NovelToon NovelToon

Bocah Kambil

Prolog

Matahari siang itu sangat terik hingga mungkin dapat memanggang kepala siapa saja yang lewat di bawahnya. Namun hal itu tak menyurutkan semangat Bimo bersepeda kencang menuju sekolah tercintanya, SMA Gadjah Mada untuk mengikuti sesi latihan Jambore Nasional bersama teman-teman pramukanya, Gadjah Mada Scout yang akan diikutinya satu minggu lagi. Tubuhnya penuh keringat yang menetes di sana sini. Napasnya menggebu bagai pipa pabrik pengolahan.

 

Entah melamunkan apa dia saat itu, sampai di perempatan lampu merah dekat sekolah ia tak sempat mengerem laju kencang sepedanya. Dengan gelagapan, ia kerahkan tenaganya sekuat mungkin untuk menarik tuas rem. Nahas, dia sangat terlambat. Ia menghantam seorang gadis yang berhenti di depannya. Sontak, keduanya berteriak kaget dan kesakitan.

“A-aduh, maafkan aku. Aku t-tidak sengaja. Kau baik saja?” ujar Bimo terbata-bata.

“Ah, iya. Tak apa. Aku baik sa—”

 

Perkataan gadis itu tergantung di udara. Tatapan mereka saling bertemu. Dimensi dalam diri mereka terasa berhenti. Bimo ingin memalingkan wajahnya, namun ia tak mampu. Pandangannya seperti dikunci oleh tatapan dalam dari mata indah gadis tersebut. Hingga tak sadar lampu telah berganti warna hijau.

 

“Woi! Yang di depan ngapain, woi! Kalau pacaran lihat situasi kondisi, dong. Macet yang di belakang sini, bro!” teriak salah seorang pengguna jalan.

Mereka tersentak malu dan membetulkan posisi masing-masing. “I-iya, pak. Maafkan kami.”

Dengan malu, mereka berpisah menuju arah mereka masing-masing. Sesaat sebelum berpisah, mereka mengunci pandangan sebentar, dan melanjutkan perjalanan sesuai dengan tujuannya masing-masing. Bimo kembali menoleh ke arah gadis itu berlalu. Dirinya masih penasaran dengan sosok tersebut. Tapi yang dilihatnya hanya kepadatan kendaraan dibelakangnya yang sedang mengantre jalan. Ada sedikit kekecewaan dalam hatinya.

Sesampainya di sekolah, Bimo terlambat mengikuti latihan. Dengan amarah memenuhi ubun-ubun, Dewan selaku seniornya meneriaki lelaki bertubuh jangkung itu dengan tatapan seram. “Bimo kau terlambat sepuluh menit. Sudah berapa kali kau terlambat seperti ini? Silakan push-rank, ups, salah. Silakan push-up lima puluh kali!”

“Bisa saya nego?”

“Hebat, ya, kamu. Sudah jadi Pradana, sering terlambat, tidak pernah serius ikut latihan, sering izin tidak ikut latihan masih saja bercanda. Menyesal saya memilihmu jadi kandidat dulu, tahu-tahu sekarang tidak keruan tingkahmu. Tapi juga heran saya sama kamu. Bisa-bisanya teman-teman kamu mempercayai jabatan Pradana kepada dirimu yang tidak tahu aturan dan tidak tahu malu. Cepat lakukan! Atau kau mau hukumanmu aku tambah lagi, hah?” hardik Dewan mengungkit masa lalu Bimo.

“Maaf. Tapi saya tidak bercanda,” ucap Bimo dengan setengah hati sambil mendengus.

“Masih berani bicara? Baik, aku beri kamu bonus sepuluh lagi.”

 

Dewan berlalu sambil geleng-geleng kepala.

Aku sering melakukan itu bukan tanpa alasan, bodoh. Kau tidak pernah menghargai kerja kerasku. Mentang-mentang jadi senior, seenaknya saja menghardik orang. Aku muak kau ocehi setiap hari. Jadi jangan heran jika aku bertingkah seenakku sendiri. Dasar tidak pengertian, batin Bimo geram.

 

Bimo hanya menghela nafas sambil melempar tas merahnya tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. Ia ambil posisi push-up dan melakukannya dengan setengah hati sambil menggigit bibirnya. Teman-teman dan junior Bimo menatap dirinya sambil berbisik-bisik. Kejadian lima menit lalu melintas kembali di pikiran Bimo. Hal itu membuatnya seakan makin dipojokkan oleh dunia.

