Ini adalah pertemanan yang cukup menyedihkan. Setidaknya seperti itulah kelihatannya.
'Sungguh hatiku sakit melihat kalian pergi bersama saat ini.'
Begitulah pandangan seorang gadis yang melihat kedua temannya sedang berjalan bersama di depannya. Teman itu pun berbalik menatap dan mendekatinya. “Apa yang kamu lihat?” tanya Erin padanya.
"Aku hanya melihat jalanan saja," diakhiri dengan senyum kecut yang tersungging di bibir sang gadis.
'Haruskah kukatakan dengan jujur kalau aku sakit hati melihatmu bersamanya? Sedangkan kamu sendiri adalah temanku dan aku berbohong padamu. Sungguh hati ini menangis dibuatnya.'
Begitulah kalimat dari otak sang gadis yang meradang dengan tontonannya.
Lalu Erin pun menatap cowok yang berjalan bersamanya datang menghampiri.
“Hei, ada apa? Aku lapar jadi ayo makan,” ajak pemuda itu sambil menatap dalam pada sang gadis dan tersenyum ke arah Erin.
“Bagaimana jika kita makan ramen? Tak ada yang bosan makan di Ichirakumidori kan?” balas Erin.
“Baiklah,” jawab gadis itu bernada datar.
Mereka pun melangkah bersama tanpa ragu ke restoran yang biasa dikunjungi. Saking seringnya makan di sana, pemiliknya bahkan sampai hafal wajah dan makanan pesanan mereka.
Ketiga orang itu pun memasuki restoran dan memesan makanan. Berjalan ke lantai dua dan memilih meja di balkon yang lebar. Sejujurnya, pemandangan yang disuguhkan cukup indah, dengan langit siang sedikit mendung namun tak hujan.
Tak lama kemudian pesanan yang ditunggu pun akhirnya datang dan mereka mulai memakannya. Cukup unik, karena ketiganya melahap dengan sedikit rakus sampai akhirnya kejutan tak terduga justru datang menghampiri.
"PLAK!"
Pukulan lumayan keras malah menghantam bahu cowok yang sedang makan.
“Sialan! Kau mengejutkanku bodoh! Apa kau tidak sadar ramen ini hampir terbang keluar dari mulutku?!” ekspresi kesal terlihat jelas di wajahnya.
Si pemukul hanya tertawa, "sungguh Dean, kamu beruntung sekali. Makan sambil ditemani dua selir aku benar-benar cemburu melihatmu teman," ia kembali tertawa.
Mendengar kalimat itu, Dean hanya menanggapinya dengan tatapan kesal. Mereka saling melirik dan si pemukul pun langsung duduk di sebelahnya.
Sang gadis justru hanya menatap diam pada cowok yang baru saja duduk di depannya.
“Hei Alice! Apa-apaan tatapan dinginmu itu? Aku kan cuma bercanda,” ia pun melempar tatapan memelas padanya.
Selesai bergurau, sang pemukul pun memakan sajian yang dibawanya sendiri dari bawah. Seperti biasa, karena ia datang terlambat tak ada satu pun temannya yang memesankan makanan untuknya.
Tapi tak berselang lama setelah itu, Alice pun mulai merasakan banyak tatapan tajam mengarah ke meja mereka.
Padahal itu sebuah kewajaran. Mengingat empat orang yang tampak menarik, duduk bersama dan mengundang lirikan dari mata para tetangga meja lain.
Pertama dimulai dari Erin. Gadis yang berkulit hitam manis, memakai riasan feminin dengan body terkesan seksi. Jujur saja, terkadang dandanan dan sikap premannya sangat tidak sesuai.
Lalu Dean, wajahnya begitu cool menggoda mata dan hati.
Namun berbeda dengan sang pemukul yang berwajah oriental tampan dan sulit dilukiskan. Mungkin juga itu karena ia kebetulan campuran Korea-Pakistan. Tapi entahlah, tidak ada yang tahu.
Sedangkan Alice, gadis itu berkulit putih dengan mata rusa coklatnya yang indah.
'Memalukan sekali jika aku juga memuji diriku sendiri,' begitulah pikiran yang terlintas di benak Alice.
Setelah selesai makan, keempat orang itu berencana pergi ke rumah Sarah untuk mengunjunginya. Sarah merupakan teman mereka dan sahabat Erin sejak kecil.
Sepanjang perjalanan, hanya canda tawa yang terpancar dari wajah Erin dan Dean karena berjalan di depan. Tentu saja sudah bisa dibayangkan dengan siapa Alice melangkah di belakang mereka.
“Rams, apa-apaan tatapan jelekmu itu? Itu sangat menyebalkan,” sahut Alice pada cowok pemukul di sebelahnya.
Ramses hanya menatapnya, dan dia memandangi Alice cukup lama. Tapi tiba-tiba, tanpa kode atau apa pun dirinya justru berbalik dan menarik tangan Alice pergi berlawanan arah.
