NovelToon NovelToon

Let Me Love You

Gadis yang Malang

Hai teman-teman, jumpa lagi kita😍

Sebelumnya aku mau menyapa teman-teman semua, terima kasih yang sudah favorit. Semoga suka dengan ceritanya ya.

Novel ini adalah sequel dari Istri Kesayangan Tuan Muda, jadi novel ini berkisah tentang anak Damian dan Sarah.

Saran bisa baca kisah orang tua Zac dulu sebelum baca novel ini, tapi kalau teman-teman langsung baca novel ini juga nggak dilarang kok. hehe

Happy Reading

...💖💖💖💖💖...

“Kenapa semua jadi seperti ini? APA SALAHKU, SAMPE KAMU TEGA GINIIN AKU, HAN?!!”

Sena tampak berdiri di lantai gedung tertinggi di tempatnya bekerja. Dengan mengerahkan sekuat tenaga, Ia berteriak sekencang-kencangnya untuk melampiaskan rasa sakit hati yang Ia rasakan.

“KAMU TEGA, HAN ... TEGA!!!” teriaknya sekali lagi dengan napas terengah-engah. Air matanya perlahan mulai mengalir dari kedua sudut matanya.

Sakit ... Sakit sekali! Itulah yang kini tengah Ia rasakan, menangkap basah orang yang begitu Ia cintai sedang bermesraan dengan temannya sendiri. Sungguh Ironi!

Benar kata pepatah, ternyata lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Jika sakit gigi masih bisa diobati, tapi sakit hati rasanya sulit ... Sangat sulit. Apalagi Ia begitu mencintai Hansa yang sudah bersamanya selama tiga tahun terakhir, rasanya sangat sulit menerima pengkhianatan ini.

Sementara di lain tempat, Arzachel yang baru saja selesai meeting rutin dengan tim eksekutif berjalan ke ruangannya. Ia memilih duduk di kursi kebesarannya, menanda tangani beberapa lembar dokumen yang diserahkan oleh Rama. Dering telepon di ponselnya, membuat perhatiannya teralihkan.

“Aku angkat telepon dulu,” ucapnya pada sang asisten pribadinya.

“Baik, Tuan!” Rama mengangguk seraya mundur beberapa langkah. Memberinya jarak untuk privasinya.

“Ada apa, Nay?” Zac memutar kursi hidroliknya mengarah ke kaca besar di belakang meja kerjanya. Kedua matanya disuguhkan dengan view gedung bertingkat yang berada di sekitar kantornya.

Fokusnya langsung mengarah pada seseorang yang sedang berdiri di tepi gedung. Ia harus memicingkan mata agar bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan orang tersebut. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Ia mengambil teropong binokularnya dan kembali fokus melihat apa yang sedang terjadi. Mengabaikan panggilan adiknya. “Nay, sebentar. Ada sesuatu yang harus segera aku selesaikan. Nanti aku telepon balik!”

Arzachel mengakhiri panggilan adik satu-satunya demi melihat pemandangan janggal di balik teropong binokularnya. Membuat Rama yang masih menjaga jarak dengannya harus maju beberapa langkah untuk ikut mengamati apa yang dilihat tuannya.

“Apa ada sesuatu yang mencurigakan, Tuan?” tanya Rama seraya mengamati pemandangan di hadapannya. Seperti halnya Zac, perhatian Rama juga langsung terpusat pada seseorang yang berada di tepi gedung yang jika dilihat dari tempatnya berdiri seperti seorang yang akan melakukan bunuh diri.

Arzachel tak menjawab pertanyaan Rama, ia sibuk mengamati seorang gadis yang terlihat menangis sambil berteriak di balik binokularnya. “Ram, kita harus bergegas kesana, menyelamatkannya. Ada seorang gadis yang akan melakukan bunuh diri!” ia bangkit dan meletakkan teropongnya lalu berjalan keluar diikuti Rama yang setuju dengan tindakannya.

“Baik, Tuan!”

🍁🍁🍁

Kedua pria yang merupakan atasan dan asisten itu, kini sudah berdiri di atap gedung yang sama dengan Sena. Bukan hanya kedua pria itu saja melainkan ada tiga orang petugas keamanan yang menjadi saksi jika terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan.

Sena tampak bingung dengan situasi yang terjadi, ia mengusap kasar air matanya dan melihat ke arah Zac dengan wajah kebingungan. “Ka-kalian ma-mau ngapain?” tanyanya gugup demi melihat kelima pria yang saat ini berdiri menatapnya dengan pandangan khawatir.