Tapi sesuatu menyeret hati Bimo untuk mengingat kembali kejadian tadi. Perasaan mengganjal mengusik konsentrasi Bimo.

 

Siapa gadis itu? Pernahkah kita bertemu sebelumnya? Rasa-rasanya dia tidak asing, ujar Bimo dalam hati.

______________________________________

Terima kasih sudah mampir! Jangan lupa tinggalkan suka dan vote, ya. Oh, iya, bagikan juga ke teman-teman kalian siapa tahu suka. Karena dukungan dari kalian semua sangat warbyasah!

Find me on social media

IG: @dernatasw or @dahelart

FB: Derna Taswara

001. Episode 01

Fajar mulai menyingsing tatkala Adeth telah terjaga dari tidurnya. Matanya masih setengah tertutup dengan lingkaran hitam di bawahnya. Rambutnya bagai surai singa yang berbau wangi sewangi bunga Rafflesia Arnoldi karena sudah hampir seminggu tidak keramas. Mukanya licin penuh minyak dengan beberapa jerawat yang muncul di jidatnya. Meski begitu, parasnya yang cantik dengan kulit putih kelangsatan masih terlihat. Dengan malas ia singsingkan selimut yang membalut tubuhnya dan beranjak menuju kamar mandi.

 

Suara gemericik air keran menghilangkan rasa kantuknya. Ia tatap dengan kosong wajahnya yang terpampang di kaca wastafel. Lalu ia basuh wajah kusutnya dengan air yang telah ditampungnya. Ia menghela nafas karena merasa segar dibasahi oleh setiap tetes air yang ia balurkan. Mimiknya seketika ceria. Dilanjutkan dengan menyikat jejeran rapi gigi putih kekuningannya, yang masih dominan putih.

Segera ia sambar bathrobe-nya dan berlari kecil ke kamar mandi. Seketika menjerit dan menggigil tubuh Adeth saat ia menyalakan shower. Ia geram karena merasa telah ditipu.

 

Padahal air di wastafel tadi segar, kenapa malah air yang keluar di sini sangat dingin? Keterlaluan, rutuknya dalam hati geram.

 

“Ah, shower terkutuk!” umpat Adeth sambil memukul tembok hingga membuat kaca di dalam sana bergetar. Setelah itu ia meraung sendiri karena merasa kesakitan.

Setelah beberapa adegan menimpa dirinya, ia keluar kamar mandi sembari memasang wajah sebal dan kusut, lagi. Ia merebahkan diri di kasur dan merenung sejenak sampai renungan itu dibuyarkan oleh teriakan mamanya dari bawah.

“Adeth, cepatlah turun ke bawah!”

Adeth hanya menjawab dengan lesu dan malas. “Iya, Ma.”

Adeth mengganti bathrobe-nya dengan seragam pramuka rok panjang. Ia lepaskan handuk yang melilit kepalanya. Disisirlah rambut panjangnya yang masih basah itu. Setelah merasa sedikit baikan, ia langsung mengambil alih meja riasnya dan sedikit berbenah. Sekejap, air mukanya langsung berubah ceria saat menyentuh alat make-up itu. Ia poleskan sangat sedikit gincu dan blush on. Kemudian ia semprotkan parfum di sana sini. Rambut panjang sepinggangnya ia biarkan tergerai dengan jepitan.

Ia berlari menuju meja makan dengan semangat membara. Saking semangatnya sampai tersandung anak tangga terakhir dan menabrak meja makan. Mamanya yang sedang membawa sarapan pun ikut terguncang dan hampir menumpahkan susu. Adeth meringis kesakitan.

“Wah, wah, kenapa? Kamu terburu-buru sekali. Tidak sabar bertemu seseorang, ya?” goda mamanya sambil menyentil hidung anak gadisnya yang masih meringis di bawah meja makan itu. “Jangan-jangan, kamu sudah punya pacar?”

 

Adeth yang merasa dipermainkan oleh mamanya seketika berdiri dan menarik kursi meja makan secara tidak sabar. Dengan bungkam ia ambil dua lembar roti dan ia oleskan selai cokelat pada salah satunya. Kemudian ia tumpuk dan mulai mengunyahnya. Setelah menghabiskan roti ia beralih meminum satu gelas susu dan menghabiskannya dalam beberapa teguk.

