NovelToon NovelToon

Let Me

Satu

Seorang siswi SMA PANDAWA tengah duduk disebuah kursi panjang di taman sekolah. Paras cantiknya tertutup buku yang sengaja ia tangkupkan untuk menutup wajahnya dari sinar matahari sore yang menyilaukan. Ditelinganya terpasang air pods. Kulit putihnya ia biarkan diterpa angin. Ia terlihat tenang. Sangat tenang. Mungkin ia tertidur sembari menunggu kedua sahabatnya yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing.

Derap langkah terdengar semakin mendekat. Seorang berhenti didekat kursi panjang yang tengah diduduki sang gadis. Lama tak bergerak dan tak bersuara. Hingga pada akhirnya sang gadis lah yang berinisiatif mengambil tindakan. Dia Kaynuna.

"Nggak capek berdiri terus?" Tanya Kay. Tangannya bergerak mengambil buku yang tadi menutupi wajahnya, melepas air pods dari telinganya, kemudian membenarkan posisi duduknya.

Seorang tersebut terkekeh kecil kemudian duduk disebelah Kay. Dia Galih.

"Gue takut ganggu tidur lo, Kay."

"Gue bahkan nggak bisa merem makanya gue tutup pakai buku, biar nggak silau." Mereka kembali terkekeh bersama.

Setelahnya terjadi keheningan beberapa detik. Hanya desau angin yang dapat terdengar.

"Gilang mana?" Tanya Kay menggerakkan tubuhnya agar menghadap pada lawan bicaranya.

"Masih latihan. Mungkin sebentar lagi selesai." Jelas Galih. Kay mengangguk saja.

"Lo nggak bosan tiap kali nungguin kita disini?" Tanya Galih.

Kaynuna menggeleng. "Tanpa sadar ini malah jadi tempat favorit gue, Gal."

Kaynuna dan Galih kemudian tertawa bersama.

"Lagian kenapa sih lo nggak masuk ke salah satu ekskul aja? Biar lo ada kegiatan sendiri sembari nunggu kita." Bukan hanya kali ini Galih menyarankan hal ini, namun Kay tetap tak berminat, menolaknya mentah-mentah.

"Gue nggak suka keadaan ramai, Gal. Gua nggak suka kebisingan."

"Kan nggak semua ekskul keadaannya ramai dan bising. Lo bisa milih yang sesuai sama lo."

"Nggak ada yang sesuai sama gue, Gal. Mending gue disini baca buku sambil pakai penutup telinga." Kata Kay sambil memainkan air pods yang ada diatas buku dipangkunya.

"Itu lo suka musik. Kenapa nggak gabung sama kita aja di band?"

"Gue nggak suka musik." Tukas Kaynuna.

"Bukannya lo selalu pakai air pods kemana-mana?"

"Bukan berarti gue suka musik."

"Terus? Lo mau bilang lo lagi dengerin materi pelajaran bahasa asing dari handphone lo."

Kay menggelengkan kepala. "Nih, coba dengerin."

Galih meraih satu air pods yang diberikan Kay lalu memasangnya pada satu telinganya.

Galih mengerutkan dahi, bingung.

"Kok nggak ada suaranya? Coba kerasin volumenya. Apa gue yang tuli?"

"Bukan lo yang tuli, ini emang nggak ada suaranya."

"Jadi selama ini lo selalu pasang air pods di kuping lo tapi sebenarnya nggak dengerin apapun?" Galih masih merasa sangat heran.

Kay menghela napas. "Kadang kita lebih baik nggak dengar apa-apa yang bukan menjadi urusan kita, dari pada harus ikut menanggung beban atas apa yang sudah kita dengar."

Galih berdecak kagum mendengar kalimat bijak dari mulut Kay. Dia benar-benar Kaynuna kah?

"Lagian gue udah pakai air pods aja masih bisa kedengaran isi otak lo, apalagi kalau nggak pakai, mungkin gue bisa dengar detak jantung lo." Kata Kay terdengar sangat serius.

"Lo-lo se-serius, Kay?" Kata galih terbata.

Bukannya menjawab Kay malah tertawa. "Lo pikir gue cenayang yang bisa baca pikiran orang?"

"Sial! Gue dibodohi!" Gerutu Galih yang terlihat sangat kesal.

"Kay!" Seru seorang yang tengah mendekat ke tempat Galih dan Kay berada.

