NovelToon NovelToon

Peluru Cinta Sang Jenderal Hafidz

Indah Ayu Setyawati

Nama : Jamilah binti Hasan

Panggilan : Indah Ayu Setyawati. Dilarang merasa aneh dulu dengan nama panggilanku. Baiklah aku terangkan ...

Jamilah dalam bahasa arab itu artinya indah bukan. Untuk orang, Jamilah artinya cantik. Bahasa jawanya Ayu. Berarti Indah, Ayu itu namaku juga dalam bahasa yang berbeda. Kalau Setyawati, itu cita-cita. Setia selamanya, hehehe ....

Ayu, panggilan ini aku khususkan untuk saudaraku. Indah, kalau yang ini aku khususkan untuk teman-teman ku.

Sedangkan untuk Setyawati, itu nama yang karena kekagumanku pada papa. Dia amat sayang, juga setia sama mama. Sekian tahun ditinggal mama, dia tak ingin menikah lagi.

Apa gara-gara aku ya ....

Kalau karena itu, I'm sorry, Papa. Papa boleh kok menikah lagi, asal semanis diriku.

Makanya untuk Setyawati, aku peruntukkan, papa, bibi dan keluarga ku yanng lain

Untuk orang khusus yang ada dalam hatiku atau yang sangat deket saja, yang boleh panggil Jamilah. Lainnya sesuai sikon hati.

Cita-cita : Marsekal Angkatan Udara, pingin seperti papa yang selalu mengabdi pada negara. Dan lagi tidak banyak wanita yang bercita-cita seperti itu. Jadi banyak lowongan. Tapi dengan pakaian bercadar seperti ini, mungkinkah lulus dan diterima. Berdoa sajalah dan optimis.

Tapi sayang, Papa mencoba menghalangi cita-citaku. Dia menginginkan diriku menjadi seorang Hafidzah.

Kalau 2 bisa. Mengapa harus 1. Kalau Marsekal yang Hafidzah bisa. Kenapa harus Hafidzah saja.Hehehe ....

Olahraga yang disukai : taekwondo, anggar

Tontonan yang disukai : Sepak bola,

Hobi : Memasak yang aneh. Karena hanya orang yang aneh yang suka dengan masakanku. Tapi dijamin pasti akan ketagihan.

Saudara : Lebih dari 100. Maaf, karena diriku di tempatkan di rumah bibiku. Seorang pengasuh Panti Asuhan.

IQ : 220 kata author. Tak tahu siapa yang mengetes. Tahu-tahu sudah ada hasil.

Meskipun bukan dari keluarga yang religius-religius amat, tapi Papa mendidik agak keras padaku. Apalagi soal pakaian. Jadilah seperti ini. Tapi aku suka.

Prinsip hidup: Nikmati semua dengan bahagia. Bukankah kita tiap hari selalu berdoa kebaikan dunia akhirat'. Sesuai dengan prinsip.

🌟

Nama : Akmal bin Andre S.

Nama samaran : Brama Kumbara. Nama ini aku dapatkan dari Oma. Dia penggemar berat drama radio yang nge-trend tahun '80-an itu. Dia mengidolakan banget sama sosok pemeran utama dalam serial tersebut, Brama Kumbara. Makanya, aku lebih dikenal dengan panggilan Bara dari pada namaku sendiri.

Dia menggambarkan diriku seperti itu sejak aku kecil. Entah maksudnya apa. Hanya Oma yang tahu.

Cita-cita: Ahli botani. Sederhana bukan ....

Olahraga yang disukai : Berkuda, memanah

Tontonan yang disukai : Drama komedi

Hobi : camping

Saudara kandung : Akram bin Andre S. (saudara kembar)

Saudara seibu : Aisye binti Bahrul Ulya.

Saudara angkat : kak Devra binti Mustafa.

IQ : 220, bisa saja author ini, malu aku.