 

Selesai sarapan ia sandang tasnya dan berpamitan kepada mamanya.

“Aku berangkat, Ma.”

Mamanya tertawa lepas memandang mimik wajah anak gadisnya yang sedang cemberut. Setelah ia menyalami Adeth yang beranjak keluar pagar rumah, ia melambai ke arah anak gadisnya tersebut sambil berteriak, “Hati-hati di jalan, Sayang! Jangan sampai wajah burukmu itu mengundang nasib buruk!”

Cuaca pagi itu sedang mendung, semendung suasana hati Adeth sejak meninggalkan halaman rumahnya beberapa menit lalu. Seusai berjalan kaki selama sepuluh menit, ia sampai di halaman SMA Gadjah Mada yang berjarak lima ratus meter dari rumahnya. Ia berjalan menyusuri setiap lorong gedung sekolah yang berwarna putih keabu-abuan itu. Ia memasuki kelas XI-III English dan duduk di bangku paling depan. Keadaan masih sepi pagi itu. Hari Sabtu di awal semester, biasanya anak\-anak lebih memilih sengaja datang terlambat.

Adeth melongok ke arah jam dinding dan seketika terperanjatlah dirinya. Waktu masih menunjukkan pukul 05.26 pagi. Oleh sebab itu saat berangkat tadi mamanya menertawakan dirinya karena masih terlalu pagi untuk berangkat. Ia menggerutu tak jelas. Sesekali terdengar kata ‘bodohnya aku’ dalam kalimat alien yang dikumandangkannya.

Tak lama terdengar suara orang mengetuk pintu dari luar. Keberanian Adeth seketika menciut.

J-jangan, jangan-jangan, itu hantu, pikirnya tak karuan sambil bergidik membayangkan rupa apa yang akan ia temui ketika pintu itu terbuka. Adeth memilih diam. Saat senti demi senti pintu itu terbuka, debar jantungnya semakin hebat. Dan yang muncul hanya seorang lelaki jangkung dengan tas merah dipunggungnya. Penampilannya cukup keren dengan rambut klimis dan sepatu pantofel hitam yang sangat amat mengkilap. Secara harfiah, wajahnya cukup tampan dibandingkan dengan lelaki lain di SMA ini. Adeth terperanjat melihat anak lelaki itu.

“Halo, permisi. Aku butuh bantuan dari salah satu anak di kelas ini … oh, hanya kamu. Mari ikut aku,” ujarnya dengan sopan meminta Adeth mengikuti dirinya. Adeth sama sekali tak kenal siapa itu, yang ia tahu pasti hanya satu, lelaki itu adalah kakak kelasnya yang mengikuti Pramuka, terlihat dari fisik dan tampangnya. Namun, lelaki itu terlihat familiar di matanya.

“A-aku?” jawab Adeth tak percaya sambil berdiri. Lelaki itu mengangguk pelan, dan Adeth percaya bahwa ia adalah orang baik-baik. Adeth mengeluarkan secarik kertas, menulis beberapa kata di atas kertas tersebut, menindihnya dengan potongan penghapus, dan meninggalkannya di atas meja. Ia berdiri dan berjalan beriringan bersama lelaki itu. Selama berjalan, mereka terikat oleh situasi canggung.

“Ngomong-ngomong, kau pasti juniorku, kan?” ujar lelaki itu santai dengan tujuan memecah kecanggungan. Berbeda halnya, Adeth malah dibuat semakin canggung.

“I-iya, benar,” jawab Adeth dengan malu-malu. “Bukankah kau laki-laki yang menabrakku tempo hari? Mungkin sekitar tiga bulan lalu, saat akhir semester sebelum ujian kenaikan kelas?”

Lelaki itu tersentak. Mukanya memerah dan tangannya refleks menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Wah, iya. Kau ini masih ingat saja.”

Adeth tertawa. “Bagaimana mungkin aku lupa dengan seseorang yang mempermalukanku di hadapan publik? Ya, ternyata kita satu sekolah, ya? Aku jarang keluar kelas—kecuali jika ke kamar mandi—makanya aku tidak tahu kalau lelaki di sebelahku satu SMA denganku.”

Tawa mereka memecah keheningan koridor sekolah.