Tanpa suara dari mulutnya, hanya tatapan dingin yang bisa terlihat dari wajah tampan Ramses saat menariknya.
Alice sontak kaget dan terperangah dengan tindakan Ramses padanya. Dean yang menyadari itu, spontan berbalik sambil berteriak karena mereka berdua sudah berjalan menjauh darinya.
Erin juga terkejut. Ia jadi penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. “Hei, tunggu! Kalian mau ke mana?!” teriaknya tapi tak diacuhkan mereka.
Alice akhirnya menoleh ke belakang dan tampak Dean sedang berlari berusaha mengejar mereka.
“Hei kalian berdua, tunggu! Kalian mau ke mana?!”
Ramses tidak menghiraukan sekelilingnya dan tetap menarik tangan Alice yang mulai terasa sakit. Tak berapa lama kemudian, Dean pun akhirnya berhasil memegang tangan gadis itu untuk menghentikan langkah keduanya dengan napas terengah-engah.
“Hei! Aku rasa kita sudah punya rencana, tapi apa-apaan ini? Erin pasti masih menunggu kita di jalan tadi.”
“Lalu kenapa kau malah mengejar kami? Kau kan punya ponsel, kenapa tidak menghubungi saja? Seharusnya kau itu tetap bersama Erin dan tidak mengejar kami. Aku dan Alice ada urusan mendadak, jadi kami batal ke sana,” gerutu Ramses akhirnya.
“Apa maksudmu Rams?! Otakmu benar-benar sudah kacau ya! Wajar kan kalau aku mengejar kalian karena main pergi begitu saja!” balas Dean sambil melepaskan tangannya dari Alice secara perlahan.
“Hei ada apa?!” terdengar teriakan dari Erin yang mendekat, deru napasnya tampak memburu karena berlari mengejar mereka.
“Maaf Rin. Tapi sepertinya aku dan Alice tidak akan ikut ke tempat Sarah. Kamu dan Dean saja yang pergi ke sana,” jawab Ramses mencengkeram erat tangan Alice.
“Memangnya kalian mau ke mana? Dan Alice, kenapa kamu diam saja? Kalau memang ada urusan sih tak masalah, tapi tadi kan kamu tidak bilang apa pun padaku."
Tanpa Alice sempat menjawab, Ramses malah memotong pembicaraan mereka. “Maaf teman, sudah kukatakan kalau kami ada urusan mendadak, jadi kalian saja yang pergi ke tempat Sarah. Sampaikan saja salam kami padanya. Lain kali kami pasti akan datang melihatnya.”
Dean dan Erin saling menatap heran pada mereka berdua, terlebih melihat reaksi Alice yang dari tadi hanya diam saja.
Alice yang ditatap pun tertunduk dan sesekali melirik mereka. Wajar saja, karena bagaimanapun juga, dia sama bingungnya. Terlebih lagi, kenapa Ramses menggenggam tangannya begitu erat? Sakit, tapi tak diucapkan mulutnya.
“Kalau begitu kami pergi dulu,” Ramses membalikkan badannya sambil menarik tangan Alice. Akan tetapi, mereka tersentak karena Dean menahan lengan Ramses yang menggenggam tangan perempuan itu.
“Memangnya kalian ada urusan apa? Dan Alice, kenapa kamu diam saja? Ada apa?” Seolah-olah Dean takkan membiarkan mereka pergi sampai mendapatkan jawaban yang pasti.
“Hei Dean! Apa mulutmu itu tidak bisa berhenti bertanya? Jujur saja, aku benar-benar sangat tidak suka mengulangi perkataanku. Apa kamu pikir kita tidak muak menjawab pertanyaan yang sama? Karena itu, tolong berhentilah jadi pengganggu Yan! Aku mohon,” ketus Ramses padanya.
Tak hanya ketus, ekspresinya juga terlihat sangat kesal. Terlihat jelas jika ketiganya tampak kaget dengan cara bicara Ramses yang terkenal sebagai lelaki santai.
Akhirnya dengan terpaksa, Dean pun perlahan-lahan melepas tangannya dan membiarkan mereka berdua pergi dari hadapannya.
Alice yang menoleh ke arahnya pun paham dengan arti tatapan Dean serta Erin. Tampaknya, mereka berdua benar-benar penasaran dengan urusan Ramses dan dirinya.
Tapi keduanya takkan bisa berbuat apa-apa, terlebih setelah mendengar Ramses berkata seperti itu. Lantas, Alice pun tetap mengikuti langkah kaki sang pemuda yang berjalan menjauh dari mereka.
'Kenapa tadi aku hanya diam saja? Aku bahkan tak tahu dia mau membawaku ke mana. Seharusnya aku bicara saja kan? Tapi sekarang lihatlah ekspresinya, kenapa tampangnya aneh begitu?" gerutu Alice dalam hatinya.
