NovelToon NovelToon

BEREAVEMENT

Prolog

Hari ini, seperti hari-hari yang telah kau janjikan, aku duduk di sini untuk menunggu kepulanganmu. Kepulangan yang tak pernah aku tahu kapan akan datang, hari-hari yang entah sampai kapan akan kurindukan. Empat tahun. Berapa lama lagi waktu yang harus aku lalui tanpamu?

Selalu kau tuliskan dalam surat-suratmu bahwa aku tak perlu mencarimu, tak perlu menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengejarmu. Kau berkata bahwa kau akan selalu menjadi milikku. Aku percaya, aku percaya karena kau adalah orang yang tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang kau sayangi. Aku percaya kau tak pernah ingkar janji.

Renov termenung sambil sesekali membaca ulang semua surat dan postcard yang dikirim oleh Renatta. Gadis itu, dalam waktu empat tahun mengunjungi puluhan kota di Indonesia, ia juga terus saja menjelajah dunia. Renov tersenyum pedih. Bagaimana mungkin Renatta bisa tersenyum bahagia di setiap foto-fotonya saat ia meninggalkan Renov dalam ketidakpastian seperti ini?

Benar-benar gadis kejam!

Renov mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kafe. Kafe yang didirikan di atas tanah seluas 300 meter persegi inilah satu-satunya aset yang terdaftar atas nama Renatta. Desain kafe ini juga tak asing bagi Renov. Ya, mirip sekali dengan rumah Renatta yang ada di Jakarta. Kafe ini memiliki taman yang cukup luas dan ribuan koleksi buku yang memenuhi setiap sudutnya. Buku-buku yang lagi-lagi tidak asing bagi Renov. Renov menghela nafas putus asa, hanya inilah petunjuk satu-satunya keberadaan Renatta. Hanya kafe ini yang bisa dikatakan rumah bagi Renatta. Tapi Renov tidak menemukan sosok gadis itu saat ini. Harus berapa lama ia menunggunya lagi? Apa yang harus ia lakukan?

Renov meraih novel di hadapannya. Novel yang ditulis Renatta dan diberikannya melalui pegawai toko tahun lalu. Ia membuka halaman terakhir novel itu dan kembali membaca pesan dari Renatta.

Sepenggal janji kisah masa lalu

Kini hadir sebagai cambuk waktu

Kian lama hingga terasa perih dalam dada

Sesak gundah pun tak lagi ada

Kegelapan malam menyadarkan diriku

Tak hanya janji masa lalu namun juga dirimu

Sepi ini mengingatkanku akan kepergian yang pilu

Dalam kerelaan kulepas genggamanku dari dirimu

Jujur hati ini berteriak ingin kembali

Ke waktu di mana matahari memancarkan kehangatan

Memberi rasa aman tanpa takut akan kegelapan

Namun kepedihan itu selalu muncul membayang

Akankah hati ini berlabuh kembali?

Sungguh ingin kutepati janji-janji

Walau lelahnya waktu tanpamu terus berganti

Akankah rinduku berarti?

Renatta A.S.

Renov heran kenapa gadis itu terus menyakiti dirinya dengan melebarkan jarak mereka berdua. Ia berfikir kenapa gadis itu memilih sendiri jika mereka bisa melakukannya bersama? Jujur ia membenci sifat Renatta yang seperti itu. Ia ingin melakukan segalanya sendiri. Apa jangan-jangan Renatta masih berkeras dengan istilah menunggu waktu yang tepat? Benar-benar keras kepala dan benar-benar egois.

"Tidak ada waktu yang tepat di dunia ini selama kita sendiri yang menjadi penilainya. Kita tidak bisa membahagiakan semua orang dengan menunggu waktu yang tepat."

Renov ingat telah membahasnya berulang kali dengan Renatta namun tetap saja gadis itu memiliki pendapatnya sendiri.