Keluarga biasa-biasa saja. Mama yang selalu mengajarkan pada kami senantiasa tertib dengan pelaksanaan ajaran-ajaran dari agama yang kami anut. Makanya aku memilih untuk mondok, agar bisa hafal Alquran, sebelum melanjutkan cita-cita yang diinginkan papa. Menjadi seorang militer. Meskipun papa adalah seorang pengusaha yang hebat. Tapi entah kenapa papa Ulya menghendaki diriku menjadi seorang militer.

Prinsip hidup : Nikmati semua dengan bahagia. Karena setiap yang terjadi di dunia semua sudah ada yang mengaturnya. Yang dibutuhkan adalah sabar dan syukur, agar kita mengerti hikmah dan hikayat di baliknya.

🌟

Krosak ... krosak ....

Pasti gadis kecil itu lagi. Anak panti asuhan yang bersebelahan dengan tempatku tinggal kali ini. Hampir tiap hari, dia selalu mampir ke kebunku. Lihatlah dan dengarkan ....

"Kak ... aku ambil jambu dan mangganya ya ..."

"Ya ...."

Tanya- tanya sendiri, dijawabnya Sendiri pula. Bara menengok sebentar lalu geleng-geleng kepala. Subhanallah, ini anak ....

Anak ini luar biasa, tubuh boleh mungil, tapi kalau beraksi di atas tembok dan pohon luar biasa. Tembok yang begitu tinggi, ditaklukkannya tanpa kesulitan. Berpijak pada dahan yang tinggi pun tanpa ada rasa takut sedikitpun. Dan kalau mengambil tak hanya satu. Sepuasnya, tak terhitung. Mungkin karena punya sifat berbagi yang tinggi. Tak mau menikmati sendiri, teman-temannya juga dia beri. Dekatkan saja suara-suara berisik memanggilnya dari balik tembok.

"Kak Ayu, aku mana?"

"Sabar, tunggu saja, ini masih aku petikkan." ucapnya keras.

Dia tak juga ingin mencegahnya. Bahkan menikmati dengan caranya sendiri. Geleng-geleng kepala dan tertawa kecil. Sampai-sampai menampakkan jejeran gigi bersihnya. Namanya juga anak-anak. Pasti menyenangkan bisa menikmati buah bersama. Meringankan bebanku. Tak usah memetiknya apalagi mengantarkannya. Kan sudah diambil sendiri.

Bara melanjutkan Murojaah hafalannya di sebuah bangku, di depan laboratorium pribadi yang dia punya. Tak menghiraukan keributan yang terjadi di kebun bagian pojok.

Brruuuukkkk...

Belum juga dapat satu lembar, Bara dikagetkan dengan suara yang sangat keras. Berasal dari pojok kebun . Ada apa dengan gadis kecil itu. Jangan-jangan ....

Bara segera meletakkan Al Qur'an kecilnya di atas meja yang ada di sampingnya. Dengan langkah lebar, Bara menuju sumber suara. Dan benar, dia mendapati gadis kecil itu meringis kesakitan di atas tanah. Sepertinya terluka.

Sambil tersenyum, dia mendekati gadis kecil itu.

"Aduh," rintihnya.

"Kenapa, Dik.Ya beginilah kalau mencuri. Sudah terkena balasan duluan." Bara hanya berjongkok di sampingnya. Ingin menolongnya tapi timbul sifat isengnya. Biarlah dia puaskan untuk menggoda gadis itu.

"Aku sudah ijin kok. Kakak yang tak dengar." protesnya, membela diri

"Ya ... ya ... Kakak izinkan. Sepertinya kakimu patah tuch." godanya.

"Enak saja." jawabnya jengkel. Dia berusaha berdiri, ingin menunjukkan kalau dia baik-baik saja. Meski harus meringis menahan sakit. Membuat Bara tak tega juga.

"Sudah, tunggu di sini." ucapnya. Lalu pergi meninggalkan kan dirinya seorang diri kembali.

Kenapa ini sakit sekali. Dia pun terduduk kembali. Kini dia seorang sendiri, kecemasan mulai menyerangnya.

"Kak, jangan tinggalkan Indah. Ini sakit sekali."

