Sepasang manusia duduk bersimpuh di sisi sebuah gundukan. Setelah memanjatkan doa, sang wanita terus menatap lekat batu nisan yang terukir namanya tersebut.
Hati itu pedih ... ia masih sehat dan bernafas namun orang di sekitarnya menganggap ia tiada dan selalu mengirim doanya untuknya. Ya, mereka memang tidak tau kebenaran yang terjadi hari itu. Peristiwa pilu yang merubah seluruh hidupnya. Hal yang membuat ia dalam sekejap memiliki identitas baru dengan wajah berbeda.
"Itu nama panjangmu?" Wanita itu mengangguk.
"Keluargamu pasti sedih kehilanganmu?" Wanita itu tersenyum getir.
"Sayangnya aku tidak memiliki keluarga!"
"Suamimu?" Lagi-lagi ia tersenyum getir.
"Mungkin maksud Om mantan suami. Kami sudah tidak berhubungan lama, bahkan ia pun pasti menganggapku sudah meninggal. Bukankah di mata agama kami sudah bercerai? Bahkan pernikahan kami pun hanya siri tidak terdaftar negara!" Pria di sisi wanita mengangguk.
Ya, pria matang itulah penyelamatnya. Penyelamat dari kecelakaan hebat yang terjadi atasnya. Kecelakaan yang memutus hubungan dua insan. Hubungannya dengan suami di dunia nyatanya. Suami yang telah beristri tapi berbohong saat melafazkan akad dengannya. Ya ... ia adalah sang istri kedua.
Istri kedua yang terlambat menyadari segalanya. Istri kedua yang memilih bertahan saat kebenaran itu nyatanya telah terungkap dengan alasan ia tak ingin suaminya mencari wanita lain sebagai penyalur hasrat itu, sebab wanita pertamanya tak mampu memberinya.
"Baiklah hari semakin terik, kita pergi sekarang!" Terdengar suara sang pria mengaburkan angan wanita itu, ia mengangguk.
"Kita belum sarapan tadi, bagaimana jika kita cari makan?"
"Boleh, Om ...."
"Mau makan apa?"
"Seperti biasa saja!"
•
•
Beberapa saat setelahnya ...
"Enak?"
"Enak, Om! Sepertinya aku mulai menyukai makanan ini!" Sang pria tersenyum.
Makanan ini ... makanan ini adalah makanan kesukaan mendiang istri pria di sisiku. Kadang aku tak sanggup berpikir. Apa aku sungguh menyukai makanan ini, atau aku sedang menyenangkan pria di sisiku sebab pancaran kebahagiaannya jelas kulihat saat aku memakan potongan demi potongan ketoprak yang tersaji untukku.
"Om ... berhenti menatapku seperti itu saat sedang makan!"
"Aku senang menatapmu!"
"Karena wajahku adalah wajah istri Om!" Seketika raut kesedihan tampak di wajah pria memiliki pancaran ketulusan itu.
"Maaf jika kamu tak suka dengan wajahmu sekarang!"
"Om bicara apa! Wajah ini cantik, aku suka. Aku mendapatkan hidup kedua dari Om. Bagaimana aku akan menyalahkan keputusan Om memberi wajah ini," ucap sang wanita sungguh-sungguh. Pria itu tersenyum.
Wajah ini memang bukan milikku. Ini adalah wajah wanitanya. Wajah mendiang istri tercinta yang telah dipanggil Sang pencipta ke tempat terbaik hingga memutus seluruh hubungan dengan setiap insan dan kehidupan di bumi.
"Om ... apa pemilik wajah ini begitu Om cintai?" Dan tanya itu lagi-lagi terucap walau jawabnya ia sudah sangat hapal. Pria di hadapan wanita itu sungguh negitu mencintai mendiang istrinya, hal yang bertolak belakang dengan hidupnya yang tak memiliki cinta utuh suaminya.
"Sangat!" ucap sang pria setelah sebelumnya menjawab dengan anggukan.
"Hmm ... boleh kuketahui bagaimana sifat pemilik wajah ini?"
"Baik ... ia sangat baik, juga lembut. Sudah! Jangan bicara lagi! Lekas habiskan makananmu!"