Renov kembali menyerah dengan segala logikanya. Ia memilih fokus untuk memantapkan hatinya walau hanya petunjuk-petunjuk kecil itulah yang mampu membuatnya bertahan. Ia sudah berjanji. Walau percariannya kali ini kembali tidak mendapatkan hasil apapun, tak mengapa. Ia cukup kembali lagi nanti.

“Kriing...” suara lonceng tanda kopi pesanannya telah selesai dibuat berbunyi, mengagetkannya.

Episode 1 Perfect and Unperfect?

“Lagi-lagi salah satu murid kebanggaan sekolah kita berhasil mengharumkan nama baik sekolah, Lena! Mana Renatta Alena Sahid? Kemari Nak...” panggil kepala sekolah di tengah pidatonya. Lena malu-malu berdiri dari kursinya setelah mendapat dorongan dari teman-temannya.

“Lena, hem.. kalian tahu, apa prestasinya kali ini?” semua murid hanya menggeleng, tak lagi bisa menebak apa yang Lena menangkan atau penghargaan apa yang akan ia terima.

“Tahun ini, Lena dinominasikan sebagai Best Writer Award. Keren sekali bukan? Ia masih remaja namun penjualan novelnya sudah tidak kalah dengan penulis ternama. Bapak bangga sekali padamu, Nak. Kalian sudah ada yang membacanya?” beberapa murid mengangguk dan yang lain hanya bengong tak mempercayai ucapan kepala sekolahnya.

“Saya baru dinominasikan Pak, belum menang. Tak perlu melebih-lebihkan. Itu hanya keberuntungan saya saja, Pak...” Lena tersenyum tulus, menampakkan parasnya yang jelita.

“Bapak tidak melebih-lebihkan, memang begitu kenyataanya. Nah, anak-anak kalian juga harus seperti Lena ya. Jangan sia-siakan bakat kalian. Kita semua itu sama, seperti batu yang awalnya jelek dan kotor, namun kita akan menjadi batu yang cantik dan mulia jika kita menggosoknya dengan teliti dan tahan dengan perubahan. Tidak percaya? Eh jangan salah, intan itu baru terbentuk ketika ia mendapatkan tekanan dan suhu yang tinggi di dalam bumi. Maka dari itu, kalau kalian ingin jadi seperti intan kalian harus bertahan dengan kondisi sekitar, jangan takut dan mudah menyerah, apalagi terpengaruhi hal-hal yang dapat menjerumuskan kalian...” ceramah itu disambut dengan teriakan “baik, Pak!” dari seluruh murid. Lena kembali ke kursinya dan ceramah dilanjutkan dengan ucapan selamat kepada kakak kelas XII yang telah selesai menempuh ujian nasional dan ujian sekolah. Hari ini adalah upacara terakhir mereka di bangku SMA sebelum pengumuman kelulusan sebulan ke depan.

***

Renov menguap. Ia memperhatikan wajah gadis yang tersenyum canggung di atas panggung di auditorium sekolahnya. Terlihat sekali di wajahnya bahwa gadis itu tidak menyukai semua perhatian yang tertuju padanya.

Ekor mata Renov mengikuti gadis itu sampai ia kembali duduk di kursinya. Walau teman-temannya menyambutnya dengan bangga, wajah gadis itu masih saja tidak berubah. Masih menujukkan ekspresi senyumyang tidak menyenangkan.

Renov menggelengkan kepalanya untuk mengusir rasa kantuk yang kembali menyerangnya. Ia tak peduli dan kembali memejamkan matanya.

***

“Len, elo benar-benar keren deh! Gue nggak nyangka bisa temenan sama orang sehebat elo. Besok tanda tanganin novel gue ya!” Chery, sahabat Lena langsung menggamit tangan Lena begitu keluar dari auditorium. Lena tersenyum menanggapi permintaan Chery.