“Nona, tolong pikirkan baik-baik. Apapun masalah anda, bunuh diri bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Malah akan menambah masalah baru untuk keluarga anda.” Zac mencoba bernegosiasi dengan dirinya.

Kedua matanya membulat mendengar kalimat pria di hadapannya. What? Bunuh diri?! Cobaan apa lagi ini? Lagipula siapa pria ini? Dari divisi mana? Kenapa Ia tidak pernah melihatnya? Dari penampilannya sih, bukan seperti karyawan biasa. Sangat tampan dan berwibawa, apa pria ini manager barunya? Sena malah sibuk dengan segala macam pertanyaan yang muncul dalam benaknya.

“Semua masalah akan ada jalan keluarnya, aku mohon jangan gegabah, Nona!” Zac mengulurkan tangan, berniat untuk membantu dirinya yang diduga akan melakukan bunuh diri. Very Funny!

“Kalian salah sangka, aku tidak melakukan percobaan bunuh diri. Aku hanya— ....” Sena menggantung kalimatnya. Ia tidak mungkin menjabarkan apa yang sedang Ia alami saat ini.

Patah hati, dikhianati, merana, tidak punya semangat hidup. Tunggu kenapa kata terakhirnya begitu, seolah membenarkan bahwa Ia memang akan melakukan percobaan bunuh diri. Ia menggeleng cepat, mengusir pikirannya yang semakin ngelantur dan tak terarah.

“Apapun yang sedang anda alami, satu hal yang perlu anda ingat. Anda tidak sendirian di dunia ini! Ada keluarga anda, orang yang mencintai dan menyayangi anda dengan tulus, sahabat dan juga teman anda. Mereka pasti akan selalu ada untuk anda, Nona!”

Orang yang mencintai?! Sahabat?! Teman?! Justru aku menderita karena mereka! gerutunya dalam hati.

Zac maju satu langkah demi melihatnya yang seperti orang kebingungan. “Nona!” Pria berhidung mancung itu kembali menawarkan tangannya untuk Ia raih. Tapi kenapa Ia merasa de javu, bayangan Hansa pada saat adegan yang sama. Bedanya Hansa mengulurkan tangan dan mengajaknya keliling pantai, satu bulan yang lalu. Sedangkan pria di hadapannya berusaha untuk menolongnya dari keterpurukan karena ulah pria yang amat Ia cintai.

Ia menggelengkan kepala dengan langkah mundur, bayangan Hansa semakin memenuhi isi kepalanya. “Kamu jahat, Han. Kamu jahat,” teriaknya. Ia tak sadar dengan apa yang baru saja Ia alami. Halusinasi tentang sosok Hansa yang berdiri di hadapannya membuat akal sehatnya tak berjalan dengan semestinya.

Zac berlari maju ke arah Sena karena jika sampai gadis itu mundur beberapa langkah lagi, Ia akan sampai di tepi gedung dan itu sangat membahayakan nyawanya. Rama dan ketiga petugas keamanan tampak memasang badan di belakangnya, bersiap siaga jika terjadi sesuatu yang buruk dengan mereka berdua.

Bruuugg!!!

Ia jatuh tepat di atas tubuh pria berjas yang berusaha menyelamatkannya. Matanya membulat dengan kedua pipi bersemu saat Ia menyadari tindakan afektifnya sudah membuat orang lain cemas. Namun, bukannya berterima kasih. Ia malah mengekspresikan kekesalannya.

“Apa yang anda lakukan?!” Ia buru-buru melepaskan tubuhnya dari rengkuhan Zac dan bangun dengan wajah memberengut kesal.

“Maaf! Anda baik-baik saja, 'kan?” tanya Zac dengan mencoba berdiri dan mengibaskan lengannya yang kotor.

Ia mengernyit heran melihat sikap pria di hadapannya. “Maaf? Tapi anda tak perlu minta maaf, aku yang salah. Maaf membuat kalian semua mencemaskanku!” ia membungkukkan badan lalu bergegas pergi dari hadapan Zac.

Perasaannya yang masih kacau ditambah kehadiran pria yang mencoba menyelamatkannya meskipun itu sebuah kesalah pahaman membuatnya merasa menjadi gadis yang paling merana di muka bumi ini.

Zac masih bergeming dengan terus menyaksikan kepergian Sena. “Gadis yang malang,” gumamnya seraya menghela napas panjang.