"Iya, aku akan habiskan makananku, tapi Om juga harus habiskan nasi goreng seafood Om!" Pria itu tersenyum.
"Tentu saja!" Dan keduanya melanjutkan makan setelahnya.
•
•
Beberapa saat acara makan mereka selesai, tanpa aba-aba sang pria mengambil tisu dan menyapu bibir yang terdapat sedikit bumbu kacang itu.
"Hee ... maaf makanku berantakan! Berikan tisunya Om, aku bisa membersihkan bibirku sendiri!"
Pria itu memang bersikap sangat lembut dan perhatian. Perhatian yang ia rindukan dan dulu sering ia lakukan untuk wanitanya. Namun batas dua dunia tak mampu ia tembus. Namun kini ia bahagia, sebab ia merasa raga mendiang istrinya begitu dekat. Dengan wajah yang sama pria itu terkadang hidup dalam angannya, angan yang menganggap wanita itu sebagai wanitanya.
"Maaf, aku spontan melakukannya. Kadang aku merasa kamu adalah dia!" lirih sang pria. Ia menunduk beberapa saat dan melontar kata kembali setelahnya.
"Ada tempat yang ingin kamu kunjungi setelah ini?"
"Apa Om tidak ke kantor hari ini?"
"Hari ini aku libur dan menghandle pekerjaan dari rumah. Toh aku hanya memegang dua toko saat ini."
"Bukankah Om memiliki toko di Ausie? Maaf, aku tidak sengaja mendengar saat asisten Om bernama Aldo itu ke rumah."
"Itu sudah kualihkan pada putraku, aku menghandle wilayah dekat saja. Yang jauh biarkan dia! Mengajarinya bertanggung jawab!" Wanita itu mengangguk.
"Sekarang jawab, kita akan ke mana setelah ini?"
"Aku ingin ke rumah Ibu Suswati! Jika Om letih, aku bisa ke sana sendiri."
"Butuh 1,5 jam ke sana. Aku akan mengantar!"
"Terima kasih, Om."
_________________
Bangunan sederhana berada di hadapan mereka saat ini. Tampak wanita paruh baya sedang menjemur opak di muka rumah. Seorang gadis 17 belas tahun di sisi rumah sedang mengerjakan tugas sekolah, sedang seorang bocah laki-laki 12 tampak sedang asik bermain bola di halaman. Ya, ini memang hari minggu dan sekolah sedang libur.
Wanita yang tak lagi tua tapi memiliki semangat untuk memberi pendidikan terbaik untuk anak-anaknya. Wanita itu dipenuhi senyum semringah walau hatinya pilu. Ya, putri pertama yang memutuskan bekerja di kota tak jua menjenguknya. Bagaimana putri itu mampu menjenguk, sebab nyatanya raga itu sudah tiada dan di kebumikan dengan nama lain tanpa sepengetahuan keluarganya.
Netra berkaca mewarnai wajah sang wanita yang batu saja tiba dan kini melihat pemandangan itu. Ia memutuskan untuk turun dan sang lelaki membuntuti raga itu dari belakang. Raga yang memiliki wajah mendiang istrinya.
"Assalamu'alaikum ...." salam sang wanita.
"Wa'alaikumsalam, eh ... ini temannya Kiran, kan? Ayo masuk, Teh, Pak!" jawab Suswati seketika.
Ya, wanita paruh baya itu sudah sangat hapal dengan wajah dua orang yang satu tahun belakangan selalu datang dan mensupport kehidupannya. Dua raga yang mengaku sebagai teman dang putriyang merantau namun tak jua berkabar.
"Bagaimana kabar ibu dan adik-adik?" tanya sang wanita memastikan hal yang selalu memenuhi otaknya, kabar seluruh penghuni rumah tersebut.
"Alhamdulillah baik, Teh. Makasih banyak ya Teh, setahun ini Teteh selalu bantu perekonomian ibu. Emang kebangetan Kiran, katanya kerja di Kota. Eh malah setahun setengah ini boro-boro nengok, telpon aja udah nggak pernah Teh. Ibu sebetulnya ingin cari Kiran, pengen tau kabarnya. Tapi anak-anak di rumah nggak ada yang jaga. Kiran ... Kiran ... ibu cuma bisa doain kamu Nak. Biar berjaya dan dalam keadaan baik di rantau." Mata paruh baya itu berkaca menggambarkan kerinduan yang dalam pada sosok putrinya.
