...Prolog...
Gemala Luwi.
Itulah namaku. Aku anak bungsu dari 3 bersaudara. Semuanya perempuan. Dan aku rasa inilah salah satu ujian berat di depan mata yang harus aku hadapi saat ini. Sebelum pada akhirnya gelar Bachelor of Arts (BA) tersemat di belakang namaku.
Aku mendesahkan napas berat. Pengajuan penelitian tentang studi pola antropologi masyarakat Indonesia khususnya suku Badui ditolak. Alasannya,
“We need a new one, special from Indonesia,” ucap Paul. Dosen pembimbing yang bergelar prof. Dat Paul, Ph.D itu selalu menolak jika dipanggil dengan mister atau sir.
“Just call me, Paul!” serunya saat menemui pria setengah baya itu pertama kali. Lagian, dosen di sini lebih suka dipanggil nama mereka. Karena mereka menganggap semua orang itu sama atau equal. Sebenarnya bukan hanya di lingkungan kampus saja. Tapi secara umum di negara yang sudah aku anggap rumah kedua ini.
Ya, sejak kecil tepatnya memasuki primary school hingga junior secondary school aku tinggal di Melbourne-Australia. Kembali ke Indonesia saat SMA. Lalu kembali ke negara kangguru itu lagi jelang kuliah.
Bukan tanpa alasan.
Di balik itu semua. Dalih utamanya adalah demi keamanan dan kenyamanan anak-anak, kata papa. Waktu itu papa sibuk campaign gubernur. Pada akhirnya aku harus tinggal bersama Kak Ganisha dan Kak Gayatri.
Menempati rumah sendiri. Dengan orang-orang yang dikirim mama untuk menemai kami selama di sana. Tentu saja ada yang tetap berbeda. Kendati begitu mama berusaha selalu datang 1 atau 2 bulan sekali. Atau saat ada momen-momen penting dalam kehidupan anak-anaknya.
Meskipun terkadang ada sekelebat rasa menyelinap dalam dada. Kok begini amat sih hidupku harus berjauhan dengan orang tua? Tapi aku berusaha untuk berlapang dada. Memahami kondisi mereka.
Kembali ke usahaku untuk mengangkat pola sisi kehidupan sebagian masyarakat Indonesia sebagai bahan penelitian jelas mendapat dukungan. Namun tak ayal juga beberapa kali pengajuan judul dan tempat ditolak.
Seperti,
“Kesultanan Yogya, Solo, Cirebon sudah banyak publish.” Alasan Paul, waktu aku mengajukan tema apa yang akan aku ambil.
“Masyarakat suku Batak di Danau Toba, sudah ada.” Lagi, Paul tidak setuju.
“Budaya dan karakteristik suku Tengger,” Paul mengerutkan dahi, “saya pernah baca hasil penelitiannya ... banyak.”
Dan terpaksa aku harus menyebutkan puluhan dari 300 kelompok etnis di Indonesia. Yang tepatnya ada sekitar 1.340 suku bangsa menyebar di 17 ribu pulau dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote. Dari Sabang hingga Merauke satu persatu sesuai daftar ingatanku.
Lalu yang membuat aku nanap adalah ketika aku tanpa sengaja menyebut, “Suku anak dalam yang mendiami daerah Jambi dan Sumatera Selatan.”
“Wait! Wait!” Paul menyergah cepat.
“Suku anak dalam,” gumam Paul. Lalu tersenyum kecil.
Entah apa maksudnya?
Yang pasti aku sendiri belum pernah ke daerah yang aku sebutkan tadi. Bahkan baru mengucapnya juga ini yang pertama kali. Oh ... astaga, rasanya aku ingin meralat ucapanku baru saja.
Tapi,
“I agreed. Suku anak dalam," putus Paul.
Dan di sinilah aku sekarang berada. Bandara Sultan Thaha-Jambi. Terdampar di bandara yang baru kali pertama aku datangi seumur hidup. Tiba di sini malam dengan penerbangan terakhir dari Jakarta sebab buruknya cuaca.
Sepi.
Cemas menyelimuti.
Ini negaraku. Tapi berbagai cerita menyangkut kejahatan membayangiku. Kriminalitas setiap hari melintas di situs berita sewaktu-waktu, tanpa jeda dan pembeda.
Malam kian merangkak. Sementara aku harus ketinggalan agen perjalanan travel menuju lokasi dikarenakan pesawat yang delay.
Lagi, aku menghela napas dalam lalu membuangnya kasar.
Duduk sendirian pada kursi besi di ruang kedatangan membuat aku seperti orang hilang. Celangak celinguk tak karuan. Mengharap ada sosok yang membantu bak pahlawan kesiangan. Hei ini Indonesia, Bung! Budaya orang timur masih kental.