“Jangan sok asik deh! Sekalian sini gue tanda tanganin jidat lo…” canda Lena sambil memeluk Chery gemas. Gadis itu bersyukur dalam hatinya. Berharap kehidupan sekolahnya akan terus menyenangkan seperti ini.

Tahun pertamanya di bangku SMAsungguh di luar dugaannya. Hobinya menulis menjadikannya sebagai salah satu penulis muda berbakat di dunia tulis menulis. Baru dua novel yang ia terbitkan, tapi karena usianya yang masih muda ia mendapatkan perhatian lebih dari media dan pemberitaan nasional.

“Len, bisa bicara sebentar?” Kenny, kakak kelas XI itu memanggil Lena.

“Iya, Mas...bentar ya...” Lena berpamitan dengan Chery sebelum mengikuti langkah Kenny ke arah perpustakaan.

“Len, sebenarnya gue rada malu ngomongnya, tapi gue nggak punya kenalan lain selain elo. Ehm... bisa tolong review tulisan gue?” Kenny mengungkapkan maksud dan tujuannya memanggil Lena. Ia terlihat begitu malu dan gugup, hal itu terlihat jelas dari gerak-geriknya mengusap bagian belakang kepalanya berulang-ulang.

“Tulisan apa, Mas?” tanya Lena memastikan.

“Gue juga lagi ngarang novel, tapi jenisnya fantasi sama misteri gitu, gue butuh bantuan seseorang

buat me-review tulisan gue sebelum gue ajuin ke penerbit nih...” Kenny melanjutkan.

“Serius? Tentu saja Lena mau, Mas!” Lena bersemangat, ia sangat menyukai dunia tulis menulis jadi permintaan seperti itu justru menjadi kebanggaan sendiri baginya. Tanggapan Lena membuat Kenny

meloncat senang. Ia tak menyangka Lena mau membantunya semudah itu.

“Kalau begitu besok sepulang sekolah kita mulai ya?" usul Kenny.

"Jangan besok Mas, besok ada ekstra jurnalistik. Kalau lusa atau nanti aja gimana?" Lena teringat kalau tim jurnalistiknya harus memasikan tulisan untuk buletin sekolah sudah siap dicetak, editing terakhir sebelum naik cetak. Lena memiliki tanggungjawab yang besar atas kegiatan tim itu.

"Baiklah lusa ya Len? Thanks ya...” Kenny memegang bahu Lena sambil mengucapkan rasa terima kasihnya sekali lagi sebelum berpamitan dengan Lena. Lena memandang punggung Kenny dengan gembira. Ia selalu merasa senang ketika orang lain membutuhkannya. Lena tersenyum sendiri dan buru-buru keluar perpustakaan untuk kembali ke kelasnya.

“Aduh...” Lena mengerang ketika ia menabrak seseorang saat berjalan ke luar dari perpustakaan. Ember yang dibawa lelaki itu terjatuh dan membuat lantai di lorong perpustakaan basah.

“Kalau jalan lihat-lihat dong! Basah kan baju gue!”bentaknya dengan nada marah.

“Maaf, Mas! Beneran nggak sengaja...” Lena langsung menyambar kain pel dari tangan lelaki itu dan membersihkan tumpahan air kotor di lantai.

Lelaki itu hanya menatap Lena heran, sudut bibirnya terangkat. Masih takjub dengan sikap Lena. Ia tahu bahwa gadis itu adalah gadis yang tadi pagi dielu-elukan di upacara sekolah, tapi ia tidak menyangka gadis itu juga ceroboh dan tak pikir panjang sebelum melakukan pekerjaan. Dilihat dari caranya mengepel, gadis itu terlihat terbiasa melakukannya. Berbanding terbalik dengan pikirannya bahwa gadis tipe seperti itu tidak akan pernah berurusan dengan pekerjaan rumah tangga.

“Hey...” panggilnya membuat Lena menoleh dan menatap laki-laki di sampingnya. Tiba-tiba hati Lena berdesir. Lena tahu, ia tak seharusnya berurusan dengan makhluk adam di sampingnya itu.