Untunglah, kakak itu datang lagi dengan membawa sedikit peralatan.

"Sakit?"

"Sudah tahu sakit. Kakak tinggalkan juga sendiri."

"Tadi katanya nggak apa-apa. Makanya kakak tinggalin kamu."

Dengan telaten Bara membersihkan luka yang di kakinya. lalu memberikan Betadine pada lukanya. Gadis kecil ini mengingatkanku pada Aisye, adik kecilku. Sewaktu seumurannya, sama bandelnya. Aku jadi rindu sama dia.

Sepertinya kakinya agak keseleo. Baiklah ....

"Namamu siapa?"

Bara mencoba mengajaknya bicara agar gadis ini tak merasakan sakit dengan apa yang akan dilakukannya. Tuck ....

"Jamilah ... aawwu ... innalilahi ... Kakak." teriak Jamilah menahan sakit karena tarikan kuat yang Bara lakukan pada kakinya.

"Sekarang bagaimana?"

"Jauh lebih baik." kata Jamilah senang. Segera dia mencoba berdiri kembali

"Sebentar. Kalau tak tak diperban. Nanti posisinya pindah."

"Oh*." Jawabnya singkat.

Bara menuntunnya ke sebuah pohon yang mempunyai cabang yang paling rendah. Dan menyuruh nya duduk. Sementara dirinya sibuk membalut kaki Jamilah dengan perban kain yang dia bawa.

"Kakak seperti papa. Sangat telaten rawat Indah."

"Sebentar-sebentar. Tadi kamu sebut apa. Kakak jadi bingung.

Belum juga menjawab, sudah ada suara yang memanggil dirinya.

"Kak Ayu, Kak Ayu nggak apa-apa kan?"

Buah Terlarang

"Nggak apa-apa. Sudah pergilah. Nanti Umi jadi curiga. Kak Ayu pasti balik."

" Ya sudah, Kak. Kita pergi dulu."

"Ya*."

Bara mengernyitkan dahinya. Ini anak, banyak kali namanya. Pertama bilang Indah, lalu Jamilah, sekarang yang kudengar Ayu. Biasanya yang ku tahu, nama boleh panjang, tapi panggilan hanya satu. Lha ini ....

"Sebenarnya nama kamu siapa?" tanya Bara sambil melanjutkan membalut kaki Jamilah dengan perban.

"Hehehe ... Untuk kakak, Jamilah saja."

"Kok bisa?" tanyanya serius.

"Karena kakak spesial.

senyum-senyum.

"Gini lho kak, Nama asliku itu Jamilah. Nama panggilanku yang banyak, tergantung situasi dan kondisi. Seperti kayak gini, Kakakkan sudah nolongi aku, maka kuijinkan panggil namaku. JAMILAH. Kalau teman biasa panggil aku Indah. Kalau saudaraku di panti asuhan harus panggil Ayu. Kalau Papa, Setyowati."

"Pusing kakak dengar kamu ngoceh. Tapi okelah Jamilah, sudah enakkan?"

"Sudah. Makasih Kak. Tapi sepertinya agak ribet jalan."

"Sabar, nggak sampai seminggu. Biar tulang menetap dulu.'

"Lha aku jadi nggak bisa pulang dong. Nggak bisa panjat."

"Nanti kakak antar. Lagian gadis manis kayak kamu panjat-panjat. Nggak keren."

Manik hitamnya langsung melotot menatapku, tambah manis. Apalagi dengan pipinya yang tembeb berhiaskan lesung Pipit, tuambaah muaniis. Gemeees ....

Tak tahan dech. Tangan ini pegang pipinya.

"Hmmm ..."

"Kakak, sakit tahu." dia mengibaskan tangan Bara hingga terlepas. Meski cemberut tapi tak marah. Persis Aisye, adikku.

Bara memapah Jamilah menuju ke laboratorium. Cukup jauh juga jaraknya. Apalagi ditempuh dengan kaki yang sudah terbalut macam begini. Alamat berjalannya seperti siput. Lama dan panjaaang sekali. Aku lelah, sudah tak sabar ingin duduk.