Pria Arogan

“Sena, ayo bangun! Sudah pukul enam, ibu tahu kamu sedang halangan. Tapi pamali anak gadis bangun siang, sayang!” teriak Ibunya dengan mengetuk pelan pintu kamarnya. Namun hal itu, tak juga membuat Sena beranjak dari tempat tidurnya.

“Iya, Bu. Sena sudah bangun, kok!” balasnya dengan mengucek kedua matanya yang masih sembab akibat menangis semalaman.

“Cepat mandi, terus bantu ibu mengantar nasi uduk ke rumah Bu Indah, ya.”

“Iya, Bu!”

Sena duduk dengan bersandar di tepi ranjang, Ia mengecek ponselnya yang menampilkan 34 pesan singkat yang dikirim secara berurutan oleh mantan kekasihnya. Ia mengembus napas kasar dengan wajah lelah.

“Semua sudah berakhir, aku tahu ini sangat sulit. Tapi aku yakin aku pasti bisa,” gumamnya dengan memejamkan mata, memberi semangat pada diri sendiri meskipun bayangan Hansa masih terus melekat pada ingatannya. Sungguh sangat menyiksa.

🍁🍁🍁

Suara dering ponsel terdengar bertalu-talu, Sena yang baru saja selesai mandi dan berganti baju harus setengah berlari untuk mengetahui siapa sang penelepon. Nomor tidak dikenal, awalnya Sena ingin tak mengindahkannya. Namun, entah kenapa ia berubah pikiran dan kini sudah menerima panggilan telepon tersebut.

“Halo.”

“Halo, Sena!”

“Iya, ini siapa?”

“Sena, ini Hansa. Kenapa pesanku dari kemarin kamu abaikan? Apa ada sesuatu? Kamu baik-baik saja, 'kan?”

Suara yang begitu ia hafal terdengar kembali di telinganya. Ingatan tentang perselingkuhan yang dilakukan Hansa dengan Mei yang ia pergoki kemarin masih menyisakan nyeri di hatinya.

Sena terburu-buru menutup teleponnya lalu menatap saksama ponselnya dengan mata berkaca-kaca.

“Aku baik-baik saja, mulai saat ini kita putus!” ia mengetik dengan cepat lalu mengirimkan kepada mantan kekasihnya.

“Sena!” seruan ibunya seketika membuatnya tersadar, ia segera mengusap wajahnya lalu menyimpan ponselnya di dalam tote bagnya.

“Iya, Bu!” gadis dua puluh empat tahun itu beranjak dari tempat tidur dan buru-buru keluar, sebelum ibunya kembali menyerukan namanya untuk yang ketiga kali.

🍁🍁🍁

Dengan menggunakan motor matic kesayangannya, hasil dari menabung selama Ia bekerja di tempat bekerja saat ini. Sena mengantarkan nasi uduk ke rumah Bu Indah, langganan ibunya sejak pertama ibunya membuka usaha warung nasi uduk.

“Assalamu'alaikum,” ucap Sena ketika sampai di rumah mewah dengan pagar hitam setinggi tiga meter.

“Wa'alaikumsalam warrahmatulahi wabarrakatuh,” jawab seseorang dari dalam, dan tak lama gerbang tinggi itu terbuka. Mang Udin yang merupakan tukang kebun Bu Indah tampak tersenyum menyambutnya.

“Eh, Neng Sena, masuk Neng!” perintah Mang Udin seraya membantunya menurunkan dua kardus besar nasi uduk dari atas motornya.

“Makasih, Mang. Nggak apa-apa, Mang. Biar saya saja yang bawa,” tolaknya yang merasa tak enak karena Mang Udin seringkali membantunya setiap Ia mengirim nasi uduk ke rumah majikannya.

“Tidak apa-apa atuh, Neng. Sok mangga, masuk dulu, Neng.”

“Nggak usah, Mang. Sena tunggu di sini saja, bisa dipanggilkan Bu Indahnya 'kan, Mang?!”

“Kenapa atuh, Neng. Sok masuk aja, Nggak apa-apa!”

“Nggak usah, Mang. Saya tunggu sini aja,” tolaknya.

Memang setiap Ia mengantarkan nasi uduk ke rumah Bu Indah. Ia selalu menolak untuk diajak masuk ke dalam rumah mewah tersebut. Alasannya, Ia merasa sungkan.