“I..iya, Mas...” jawab Lena tiba-tiba gugup. Ia sedang berurusan dengan Renovaldi Anggara, salah satu siswa yang memiliki reputasi kurang baik di sekolah. Renov pasti mendapat hukuman mengepel lantai karena membolos upacara pagi ini, tebaknya.

“Lo pasti kenal gue...”Renov ikut berjongkok di samping Lena, membuat Lena terdiam. Ia sempat terkejut saat laki-laki itu menyibak rambutnya kebelakang dan mengikatnya dengan salah satu gelang di tangannya, “sana balik ke kelas, ini tugas gue, nggak sayang sama rambut dan tangan lo kalau kena air kotor begini? Ini pembersih lantai adik manis, tangan lo bisa iritasi kalau kontak langsung begitu, rambut lo juga...” Renov yang sadar masih menyentuh rambut Lena melepaskannya dengan canggung, sama canggungnya dengan Lena yang menatap Renov bingung. Katanya dia laki-laki yang harus dihindari di sekolah ini? Nggak salah? Lena mengerjapkan matanya berulang-ulang karena ia yakin melihat senyuman lelaki yang katanya belum pernah tersenyum sekalipun itu.

“Lo nggak pengen balik atau lo lebih suka gantiin gue ngepel?” tanya Renov lagi.

“Ah nggak, Mas! Maaf ya Mas sekali lagi...” tanpa menoleh lagi Lena berlari ke arah kelasnya. Saat Lena tiba di kelas ia baru sadar bahwa ikat rambut yang dipakainya adalah gelang milik Renov. Apa ia harus mengembalikannya? Biar bagaimanapun juga ia tidak mau terlibat masalah apapun dengan Renov. Preman sekolah itu.

***

Namanya Renatta.

Renov hanya tersenyum tipis melihat gadis itu berlari menjahui dirinya. Renatta pasti tahu rumor tentang dirinya. Bukan rahasia umum lagi kalau Renov adalah preman di sekolahnya.

Preman sekolah?

Renov kembali tersenyum. Menganggap semua itu hal yang lucu. Rumor ini hanya berawal dari Renov yang menolak bergabung dengan genk di sekolahnya saat dirinya masih menjadi murid kelas X. Semua siswa yang sekiranya bisa mendukung kekuatan genk sekolahnya dipanggil oleh senior-senior mereka. Requitment ini adalah kegiatan rutin tahunan. Siapa yang mau bergabung maka akan selamat, tapi kalau menolak, hidup mereka tidak akan tenang di sekolah itu.

Renov adalah salah satu yang menolaknya. Ia hampir saja menjadi bulan-bulanan oleh seniornya. Untung saja Renov sudah dilatih sejak dini. Ia adalah anak terakhir dari tiga bersaudara di keluarga Anggara. Satu-satunya wanita di keluarganya adalah ibunya. Kakak-kakaknya mengajari Renov berkelahi sejak ia kecil. Tidak heran ketika lulus SMP, Renov sudah menyandang sabuk hitam di seni bela diri taekwondo.

Renov hanya memukul pemimpin genk SMA satu kali dan langsung KO. Ia menyerang titik lemah kakak kelasnya itu dan membuatnya langsung terkapar. Renov tidak sengaja, ia bahkan melakukannya dengan tenaga yang boleh dibilang normal. Tapi sejak kejadian itu, tidak ada yang mau menganggunya. Hidup Renov terasa lebih tenang walau kadang-kadang kesepian juga menghampiri dirinya.

“Den... Aduh Den! Kan jadi kotor semua. Kan saya sudah bilang kalau biar bapak aja yang mengepel...” Pak Wahyu, penjaga sekolah itu lari terpincang-pincang menghampiri Renov. Ia lantas merebut ember dan kain pel dari tangan Renov.