Untung ada kakak bermata biru, yang mau menolongku. Hehehe ... Dia kakak yang kereeeen dan juga penyabar. Nyaman rasanya ada di dekatnya.

"Capek?"

"Dah tau capek, masih juga nanya?"jawab Jamilah bersungut-sungut, membuat bara tersenyum simpul.

"Whuaaaah ... masyaallah ... kakak punya lab.?" Kata pertama yang terucap dari bibir Jamilah begitu melihat bangunan besar di depannya.

"Tunggu di sini sebentar, jangan kemana-mana. Oke ..." Bara pergi entah kemana, meninggalkannya sendirian di sebuah bangku yang ada di depan labolatorium-nya. Membuat Jamilah jenuh dan bosan. Kemana sich Kak Bara, lama banget?

Pintu ini dalam keadaan terbuka. Bikin penasaran, kepo kali si Jamilah.

Meski tertatih, dia nekad memasuki ruangan itu. Di sana hanya menemukan peralatan lab. Biasalah, tabung-tabung, dan cairan-cairan. Bukan hal yang menarik baginya.

Dia melanjutkan langkahnya hingga menemukan ruangan kaca yang penuh dengan tanaman. Luar biasa kak Bara!!

Tanamannya subur-subur, meski pohonnya pendek tapi buahnya lebat sekali, sampai-sampai daunnya tak terlihat. Dia tergoda untuk memetik dan mencicipinya.

"Enak sekali duku ini. besar-besar, sebesar bola kasti, tak berbiji lagi. Satu sudah cukup dech."

Lalu pandangannya tertuju pada satu tempat yang bertanda tengkorak yang di silang. Di sana terdapat pohon sawo, cabe, lalu anggur. Bukankah itu buah yang layak dan boleh dimakan, kok diberi gambar itu. Apanya yang berbahaya? Bikin penasaran saja.

Jamilah berjalan tertatih-tatih menuju ruangan itu. Tempatnya agak terpisah dan tersembunyi. Cukup bikin kaki ngilu. Tapi namanya juga Jamilah, ditempuh juga. Senyum kepuasan terukir di bibirnya, saat dirinya sudah di ruangan yang sangat teduh itu.

Kira-kira mana yang sedikit mengandung bahaya. Cabe, anggur, atau sawo.

Cabenya unik, lonjong ujungnya runcing persis peluru. Senyum jahilnya tiba-tiba menghias bibirnya. Petik saja, oke. Belum juga tangannya menyentuh, pikirkan lain menyadarkannya.Tapi untuk apa, nggak bisa langsung dimakan. Harus pakai makanan pendamping. Kalau ada tahu goreng, itu baru baru cocok. Tinggalkan, tak masuk kriteria, untuk dipetik.

Anggur!!

Itu tak mungkin. Meski terlihat menggoda, tapi tanganku nggak bisa menggapainya, apalagi memetiknya. Kakiku lagi diperban, nggak bisa sembarangan digerakkan. Ini merepotkan. Tak masuk kriteria lagi ....

Tinggal satu, yaitu sawo. Itu sawo buahnya kok besar-besar amat. Sebesar gelas air mineral. Wah, besar sekali. Kalau aku makan pasti menyegarkan dan mengenyangkan. Hehehe.... selain itu, pohonnya pendek, aku bisa memetiknya, dan paling unik. Nach ini saja yang aku petik.

Sementara itu, Bara yang sedang membantu Mang Maman memetik buah-buahan, untuk dibawa ke Panti Asuhan sebagai oleh-oleh, kini sudah selesai. Dia kembali ke tempat dimana Jamilah, dia tinggalkan.

Tapi agak was-was, sewaktu tak menemukan gadis kecil itu di tempatnya.

Jangan-jangan ....

Dirinya lupa kalau meninggalkan labolatorium dalam keadaan terbuka. Tak mau ambil resiko, Bara segera masuk dan langsung ke rumah kaca.

