Alan langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, dan meninggalkan begitu saja ponselnya di atas meja makan.
Saat Alan sedang mandi, ponselnya menyala. Ia sekilas melihat pesan dari teman Alan yang bernama Hendra, ia juga teman sekantor suaminya dan sesama anggota club motor gede. Jadi Nesa pikir mungkin mereka akan kumpul untuk membicarakan tentang touring. Tapi ada yang aneh dengan isi pesan.
(Lan, aku tunggu di hotel Indah Alam, ya)
Nesa sedikit mengerutkan kening, kenapa pertemuannya di hotel? Biasanya di basecame mereka. Tapi Nesa belum berpikir macam-macam. Ia tetap positiv thinking. Tiba-tiba Alan keluar, membuat Nesa hampir terjingkat kaget, lelaki itu menyambar ponselnya dan menatap melotot ke arah istrinya.
"Kenapa kamu lihat-lihat?!" tanyanya dengan nada ketus.
Nesa hanya menggelengkan kepala, lalu menyajikan kopi yang ia buat tadi untuk suaminya. Saat Alan menyeruput kopi hitam itu, tiba-tiba ia berdesis pelan, "Kopi apa ini? Lebih enak buatan warung dari pada buatan tanganmu yang nggak becus itu!" Alan meletakkan kopi itu dengan begitu kasar. Membuat kedua kaki Nesa lemas, ketika ia dibandingkan dengan mbak-mbak penjual kopi warung.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!