Seorang itu berdiri disebelah Kay dengan bibir terangkat membentuk sebuah senyum.

"Kenapa Kay doang yang disapa?" Ketus Galih.

"Cieee... Kalau lagi cemburu bang Galih sangat menggemaskan." Balasnya sambil mengalungkan tangannya pada pundak Kay.

"Najis!" Ketus Galih bergidik ngeri.

"Jangan rangkul-rangkul gue! Lo berkeringat, Gilang!" Seru Kaynuna menatap tajam pada Gilang.

"Cowok kalau berkeringat itu seksi loh, Kay."

"Terserah! Lo bau!" Ketus Kay yang kemudian beranjak dari kursi meninggalkan tempat. Tak lama kemudian Galih menyusul Kay dengan sebuah senyum mengejek diarahkan pada Gilang sebelum dia benar-benar pergi.

Sedangkan Gilang masih sibuk menciumi badannya sendiri yang masih mengenakan seragam basket, memastikan kebenaran dari kata-kata Kay. "Masa sih gue bau?"

*****

"Kay." Panggil Galih. Mereka tengah berjalan menuju parkiran. Sedangkan Gilang tertinggal beberapa langkah dibelakang karena memang tadi Kay dan Galih pergi lebih dulu ketika Gilang memastikan bau badannya sendiri.

"Hm." Balas Kay malas.

"Lo pernah kepikiran untuk jatuh cinta sama sahabat lo nggak?" Tanya Galih iseng-iseng berhadiah.

"Maksudnya lo pengin gue jatuh cinta sama lo, gitu?" Sarkas Kay.

"Ya kali aja. Atau mungkin sama Gilang gitu?"

"Apa lo belum puas lihat gue ditindas karena sahabatan sama kalian? Masih pengin lihat gue dibantai sama mereka karena berani suka sama salah satu dari kalian? Gue bukan orang yang cukup sabar untuk menghadapi crazy fans kalian." Tukas Kay penuh nada sinis.

Kemudian Kay menaiki motornya.

"Nggak usah galak-galak gitu juga kali, Mbak, gue kan cuma nanya. Ngomong-ngomong lo kalau lagi marah gini tambah cantik loh, Kay." Goda Galih namun sama sekali tak mempan pada Kay. Lalu Galih ikut menaiki motornya.

"Sial!" Umpat Gilang setibanya di parkiran.

Kay menghentikan aktivitasnya yang hendak memasang helm di kepalanya.

Melihat Gilang yang berjongkok di sebelah motornya membuat Kay dan Galih saling melempar tanya lewat mata mereka yang saling menatap.

"Kenapa lo?" Tanya Galih yang juga mewakili isi kepala Kay.

"Ban gue kempes." Balas Gilang seraya berdiri. Ia menepuk-nepuk telapak tangannya bermaksud menghilangkan kotoran yang menempel ketika ia memeriksa ban motornya tadi.

Gilang meraih ponselnya lalu ia mengirimkan sebuah pesan singkat pada bengkel langganannya untuk mengurus motornya. Tak lama setelah itu ia mendekati Kay dengan cengiran licik dari bibirnya.

"Gue nebeng ya, Kay." Gilang memohon sambil mengedip-ngedipkan matanya seperti seekor anak kucing yang meminta diberi makan.

"Nggak!" Tolak Kay cepat.

"Lo sama Galih aja." Tambah Kay lagi.

"Galih nggak searah sama gue. Kan elo yang satu arah sama gue, satu jalan, satu tujuan, yaitu ke pelaminan." Gilang terkikik sendiri dengan kalimat yang baru saja ia lontarkan.

Tak tinggal diam, Galih juga ikut terkekeh sambil menggeleng kecil mendapati tingkah satu sahabatnya yang sangat suka menggoda Kay itu. Pada saat-saat tertentu pemandangan itu bisa menjadi mood booster bagi Galih.

"Kalau nggak mau sama Galih mending lo pesan ojek online aja sana." Kata Kay.

"HP gue mati, kehabisan daya." Kata Gilang memamerkan ponselnya yang memang benar mati.

Kay menghela napas sambil memutar bola mata malas. "Cepat naik atau gue tinggal."

"No no no! Masa seorang Gilang di boncengin sama cewek, nggak-nggak." Protes Gilang.