Nach benarkan.

Semoga dia belum memetik apapun. Itu penelitian aku yang baru, bisa gagal kalau sampai dia otak-atik tanamanku yang itu.

Dengan langkah lebar, dia menuju ke ruangan tanaman khususnya. Dia mendapati tangan Jamilah sedang berusaha melepas buah sawo dari pohonnya.

"Astaghfirullah ... Jamilah. Jangan!!"

Tapi tangan Jamilah telah memetik sawo dengan sempurna. Diapun terkejut. Lalu melepaskan buah itu begitu saja. Dengan sigap Bara menangkap buah yang terlepas dari tangan Jamilah. Alhamdulillah berhasil ketangkap.

Tapi yang membuat keduanya terkejut. Buah itu mengkerut dengan cepat, hingga bentuknya seperti granat.

"Subhanallah ... aku tak mengira seperti ini."

Bara masih fokus dengan sawo yang ada ditangannya. Tampak raut kekecewaan di wajahnya. Membuat Jamilah merasa bersalah.

"Maafkan Jamilah, Kak."

Tapi Bara diam, tak juga menjawab ataupun menganggukkan kepala. Dia semakin merasa berdosa. Satu dua tiga menit, sunyi tanpa suara.

Jamilah sedih, menundukkan kepala. Raut wajahnya terlihatsangat menyesal. Membuat Bara tak tega. Sebagai anak-anak rasa ingin tahunya sangat tinggi. Tapi kalau mengorbankan penelitiannya selama ini, rasanya dia belum rela.

"Sudah, ayo kakak antar kamu pulang. Nanti kamu dicari sama bapak ibu pengasuh."

"Maafkan aku, Kak."

"Iya, Ayo."Bara segera melangkah keluar. Diikuti Jamilah yang berjalan tertatih-tatih di belakangnya. Agak tertinggal jauh darinya.

Setelah meletakkan benda itu, Bara menghampiri Jamilah membantunya berjalan. Meskipun saat ini Bara benar-benar kesal, sedih, penelitiannya terancam gagal. Tapi dirinya tak tega melihat Jamilah yang berjalan tertatih-tatih di belakangnya.

"Sudah, kamu kakak gendong saja, biar cepat."

Tanpa menunggu persetujuan Jamilah, Bara meraih tubuh kecil itu dalam gendongannya. Jamilah diam tanpa suara. Rasa bersalah masih tetap menyelimuti perasaannya. Hingga dia terisak-isak dalam gendongan Bara.

"Kenapa nangis."

"Aku telah merusak pekerjaan kakak."

"Sudahlah, nanti kakak akan mulai dari awal lagi atau mungkin itu sebuah petunjuk hasil dari penelitian kakak. Sudah jangan menangis."

Jamilah masih juga terisak hingga sampai di mobil Bara.

"Kamu hapus air matamu. Nanti dikira aku ngapa-ngapain kamu sama paman dan bibiku." sambil memberikan tissu.

"Ini!"

"Terima kasih, Kak."

Melihat banyak buah dibelakangnya yang besar-besar, timbul ide dalam diri Jamilah.

"Kakak bolehkah aku minta benihnya agar tak mencuri lagi di kebun kakak."

"Ide bagus, sebentar kakak ambilkan."

Biang Kerok

Baru beberapa langkah kaki ini berjalan, aku mendengar sesuatu. Sepertinya dari laboratorium.

Taarrr ...

Suara gelas yang pecah.Aku menghentikan langkah kakiku, dan berbelok pada bangunan yang sesaat lalu aku tinggalkan.

Masya Allah ....

Apa yang terjadi?

Dimanakah buah sawo itu?

Yang kulihat kini hanyalah biji sawo yang berakar, mengait satu dengan lainnya membentuk sebuah pohon dengan cepat, akarnya menjalar kemana-mana hingga menyentuh gelas praktikum yang ada di sebelahnya. Dan pecah.

