Floryn menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia tidak percaya dengan apa yang tengah ia saksikan saat ini.
Suami yang begitu ia cintai, ia sayangi, ia puja-puja, ia banggakan di depan keluarga, sedang menyentuh dan menjelajahi setiap inci tubuh seorang wanita.
Hati Floryn begitu sakit, apalagi saat mengetahui jika wanita yang melayani suaminya adalah asisten rumah tangga yang baru dua bulan bekerja dengan mereka.
Wanita sundal itu bernama Ambar. Berusia dua puluh tiga tahun dan bekerja dengan mereka karena rekomendasi dari asisten rumah tangga mereka yang lama.
Floryn tidak pernah membayangkan jika hari ini akan terjadi. Dulu, asisten rumah tangga yang lama pamit pulang kampung karena suaminya sakit. Mereka menerima Ambar juga karena kasihan dengan hidupnya yang menyedihkan. Lalu kenapa sekarang begini?
Tubuh Floryn menegang saat mendengar rintihan-rintihan yang Ambar bisikkan di telinga Enrik, suaminya.
"Brengsek kamu, Mas! Bisa-bisanya melakukan hal itu di atas tempat tidur kita ...," jerit Floryn di dalam hati.
Ya. Floryn tidak punya keberanian itu. Ia tidak berani melabrak suami dan asisten rumah tangganya. Enrik adalah ayah dari anak tunggal mereka, Alvin. Enrik juga anak tunggal dari bosnya di kantor.
Floryn takut dunianya akan hancur. Bagaimana kehidupan anaknya nanti? Apa ia bisa bertahan jika tidak bersama Enrik?
Mungkin Floryn jauh lebih cantik daripada Ambar, tapi wanita itu sudah pasti jauh lebih muda daripada dirinya.
Floryn telah berusia dua puluh delapan tahun dan memiliki seorang anak. Tidak seperti Ambar yang masih gadis saat mereka menerimanya di sana.
"Aakkhh ... Tuan ... jangan biarkan aku menderita ...," mohon Ambar dengan tubuh yang terus bergerak.
Posisi mereka membuat Floryn panas. Enrik tidak pernah mengajaknya mencoba posisi seperti itu sebelumnya. Apakah ia memang tidak menarik lagi di mata Enrik?
"Kamu jauh lebih menggigit daripada Floryn ...," lirih Enrik di telinga Ambar.
Floryn bisa melihat jelas saat laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu, menggigit cuping telinga lawan mainnya saat ini.
Sakit. Akan tetapi, apa yang bisa ia lakukan?
Dengan kaki lemas dan sedikit bergetar, Floryn menarik kembali koper dua puluh inchi yang ada di sampingnya.
Floryn baru saja pulang dari perjalanan dinas ke Bogor selama dua hari, dan ini yang ia temukan di rumah mereka.
Di lantai dasar, Floryn berselisih jalan dengan Mira, asisten rumah tangganya yang lain. Berusia empat puluh tahun dan telah bekerja dengan keluarga suaminya sejak sepuluh tahun silam.
"Nyonya, mau pergi lagi?" tanya Mira dengan kepala tertunduk.
"I-iya, Bik. Saya ingin menjemput Alvin di rumah neneknya."
"Bawa koper, Nyah?"
"Iya. Ada pesanan ibu saya di dalam sini. Jadi, sekalian saja," ungkap Floryn berbohong.
Floryn bergegas pergi meninggalkan Mira, tapi ia kembali lagi untuk menyampaikan sesuatu.
"Bik, jangan bilang kalau saya sudah pulang. Saya mau membuat kejutan dengan Alvin untuk ayahnya. Oke?" Floryn memastikan.
Mira tersenyum dan mengangguk. "Baik, Nyah. Aman ...," sahut Mira.
"Oya, satu lagi ... jangan ganggu tuan dulu. Sepertinya tuan sedang istirahat," jelas Floryn.
"Bodoh. Bodoh sekali," batin Floryn.
"Baik, Nyonya."
Floryn keluar dari rumah dua lantai itu dan langsung masuk ke dalam mobilnya yang masih di tempat yang sama. Untungnya ia tidak bertemu dengan Azis, tukang kebun mereka. Hanya ada Maryo yang sedang berjaga di depan.
Floryn menghentikan mobilnya di depan pos satpam. Ia mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan memanggil Maryo.
"Pak. Anggap bapak belum melihat saya pulang. Saya mau buat kejutan bersama Alvin untuk ayahnya," ungkap Floryn dibarengi dengan senyum manisnya.