"Kalau nggak mau di bonceng cewek ya udah sama Galih aja sana." Tukas Kay.

"Nggak mau! Asal lo tahu, gue masih normal, nggak doyan sesama jenis."

Pada akhirnya Kay mengalah. Ia turun dari motornya dan membiarkan Gilang menempati tempatnya lalu ia naik ke belakang Gilang sambil mengumpati Gilang.

"Lo bawel!"

*****

Dua

"Kay temenin gue ke kantin dong." Kata Gilang yang baru saja datang. Gilang meletakkan tasnya di kursi sebelah Galih, kemudian menghampiri Kay yang tempat duduknya satu baris lebih depan daripada bangku Galih dan Gilang.

"Ngapain?" Tanya Kay cuek. Dia tetap fokus membaca buku ditangannya.

"Makan. Gue belum sarapan." Gilang mengusap-usap perutnya sebagai isyarat.

"Kenapa nggak sarapan dirumah aja?"

"Bosan sama makanan dirumah." Celetuk Gilang membuat Kay memutar bola matanya jengah.

"Suka banget ngerepotin orang lo!" Ketus Kay.

"Temenin ya ya ya." Gilang menunjukkan puppy eyes nya.

Biasanya Kay tidak pernah bisa menolak jika puppy eyes itu sudah dikeluarkan. Namun kali ini untuk pertama kalinya Kay memberikan respon yang berbeda dari biasanya.

"Sama Riani aja deh, gue sibuk! Ri, temenin Gilang ke kantin gih." Tunjuk Kay pada teman sebangkunya.

Yang ditunjuk ikut menunjuk pada dirinya sendiri. "Gue?" Tanya Riani.

"Nggak!" Tolak Gilang cepat.

Riani memasang muka menantang pada Gilang. "Jangan terlalu percaya diri! Gue juga ogah nemenin lo."

"Ngerepotin! Biar gue aja yang temenin lo!" Galih menarik Gilang begitu saja sampai Gilang terhenyak beberapa kali karena tarikan Galih membuat langkah Gilang sedikit tak seimbang.

Melihat kepergian kedua sahabatnya Kay hanya bisa menggeleng dan memijat pelipisnya.

"Gue nggak ngerti sama mereka berdua." Ujar Kay.

"Apalagi gue?" Timpal Riani dan kemudian meninggalkan Kay yang masih sibuk dengan bukunya.

Dari sekian banyak teman yang pernah duduk sebangku dengan Kay, Riani lah yang bisa dikatakan paling betah.

Kay gadis yang cuek. Dia hanya fokus pada urusannya sendiri, tidak pernah ikut campur urusan orang lain apalagi bergosip. Bergosip sama sekali bukan dirinya.

Kay sangat suka membaca buku, tapi tidak bisa dikatakan sebagai kutu buku. Buku yang dia baca kisaran novel dan komik. Entah berapa banyak stok buku yang dia miliki sehingga tak pernah ada habisnya walau waktunya selalu dihabiskan untuk membaca.

Perihal bagaimana seorang Kay bisa masuk dalam persahabatan Galih dan Gilang itu akibat keusilan dari Gilang. Gilang selalu menggangu Kay sejak awal semester pertama mereka berada di SMA PANDAWA. Tentu saja Kay merasa terganggu dan jengah pada kelakuan Gilang yang terus menggodanya. Namun bersama Gilang, Kay jadi bisa kenal lebih dekat dengan Galih sang ketua kelas. Pasalnya Galih selalu menjadi penengah antara Gilang dan Kay. Sejak dari itu pulalah ketiganya bisa dikatakan bersahabat.

Awalnya banyak yang merasa iri dengan kedekatan Kay dengan Galih. Siapa sih yang tak terpesona dengan Galih yang tampan, pintar, tegas, dan disiplin. Kalau saja dia tidak bersikap dingin pada semua orang, mungkin akan banyak cewek-cewek yang berebut mendekatinya.

Bagi Kay menjadi sahabat Galih adalah sebuah keberuntungan sekaligus sebuah petaka.

Bagaimana bukan petaka kalau teror-teror datang bertubi-tubi padanya. Lokernya selalu berisi barang-barang yang mengerikan seperti potongan jari imitasi lengkap dengan darahnya. Seragam olah raga yang tidak lagi berbentuk. Buku-bukunya yang banyak tertulis kalimat caci maki. Jebakan yang di pasang di pintu toilet dan membuat Kay terguyur air. Sampai permen karet yang dipasang di bangkunya dan berhasil membuat rok Kay robek waktu itu.