Pancaran pilu itu juga dirasakan sang wanita yang duduk di hadapan ibu itu, rasa bersalah besar menyelimuti otaknya. Batinnya berbisik.
"Bagaimana jika ibu Suswati tau kalau ternyata Kiran putrinya sudah tiada. Dan parahnya putrinya dikebumikan dengan nisan bertulis namaku." Dada itu sesak. Teramat sakit hingga bulir-bulir satu persatu mulai menampakan diri.
"Teh ... Teteh baik-baik saja, kan?" tanya Suswati heran melihat tamu yang sering menolongnya mendadak terlihat sedih.
"Bu, sepertinya kami harus pulang! Ini ada sedikit uang untuk membantu biaya sekolah anak-anak!" ucap sang pria sembari menyodorkan sejumlah uang dari dompetnya.
"Aduh Pak ... kami jadi merepotkan kalian. Kalian itu sebetulnya siapa? Kenapa begitu baik dengan keluarga ibu?"
"Ibu tidak perlu banyak berfikir. Ini rezeki dari Alloh!"
"Nuhun Teh, Pak. Semoga Alloh yang membalas kebaikan kalian."
Pria itu membantu sang wanita berdiri, kesedihan telah membuat raganya melemah.
•
•
"Terima kasih, Om! Lagi-lagi aku merepotkan, Om! Setelah menemukan cara untuk mengambil uang simpananku di Bank, aku akan membayar semua hutangku pada Om!" Pria itu tersenyum.
"Jangan fikirkan itu! Bisa melihat wajah mendiang istriku di wajahmu. Itu lebih dari cukup."
"Istri Om sungguh wanita beruntung yang memiliki cinta penuh dari Om, bahkan saat nyawanya telah tiada."
Tarikan napas panjang itu dilakukan, tampak Sang pria terus menertalkan emosi yang seketika menyeruak mengingat kejadian 5 tahun silam yang merenggut nyawa pemilik hatinya.
FLASHBACK
Malam itu segalanya tampak normal, ia dan sang istri seperti biasa selalu menyempatkan berbincang banyak hal sebelum tidur. Mengingat awal-awal pertemuan keduanya, perpisahan yang harus mereka lalui hingga akhirnya waktu mempertemukan keduanya kembali, kelahiran kembar anak pertama yang diselimuti banyak pilu sebab sang putri nyatanya terlahir dalam kondisi tak baik, penculikan yang menyebabkan depresi panjang teruntuk istrinya dan banyak lagi hal yang mereka utarakan malam itu.
Dan pagi itu langit di belahan Northern Territory tampak kelabu. Sang istri yang biasa terbangun lebih dulu tampak masih nyaman berselimut. Hingga setengah jam berlalu raga itu tak jua terjaga. Ia bergeming saat panggilan demi panggilan, sapuan, juga kecupan di daratkan ia tetap tak merespon.
Pagi itu bertambah kelabu saat dirasakan tak ada denyut dalam nadi itu, dada yang biasa bergerak naik turun tak menandakan pergerakannya. Raga itu seketika hancur, kacau dan pilu menyeruak saat sang dokter yang didatangkan menyatakan raga itu tak lagi bernyawa.
Sungguh malaikat menjemput dengan sangat cantik pada bidadarinya, senyum indah itu benar-benar membuat seisi rumah tak menyangka bahwa ruh itu telah berpisah dari jasad.
Sejak hari itu sang pria memutuskan kembali ke negaranya mengikut-sertakan raga sang istri yang akan dikebumikan di tempat ia tumbuh dan dekat dengan orang-orang tercintanya.
Sejak saat itu raga rupawan yang telah berusia matang namun tetap memancarkan pesonanya berubah 180° menjadi pribadi tertutup dan senang menyendiri. Separuh jiwanya seakan ikut terbang bersama jiwa kekasihnya.
Ia abai dengan sekitar, hidupnya hampa dan sepi. Beruntung keempat anaknya tetap mengenggam separuh jiwanya yang lain. Hingga seiring waktu ia kembali menjalani aktivitasnya walau kekosongan itu tetap dirasakan.