“Si Eneng mah selalu begitu, ya sudah tunggu di sini sebentar ya. Saya antar nasi uduknya ke dalam dulu.”

“O iya, Mang. Terima kasih banyak!” ucapnya seraya menganggukkan kepala.

“Eleuh-eleuh, jangan sungkan atuh Neng, santuy saja. Begitu mah kata anak muda zaman now,” seloroh Mang Udin dengan logat khas sunda yang membuatnya tertawa.

“Bisa aja si Mamang.”

“Ya sudah, Saya masuk dulu ya, Neng!”

Sena mengangguk seraya mengulas senyum kepada Mang Udin. Gadis yang saat ini menguncir rambutnya rapi ke belakang itu tampak melihat ke sekitar taman.

Saat ia tengah mengamati bunga-bunga indah di taman tersebut, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang berbunyi begitu kencang hingga membuatnya terjingkat. Ia segera mengalihkan perhatian pada mobil sedan berwarna hitam yang terhalang oleh sepeda motor miliknya.

“Motor siapa sih ini? Ganggu jalan aja!” maki seorang pria yang baru saja keluar dari mobil.

Sena yang tersadar jika motornya menghalangi mobil tersebut setengah berlari dan memindahkan motornya.

“Lain kali kalau parkir itu yang bener! Nyusahin orang aja!” sungut pria itu seraya masuk kembali ke dalam mobilnya.

“Maaf, Mas!” ucap Sena sambil menunduk sesaat setelah berhasil memindahkan motornya. Namun, pria arogan itu seolah tak menghiraukan ucapan Sena.

“Dasar! Mentang-mentang kaya aja, jadi belagu!” gerutunya dengan memasang wajah kesal.

Sena akhirnya memilih menunggu di depan pintu gerbang, ia beberapa kali melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir sepuluh menit, tapi Mang Udin tak kunjung keluar. Hingga di menit ke lima belas tampak Bu Indah dan Mang Udin berjalan beriringan. Ia segera mengulas senyum dan menunduk sebagai salam.

“Sena, kamu kenapa nunggu di situ? Ayo masuk?” ajak Bu Indah seraya melambaikan tangan sebagai isyarat untuk mengajaknya masuk.

Sena yang tidak enak menolak ajakan Bu Indah, akhirnya hanya bisa mengangguk seraya berjalan mendekat ke arah wanita itu.

Gadis Itu!

“Maaf ya tadi buat kamu nunggu lama,” ucap Bu Indah saat mereka sudah duduk di ruang tamu yang luasnya empat kali dari ruang tamu rumahnya.

“Tidak apa-apa, Bu,” jawabnya seraya tersenyum.

“Aku pulang!” suara seorang pria mengalihkan perhatiannya. Ia melihat pria yang tadi menegurnya tampak berjalan masuk ke dalam rumah.

“Evan kenapa baru pulang? Kemana saja kamu? Kamu benar-benar—,”

“Berisik, Ma!” potong pria itu seraya berjalan masuk ke dalam tanpa mengindahkan ucapan Bu Indah.

Wanita paruh baya itu tampak menghela napas lirih seraya menggeleng pelan. Bu Indah lalu melihat ke arahnya dengan wajah yang berubah canggung.

Sena tampak tidak enak dengan situasi yang terjadi, ia memilih untuk pamit pulang. “Kalau begitu saya pulang dulu, Bu,” ucapnya seraya beranjak dari tempat duduknya.

“Lho kok buru-buru? Pasti kamu merasa tak nyaman dengan sikap Evan barusan, ya?” tanya Bu Indah dengan raut wajah sedih.

“O, tidak, Bu. Bukan begitu, ada beberapa pekerjaan yang harus saya kerjakan,” kilahnya dengan mencoba memasang wajah datar.

“Begitu ya, Sena. Baiklah kalau begitu. Terima kasih ya, ini uangnya!” Bu Indah menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada Sena.

Gadis itu tampak membulatkan mata. “Ini terlalu banyak, Bu!” tolaknya secara halus. Ia terpaksa harus kembali duduk.

“Tidak apa-apa, anggap saja sebagai bonus. O ya, Sena. Bagaimana pekerjaan kamu?”

Entah kenapa pertanyaan Bu Indah tiba-tiba mengingatkannya pada mantan kekasih dan sahabatnya. Mungkin karena mereka satu kantor, sehingga apapun yang menyinggung soal pekerjaan. Pikirannya akan langsung tertuju pada Hansa.