Namun rasanya keberuntungan semakin tipis. Penumpang yang turun di sini hanya beberapa, sebab pesawat melanjutkan penerbangannya ke tujuan berikutnya.
Sementara penumpang yang turun bersamaan dengan diriku hanya ya ... beberapa dan mereka seperti tergesa-gesa. Tak acuh dengan keberadaanku.
Ekor mataku melirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Pukul 22.30 WIB.
Aku putuskan untuk keluar saja. Mungkin ada taksi atau mobil sewaan, harapanku.
Sialnya saat aku menggeret koper hendak berbalik badan kembali masuk karena ingin ke kamar mandi. Tubuhku ditabrak seseorang dari depan. Orang tersebut sepertinya juga tengah terburu-buru.
“Ssshhh ...," aku meringis mengaduh. Bahu kananku rasanya nyeri kena tubuh yang kerasnya seperti batu.
Dan orang itu tampak kesal sekaligus berkata, “Kalo jalan pake mata!” Lalu membenahi kaca mata hitam yang melorot dari hidung mancungnya.
Oh sialan! Masih sempat-sempatnya aku memuja laki-laki itu. Aku lalu menggeleng. “Anda yang sepertinya harus membuka kaca mata. Sudah tahu malam, kaca mata hitam adalah pilihan yang sangat buruk!” Aku tidak mau kalah.
Laki-laki itu mengibaskan tangan pada bahunya. Seolah aku menempelkan kotoran di sana.
Aku geram. Rasanya ingin memakinya. Tapi aku tahan.
“Pak Ru,” sapa seseorang dari belakangku. Aku ikut berbalik badan demi melihat orang tersebut.
Laki-laki itu tersenyum samar. Kemudian keduanya berlalu tanpa sepatah kata.
Huh! Dasar tidak tahu diri pekikku dalam hati
Setelah dipikir-pikir akhirnya aku memilih hotel untuk menginap malam ini. Baru keesokan harinya menuju lokasi.
Hotel bintang empat di kawasan Telanaipura menjadi pilihan. Sesuai permintaan, aku memilih tipe kamar junior suite sebab kenyamanan dan pelayanan tetap nomor satu. Setelah melakukan check in dan menempati kamar 427. Aku langsung merebahkan tubuh di kasur yang empuknya sesuai ekspektasi. Terpental sedikit, akibat gaya pegas dari ranjang empuk membuatku seperti bermain trampoline. Tapi aku suka. Artinya kasur ini nyaman dan layak ditiduri.
Tanpa basa basi dengan tubuh begitu lelah aku langsung merasuk ke dalam mimpi.
...***...
“Ya, Kak. Aku masih di hotel. Bentar lagi check out. Pagi ini langsung ke lokasi biar gak kesorean juga.”
“Sampekan ke mama-papa, aku udah sampai Jambi.”
“Bye,”
Sambungan telepon itu langsung aku matikan ketika aku telah berdiri di depan buffet makanan. Aku mengambil roti panggang berselai cokelat kacang. Beberapa potongan buah segar dan segelas orange juice.
Aku memilih meja dekat kolam renang. Sambil melihat anak-anak dan pengunjung yang sedang berenang di sana. Tapi lacur, mataku menangkap sosok laki-laki yang tak asing di netraku. Sepersekian detik mata kami bersua pandang. Kenapa bisa ketemu dia lagi-dia lagi?
Laki-laki itu juga tengah sarapan dengan pria yang menjemputnya tadi malam. Dengan gaya yang sama. Kaca mata hitam. Se-pagi ini. Aku melipat bibirku menahan senyum agar tak ketahuan. Narsis dan cari perhatian pikirku. Oh, Bung ... ini Indonesia. Atau jangan-jangan dia sedang belekan?
Aku terkekeh pelan. Lalu menunduk.
Mobil travel yang aku hubungi telah tiba di depan lobi. Setelah memastikan benar. Aku bergegas masuk ke dalam. Hanya 4 orang di sana. Dan aku sendirian sebagai penumpang perempuan.
Petuah dan pesan mama-papa, Kak Ganisha, Kak Gayatri selalu aku ingat.
“Harus selalu hati-hati, mawas diri di mana pun berada. Mau di Indonesia tempat lahir kamu. Atau di Melbourne tempat kamu dibesarkan.”
Tiba-tiba mobil berhenti di bahu jalan.
“Ngapo pulo? (Kenapa pula?)” tanya penumpang bapak-bapak berkumis seperti Pak Raden.
“Mogok!” sambar sang sopir. Kemudian berusaha menghidupkan mesin kembali tapi sudah dicoba berulang kali tetap saja tak mau diajak kompromi.