Semua perlakuan tak mengenakkan itu datang dari mereka yang iri pada kedekatan Kay dengan Galih. Pasalnya bukan hanya populer di kelasnya, Galih merupakan salah satu most wanted-nya SMA PANDAWA. Dan most wanted yang lain adalah Gilang.

Bisa dibayangkan bagaimana irinya mereka pada kedekatan Kay dan dua most wanted Gilang dan Galih.

Meskipun Kay terlihat serasi dan enak dipandang ketika bersama Galih dan Gilang, namun banyak hati yang penuh kecemburuan tidak bisa berpikir logis dan akhirnya mengirim teror-teror itu bahkan sampai ke kediaman Kay.

Suatu hari Kay mendapati sebuah kotak besar didepan pintu rumahnya. Setelah dibuka kotak itu berisi beberapa bangkai ayam dengan darah berlumuran. Bangkai itu sangat berbau busuk. Ditambah secarik kertas yang tertulis 'kalau masih belum sadar maka nasib lo akan sama kayak ayam ini'

Tentu saja Kay adalah orag yang cuek, namun apakah orang yang biasanya cuek tidak akan bisa marah?

Suatu pagi Kay datang ke sekolah pagi buta dengan amarah menggebu terpancar dari sorot matanya. Dia masuk ke setiap kelas dan menulis di masing-masing white board disana.

'yang masih nggak punya otak silakan datang ke gue langsung!'

Kaynuna.

Tulisan itu sengaja dibuat super besar agar semua mata dapat membaca dengan jelas.

Selama satu hari itu, tatapan Kay terlihat sangat mengerikan. Tak ada yang pernah menyangka bahwa Kay memiliki sisi menyeramkan seperti ini.

Mereka yang selalu sengaja mengeraskan suara bergosipnya ketika Kay datang, kini hanya bisa diam seribu bahasa. Mereka yang selalu memandang dengan sebelah mata terhadap Kay, kini hanya bisa menundukkan pandangannya.

Satu kata yang begitu cepat tersebar di seluruh penjuru sekolah adalah 'siapa pun yang masih berani ngirim sampah ke gue, maka dia akan hancur!'

Dari mulut ke mulut kalimat itu tersebar begitu cepat, seolah melebihi kecepatan cahaya. Mendengarnya dari mulut orang lain saja masih bisa merasakan hawa membunuh dari kalimat Kay, apalagi jika mendengar langsung dari mulutnya, mungkin mereka akan mati berdiri karena ketakutan.

Setelah itu, pagi berikutnya semua benda sampah telah hilang dari penglihatan Kay. Semua kalimat sampah telah ditelan dalam-dalam. Mulai saat itu, Kay tidak pernah dianggap rendah. Siapa yang masih berani berbuat masalah dengannya, maka dia tak akan berbelas kasih.

Apalagi selama teror-teror itu berlangsung Kay memilih masuk dalam tim bela diri untuk menyalurkan emosinya dengan sesuatu yang bermanfaat. Semua orang jadi semakin yakin bahwa Kay bisa jadi tidak berperikemanusiaan apabila mereka masih mencari masalah. Maka sejak saat itu tak ada lagi yang bergosip dan mencela kedekatannya dengan Galih dan Gilang. Dan sejak saat itu pula Kay disebut sebagai salah satu most wanted sama sepeti Galih dan Gilang.

Dan sejak saat itu pula Kay menjadi jauh lebih tak banyak bicara. Dia hanya menghabiskan waktunya dengan buku-bukunya. Dan air pods yang selalu terpasang ditelinganya adalah untuk mencegah semua kata-kata buruk agar tidak masuk kedalam pendengarannya. Seperti yang diketahui Galih, air pods itu sama sekali tak bersuara.

*****

Guru matematika telah masuk kedalam kelas beberapa saat lalu. Kini ketua kelas sedang mengumpulkan buku-buku tugas untuk diserahkan pada Bu Kokom.

Entah kenapa setiap Bu Kokom masuk suasana kelas menjadi hening dan mencekam. Tidak tau siapa yang salah. Bu Kokom atau matematika? Namun kentara sekali ketakutan dari wajah-wajah penghuni kelas ini.