“Nih, Pak! Saya kembaliin. Sudah selesai kok semuanya. Bapak tinggal istirahat aja...” Renov hanya tersenyum mendahului Pak Wahyu ke arah belakang sekolah.

“Eh Aden mau ke mana?” panggil Pak Wahyu saat melihat Renov berjalan ke area belakang sekolah yang di huni oleh Pak Wahyu. Anatara lingkungan sekolah dan rumah Pak Wahyu hanya di batasi pagar tanaman setinggi satu setengah meter. Rumah Pak Wahyu merupakan rumah yang dibuat khusus untuk penjaga sekolah. Walau terlihat kecil, tapi taman di rumah Pak Wahyu cukup luas. Taman itu ditanami rumput gajah yang dipotong dengan rapi. Renov kerap kali menyelinap ke taman itu untuk sekedar tidur siang.

“Mau nagih bayaran ke Ibu! Kan udah bantuin Bapak ngepel!” teriak Renov. Ia sudah akrab dengan keluarga Pak Wahyu dan hanya Renov yang sering mampir ke rumah Pak Wahyu. Anak-anak SMA Nusantara yang rata-rata berasal dari kelas menengah ke atas mana mau bermain ke rumah tukang kebun. Ya kan?

 

Bersambung...

Episode 2 ; Si Bodoh Baik Hati

“Sudah beres kan Len?” tanya Tami, rekan satu tim jurnalistik. Sore itu mereka semua sibuk mengecek ulang semua tulisan dan layout buletin sekolah sebelum naik cetak.

“Sudah...” Lena mengusap peluh di lehernya dan tersenyum pada semua rekan-rekannya. Lena melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima. Pekerjaan ini akhirnya selesai juga.

Lena membereskan semua barangnya dan bergegas pulang ke rumah. Ia masih harus berbelanja untuk kebutuhan dapur untuk makan malamnya. Ia berpamitan dan berlari meninggalkan ruang jurnalistik.

“Semoga tidak terlambat...” doa Lena sepanjang perjalanannya.

Sampai di rumah, Lena tidak mendapati siapapun. Sepi, hal yang lumrah mengingat Lena hanya tinggal dengan Ayahnya. Ia menyalakan semua lampu dan memulai aktifitasnya di dapur setelah mengganti pakaiannya. Menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri dan Ayahnya.

“Ayah? Kenapa belum pulang?” tanya Lena saat jam di ruang tengahnya sudah  menunjukkan

angka delapan.

“Ayah harus lembur Nak...” jawaban sang Ayah hanya ditanggapi dengan helaan nafas pasrah dari Lena.

“Lagi?”

“Kamu makan duluan dan istirahat, Sayang...”

“Jangan lupa makan Yah dan hati-hati pulangnya...” Lena mengakhiri panggilan telponnya. Ia lalu berpindah ke ruang makan dan berusaha menikmati makan malamnya. Kapan terakhir kali ia makan bersama keluarganya? Entahlah... Lena terlalu takut untuk kecewa jika ia tahu jawabannya.

***

“Len?” Kenny menyentuh lengan Lena yang tertidur saat membaca bab kedua naskah Kenny.

“Maafkan aku, Kak...” Lena cepat-cepat meminta maaf dan kembali fokus ke naskah itu.

“Lo baik-baik saja?” tanya Kenny khawatir.

“Ya aku baik-baik saja. Hanya sedikit kurang tidur...” Lena mengusir rasa kantuknya. Ia juga heran dengan dirinya sendiri. Akhir-akhir ini ia sering sekali merasa kelelahan dan tertidur di kelas. Hal yang tidak wajar untuk seoang Lena.

“Kita lanjutkan besok saja gimana?” usul Kenny, “lo boleh bawa naskah ini dan membacanya ketika luang, gue masih bisa baca softfile-nya...”

“Beneran Kak?”

“Iya, kita ketemu lagi besok ya?”