Pagi itu satu setengah tahun lalu adalah awal ia kembali tau ada bentuk ekspresi wajah yang bernama senyum dan ada sebuah rasa yang bernama bahagia.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
⛅Happy reading😘
Pagi itu ia berangkat lebih pagi ke luar dari rumah hendak mempersiapkan meeting dengan beberapa insvestor. Entah mengapa jemarinya sedang ingin melewati jalan tembus itu guna mencari panorama pegunungan dan pepohonan yang menjadi pusat oksigen.
Tak diduga mobil yang dikendarainya mogok. Rusdi sang sopir dengan cekatan turun ke bawah melewati jalan setapak mencari air untuk kebutuhan kendaraannya.
Pria itu seketika naik ke atas dan terlihat panik. Ia terus berujar hal yang tak mampu tuannya pahami. Jemarinya terus menunjuk ke arah bawah yang membuat tuannya merasa harus memastikan yang terjadi.
Ia terhenyak, seorang wanita dengan wajah terluka tersangkut di pepohonan, ia dengan jiwa sosialnya dibantu Rusdi sang sopir berusaha menyelamatkan raga yang sedang berada pada posisi pesakitan tersebut.
Setelah 10 menit berusaha akhirnya raga itu berhasil ia raih. Di telan kasar salivanya saat ia menangkap banyak luka disekujur tubuh tak terkecuali di bagian wajah wanita yang terdapat luka bakar sehingga menyebabkan wajah itu sulit dikenali.
Hal lain yang tertangkap indranya pula adalah harum parfum yang dipakai sang wanita yang sangat tidak asing untuknya. Ya, harum tubuh itu yang sama persis dengan harum tubuh mendiang istrinya.
Dibawanya raga itu ke Rumah Sakit terdekat, dengan alasan wanita itu adalah kerabat yang kecelakaan akhirnya proses operasi demi operasi dapat dilakukan.
Dokter memanggil pria itu, menerangkan kondisi pasien yang belum lama ditanganinya. Operasi di beberapa tulang rusuk dan di kaki sang wanita telah dilakukan, luka-luka di sekujur tubuh pun telah dilakukan tindakan. Namun ada satu bagian yang belum dilakukan tindakan maksimal. Wajah!
Luka bakar di wajah itu telah dilakukan tindakan. Namun sang dokter memberi pernyataan bahwa kondisi wajah itu tak akan kembali seperti semula. Selamanya wanita itu akan cacat.
Entah kekuatan apa yang merasuki sang pria hingga tiba-tiba ia menuturkan agar dokter segera melakukan tindakan operasi wajah jika luka-luka bakar itu telah mengering. Dan dikarenakan ia sendiri tak tau wajah semula wanita itu, ditunjukanlah foto mendiang istrinya yang menjadi gambar latar ponselnya.
Setelah mengalami koma 2 bulan, akhirnya netra wanita itu terbuka. Tindakan pemulihan setelahnya dilakukan, seperti mengenali orang sekitar, terapi anggota gerak seperti berjalan, menggerakkan tubuh, menggerakkan tangan, juga penyesuaian sang wanita dengan wajah barunya.
Hingga 4 bulan setelahnya ia berangsur pulih dan dapat beraktivitas normal layaknya orang lain.
Lepas dari berbagai pemulihan, awalnya sang wanita tidak banyak bicara. Ia hanya mengangguk dan menggeleng menanggapi tanya sang pria dan 2 orang pekerja di vila tersebut. Namun dengan ketulusan yang ditunjukkan sang pria yang seolah menganggapnya begitu istimewa. Hatinya terketuk, ia merasa di hargai dan memiliki nilai sebagai manusia, setelah berbagai pelik mewarnai kehidupannya sebelum peristiwa naas itu terjadi.
Kini satu tahun berlalu setelah ia pulih dari berbagai sakit di tubuh dan hatinya. Ia kembali menjadi wanita ceria. Namun di hatinya masih terselip kekhawatiran jika sosok-sosok masa lalu muncul di hadapannya. Ia belum siap bertemu mereka, walau nyatanya mereka pun tak akan mengenali dirinya lagi setelah perubahan yang terjadi di wajahnya.