Tiba-tiba lelaki itu mengulurkan tangan. Adeth berdiri mematung sambil ternganga. “Oh, ya. Perkenalkan, namaku Bimo Admiza. Panggil saja Bimo.”

Adeth membalas uluran tangan itu dengan ragu-ragu dihiasi senyum yang agak dipaksakan, yang pada akhirnya menjabat tangan lelaki itu. “Adeth. Widasari Adetha.”

Pipi Adeth bersemu merah, begitu pula dengan Bimo. Sampailah mereka di Sanggar Pramuka yang letaknya paling belakang di sekolah ini. Mereka masuk ke dalam ruangan yang berukuran kurang lebih tujuh meter persegi itu. Selama Adeth bersekolah disini, dirinya belum pernah masuk ke sanggar ini. Aneka ragam piala, piagam, dan medali terpampang nyata sebagai bukti bahwa Pramuka SMA 1 Gadjah Mada bukanlah pramuka biasa. Sungguh prestasi nyata yang sangat membanggakan. Namun, prestasi tersebut nampaknya tidak terlalu diakui oleh pihak sekolah. Hal ini tentunya sangat disayangkan. Bahkan tidak sedikit dari mereka berkali-kali mengutuk kepala sekolah yang dirasa seenak jidatnya sendiri. Sayang, kepala sekolah SMA 1 Gadjah Mada berkepala batu.

 

Di ruang tamu sanggar tersebut, ada beberapa sofa yang terletak di sebelah kiri pintu untuk tempat menampung tamu kepramukaan dan beberapa bangku kayu serta satu kasur usang di belakangnya. Kursi dan kasur itu biasanya digunakan oleh anak Gadjah Mada Scout untuk beristirahat atau bermain-main saja. Di tembok sekeliling ruang tamu sanggar tersebut tergantung artikel dan foto sejarah Pramuka dengan lukisan Baden Powell di tengah-tengah tembok belakang, dan beberapa ukiran bertema Pramuka yang dihasilkan oleh anak Divisi Seni. Juga tergantung foto-foto kenangan kebersamaan saat lomba, maupun event tertentu yang diambil oleh Divisi Mading. Dan di balik tembok belakang ada sebuah ruangan yang menyimpan berbagai alat kepramukaan seperti tongkat, semaphore, dan banyak lagi. Ruangan itu pengap, berdebu, dan sedikit berantakan.

 

Adeth sibuk berkeliling di sanggar itu. Sedangkan Bimo tampak membereskan beberapa barang yang berserakan di sana sambil sesekali melihat catatan yang dipegangnya. Ia bergumam lirih dengan jemari yang menyusuri setiap ujung tongkat pramuka. Pandangannya beralih kepada Adeth yang tengah mengagumi indahnya sanggar.

“Hoi, kau tahu kenapa aku mengajakmu ke sini?” tanyanya sederhana sambil menatap lekat gadis yang baru ia kenal tersebut. Adeth yang salah tingkah langsung mengalihkan pandangan dari tatapan tajam Bimo.

“Ng-nggak tahu. Memangnya kenapa?” tanyanya balik tanpa repot-repot memandang wajah sangar Bimo. Ia berusaha menutupinya dengan pura\-pura menghitung jumlah tongkat pramuka.

Bimo menghela nafas. Ia tengah memutar otak dengan sangat keras agar nada bicara dan tampangnya tak menakuti gadis kecil lugu itu. Ia terus-terusan mengamati sampai sesuatu di hatinya membuyarkannya dari lamunan tidak berfaedah itu. Sambil sedikit berdehem ia berbicara dengan nada yang terdengar jelas sangat dibuat-buat. “Ehm, jadi aku mengajakmu ke sini untuk meminta bantuanmu. Kau pasti sudah tahu kabar anak Australia yang pindah ke sekolah ini, bukan? Aku sebagai perwakilan dari Gadjah Mada Scout meminta bantuanmu untuk berkomunikasi dan mengenalkan kegiatan Pramuka di sini.”

“Eh? Kenapa aku? Lagipula aku, kan, bukan anak Pramuka,” tukasnya dengan cepat sambil memasang ekspresi terkejut dan kebingungan. Hatinya melunak seketika, dan perasaannya menghangat. Ia kembali berpikir sambil mengernyitkan dahi. “Tapi, kan, aku orangnya pemalu.”