Lena menjawab dengan anggukan mantap. Ia bisa lebih berkonsentrasi kalau membaca naskah itu sendiri daripada di perpustakaan yang justru rame setelah pulang sekolah seperti ini. Lena membereskan alat tulisnya dan menyimpan naskah itu dengan hati-hati.

“Langsung pulang?” tanya Kenny yang berjalan di samping.

“Tidak, aku masih ngajar les bimbel di Jl. Pahlawan...” Lena melihat jamnya, masih banyak waktu yang sebelum kelasnya dimulai.

“Lo ngajar juga?” Kenny terkejut dengan pekerjaan Lena.

“Iya... buat tambahan uang jajan”, Lena tersenyum karena tidak sengaja berbohong. Itu untuk uang keperluan sekolahnya. Ia tidak mau memberatkan ayahnya lagi sehingga ia memutuskan untuk mencari pekerjaan sampingan.

“Elo gila...”

“Mungkin?” Lena berfikir jika ia tidak melakukannya ia justru akan lebih gila. Ia sangat membenci kesendiriannya di rumah sehingga ia memutuskan untuk meluangkan waktu sebanyak mungkin di luar.

“Gue anterin lo, mau?” tawar Kenny.

“Beneran?” Lena tersenyum senang. Ia akan memiliki lebih banyak waktu untuk menulis ceritanya sambil menunggu waktunya bekerja.

“Tentu saja, lets go!”

***

“Len, lo pacaran sama Mas Kenny?” tanya Chery setelah berusaha keras menahan rasa penasarannya. Kebersamaan mereka ama–lama  menjadi buah bibir di sekolahnya. Banyak yang patah hati, banyak juga yang merasa iri atau bahkan cemburu. Rumor ini membuat Chery mengkhawatirkan sahabatnya itu.

“Heh! Gosip dari mana itu? Gue cuma bantuin Mas Kenny aja buat koreksi beberapa tulisannya kok...” Lena ikut terkejut dengan berita itu.

“Beritanya sudah menyebar ya Len, elo kurang peka sih...”

“Serius? Nggak ada apa-apa antara gue dan Mas Kenny, kami temenan kok...”  Lena akhirnya menyadari bahwa kedekatan mereka dapat membuat orang lain salah paham.

“Ada apa-apa juga nggak apa-apa kok, kan dari temen jadi demen...”

“Hush apaan sih...” Lena dan Chery tertawasambil bercanda melewati lapangan menuju kantin. Tiba-tiba saja terik cahaya matahari yang menyengat Jakarta terhalang oleh ratusan kertas yang melayang-layang dari atap sekolah. Lena berhenti dan mendongak ke atas, menghalangi cahaya yang menyilaukan mata dengan tangannya. Ada apa ini? Lena mengambil selembar kertas yang jatuh paling dekat dengan kakinya dan tertegun.

“I..i..ini…” Lena tergagap sambil memandang sekeliling, ia lantas mengambil kertas-kertas yang berjatuhan itu satu persatu. Semua murid yang kebetulan melihat fenomena hujan kertas itu ikut penasaran dan bergerombol ingin tahu apa yang sedang terjadi.

Tangan Lena gemetar mengambil lembaran-lembaran naskah novel Kenny yang sedang dalam proses koreksi. Jelas-jelas ia menyimpannya dalam tas, lalu siapa yang mengambil dan melemparkannya begitu saja dari atap gedung?

Melihat tingkah Lena yang panik membuat Chery ikut berjongkok dan mengambil kertas-kertas yang berserakan di lapangan. Ia tak mengerti tapi melihat sikap Lena yang panik, instingnya memberi tahukalau kertas-kertas itu penting untuk Lena.

“Kenapa bisa seperti ini?” tanya Kenny pias.