_______________
Setelah perjalanan panjang, pukul 13:10 akhirnya Terios itu masuk ke pelataran sebuah Vila bertingkat dengan sebuah kolam renang di bagian kanan, juga bunga-bunga yang tertata cantik di bagian kiri.
Kedua raga turun dan langsung memasuki kamar masing-masing. Karena belum menunaikan ibadah zuhur, sang wanita segera menjalankan ibadah dan merebahkan tubuh yang letih di atas ranjang setelahnya.
________________
BRUG ...
Aaa ....
Mobil terhempas dan menabrak pohon-pohon besar, bagian depan mobil tampak dipenuhi asap, hingga seketika suara nyaring itu terdengar dari arah belakang mobil.
DUAR ...
Pintu di sisinya terbuka dan tubuh itu terpental. Terasa bebatuan turut menghujani tubuhnya. Pandangan itu samar, area wajahnya terasa begitu sakit terkena serpihan mobil yang begitu panas bercampur percikan api ... beberapa kali tubuhnya menabrak benda-benda tumpul dan tajam yang tak dapat ia ketahui dengan jelas namun rasa yang ditimbulkan sangat sakit dan perih di sekujur tubuhnya. Ia masih dapat melihat kobaran api dan kepulan asap yang begitu besar dari arah mobilnya.
Ia pun melihat raga wanita lain terpental bersebrang arah dari posisinya. Bibir itu terus memanggil nama sosok yang mengisi hatinya.
"Mas ... mas Syafiiqq ... tolong ...!" Seruan bak angin lalu hingga sekelebat di sekitarnya menjadi putih ... tampak sosok pria mengendong seorang bayi menjauh bersama seorang wanita dan kedua anak lain bersamanya.
"Jangan ... jangan pergi Mas! Jangan tinggalkan aku! Mas ... Masss ....!
"Shofi, sadarlah!"
Mata itu terbuka. Tampak seorang pria tegap dengan jemari yang masih berada di bahunya.
"Om ...!"
"Mimpi buruk kejadian itu lagi?" Wajah itu mengangguk.
Seketika netra sang wanita berkaca, satu-persatu bulir menetes mengingat kejadian naas pagi itu.
________________
"Kenapa mbak Shofi terlihat sangat terburu-buru? Kita mau ke mana sebetulnya, Mbak?" Karin sang perawat di rumah sakitnya terdahulu yang sudah ia anggap sahabat dan seperti adik itu tampak heran.
Pasalnya sekarang baru pukul 5 dan wanita semampai di hadapannya telah berdandan cantik, merapihkan barang-barang putri suaminya tersebut pula.
"Aku sudah letih, Karin! Aku akan pergi ke tempat yang sangat jauh!"
"Tapi Mbak, bukankah mbak sudah jadi wanita satu-satunya kini?" ucap Karin.
"Wanita satu-satunya yang memiliki sedikit cinta dari suaminya."
"Maksud, Mbak?"
"Bahkan mas Syafiq semalam menghabiskan waktu bersama istri pertamanya."
"Bukankah kata mbak mereka akan bercerai dan 7 bulan ini mas Syafiq tidak pernah bertemu istrinya itu?"
"Iya ... segalanya baik-baik sebelum kemarin wanita paruh baya itu datang."
"Si-apa?"
"Mertua mas Syafiq. Ia ke sini memberitahukan kebenaran bahwa dokter Billy dan Fura ternyata satu ayah. Hal yang membuat mereka tak bisa bersama. Setelahnya mas Syafiq tampak bimbang, ia seakan memiliki jalan dan bersemangat kembali untuk bersama istri pertamanya itu."
Hahh ...
Napas kasar itu keluar. "Sabar, Mbak." iba Karin. Shofi kembali mengeluarkan bulir itu.
"Lalu apa yang akan mbak lakukan setelah ini?" tanya Karin kembali.
"Aku sudah memesan tiket melalui online untuk tujuan Surabaya. Aku akan menenangkan diri di rumah teman di sana. Setelah mengantar Hana ke tempat yang seharusnya, aku akan ke Bandara dan kau bawalah mobil ini. Pakai dan rawatlah sampai aku kembali."