“Tidak apa-apa. Kami semua, rekan-rekan dari Gadjah Mada Scout siap membantu kapanpun kamu minta. Tidak perlu takut untuk memulai awal yang baru. Karena kami sangat membutuhkanmu dalam hal tersebut. Sebab, anak baru itu tidak terlalu paham bahasa kita dan dia masuk ke sini lewat Jurusan Pramuka.”

“Aku tak akan bisa. Aku tidak mau.”

“Kamu pasti bisa.”

“Tidak.”

“Bisa.”

“Nah, tidak bisa, kan?”

Perdebatan mereka terus berlangsung dengan nada bicara yang saling meninggi setiap salah satu diantara mereka menjawab. Suara mereka sangat keras hingga menggemakan seisi ruangan. Sangat keras sampai terdengar dari luar ruangan. Terlalu keras bagi mereka untuk mendengar suara langkah kaki dari luar. Pintu sanggar itu pun terbuka. Tampaklah seorang anak lelaki sebaya Adeth berkulit seputih porselen dengan rambut pirang berdiri di ambang pintu menatap dengan heran kejadian yang ia saksikan secara nyata. Adeth dan Bimo berhenti berdebat setelah melihat kehadiran anak yang mereka rasa asing itu. Perasaan Adeth yang semula penuh api dan keberanian yang membara sontak menciut dan menjadi takut seperti semula.

“Hello, excuse me. I’m Denave from Aussie,” sapanya singkat sambil melambaikan tangan ke arah mereka. “Nobody asked me, I know.”

Adeth dan Bimo saling melepas pandang dan berbenah sedikit. Adeth menatap Bimo dengan takut-takut. Bimo mengangkat alisnya memberi kode kepada Adeth. Adeth hanya menghela nafas panjang dan mempersiapkan mentalnya yang agak terganggu setelah berdebat dengan si Kakak Resek tersebut. “I’m Widasari Adetha, just call me Adeth. From XI-III English class, glad being your friend, Denave.”

“I’m glad too, Adeth,” jawab Denave sambil tersenyum lebar yang berniat bersikap ramah tetapi malah terkesan seram di mata Adeth. Bimo hanya tertawa kecil melihat sikap Adeth yang ketakutan seperti anak kecil yang melihat badut di pintu masuk McDonald’s. Adeth yang merasa sikapnya dilecehkan langsung menonjok lengan kurus Bimo tanpa merasa takut sedikitpun. Bimo seketika mengaduh kesakitan.

 

“Rasakan itu! Makanya jangan rese!”

 

“Aw! Apaan, sih. Cewek saja tenaganya sudah seperti singa!” Bimo berteriak spontan sambil meringis memegangi lengannya yang berpotensi mengalami lebam parah. Ia tetap mengelus lengannya seperti sedang meninabobokan bayi. Adeth mendekat pelan dengan mimik yang terlihat sedikit menyesal. Sedikit.

“Maafkan aku,” ujarnya pelan sambil menunduk. Ia menatap kedua tangannya dengan tatapan tidak percaya. Sudut matanya mengeluarkan sesuatu yang bening, yang kemudian membanjiri kedua pelupuk matanya. Ia berkata terbata-bata. “Ma-maafkan aku. A-aku tidak b-bermaksud menyakitimu.”

Am I supposed be here? Denave menelan satu posi besar ludahnya.

Denave yang merasa itu adalah saat yang genting berjalan mendekati Adeth. Ia tidak tahu harus berbuat apa kepada teman yang baru dikenalnya lima menit lalu itu. Dia juga tidak tahu-menahu seluk-beluk kejadian yang barusan terjadi, karena sepertinya dirinya tidak mengerti yang mereka bicarakan.

 

Denave berusaha mendekati dan mengulurkan tangannya ke gadis tersebut. “It’s okay, Adeth. Don’t be sad, girl. I’m here.”

 

Adeth menepis tangan Denave dengan kasar. “Don’t touch me, boy!”

Denave berpaling dan menghela napas. Sesaat kemudian ia melihat ke arah jam tangannya. Kemudian berpamit kepada Adeth yang tengah menangis. “Oh, my God! I’m outta here. There’s a business with the headmaster. I’m so sorry to leaving you alone here. Um, but actually you’re not alone.”

Bimo mengalihkan pandangan kepada Adeth. Hatinya terenyuh, diikuti penyesalan yang kian bertambah setiap air mata Adeth meluncur dari pipinya. Bimo merasa telah menyakiti perasaan gadis lugu ini. Ia menarik nafas panjang.