Tak tahan dengan Ramses yang hanya diam saja berjalan sambil menarik tangannya, Alice lalu menjitak kepala Ramses dari belakang dengan tangannya yang satu lagi.
“Aduh! Ada apa?! Seharusnya kamu itu memelukku bukan menjitak!” tukas Ramses sambil meringis kesakitan.
“Mana mungkin wanita terhormat sepertiku memelukmu? Jangan mimpi!” balas Alice sambil memelototi Ramses.
“Kenapa kamu menarikku?! Seharusnya kamu kasih kode dulu biar aku tidak bingung! Memangnya aku patung bisa kamu seret-seret begitu saja,” celoteh Alice panjang lebar sampai akhirnya Ramses pun mengulurkan tangan untuk menutup mulutnya.
“Iya maaf, jadi jangan cerewet lagi. Padahal aku melakukan ini semua demi kamu.” Lalu Ramses pun melepaskan tangannya yang menutup mulut Alice dan tersenyum setelah mengatakannya.
Sambil mengernyitkan dahi, “Apa maksudmu?!” balas Alice.
“Alice, aku tidak buta. Kamu menolakku mentah-mentah karena Dean bukan? Kamu suka kan padanya?!" tanya Ramses akhirnya.
“Jangan ngawur Rams! Aku tidak pernah menyukai Dean!” bantah Alice.
“Heh, kenapa? Karena dia pacar temanmu?! Tapi kenapa aku merasa kalau kamu itu sedang berbohong?” Ramses pun membalas ucapan Alice.
Alice lalu melepaskan tangannya yang sejak tadi masih digenggam Ramses.
“Rams! Aku tidak pernah menyukainya! Kami hanya berteman, tidak lebih! Dan asal kamu tahu saja, aku bukan tipe yang suka pada pacar temanku sendiri!” sahut Alice dengan nada marah.
“Kalau begitu, kamu tidak perlu emosi bicara denganku bukan?! Cara bicaramu itu membuatku curiga, ditambah lagi tatapanmu pada mereka. Lagi pula apa lebihnya Dean dariku? Modal tampang cool saja sombongnya menyebalkan!” ledek Ramses dengan bibir yang juga ikut tersungging.
Mendengar Ramses berbicara begitu, Alice pun bergidik ngeri. “Hei, dia temanmu! Setidaknya dia tidak menyebalkan sepertimu!" Alice pun memukul bahu Ramses.
Ramses hanya mendengus lalu memegang bahu Alice dengan kedua tangan dan menatapnya dekat. Jarak wajah mereka hanya sekitar 11 cm sekarang.
“Alice aku tidak peduli apa pun alasanmu menolakku, tapi aku tetap menyukaimu dan akan membuatmu jadi milikku.”
Selesai berkata seperti itu, Ramses pun perlahan mulai mendekatkan wajahnya pada Alice seolah hendak menciumnya.
Tapi sayang sekali, adegan yang dinantikan gagal karena bunyi klakson mobil di belakang Ramses mengejutkan mereka. Sehingga ia akhirnya terpaksa menghentikan tindakannya itu.
“Sial! Padahal hampir saja!” batin Ramses mengumpat.
Karena kaget dengan kejadian barusan, wajah Alice sontak memerah akibat malu yang dirasakan. Spontan ia langsung teringat jika bukan karena klakson mobil, mungkin saja adegan tak terduga akan berlangsung di jalanan seperti ini.
“Padahal tinggal sedikit lagi, dasar mobil sialan!" gerutu Ramses dalam hatinya.
Mobil itu berhenti, tak lama seorang gadis muda pun turun dari jeep unlimited berwarna putih yang mengklakson mereka berdua.
Ia tersenyum sambil menghampiri mereka, “maaf Alice, apa aku mengganggumu? Aku hanya ingin lewat saja,” ucap sang gadis sambil tersenyum kembali.
“Ti-tidak-tidak! Ini salahku karena sudah menghalangi jalanmu, ma-maafkan aku,” balas Alice padanya.
Dia benar-benar malu, wajahnya sudah mirip tomat saking malunya. Terlebih lagi, karena ia dan Ramses hampir saja berciuman tapi malah ketahuan oleh gadis muda kenalannya ini.
Gadis muda itu tertawa pelan, "aku tidak bermaksud menggurui kalian, tapi cobalah di tempat yang istimewa, jadi kalian akan sangat menikmatinya. Kalau di jalanan begini, hanya kematian yang akan kalian dapatkan karena ditabrak kendaraan,” kata gadis itu sambil memegang pundak kiri Alice dan menahan tawa.
Alice yang mendengar guyonannya pun ikut tertawa untuk menutupi rasa malunya. Tak disangka, jika suasana canggung dan memalukan itu berubah menjadi lebih baik sekarang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!