“Ehm ... Baik, Bu. Hanya saja mungkin saya akan keluar beberapa minggu ke depan.” Sena bahkan tak sadar dengan ucapannya. Ia yang masih merasakan perih akibat pengkhiatan kekasihnya secara spontan bicara seperti itu.

Namun, sungguh di luar dugaan Sena. Wanita di hadapannya malah terlihat begitu senang ketika ia mengatakan hal itu.

“Benarkah? Kalau begitu, apa kamu tertarik bekerja di Coffee Shop saya? Kebetulan Finance Staff saya kemarin baru saja mengundurkan diri, Sena akuntan, 'kan?”

Sena mengangguk. “Iya, Bu!”

“Nah, kebetulan sekali 'kan. Jadi bagaimana mau ya kerja di Coffee Shop saya?” tawar Bu Indah dengan penuh semangat.

Sena tak langsung menjawab tawaran wanita di hadapannya. Tentu saja ini tak semudah yang diucapkannya, apalagi posisinya di kantor begitu kuat karena etos kerja dan prestasinya yang cukup membuat atasannya puas.

“Tapi itu semua masih dalam pertimbangan, Bu. Saya belum mengajukan surat pengunduran diri,” jujurnya dengan wajah tak yakin.

“Nggak apa-apa, Sena. Pokoknya kalau kamu resign dari pekerjaanmu, segera hubungi saya ya,” balas Bu Indah dengan wajah berbinar. Meski masih tak begitu yakin, Sena akhirnya mengiyakan ucapan Bu Indah.

🍁🍁🍁

Dalam perjalanan pulang, Sena sengaja mampir ke toko buku untuk membeli beberapa buku. Namun, pikirannya selama perjalanan ke toko yang akan ia kunjungi dipenuhi oleh adegan perselingkuhan Hansa.

Ini benar-benar sangat sulit baginya, setelah tiga tahun bersama tiba-tiba harus dihempaskan oleh kenyataan yang menyakitkan. Perselingkuhan yang dilihatnya secara langsung membuatnya menyimpulkan satu hal, bahwa semua laki-laki sama. Ia tidak ingin jatuh cinta lagi, benar-benar menyakitkan.

Traffic light yang berubah warna menjadi merah, memaksanya untuk menghentikan motornya tepat di depan zebra cross. Pandangan Sena langsung tertuju pada seorang pria paruh baya yang mengenakan tongkat yang sedang menyebrang, semua orang tampak bergantian memberikan bantuannya. Namun, pria bertongkat itu menolak dan merasa masih mampu untuk berjalan seorang diri.

Lampu sudah berganti hijau dan pria paruh baya itu masih bersikeras berjalan seorang diri tanpa bantuan siapapun. Sena akhirnya memilih turun dari motornya dan berlari mendekat ke arah pria tersebut, gadis itu berjongkok dan pura-pura mengikat tali sepatunya agar pengendara mau mengalah dan memberi waktu untuk pria paruh baya itu berjalan melewati jalur penyebrangan.

Setelah berhasil dengan ide pertamanya, ia kembali menjalankan ide selanjutnya. Ia pura-pura bermain ponselnya dengan melambatkan jalannya agar bisa menyamakan langkahnya dengan langkah pria bertongkat itu. Beruntung para pengendara bersabar dan memberikannya jalan hingga pria paruh baya itu berhasil melewati zebra cross tanpa bantuan langsung darinya.

Dengan setengah menunduk Sena berpamitan kepada pria paruh baya itu. “Hati-hati di jalan, Pak!”

Pak tua itu terlihat mengulas senyum dengan sikap Sena. “Terima kasih anak muda, kamu membantu saya tanpa membuat saya bergantung padamu,” ucap pria paruh baya itu.

“Sama-sama, Pak,” balas Sena dengan mengulas senyum tulus.

Adegan barusan ternyata diawasi oleh Zac yang kebetulan juga berada di lokasi yang sama. Zac bahkan terus mengamati gerak gerik yang Sena lakukan untuk membantu pria bertongkat itu, ia seolah teringat sesuatu.

“Bukankah itu gadis yang akan bunuh diri di gedung kemarin sore, Ram?” tanya Zac seraya menunjuk ke arah depan.

“Benar, Tuan. Dia adalah gadis kemarin sore!”

Zac tampak mengangguk seraya masih terus melihat ke arah gadis itu, tanpa pria itu sadari senyum terulas di bibirnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!