“A-aku ... juga minta maaf,” ujar Bimo tiba-tiba tanpa memandang Adeth sedikitpun. Ia tak sanggup harus melihat kondisi gadis yang baru ia lukai perasaanya itu. “Maaf telah berkata kasar kepadamu. Aku tidak bermaksud—“

“Ssst,” desis Adeth sembari menempelkan telunjuknya di bibir Bimo yang sedang terbelalak kaget. Ia menatap wajah Bimo dengan penuh usil dihiasi tawa. “Aku hanya bercanda.”

Bimo berdecak pelan. Sambil memandang Adeth sinis dengan pandangan yang berapi-api, Bimo berkata pelan dengan tetap memegangi lengannya. Dihempaskannya tas yang bersandar di punggungnya. “Sialan. Sekarang kau yang akan kupukul.”

Adeth tertawa dengan nada ketakutan dan berlari memutari ruangan saat Bimo berusaha mengejarnya. Mereka terlibat adu kejar sampai salah satu diantara mereka kelelahan, kemudian beristirahat dan berlari lagi. Begitu seterusnya. Keduanya terus bermain sampai salah satu diantara mereka menyuruh untuk berhenti. Kemudian keduanya duduk santai di bangku yang berjajar tadi.

“Ternyata, kamu orangnya seru, ya?” tukas Bimo sambil mengelap peluh yang berceceran di jidatnya. Tetap pada pada posisi yang sama, meski nada bicara yang diluncurkan Bimo terdengar sangat ramah, Adeth tetap merasa takut dan tak berani menatap wajah Bimo.

“Ah, nggak juga. Banyak yang bilang kalau aku itu orangnya kaku, kok,” sahut Adeth sambil merapikan poni yang menutupi jidatnya. “Kamu juga seru, kok. Tapi, entahlah, kenapa aku takut padamu, ya? Padahal, kan—“

“Nggak, kok. Rata-rata teman dan junior Pramuka-ku juga begitu. Padahal aku, kan, berniat baik. Mungkin mereka mengira aku ini tukang cari perhatian, dan casing-ku juga menipu bahwa aku kelihatan seperti berandalan.” Bimo memotong perkataan Adeth disertai tawa. Namun, tatapannya menunjukkan kekosongan dan rasa yang tidak mengenakkan dalam hidupnya. “Aku beruntung berteman denganmu. Meskipun sama, tapi kamu berbeda.”

Adeth hanya menyimak apa yang dikatakan Bimo. Dirinya bingung hendak melakukan apa. Tatapannya melekat pada seniornya yang kini sedang murung. Ia mencoba membuktikan yang barusan dikatakan oleh Bimo. Memang benar, Bimo kelihatan seperti seorang berandalan. Tapi di sisi lain, ia juga memiliki lembutnya hati manusia. Ia juga pasti tidak akan terima dicaci ataupun dikasari oleh orang lain. Sesuatu menggerakkan hati Adeth untuk mengenal lelaki ini lebih jauh. Lebih dekat.

Lelaki itu berdeham. Ia menatap Adeth dengan canggung. Adeth yang juga tampak malu-malu berusaha menutupinya dengan memainkan ujung rambut yang agak basah itu. “Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu.”

Jantung Adeth berdegup kencang. Ia menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya. Jangan-jangan, d-dia, pikiran Adeth mulai berkelana ke alam surga.

“Katakan saja,” jawab Adeth tersipu-sipu.

“Kau, mau bergabung menjadi bagian dari hidupku?”

Adeth tersentak. Ia terduduk mematung dengan mulut ternganga. Ia tidak perrcaya dengan apa yang barusan didengarnya. Kemudian meledaklah tawa Bimo. “Haha, hanya bercanda kawan. Apa kau mau bergabung menjadi bagian dari Gadjah Mada Scout?”

Adeth terdiam. Senyumnya merekah meskipun hatinya geram dan gemas. “Hmm, aku pikir—“

Bel masuk terdengar memekakkan telinga. Perkataan Adeth menggantung di udara. Bimo menghela napas panjang.