Sebelum semuanya menjadi liar, aku segera berlari meraihnya. Ingin membawanya keluar. Tapi ini sangat sulit. Akarnya menancap kuat di meja. Aku memindahkan peralatan praktikum dengan cepat. Harus berpacu dengan waktu, karena akar itu sangat cepat menjalar.

Kurasa aku kalah cepat. Tak ada jalan lain. Segera aku meraih pohon itu beserta mejanya sekalian.

Untung ada mang Maman.

"Den Bara!" dia terkejut dengan apa yang aku pegang. Diapun berlari menghampiriku. Yang sedang berjibaku melawan pohon sawo yang baru tumbuh.

"Tolongin, Mang."

Akhirnya bisa kita keluarkan. Tak sengaja salah satu akarnya menyentuh tanganku. Aku seperti tersengat listrik meski dengan daya kecil. Tapi mengapa kulit tanganku seperti tergores pisau, dan mengeluarkan darah.

"Den Bara. Tangan!!."

"Nggak apa-apa, Mang."

Kami mengangkat meja itu, yang terasa semakin berat. Karena pertumbuhan sawo itu semakin besar dan juga akarnya semakin banyak.

Aku tak bisa berpikir lagi, untuk menghentikan pertumbuhan pohon sawo ini. Apalagi sepertinya pohon ini bernyawa.

Saat sudah di tempat terbuka, dan sinar matahari mengenai pohon sawo secara langsung, aku perhatikan pertumbuhannya melambat. Dan semakin lambat saat sampai di taman kecil yang ada di depan labolatorium.

Dan dia benar-benar berhenti, manakala salah satu akarnya menyentuh tanah. Akar yang semula seperti akar serabut kita berubah bentuk menjadi akar tunggang. Semua akar mengikuti nya. Menyatu menuju arah yang sama ke dalam tanah.

Berlahan tapi pasti, pohon itu kini sudah menancap dan tumbuh dengan baik. Seperti pohon pada umumnya. Dan seperti tak pernah terjadi apa-apa. Yang lebih mengherankan lagi, terlihat buah kecil-kecil bermunculan di sela-sela daunnya. Dan mengembang sebagimana biasanya buah sawo pada umumnya. Sekarang pohon itu sudah benar-benar berhenti tumbuh. Kurasa ....

Dengan nafas tersengal dan tubuh yang lelah, aku beristirahat di sebuah bangku, yang ada di dekatnya.

Ya Allah, sebenarnya apa yang terjadi dengan tanaman itu. Ingin aku mencari tahu tapi sepertinya otak ini sulit berfikir.

Capek sekali menangani pohon ini. Moga-moga sudah benar-benar berhenti sampai di sini.

Belum juga diriku menikmati istirahat, mang Maman berteriak.

"Den ada apa api, di ruangan Aden."

Aku tersentak. Dan segera berlari menuju laboratorium. Di sana, mang Maman sedang sibuk memadamkan apinya yang mulai menjalar ke mana-mana.

Api itu membakar almari kecil kayu.Tempat aku menyimpan catatan-catatan hasil penelitian.

"Astaghfirullah Al adzim. Apa yang terjadi."

Terlihat mang Maman keluar. Lalu kembali dengan seember air.

"Sebentar, Mang. Jangan disiramkan dulu."

Secara tak sengaja aku melihat percikan api dari kabel yang terbuka. Kemungkinan besar karena tergores akar pohon sawo sesaat lalu.

Mana panel listrik?

Ah, ternyata dekat kepalaku. Segera kutarik tuas kecil, untuk mematikannya.

"Sudah, Mang."

Mang Maman pun segera menyiramkan air pada lemari yang terbakar. Aku pun membantunya, mengambilkan seember air lagi, menyiramnya kembali, hingga benar-benar padam.

Kini yang terlihat adalah ruangan yang berantakan. Pecahan tabung-tabung penelitian berserakan di lantai, lemari terbakar, berkas-berkas hasil penelitian, kini menjadi abu.

Bara sangat sedih. Beberapa kali dia mengambil nafas panjang. Dan mengeluarkannya dengan lirih mengucap istighfar.