"Sungguh, Mbak?" Shofi mengangguk.
"Sudah sana mandi! Pesawatku jam 9, jadi kita harus bergegas! Oh ya, pakai saja bajuku di lemari ... tubuh kita kan tak beda jauh!" Karin mengangguk.
Setelah mandi, Karin melihat-lihat acsesoris milik Shofi. Shopi menangkap pemandangan itu.
"Kalau ada barangku yang kamu suka ambil saja. Toh akan kutinggalkan!"
"Ahh, Mbak Shofi kenapa begitu baik?"
"Jangan sungkan! Oh ya, Kamu juga sekarang memakai jilbab, pakai dan bawa saja jilbabku! Banyak yang sudah lama tak kugunakan!" Seketika Karin memeluk tubuh Shofi. "Terima kasih, Mbak!"
•
•
Suasana semakin terik. Setelah mengantar Hana putri suami dengan istri pertama yang beberapa bulan ini tinggal bersama, Shofi yang khawatir akan terlambat ke Bandara jika melalui jalan utama yang padat di jam itu, akhirnya memutuskan melewati jalan setapak yang sedikit terjal.
Hingga di tengah jalan, kemudi itu tak terkendali. Roda bannya bocor. Laju mobil oleng ke kanan dan ke kiri tak tentu arah hingga roda itu terpelosok dalam jurang dan peristiwa itu terjadi.
_______________
"Shof ...!"
"Ahhh ...." Ia tersadar dari lamunnya.
Ya, ia adalah Shofi sang istri kedua yang lagi-lagi menerima takdir tak mengenakkan untuk hidupnya. Bersyukur saat itu ia bertemu jiwa-jiwa tulus penuh asih yang tanpa pamrih merawat dan menyembuhkan segala lukanya.
Sosok pria matang itu hadir ... Dimas Anggoro, walau usianya lebih dari setengah abad, namun pancaran ketampanan dan tubuh tegapnya membuat yang melihat tak akan menyangka usia usia pria itu telah memasuki 53 tahun.
Jiwa kesepian itu memiliki andil besar dalam hidup kedua Shofi. Ia juga masih membiarkan Shofi tinggal gratis dalam vila itu. Ya, pria itu yang bersisian kamar dengannya lagi-lagi menyadarkan saat mimpi buruk itu kembali hadir. Mimpi buruk bayangan kejadian naas yang selalu mengganggu tidurnya.
Ditatapnya pria dengan sorot mata sayu yang meneduhkan dengan seberkas senyum tulus mengarah pada wajahnya.
"Ayo minumlah air ini dulu! Tarik napas dan buang perlahan. Yakin segalanya akan baik-baik saja! Hal buruk itu sudah terlewat. Jangan ingat!"
"Tidak bisa, Om ...! Karin! Karin yang terbaring dengan nisanku! Bagaimana aku menutup rasa bersalah ini! Andai aku tak mengajaknya bersamaku hari itu!"
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
⛅Happy Reading😘
⛅Dua bab ini diulang ya, untuk pembaca baru yang tidak membaca novel "TERNYATA AKU ORANG KETIGA" agar tau awal kisah ini❤❤
⛅Mohon jangan di skip yaa, karena akan mempengaruhi performa karya ini😊🙏
TOK ... TOK ....
"Shoff ...!"
"Iya, Om. Sebentar!" sahutan itu terdengar dan beberapa saat setelahnya pintu kamar itu terbuka. Dimas menatap lekat pancaran wajah ayu pemilik hatinya yang kini ada pada raga Shofi.
"Omm?"
"Oh, maaf. Mau ikut aku joging?"
"Hmm ... boleh!"
"Bersiaplah aku akan menunggu di bawah!"
Belum lama pintu kamar Shofi tertutup, terdengar ketukan kembali.
Pintu pun dibuka ....
"Omm ...." Dimas tersenyum dan menyodorkan sebuah hanger dengan 1 set training olahraga.
"Mungkin kamu mau memakainya," lirih Dimas.
"Pakaian tante Lyra?" Ia mengangguk.
"Om ingin aku memakainya?" Dimas lagi-lagi mengangguk.