“Maaf, tapi aku harus masuk kelas sekarang. Jika tidak aku akan dihukum Bu Rahayu karena terlambat masuk. Parahnya, hari ini aku ada ujian dan—dan aku belum belajar sama sekali. Kau tahu betapa galaknya beliau, kan? Akan kupertimbangkan pertanyaanmu tadi. Terimakasih atas waktumu, Kak Bimo.“ Adeth berlalu sambil melambaikan tangan dengan jari yang lentik. Bimo yang menatap Adeth serasa ditampar oleh perkataan yang dilontarkannya barusan. Langkah kakinya terdengar semakin lirih. Lalu senyap digantikan suara gemricik gerimis air hujan. Kini, dia berada seorang diri di ruangan pengap berdebu itu.

“Hah? Apa katanya tadi? ‘Kak’?” gumam Bimo sambil menunduk, yang tanpa dia sadari jantungnya bekerja lebih cepat. Ia menggelengkan kepala sambil menepuk-nepuk pipinya. Ia beranjak dari kursinya secara serampangan, yang mengakibatkan jempol imutnya terbentur oleh kasur. Ia berteriak sendiri karena kecerobohannya. Sadar akan posisinya yang serba salah sekarang membuatnya memunculkan konflik batin di dalam kepalanya. Semakin ia termenung, semakin tidak kunjung kelar pemikirannya yang tidak keruan. Bimo mengerang keras karena konflik dalam dirinya semakin mencuat hebat. Ia beranjak menuju kelasnya, XII-IV IPS, karena sudah waktunya beristirahat dari perang sesat yang takkan ada habisnya itu dan mulai menjernihkan pikiran serta mengisi kembali otaknya dengan ragam hafalan sejarah. Ia tutup dengan paksa pintu gudang tua berkarat yang mengeluarkan bunyi berderit-derit tersebut. Seolah baru mengalami mimpi buruk, ia bergegas menembus jalanan gerimis menuju kelasnya dan membiarkan semua berlalu ditelan oleh waktu.

___________________________________

Sarapan apa kalian hari ini?

Hai, terima kasih sudah mampir! Bagikan ke teman-teman kalian, ya, siapa tahu suka. Karena, dukungan dari kalian semua sangat warbyasah!

Find me on social media

IG: @dernatasw or @dahelart

FB: Derna Taswara

002. Episode 02

Derap langkah kaki Adeth menggema di lorong sekolah. Ia sudah hampir kehabisan tenaga berlari menuju kelasnya setelah dari Sanggar Pramuka yang berjarak setara empat kali putaran lapangan basket tersebut. Ia pelankan langkahnya yang semakin pegal. Ia berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Ia tersentak karena teringat bahwa hari ini adalah jadwal kelas Bu Rahayu. Ia kembali lari terbirit-birit sambil merinding. “Hiyyy … Ya Tuhan, tolongah aku.”

 

Adeth berlari kencang menuju pintu kelas yang tinggal berjarak beberapa ruangan dari tempat ia memacu tenaga yang hampir habis itu. Dengan harap-harap cemas, ia tetap berlari dengan kecepatan yang kian menurun tiap detiknya. “Ya Tuhan, semoga Bu Rahayu belum masuk ruangan.”

Namun, takdir berkata lain. Bu Rahayu telah siap menyiduk Adeth di ambang pintu kelas dengan tatapan tajam dibalik kacamatanya dan wajah dingin sekaligus datar khas beliau.

Oh, sial sekali diriku, umpat Adeth dalam hati sambil berhenti mendadak. Segera, tatapan Bu Rahayu bagai radar yang mendeteksi adanya musuh. Gerak-gerik Adeth ditangkapnya secara detail. Adeth seketika menciut. Sambil menundukkan kepala, Bu Rahayu memulai fase awal untuk menceramahinya habis-habisan.

“Ke mana saja kamu?” tanya Bu Rahayu dengan nada yang tajam bagai pedang yang dengan sigap ditangkis oleh Adeth. Seluruh tubuh Adeth bergetar. Ia tak berani melihat tampang ‘horor’ gurunya sendiri. Sambil berkacak pinggang Bu Rahayu berujar dengan nada tinggi, “Sekarang masuk ke kelas!”

Matilah aku, ucap Adeth dalam hati sambil menggeretukkan gigi. Puluhan pasang mata menatap anak perempuan berambut sepinggang yang sedang berjalan masuk dan disuruh berdiri di depan kelas tersebut. Ada yang memandang dengan senang, geli, heran dan ada pula yang menatap dengan puas sambil mengangkat kepala.