Seandainya dia wanita, dia akan menangis. Tempat yang selama ini selalu dia jaga, kini tak ubahnya sebuah gudang yang sangat kotor dan berantakan.

"Mang, bantu aku membereskannya."

"Baik, Den."

Mang Maman dengan setia dan tanpa banyak kata membantu Bara membersihkan tempat itu.

Dengan tangan yang terbungkus sarung tangan plastik, Bara mengais setiap benda-benda yang ada di sana, dengan hati-hati sekali. Mengingat di sana banyak cairan yang berbahaya.

Setelah membereskan dan merapikan barang-barang yang selamat. Dia membantu mang Maman mengelap dan mengepel ruangan itu dengan wajah tertunduk sedih.

"Kak Bara, apa yang terjadi?"

Kapan si biang kerok ini datang. Kenapa aku tak menyadari kehadirannya. Saat ini aku benar-benar lelah. Tak ingin diusik ...

Gadis kecil ini adalah sumber masalah yang dihadapinya saat ini. Seandainya gadis itu lebih bisa menahan diri. tentu hal ini tak terjadi.

Sesaat yang lalu, dirinya bisa memaklumi keingintahuan anak kecil seusia Jamilah. Tapi melihat laboratorium miliknya kini hancur, dia berubah pikiran, Ingin sekali dia marah, lalu menghukumnya atau entahlah. Tapi itu tak bisa dilakukannya, sebab dia masih anak-anak.

Bara membiarkan Jamilah berdiri tanpa berkata apa-apa, apalagi menoleh padanya. Membuat Jamilah sedih dan bingung. Tanpa disuruh, diapun ikut membantu membereskan ruangan itu. Dia mendekati Bara yang sedang mengelap meja porselen yang ada di pinggir ruangan.

"Kak Bara, jangan diamkan Jamilah. Jamilah nggak sengaja. Nggak tahu kalau akan seperti ini."

Bara tak bergeming. Dengan tertatih - tatih, Jamilah meneruskan membantu membereskan tempat itu.

Kini suasana hati Jamilah ikut kacau, apalagi dengan sikap Bara yang demikian. Sehingga tak menyadari tangannya menyentuh tabung berisi cairan bening. Dan posisi tabung itu kini miring. Hampir-hampir isinya tumpah.

Untung Bara melihatnya. Segera dia menggeser Jamilah, mencegah tabung itu jatuh, membuat Jamilah hilang keseimbangan dan jatuh terduduk di dekatnya.

Bara tak hendak membantunya, bahkan dia merapikan tabungnya, tanpa mau melihat apalagi membantunya berdiri.

"Kak Bara ...."

"Sudah kamu tunggu di mobil saja jangan kemana-mana, nanti kakak antar." ucapnya dingin.

"Hiks ... hiks ... hiks ... aku minta maaf, Kak."

Jamilah tetap berdiri di samping Bara.

"Disuruh pergi, nggak pergi-pergi juga. Apa mau tempat ini semakin hancur, baru mau pergi."

"Hiks ... hiks ... hiks." Jamilah tak bergeming, dia ingin minta maaf.

Akhirnya mang Maman angkat bicara.

"Non, pergilah. Biarlah den Bara membersihkan tempat ini. Ayok, Mang Maman antar ke mobil." kata mang Maman lembut.

Dengan dibantu mang Maman, Jamilah kembali ke mobil menunggu Bara dengan sabar .

Saat Jamilah melangkah pergi, Pikirkan Bara bermonolog sendiri ....

Untuk kali ini, tak ada maaf bagimu. Karena dengan ini, cukup bagi papa untuk memasukkan diriku ke dunia militer. Karena aku telah gagal. Gagal membuktikan kalau aku bersungguh-sungguh dalam bidang ini.

Mengulang kembali, tak ada waktu.

Menyusun yang telah ada, tak mungkin. Karena sulit bagiku menyusun hasil penelitian tanpa adanya data-data yang benar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!