“Aku…aku…” Lena tak ingin membela dirinya sendiri. Tak ada yang berubah hanya karena ia membuat alasan. Kenyataan yang ada di hadapannyalah yang berbicara. Lena tahu bagi penulis, naskah adalah segala-galanya. Sudah sepantasnya Kenny marah jika naskahnya berantakan seperti ini.

“Padahal aku percaya padamu, kenapa bisa begitu ceroboh begini? Aku benar-benar kecewa!” Kenny melimpahkan kekesalannya pada Lena. Gadis itu menunduk tanpa berniat menghentikan usahanya untuk memungut kertas-kertas yang tersisa.Ia tak ingin menyalahkan siapa-siapa, terlebih kesalahpahaman yang menimpa dirinya saat ini

****

Renov menghela nafas melihat pemandangan di hadapannya. Ia benar-benar kesal terharap dua hal. Pertama, ia baru saja selesai membantu Pak Wahyu menyapu lapangan sekolah. Penjaga sekolah itu masih sakit dan Renov membantunya karena ia tak memiliki kerjaan apapun di rumah. Kedua, ia benar-benar kesal melihat anak-anak di sekolahannya hanya memandang Renatta tanpa berniat membantunya. Kenapa semua orang di sekolahan ini begitu egois sih?

Renov sebenarnya tak ingin ikut campur. Toh semua yang terbang dari atap sekolah itu hanya kertas. Kertas yang terlihat begitu penting sehingga Renatta buru-buru mengumpulkannya. Renov membalikkan badannya, sesegera mungkin pergi dari sana. Ia juga tidak mau terlibat lagi dengan Renatta. Aura gadis itu terlihat begitu mendung sejak ia bertemu dengannya.

“Lo lihat mukanya tadi?” tak sengaja Renov mendengar sesuatu yang menarik perhatiannya saat ia sedang mengembalikan sapu di gudang.

“Benar-benar terlihat sangat bodoh! Siapa namanya? Renatta?” Renov semakin penasaran saat ia mendengar nama Renatta disebut. Pasti kejadian tadi berhubungan dengan mereka.

“Iya! Biar tahu rasa dia! Siapa suruh deket-deket sama Kenny. Dia nggak tahu ya kalau Kenny itu pacar lo? Mentang-mentang dia populer, dia bisa seenakknya ngerebut Kenny dari lo?” mendengarnya membuat Renov mengerti sekarang. Jadi semua yang terjadi pada Renatta adalah ulah mereka?

BRAAAK!

Sengaja Renov mengambil kembali sapunya dengan kasar agar menimbulkan suara gaduh. Perempuan-perempuan itu menoleh kaget. Mereka hendak menutup mulut siapa yang mencuri dengar pembicaraan mereka namun urung saat melihat Renov yang ada di hadapan mereka. Kenapa kakak kelasnya ada di sini?

“Apa lo? Mau gantiin gue nyapu?” Renov mengacungkan ujung sapunya ke arah salah satu perempuan yang ada di hadapannya, “kalau lo pengen cari ribut, cari dong lawan yang sejajar. Gara-gara lo semua gue harus nyapu lagi tuh lapangan, sialan!”

“Ki...ki...ta...”

“Nggak usah ngeles, gue denger semuanya!” desis Renov sambil mengayunkan sapunya ke tembok dan membuat mereka bergidik ngeri. Renov lantas menyeret sapunya kembali ke lapangan, “sialan!” desesinya pelan.

***

“Hey!” teriak Renov membuat semua yang ada di lapanganmenoleh ke sumber suara itu, Renov berdiri sambil membawa sapu di tangannya.

“Apa-apaan ini? Gue udah susah payah nyapu dari pagi! Mau berurusan sama gue? Kalau nggak niat bersihin ini minggir sana! Kurang ajar!” teriak Renov lagi, membuat kerumunan itu terurai satu persatu. Tidak ada yang mau mengambil resiko berdebat dengan Renov. Kenny hanya memandang Renov sekilas sebelum ikut meninggalkan Lena yang menunduk dalam.