Maryo tersenyum girang. Uang itu bisa ia gunakan untuk membeli dua bungkus rokok lagi. Untung banyak baginya. Jadi, ia akan melakukan perintah yang diberikan nyonya itu dengan senang hati.
Mobil Floryn kembali melaju meninggalkan halaman rumahnya sendiri. Tidak. Ini bukan rumahnya. Ini adalah rumah mereka. Rumah yang dibeli bersama setelah mereka menikah. Pada rumah inilah, uang terakhir Floryn, ia habiskan.
Setelah itu, ia memulai semuanya dari awal. Floryn mulai bekerja di perusahaan milik orang tua Enrik sebagai Kepala Keuangan. Begitu juga dengan Enrik yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pemasaran.
Hidup mereka terlihat cukup baik, hingga apa yang Floryn lihat hari ini ....
Bersambung.
"Bunda!" panggil Alvin saat melihat kedatangan Floryn di rumah neneknya.
Selama dua hari ini, Floryn menitipkan Alvin di rumah ibunya karena permintaan wanita itu sendiri. Alvin yang masih berusia empat tahun, terlihat gembira dengan kedatangan sang bunda.
"Sayang Bunda ...," sahut Floryn seraya merentangkan kedua tangan. Ia menyambut Alvin yang berlari mendatangi dirinya.
"Tahan, Floryn! Kamu tidak boleh menangis." Suara itu berasal dari dalam kepala Floryn.
Dengan cepat, Floryn menarik napas panjang hingga paru-parunya dipenuhi oleh udara. Selama beberapa detik Floryn menahannya dan lalu membuang dengan perlahan melalui mulut.
Sesuatu yang selalu Floryn lakukan, saat ia sedang berusaha untuk menahan tangis.
"Bunda ... Alvin kangen Bunda," katanya lagi. Floryn tidak akan bosan mendengar hal itu. Sesuatu yang dapat menguatkan dirinya. Setidaknya, untuk saat ini.
"Sama. Bunda juga kangen Alvin." Floryn melihat jam tangan pemberian Enrik yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah jam satu siang dan ia merasa lapar.
"Nak ... kamu datang. Apa pekerjaannya sudah selesai?" tanya ibunda Floryn dengan senyum ramah membingkai wajah.
Akan tetapi, bukannya menjawab pertanyaan sang ibu, Floryn malah langsung memeluk erat tubuh itu dan membenamkan wajahnya ke dalam pelukan. Padahal, ia sudah berusaha kuat untuk menahan air mata di depan ibu dan anaknya. Sayang sekali, Floryn gagal melakukan hal itu.
"Nak, kamu kenapa?" tanya Ibu Martha yang merupakan ibu tiri dari Floryn.
Floryn terus saja menangis. Ia juga tidak berani mengatakan masalah sebenarnya kepada sang ibu. Ia takut ibunya malah mendapatkan serangan jantung seperti yang pernah terjadi padanya beberapa bulan silam. Untuk beberapa saat, Martha membiarkan Floryn menangis di dalam pelukannya. Sesekali, ia mengusap puncak kepala Floryn sekedar untuk menenangkannya saja.
Lalu setelah beberapa menit menangis, akhirnya Floryn menghapus sisa-sisa air mata yang masih menempel di pipinya.
"Sebaiknya kita masuk, ya ... Alvin, coba kamu bawa koper Bunda ke dalam. Sepertinya Bunda kelelahan," kata Martha kepada cucu tunggalnya.
"Iya, Nek ...," sahut Alvin dengan wajah yang kebingungan.
Mereka bertiga masuk ke dalam rumah mungil milik Martha, lalu Martha kembali mengunci pintu.
Floryn menghapus sisa-sisa air matanya. Ia tahu kalau sudah melakukan kesalahan dengan menangis di depan ibu dan anaknya. Sekarang, apa yang akan ia katakan jika wanita itu bertanya?
***
Malam ini, Floryn sudah berada di depan rumah salah satu sahabatnya. Cika adalah satu-satunya sahabat yang begitu pengertian dengan mau mendengarkan keluh kesah Floryn.
Cika kerap berbagi cerita pada Floryn. Begitu juga sebaliknya. Semua cerita yang ada di antara mereka, tidak pernah bocor hingga ke mana-mana. Mereka bersumpah jika semua omongan itu, hanya mereka yang mengetahui.
Sudah tiga kali Floryn mencoba untuk menghubungi Cika. Sayangnya, wanita itu tidak menjawab panggilan-panggilannya. Padahal mereka sudah merancang janji temu.