Mungkin banyak yang tidak menyukai pelajaran matematika, apalagi ditambah Bu Kokom yang sangat killer dalam mengajar. Wajar saja mereka akan ketakutan. Namun berbeda dengan mereka kebanyakan. Kay malah sangat menyukai cara mengajar Bu Kokom dan dia menyuki matematika.

"Tugas lo belum ditumpuk." Kata Galih pada Gilang.

"Santai, bro. Anak pintar nggak pernah khawatir soal tugas." Seloroh Gilang sangat tenang.

"Jadi?" Galih menyadongkan tangannya meminta buku Gilang, namun Gilang malah mengangkat tangan pada Bu Kokom.

"Maaf Bu, boleh saya pinjam soal nya? Saya akan mengerjakan tugas itu sekarang." Seru Gilang.

"Itu tugas rumah. Kenapa baru akan mengerjakan sekarang?" Kata Bu Kokom lantang.

"Saya sudah mengerjakan Bu, tapi bukunya buat bobo kucing, terus bukunya dikencingi kucing itu. Ibu mau saya tumpuk buku yang bau kencing kucing?" Suasana dalam kelas tiba-tiba riuh akibat pernyataan Gilang yang menurut mereka tak masuk akal namun menghibur.

"Siapa yang suruh kalian ribut?" Seru Bu Kokom. Seketika kelas kembali hening.

"Jadi kamu mau mengerjakan tugas sekarang, Gilang?"

"Iya Bu, mau."

"Kalau begitu silakan ambil sapu dan bersihkan halaman belakang sekolah, sekarang!"

"Kok? Itu kan tugasnya mang Ujang, Bu."

"Kalau gitu ditambah bersihkan toilet."

"Bu, bisa kurangi hukumannya nggak Bu?" Gilang mencoba bernegosiasi. Bu Kokom mendekik. Dan sebelum hukumannya ditambah lagi, Gilang lebih dulu berlari keluar kelas.

"Baik saya sapu halaman belakang sekarang." Seru Gilang sebelum keluar dari pintu kelas.

Kay kembali memijat pelipisnya. Apa sih yang dilakukan sahabatnya itu?

Sebenarnya Gilang tergolong orang pintar. Hanya saja dia sering bermalas-malasan. Dia diberi hukuman bukan karena dia bodoh, tapi karena dia malas. Boro-boro mengerjakan tugas, bisa masuk kelas saja sudah sebuah keberuntungan. Biasanya dia lebih memilih berbaring di UKS daripada harus masuk kelas yang menurutnya membosankan.

*****

Tiga

Kay memberikan sebotol air mineral pada Gilang yang tengah menyeka keringatnya.

Setelah kelas bubar tadi Kay langsung menuju kantin untuk membeli air mineral kemudian menuju halaman belakang tempat Gilang dihukum.

"Nggak capek berulah terus? Gue yang lihat aja capek." Ucap Kay tajam pada Gilang yang tengah duduk di rerumputan.

"Gue bukan Galih. Gue nggak bisa se-disiplin dia."

"Bukan berarti lo bisa nggak taat aturan!" Kata Kay melengking ditelinga Gilang. Namun Gilang tak ambil pusing. Dia memilih mengangkat bahu seolah masa bodoh.

Kay merasa heran dengan sikap Gilang yang sekarang. Dulu dia sering mengganggunya namun ia tak semalas ini. Malah dia tak suka menunda tugas. Tapi mengapa sekarang berbeda? Gilang terkesan nakal dan cuek.

Kay membuang napas kasar, kemudian ikut duduk disebelah Gilang. Tatapannya lurus pada area tak jauh dari pandangannya. Disana terdapat banyak murid mengenakan pakaian putih dengan berbagai warna sabuk di pinggang masing-masing.

Gilang ikut memandang pada arah yang sama dengan Kay. "Kenapa lo nggak gabung di tim bela diri lagi?" Tanya Gilang yang sampai sekarang masih belum mengerti arah pikiran sahabatnya ini yang tiba-tiba menjadi tidak tertarik pada apapun - setelah kejadian dua tahun lalu.

"Nggak tertarik." Balas Kaynuna datar.

"Kay"

"Apa?"