"Baik aku akan pakai," ucap Shofi meraih set training itu sembari tersenyum.
Entah apa nama ini semua ... tapi membuat rona pria bernama Dimas itu berbinar adalah hal yang membuat jiwa Shofi bahagia. Memakai pakaian Lyra, memperoleh perhatian teruntuk Lyra ... menjadi hal yang dinikmati Shofi. Perhatian yang tak pernah ia peroleh dan ia damba sebagai seorang wanita.
Pintu tertutup.
•
•
Beberapa saat setelahnya, raga semampai turun menggunakan set training berwarna hitam dan hijab senada membuat Dimas lagi-lagi tertegun melihat Shofi seakan benar-benar Lyra.
Shofi dan Lyra memang sama-sana memiliki tubuh proposional. Tinggi dan ramping. Keduanya juga berhijab.
Dimas berdiri tatkala Shofi sampai di lantai bawah, ia masih menatap wajah itu. Hati itu seketika berbunga. Jiwa mati itu bangkit ... wanita itu telah hadir menjadi penyemangat Dimas. Wanita dengan wajah yang begitu ia puja dan cintai sepanjang hidupnya.
"Omm ...."
"Ohh ... Maaf, ayo berangkat!"
Keduanya menyusuri jalan perkampungan merasakan kesejukan yang menenangkan. Tetes-tetes embun membuat pagi yang masih tampak gelap kian dingin. Namun semakin langkah digerakkan tumbuh semakin segar dan bersemangat.
Setelah hampir 1 jam berjalan dan langit mulai menunjukkan pancaran pagi, Dimas mengajak Shofi kembali. Bukannya masuk ke vila, ia menyuruh Shofi naik ke mobil.
"Masih pagi, mau kemana, Om?"
"Cari sarapan, ayo naik!"
Sampai di Jalan H. Djuanda, Terios itu berhenti. Bubur ayam Mang H Oyo menjadi pilihan Dimas mengisi perut mereka.
"Makan yang banyak, kamu terlihat kurus!"
"Apa dulu tante Lyra lebih berisi?" tanya Shofi sambil menyuap bubur yang tampak kental tersebut.
"Sebelum menikah hingga memiliki Dirga dan Diyara tubuhnya kurus, setelah melahirkan Qinara tubuhnya lebih berisi sedikit. Tapi hanya sedikit, nyatanya memang pembawaannya kurus."
"Oh ... Om suka ajak tante sarapan di sini?" tanyanya sambil menyuap bubur itu lagi.
"Dulu. Sudah lama sekali sebelum kami pindah ke Ausie." Dimas masih mengunyah sarapannya hingga ponselnya tiba-tiba berdering.
📲Halo Assalamu'alaikum ...
📞Wa'alaikumsalam Yah.
📲Tumben menelepon Ayah?
📞Ayah di mana?
📲Sedang sarapan. Ada apa, hem?
📞Ada masalah di cake shop Bekasi. Aku butuh pertimbangan untuk mengambil langkah!
📲Datanglah ke rumah, Ayah juga rindu padamu!"
📞Aku sudah di rumah tapi Ayah tidak ada.
📲Oh ya, baik setelah sarapan habis, Ayah segera kembali!
📞Tunggu! Apa Ayah sedang di luar bersama wanita itu?
📲Hmm .... Iya.
📞Ayah, please! Kenapa wanita itu masih di vila kita? Ayah harus sadar, ia bukan Bunda!"
Dimas tampak melirik Shofi, memastikan ia tak mendengar ucapan yang dilontar Dirga baru bicara lagi setelahnya.
📲Kita lanjut bicara di rumah! Assalamu'alaikum.
📞Baik. Wa'alaikumsalam.
_________________
"Segera habiskan, kita akan segera pulang!"
"Apa ada masalah, Om?"
"Dirga di Vila."
Saliva itu ditelan kasar, jemari itu mulai memainkan sendoknya.
"Jangan gelisah! Dia sebetulnya pribadi baik, hanya pembawaannya sedikit keras!" Shofi tersenyum getir. Ia masih ingat pertama dan terakhirnya mereka bertemu. Pemuda 22 tahun itu terus berasumsi buruk dengan sorot mata sangat meremehkannya. Dan sejak itu Shofi lebih memilih mengurung diri di kamar jika pria itu datang.