"Kemana, sih? Apa lagi main sama suaminya, ya?" batin Floryn yang masih duduk di belakang kemudi.
Akhirnya, Floryn turun dari sana dan menekan bell pintu rumah sang sahabat.
Namun, ternyata pintu rumah itu tidak terkunci. Tiba-tiba saja jantung Floryn berdebar kencang. Ia mendengar sesuatu yang seharusnya tidak ia dengar.
"Lebih cepat ...," rintih sebuah suara yang sepertinya milik Cika.
"Sialan ... kenapa aku ke sini pas mereka lagi mantap-mantap, sih?" sesal Floryn di dalam hatinya.
Floryn baru saja ingin pergi dari sana dan menutup pintu rumah. Akan tetapi, hal berikutnya yang ia dengar membuat Floryn kembali syok.
"Jack ... please ... aku mau sampai ...," lirih Cika dengan begitu memohon.
Floryn terhenyak kaget.
"Siapa Jack? Apa yang dilakukan Cika di dalam kamar?" batin Floryn panik.
Cika memang sudah menikah. Namun, suaminya bernama Herman, bukannya Jack. Lalu siapa orang yang sedang menghangatkan ranjang milik sahabatnya itu?
Cklek!
Suara pintu yang terbuka di belakangnya, membuat Floryn tersentak kaget. Ia berbalik dan mendapati Herman masuk dengan sebuah bungkusan di tangannya.
"Floryn?!" Sepertinya Herman terkejut dengan keberadaan Floryn di sana.
"M-Mas Herman? Mas?"
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Herman yang sudah mecekal tangan Floryn dan menariknya keluar.
"Mas? I-itu ...." Tapi Floryn menghentikan kata-katanya. Ia tidak mungkin melaporkan sahabatnya sendiri. Namun, Herman juga akan masuk ke dalam rumah. Bagaimanapun juga ia akan mengetahui semuanya.
Di depan mobil Floryn, Herman menepis tangan tamunya yang tidak diundang.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Aku sudah janjian dengan Cika. Tapi ...."
"Pulanglah. Anggap saja kamu tidak pernah ke sini."
Akan tetapi, bukannya masuk ke dalam mobil, netra Floryn terpaku pada sosok yang baru saja muncul di pintu rumah Cika.
Sosok itu adalah Cika dan Jack. Keduanya keluar seperti tidak pernah terjadi apa-apa di dalam. Pandangan Jack bertemu dengan tatapan terkejut Floryn.
"Floryn? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Cika khawatir.
Namun, sebelum Floryn sempat menjawab pertanyaan itu, Cika langsung menarik Floryn untuk masuk ke dalam rumahnya. Meninggalkan Jack dan Herman di luar rumah.
Floryn menepis tangan sang sahabat. "Apa yang terjadi dengan kalian?!"
Bersambung.
Tercengang.
Ya hanya kata itu yang bisa melukiskan apa yang Floryn rasakan saat ini. Setelah mendengar penjelasan Cika barusan, ia mulai ragu apakah hubungan pertemanannya dengan Cika bisa bertahan lebih lama.
"Kalian tahu apa yang kalian lakukan itu tidak benar, kan?!" tuntut Floryn lagi.
"Iya ... kami tahu. Tapi mau bagaimana lagi? Setelah Mas Herman kecelakaan, dia sudah tidak bisa lagi memberikan nafkah bathin untukku. Sebenarnya, aku tidak masalah dengan semua itu. Tapi Mas Herman tidak tega dan menyarankan hal ini kepada kami," sahut Cika dengan suara pelan tertahan.
Floryn baru saja akan membuka mulut dan kembali menyangkal perkataan Cika. Namun, ia tahu jika ia tidak mungkin mengatakan hal tersebut jika di luar sana masih ada Herman. Jadi, ia menggantinya dengan pertanyaan lain.
"Siapa orang itu?" selidik Floryn. Ia hanya tidak ingin jika ternyata temannya telah menjadi objek fantasi s3ksual yang tidak jelas antara Herman dan laki-laki tersebut.
"Aku tidak tahu. Dia temanmya Mas Herman. Anggap saja kamu tidak pernah melihat hal ini, Ryn ...," mohon Cika. "Aku tidak mau hubungan pertemanan kita renggang karena masalahku," tambahnya.