"Kenapa lo bisa jadi kayak gini, sih? Gue nggak suka Kaynuna yang berdarah dingin. Gue kangen Kaynuna yang cuek tapi hangat. Nggak sedingin bukit salju kayak gini."

"Seorang pasti akan mengalami sebuah perubahan dalam hidupnya. Dan perubahan itu terjadi karena suatu hal pemicu. Jadi tolong jangan pernah mengharapkan gue yang dulu yang gampang mereka injak-injak."

Gilang merinding mendengar kalimat Kay. Ini tentu saja bukan yang pertama kalinya Kay mengucapkan kata-kata seram. Tapi sesering apapun itu Gilang tetap merasakan bulu kuduknya berdiri ketika mendengar kalimat Kay yang semacam itu.

"Lo bisa kayak gitu juga karena kita, Kay. Seharusnya lo salain kita aja, jangan malah memaksa diri lo jadi seperti ini." Kata Gilang dengan pandangan menerawang pada kejauhan.

"Kalau lo udah selesai langsung ke parkiran aja. Galih masih beresin barang-barang lo yang nggak berguna." Sarkas Kay yang kemudian pergi begitu saja.

Melihat kepergian Kay, Gilang memejamkan matanya kuat-kuat. Ia membujuk dirinya agar tetap terkontrol.

"Gue segera kesana!" Seru Gilang yang seolah akan terdengar oleh Kay, padahal kenyataannya Kay sudah hilang dari pandangan sejak beberapa menit lalu.

*****

"Lo siput atau keong, sih? Jalan dari belakang ke parkiran aja lama banget." Kata Galih ketus setibanya Gilang di area parkir.

Galih menyerahkan tas Gilang pada pemiliknya.

"Kay mana?" Tanya Gilang tak mengindahkan omelan Galih. Dia celingukan.

"Udah pulang." Ketus Galih dan detik berikutnya motor Galih sudah meninggalkan area parkir.

Tanpa berpikir lama, Gilang segera menyusul kedua sahabatnya yang sudah lebih dulu pergi. Gilang sendiri tak tahu kemana ia akan pergi setelah ini. Seingatnya hari ini tak ada janji nongkrong bareng sahabat-sahabatnya jadi Gilang tak perlu mengejar mereka, bukan?

Gilang melajukan motornya dengan tujuan tak pasti. Sore hari ini Gilang mengendarai motornya dengan perasaan bimbang. Entah apa yang membuat Gilang ragu, yang pasti perasaannya sedang tidak pasti.

*****

Kay mengendarai motornya dengan kecepatan standar, tak sekencang biasanya. Entah mengapa pertanyaan Gilang tadi mampu membuat keyakinannya yang beberapa tahun ini sudah dibangun sangat kokoh tiba-tiba seperti ada sedikit retakan disana. Selama dua tahun terakhir susah payah Kay membangun jati diri yang seperti sekarang ini, namun akankah sekarang dapat goyah begitu saja?

Kata-kata Gilang terus memenuhi kepalanya.

Kay mengingat kembali bagaimana dirinya sebelum kejadian dua tahun lalu. Memang benar sedari dulu dirinya sudah cuek namun masih berperasaan hangat dan berperikemanusiaan. Meskipun tidak banyak tapi Kay masih akan peduli pada sekitarnya. Berbeda jauh dengan sekarang.

Kaynuna yang sekarang adalah Kaynuna yang tak hanya cuek, tapi juga berdarah dingin seperti yang dikatakan Gilang.

Kay pernah merasakan berada dalam kondisi dimana separuh dunia sedang memusuhinya namun separuh dunia yang lain tidak berniat membantunya, melainkan hanya berkenan menjadi penonton. Dalam waktu yang tidak sedikit Kaynuna hanya berdiam diri dalam masa itu namun tak ada itikad baik sedikitpun dari mereka. Maka hingga kesabarannya telah habis, terlahir lah Kaynuna yang tak berperasaan.

Sama sekali tak ada niatan untuk balas dendam mengenai kejadian dua tahun lalu. Asalkan tidak dianggap remeh itu sudah cukup bagi Kay, namun siapa sangka keadaan berbalik sempurna seolah Dewi Fortuna berada di pihaknya. Kini tak ada lagi yang berani menyentuh Kay barang seujung kuku pun.