“Wah, kacau! Dak katek bengkel dekat sini (tidak ada bengkel di dekat sini),” celetuk penumpang pria yang mungkin seumuran denganku.
Jelas saja pemandangan kanan-kiri tanaman seperti kelapa. Seperti hutan kelapa pikirku. Saujana mata memandang tampak berjajar rapi. Semua sama. Hutan buatan mungkin. Batinku mengira-ngira.
Sang sopir terlihat menelepon seseorang. Bosnya barangkali. Meminta mobil pengganti. Intinya seperti itu. Sebab aku tidak terlalu mengerti bahasanya.
Akhirnya aku putuskan untuk turun. Bersamaan para penumpang yang lain. Pak sopir mencoba membuka kap mobil. Berusaha mencari penyebab mogoknya kendaraan.
Kurang lebih 30 menit berdiri di sana. Terkadang aku berjongkok. Berdiri. Berjongkok lagi. Lalu kembali berdiri. Mobil tak kunjung menyala. Mobil pengganti pun tak jua datang.
Aku menghela napas entah yang kesekian kali.
Hingga pada akhirnya sebuah mobil berhenti tepat di depan mobil yang mogok tersebut. Setelah sebelumnya sempat melaju kencang, lalu berjalan mundur menghampiri kami. Seorang pria mendekati sang sopir. Berbicara entah apa.
Eh, tapi tunggu ... bukankah itu?
“Mbaknya tujuannya mau ke mana?” tanya pria itu mendekatiku.
“Sarolangun.”
“Tujuan kita sama. Kalo mau, bisa sekalian sama kami,” pria itu menawari tumpangan.
Jeda sejenak.
Ragu.
Tapi sepertinya orang itu meyakinkan. Penampilan dan kendaraan mobil Pajero Sport Dakar berwarna hitam mengilat salah satu buktinya. Kalaupun penculik atau orang jahat tidak mungkin berpenampilan perlente, bukan?
Aku masih bergeming.
“Silakan,” imbuh pria tersebut membuka pintu kedua dengan sopan. Lalu, mempersilakan aku untuk naik.
Aku mengangguk kecil. Mengambil barangku di mobil yang mogok. Kemudian berpindah ke mobil yang memberikan tumpangan. Aku duduk di bangku kedua.
Kami bertiga dalam kebisuan. Sangat lama. Bahkan mungkin hampir selama dalam perjalanan. Semua bergeming entah apa yang ada dalam benak masing-masing. Rasanya aku ingin bicara. Tapi melihat gelagat penumpang di sebelah sopir yang menawariku tumpangan. Akhirnya urung aku lakukan.
Perjalanan ke lokasi rasanya panjang. Meski kecepatan mobil jangan ditanya. Di atas rata-rata. Hingga membuat perutku mual rasanya.
Aku berusaha memejamkan mata. Meski sulit akhirnya tertidur juga. Entah sudah berapa jam mataku terpejam. Tiba aku terbangun ketika kepalaku membentur kaca jendela.
Jedug.
Aku meringis sambil mengusap pelipisku.
Masa bodoh dengan kondisiku sekarang. Kusut. Rambut acak-acakan. Beberapa kali aku menyugar suraiku lalu mengikatnya cepol. Aku menegakkan punggungku.
Kini pemandangan tak lagi sama saat memasuki jalan sepi. Jalan aspal yang setengah rusak. Berlubang sana sini hanya ditambal tanah merah. Pohon kelapa kembali berbaris rapi dan semua tampak sama.
“Kelapa," gumamku dengan tatapan ke sisi jendela kaca.
Laki-laki yang duduk di depanku tertawa sinis.
“Ada yang aneh?” tandasku kesal.
Justru laki-laki itu semakin menertawai sikapku.
Aku mendesis.
“Ini kelapa sawit. Bukan kelapa," sanggah orang yang dipanggil Pak Ru itu.
“Sama-sama kelapa,” aku tetap dalam argumenku.
Laki-laki itu berdecak.
Sementara terlihat dari kaca spion dalam sang sopir tersenyum tipis.
“Ini sudah sampai mana?” tanyaku mengalihkan perhatian. Perdebatan kelapa dan kelapa sawit tak akan ada ujungnya pikirku.
“Ayik itam,” sahut sang sopir.
Aku mengulangi, “Ayik itam?”
“Maksud saya Air Hitam,” ralat sang sopir.
Syukurlah ini awal tujuanku. Sebelum nantinya lebih masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas.
Tapi sebelum itu aku menghubungi sepupuku. Berulang kali menelepon nada sambung selalu sibuk. Panggilan terakhir masuk, sayangnya tidak diangkat. Tak patah arang aku berusaha menghubungi istrinya, syukurlah langsung tersambung.
“Ya, Mala ....”