Floryn menghela napas dan membuangnya dengan perlahan. Ia tahu jika masalah s3ksual seperti ini tidaklah bisa diatur-atur. Namun, kelakuan sahabatnya tersebut malah mengingatkannya pada perselingkuhan yang tengah terjadi di antara Enrik dan Ambar. Bedanya, dalam masalah Cika, suami temannya itu yang memfasilitasi semuanya. Gila!
Ia datang ke rumah Cika dengan maksud untuk berbagi cerita. Mungkin Cika bisa meringankan beban pikirannya saat ini, atau memberikan solusi atas apa yang ia alami. Sayangnya hal itu hanya mimpi. Ia malah melihat penyimpangan yang aneh dan tidak wajar.
"Sudahlah, Ka ... aku mau pulang saja. Kepalaku semakin sakit karena hal ini ...," lirih Floryn.
"Ryn ...," panggil Cika berusaha mencegah.
Namun, Floryn kemudian berbalik dan tersenyum. "Please ... berpikirlah lagi. Aku hanya tidak mau jika mereka memanfaatkanmu," bisik Floryn.
Cika terdiam. Ia hanya bisa menggenggam erat ujung baju handuk yang sedang ia kenakan.
Di luar, Floryn melihat Herman dan laki-laki asing tadi sedang membicarakan sesutu. Netra Floryn berusaha fokus dengan gerakan mulut Herman. Mencoba membaca apa yang laki-laki itu katakan.
Selama duduk di bangku kuliah, Floryn berteman baik dengan seorang tunarungu yang sangat pandai membaca bahasa bibir. Hal itu membuatnya tertarik dan ikut mempelajari bahasa itu pada akhirnya.
Floryn tidak mengira jika skill itu menjadi sangat berguna pada saat-saat tertentu. Contohnya pada saat meeting atau ketika bertemu dengan klien penting.
Untuk sejenak, Floryn memperlambat laju langkah. Kesempatan itu ia gunakan untuk mencari tahu pembicaraan keduanya. Aktivitas tersebut terhenti ketika sosok laki-laki yang tidak ia kenal berpaling dan menatap tidak suka kearah Floryn.
"Permisi, Mas. Saya pulang." Floryn terdengar lebih dingin daripada biasanya.
Herman hanya mengangguk. Floryn mempercepat langkah kaki. Sungguh, ia ingin menganggap tidak pernah melihat dan mendengar semuanya.
"Ya Tuhan ... kenapa manusia semakin bobrok pikirannya? Bagaimana keadaan anak Cika saat ini? Jangan sampai gadis mungil itu melihat yang tidak seharusnya," gumam Floryn dengan suara pelan.
Floryn memutar jalan untuk masuk ke dalam mobilnya. Di depan pintu mobil, ia berhenti. Floryn sedikit kebingungan karena tidak bisa menemukan kunci mobil yang seharusnya ada di dalam tas.
"Haduh ... mana, sih?" tanya Floryn pada dirinya sendiri.
Saat itulah, Floryn merasa hembusan napas di tengkuknya. Karena kaget, Floryn berbalik dengan tiba-tiba dan mendapati si orang asing sudah berada di sana.
"Ka-kamu?! Apa yang kamu lakukan di sini?!" tukas Floryn takut.
Pandangan Floryn beralih ke arah teras rumah Cika yang sudah sepi. Ia tidak tahu kapan orang itu pergi dari sana dan sampai di situ bersamanya.
"Kenapa aku merasa tidak suka dengan kedatanganmu?" tanya orang itu berbisik.
Floryn menggelengkan kepala. "Tidak tahu. Mungkin karena kamu orang aneh!" sahut Floryn dengan nada ketus.
Laki-laki itu tersenyum mengerikan. Tubuhnya semakin mendekati Floryn. Wanita itu tidak bisa pergi ke mana-mana kecuali merapat pada mobilnya.
"Sepertinya kamu butuh kepuasan ...," bisik orang itu semakin memuakkan.
Floryn berusaha menelan saliva dengan susah payah. Ia tidak boleh terlihat lemah.
Dengan sekuat tenaga, Floryn menginjak kaki si orang asing. Hal itu membuat orang itu kaget dan menjauh.
Kesempatan itu digunakan Floryn untuk menekan tombol unlock dan menarik pintu mobil hingga terbuka sedikit. Dengan cepat, Floryn masuk ke dalam mobil dan menguncinya.
Floryn menoleh ke arah orang tadi dan melihat senyum mengejek terukir dengan jelas. Tanpa mempedulikan lebih jauh, Floryn melajukan mobilnya pergi dari sana.
Tidak akan pernah. Sepertinya Floryn tidak akan pernah datang lagi ke rumah itu ....
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!