Di sisi lain Kay sendiri kini tak pernah lagi mau ikut campur urusan orang lain. Bahkan bisa dikatakan Kaynuna yang sekarang adalah Kaynuna yang tak butuh siapapun selain diri sendiri.

Siapa yang betah dengan sikap dinginnya kecuali Galih dan Gilang. Itu saja Gilang masih sering mengeluh.

Jika bukan karena terpaksa, kemungkinan Riani juga tidak mau duduk satu meja dengan Kay. Sejak kelas dua sekolah menengah atas hingga sekarang, sudah hampir empat semester Riani selalu menjadi teman sebangku Kay. Dan untuk menghargai keberanian itu Kaynuna tentu saja memberikan hak spesial padanya. Namun tetap dalam batas yang ditentukan.

Tiin tiin tiiiiin!!

Suara nyaring klakson mobil membuat Kay terbangun dari lamunannya. Kay nyaris menabrakkan motornya pada sebuah mobil Alphard yang melaju berlawanan arah dengannya. Sontak ia membanting laju motornya, memberhentikan motornya ditepi jalan sebelum dirinya turun untuk meminta maaf pada pengendara mobil tadi.

Kay menghampiri mobil Alphard tadi yang ternyata juga berhenti di tepi seberang. Dari jauh Kay sudah siap untuk dimaki melihat bagaimana garang penampilan sang pengemudi Alphard yang sudah menurunkan kaca mobilnya.

Kay terus mendekat sambil menunduk.

"Saya benar-benar minta maaf, pak. Saya teledor, saya mohon bapak berlapang dada memaafkan kesalahan saya." Kay memohon dengan tulus.

Dalam hati ia ketar-ketir bagaimana jika bapak itu tak mau memaafkannya melainkan akan meminta ganti rugi dengan sejumlah uang yang cukup besar dan dia tidak bisa membayarnya. Bagaimana ia akan keluar dari situasi semacam itu.

Namun semua kekhawatiran Kaynuna hilang ketika sang bapak berkata dengan suara bersahabat. "Nak, kalau sedang banyak pikiran jangan mengendari kendaraan sendiri. Bukan hanya kamu yang akan celaka, pengendara lain juga bisa kamu celakai."

Sontak Kay mendongak. Ia tak menyangka sang bapak akan bersikap lembut padanya mengingat bagaimana garang penampilannya.

"Maaf pak, saya benar-benar minta maaf. Saya nggak akan ulangi lagi. Maaf pak, mohon maafkan saya." Kay menyatukan kedua tangannya dan memohon pengampunan pada si bapak.

"Untung ini mobil saya sendiri. Ada apa-apa saya bisa tangani sendiri. Lain lagi kalau ini mobil bos saya, kamu akan saya mintai ganti rugi." Tutur sang bapak. Kay baru menyadari bahwa mobil tersebut sedikit keluar jalur hingga menyerempet pohon.

"Bapak mau saya ganti rugi? Saya akan telpon orang tua saya pak. Saya akan tanggung jawab atas perbuatan saya." Kata Kay panik.

Bapak itu menggeleng. "Nggak perlu, nak. Sekarang kamu istirahat saja dulu sampai kamu tenang baru mengendarai motormu lagi. Saya akan pergi dulu."

"Ma-makasih pak. Sekali lagi saya minta maaf sebesar-besarnya."

Hanya mengangguk tanpa suara, mobil Alphard itu kemudian melaju meninggalkan Kay yang terpaku.

Kay kembali menuju motornya setelah beberapa saat bangun dari lamunannya.

Kay tahu dirinya masih belum tenang untuk berkendara, maka ia memilih mencari penjual minuman disekitar sana untuk meredakan pikirannya yang hampir terbakar.

Tanpa sadar ia memasuki sebuah kafe yang biasa dia gunakan untuk nongkrong dengan kedua sahabatnya.

Ia memesan ice latte, lalu mengambil duduk disalah satu meja kosong setelah mendapatkan pesanannya.

Hanya berbeda beberapa detik antara Kay dan kedatangan kedua sahabatnya. Tanpa direncana, Galih, Gilang dan Kayn kini duduk satu meja.

Galih melempar senyum, Kay pun membalasnya. Namun ketika Gilang melempar senyumnya, Kay secara terang-terangan membuang muka darinya.

"Kok beda? Dia disenyumin kok gue enggak?" Protes Gilang.

"Gue sepet lihat lo!"

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!