“Elo lagi…” desis Renov, “nggak bisa ya buat hidup lo normal? Segitu inginkah eksis di sini?” Renov menyapu beberapa kertas yang berserakan di hadapannya.

“Jangan, Mas…” Lenamenghentikan tangan Renov, “ah maaf” ucap Lena sambil menarik kembali tangannya yang memegang pergelangan tangan Renov.

“Kali ini lo nggak bakal lolos, lo harus bantuin gue nyelesain kekacauan ini...” Renov hanya menghela nafas saat melihat Lena mengangguk dan langsung meneruskan perkerjaanya. Memunguti kertas-kertas itu.

“Mas maafin saya...” Lena mendekati Renov yang dari tadi mengawasi dengan mata elangnya. Sangat menakutkan.

“Len...” Chery menarik lengan Lena. Ia tidak ingin memperpanjang urusan ini. Melihat raut wajah Renov saja sudah membuat ngeri. Apalagi kalau harus menganjaknya beramah tamah. Ogah.

“Cher lo duluan gih...makasih ya?” Chery masih tidak ingin meninggalkan Lena namun urung saat Lena berhasil meyakinkannya.

“Mas.... dihukum lagi?” tanya Lena ragu setelah ia Chery meninggalkannya.

“Kenapa? Lo mau gantiin gue dihukum?” Renov meletakkan sapunya dan bersandar di dinding gedung, menghindari panas matahari.

“Tidak seperti itu, hanya saja...” Lena ikut bersandar di dinding, “kita selalu bertemu di waktu yang tidak tepat...”

“Lalu lo pikir waktu yang tepat itu seperti apa?” Lena menatap Renov yang sedang melihat ke arah langit. Lena tak mampu menjawab pertanyaan Renov, ia juga tidak tahu waktu yang tepat itu seperti apa, baginya waktu tidaklah selalu tepat seperti apa yang dia inginkan. Mereka berdua melihat langit dalam diam sampai bel terakhir pelajaran berbunyi. Lena tersadar, ini pertama kalinya ia membolos pelajaran.

“Gue menyukainya...” bisik Renov yang membuat Lena menoleh kaget, menyukai apa? Hatinya berdebar, debaran yang sama seperti saat melihat senyum lelaki itu untuk pertama kalinya.

“Buku, lo...” Renov memperjelas maksud ucapannya saat melihat wajah Lena yang memerah, “lo inget kan? Bahwa lo sendiri yang berhak atas sekenario hidup lo, jadi lo juga harus yakin kalau pilihan lo pasti hasilnya yang terbaik...” Renov mengutip salah satu kalimat dalam novel yang ditulis Lena. Renov tersenyum sambil mengusap ujung kepala Lena lembut, “lo udah berusaha keras...”

Lena tertegun, tidak hanya karena kelembutan Renov tapi juga karena Renov seolah mengetahui kalau novel yang ia tulis merupakan pelarian dari kisah hidupnya selama ini.

“Mas...” Lena hendak mengatakan sesuatu namun Renov memotongnya.

“Gue nggak dihukum, gue kan udah nggak wajib dateng ke sekolah. Ngapain juga gue dihukum?” Renov berbalik dan meninggalkan Lena yang mulai menyadari kebodohannya. Ia baru sadar kalau Renov sudah tidak wajib ke sekolah. Tapi apa yang dilakukannya di sini?

Lena menatap punggung Renov yang menjauh, meninggalkan hati Lena yang mulai bergetar aneh  dan membuat tubuhnya meremang. Laki-laki itu menyentuh ujung kesadaran Lena. Lelaki itu seolah bisa membaca isi pikiran dan hatinya. Ia takut Renov dapat melihat kelemahannya. Kelemahan yang harus Lena sembunyikan. Ini bukan waktu yang tepat untuk Lena marasa lemah. Ia harus kuat. Benar, ia tidak boleh berurusan dengan Renov

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!