“Kemana saja kamu?” tanya Bu Rahayu yang diulang dengan intonasi datar.

Adeth menjawab sambil meremas-remas jari lentiknya. “S-saya dari Sanggar Pramuka, bu.”

“Bohong!” sambar Bu Rahayu dengan cepat sambil memandang seluruh penjuru kelas yang ketakutan setengah mati. “Anak-anak, mohon jangan dicontoh perbuatan seperti ini. Kita ini Sekolah Rujukan. Masuk kelas saja terlambat, berbohong pula. Bagaimana mau memberi contoh apalagi menjadi panutan sekolah lain?”

“Saya tidak pernah bohong, Bu!” sahut Adeth cepat dan tegas. Ia angkat kepalanya dengan ragu-ragu.

Aduh, aku tadi titip surat sama Reyza, dibaca nggak ya? Terus gimana, dong, protes Adeth dalam hati. Ia gigiti bibirnya pertanda bahwa ia sedang cemas. Matanya menatap Reyza, gadis Jawa berkulit kuning langsat berhijab dengan kacamata yang sering dianggap laki-laki karena keambiguan namanya, sedang suntuk menonton pertunjukkan itu untuk memberi kode. Reyza mengangguk.

“Oh, benarkah itu?” ujar Bu Rahayu dengan nada bicara yang terkesan menyindir.

“Adeth benar, Bu!” teriak Reyza tiba-tiba sambil berdiri mendadak diikuti tatapan tajam seluruh penghuni kelas. Termasuk Mbak Kunti yang sedang dipojok yang membuat Reyza merinding. “Saya mempunyai bukti!”

Reyza berjalan dengan mantap menuju depan kelas yang tanpa sengaja menginjak kaki Mbak Kunti yang ada di pojokan tadi. Dia pun mengerang kesakitan. “Aduh, duh! Maaf, mbak! Beneran nggak sengaja. Nanti Reyza pijitin, yah?”

Mbak Kunti hanya mengangguk, lalu pergi bersama angin. Kembali ke topik. Reyza menyerahkan satu lembar kertas berwarna biru dengan tinta merah dan terdapat tiga baris kata di atasnya. Bu Rahayu langsung menyambar kertas tersebut.

 

Hai Rey, tolong nanti izinkan ke guru kelas, ya. Aku izin masuk kelas agak terlambat, ada urusan mendadak. Jika ada perlu, cari aku di Sanggar Pramuka. Thanks a lot, hihi! :)

Adeth

 

Bu Rahayu mengangguk-angguk. “Begitu, ya? Sekarang silahkan duduk dan camkan ini. Jangan pernah membuat apalagi mengulang kesalahan yang sama lagi. Oh, ya, siapa nama kalian?”

“A-anu, Bu. Reyza. Arthawidya Reyzani.”

“Kamu?” tunjuk Bu Rahayu ke arah Adeth dengan pulpen.

“W-Widasari Adetha.”

“Baik, Adeth. Kau dalam masa percobaan saya. Dan kau, Reyza, jadi perantara saya dalam mengawasi dia, ya. Kalian boleh duduk.” Bu Rahayu berujar dengan intonasi tetap datar.

Reyza dan Adeth bagai tersambar petir. Mereka menelan ludah tatkala Bu Rahayu memandang mereka dengan memicingkan mata. Saat mereka menduduki bangku, rasa merindingnya tetap tidak bisa dihilangkan.

“Bro,” ujar Adeth tiba-tiba kepada teman sebangkunya itu. “Makasih banyak, ya, sudah bantu aku.”

Reyza tersenyum menunjukkan senyum termanisnya. “You’re welcome, dude. Cause that’s what friends are supposed to do.”

“Dih, copas.”

Bu Rahayu berdehem sambil merangkul tumpukan kertas buram. “Now, enter your books and close your pen! Hurry up!”

“Kiamat,” gumam Reyza dan Adeth bercucuran keringat dingin.

 ___________________________________

Kalau tiba-tiba guru kalia mengadakan ulangan dadakan, bagaimana reaksi kalian? Beritahu saya di kolom komentar, ya!

Hai, terima kasih sudah mampir! Bagikan ke teman-teman kalian, ya, siapa tahu suka. Karena, dukungan dari kalian semua sangat warbyasah!

Find me on social media

IG: @dernatasw or @dahelart

FB: Derna Taswara

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!