"Ba-gaimana ji-ka ia melihatku masih tinggal di-sana, Om?" lirih Shofi.
"Tak ada masalah, aku yang memintamu!"
"Ta-pi, Om!" Yah ... hutang Budi telah melemahkan Shofi. Ia merasa tak enak sebetulnya tinggal dengan pria yang notabenenya seorang duda, walau memang usia mereka terpaut jauh tetap saja mereka laki-laki dan perempuan dewasa.
"Jangan banyak berfikir, makananmu sudah habis, masuklah ke mobil!" Dengan gontai Shofi menurut.
Setelah membayar menu yang mereka makan, Dimas masuk ke mobil. Wajah itu masih memperlihatkan raut cemas.
"Shofi, tatap aku!"
"Iya, Om?"
"Segalanya akan baik-baik saja. Tidak ada hal yang harus kamu cemaskan!" ucap Dimas seraya mengangguk berusaha menyamankan. Shofi seakan terhipnotis dengan tatapan itu, ia pun mengangguk. Dimas tersenyum.
_______________
Dua puluh Menit perjalanan, mereka sampai di rumah. Terios itu berenti di pelataran. Tampak pria tegap dengan lirikan tajam menatap Shofi dengan raut kesal. Keduanya keluar dari mobil, Dimas meminta Shofi segera masuk.
"Hai Nak!" Kedua tubuh tegap berangkulan. Lirikan itu tak beranjak, ia masih mengikuti arah langkah Shofi yang menuju pintu masuk. Shofi menunduk.
Dimas mengajak Dirga ke ruang keluarga.
"Aku tidak suka wanita itu, Yah!" ceplos Dirga seketika.
"Duduklah dulu, aku akan meminta bik Ira membuatkanmu minum!"
"Ia sudah membuatnya tadi!" Bibir itu membulat. "Oh ...." Dimas berujar lagi setelahnya. "Sekarang katakan bagaimana kabarmu, Nak!"
"Aku baik. Ayah jangan mengalihkan pembicaraan. Wanita itu bukan bunda, Yah. Jadi aku mau ia segera pergi dari rumah ini!"
"Dirga ayolah, ia wanita yang kurang beruntung, Ayah hanya sekedar menolongnya!"
"Apa dengan memulihkan kondisinya dan bahkan Ayah tanpa izin kami memberi wajah bunda itu tidak cukup! Apa ia harus tinggal di rumah ini pula?"
"Dia tidak memiliki tempat tinggal dan juga kerabat!"
"Itu bukan urusan kita! Kita tidak kenal dia dan tidak tau pula bagaimana sifat aslinya. Mungkin saja ia kini sedang berusaha menjerat Ayah karena merasa nyaman dengan fasilitas yang Ayah beri!"
"Dirga Stop! Jaga ucapanmu!"
"Bukan tidak mungkin kan, Yah? Atau mungkin diam-diam ia menyukai Ayah! Secara Ayah masih tampan dan gagah!"
"Ucapanmu semakin tidak masuk akal!"
"Tunggu! Atau mungkin Ayah yang mulai menyukainya karena wajahnya seperti bunda?"
"DIRGA!"
PLAK ....
"Ahh, Ayah memukulku! 22 tahun, Yah! Selama itu tangan Ayah tak pernah mendarat di wajahku, tapi kini karena wanita itu ayah melukaiku!"
"Maaf! Tapi ucapanmu melampoi batas! Dengar! Tidak ada wanita manapun yang bisa mengganti posisi bunda di hati Ayah!"
Mata tajam itu menatap sang Ayah. "Bagus jika memang begitu! Aku pergi, Yah!"
"Hei tunggu ...! Bukankah ada urusan yang akan kamu bicarakan?"
"Tidak jadi!"
Dimas menggeleng-geleng melihat kepergian putranya. Dan Shofi yang barusaja dari dapur dan tak sengaja mendengar obrolan mereka merasa bersalah menjadi penyebab pertikaian Ayah dan anak itu. Ia menetralkan degup yang menyesakkannya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
⛅Happy reading😘
⛅Jangan lupa like dan komennya yaa❤❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!