“Mbak Rei,”
“Mala minta tolong sampaikan ke Mas Danang. Mala cancel ke Palembang. Jadinya ke Jambi. Tadi menghubungi Mas Danang tapi gak diangkat.”
“Mungkin beberapa hari Mala gak bisa dihubungi sebab ....”
Tut ... tut ... tut
“Hah!” Aku melihat layar ponselku. Karena sambungan telepon terputus tiba-tiba.
Aku berdecak, “Gak ada sinyal.”
Aku berusaha mengangkat tinggi ponsel dan menggoyangnya demi mendapatkan sinyal kembali. Tapi nihil. Kuangkat lagi, kondisi masih sama. Akhirnya aku pasrah.
-
-
Happy reading ❤
Terima kasih yang sudah mampir, membaca dan memberikan dukungannya ... 🙏
Jangan lupa tekan Fav, untuk mendapatkan notifikasi dan sebagai koleksi di rak buku kalian jika suka. Lalu like, comment, dan vote, poin maupun koin seikhlasnya ....
Salam,
enel choi, 🤗
...1. Ayik Itam...
Sayup-sayup terdengar suara musik Minang saat gadis itu menurunkan kaca jendela. Ketika mobil tepat berhenti di sebuah rumah dengan halaman luas. Ia bergegas turun. Di ikuti Pak Ru dan sopirnya.
Semakin dekat, semakin kuat musik menggelegar memenuhi telinga mereka.
...Babiduak mangko badayuang...
...Nak jaleh jo tapian...
...Den duduak baok bamanuang...
...Nak jaleh jo parasaian...
“Assalamu’alaikum,” teriak sang sopir. Saat mereka tiba di teras rumah. Tak ada sahutan. Saking kencangnya suara musik yang menguar memenuhi seluruh ruangan hampa.
...Usah uda jadikan baban...
...Alah jodoh jo suratan...
...Aia mato lai den tahan...
...Kasiah ka uda tak ka mungkin hilang...
Tok ... tok ... tok
“Assalamu’alaikum ....” Pak sopir kembali berucap salam sambil mengetuk pintu yang terbuka lebar.
...Uda sayang tolong dangakan...
...Lah suratan ditangguang badan...
...Matohari nan denai hadang...
...Kandak rang tuo tak mungkin den lawan...
...-Rantau Den Pajauah-Ipank feat Rayola-...
“Assa—” Pak Ru sudah membuka mulutnya untuk kembali mengucap. Namun terpotong sahutan dari dalam bersamaan dengan musik yang di pelankan.
“Wa’alaikumsalam ....” Seorang pria berumur dengan kulit eksotis, berpeci hitam, bersarung kotak-kotak dengan kaos putih yang usang muncul dengan tersenyum menyambut mereka.
“Silakan, masuk.” Tuan rumah menyilakan untuk duduk di kursi plastik berwarna biru.
“Ado apo, Pak Ru. Tumben kemari?”
“Nampaknyo, mau ngasih gawe lagi. Ya, dak, Pak Toni?!” Pria itu terkekeh.
Laki-laki yang disebut Pak Ru itu menoleh pada pria yang disebut Pak Toni. Lalu mengedikkan bahunya.
Pak Toni berdehem, “Begini, Pak. Kami mau mengantarkan—” pria itu menatapnya.
Ia menimpali, “Saya, Gemala.”
“Iya, kami mengantarkan Mbak Gemala ini. Tujuannya—”
Dengan cepat ia mengeluarkan amplop putih dari tas ranselnya kemudian disodorkan di atas meja plastik biru yang diselimuti taplak kain berwarna bunga-bunga merah.
“Saya sedang melakukan penelitian terhadap Suku Anak Dalam. Untuk tugas akhir,”
“Di dalam amplop ini ada surat-surat perizinannya.”
Pria berpeci hitam manggut-manggut.
“Sayo, Waylik. Dulu sayo salah satu Tumenggung SAD. Tapi itu dulu. Sayo dan keluarga sudah tinggal di sini berbaur dengan warga sekitar.”
Ia tersenyum, “Bisakah,”
“Bisa-bisa. Kami bisa membantu.”
Obrolan dengan Pak Waylik mengalir begitu saja. Pak Ru lebih banyak diam. Sementara Pak Toni kadang kala menimpali.
Setelah mengobrol panjang lebar, dan suguhan kopi hitam telah hampir kandas. Pak Ru dan Pak Toni pamit.
“Kapan-kapan kami mampir ke sini, Pak Way," pungkas Pak Ru sambil mereka berjabat tangan.
Ia pun mengekori mereka hingga ke mobil.
“Saya, mau ambil barang,” terangnya sebelum laki-laki itu bertanya. "Terima kasih atas tumpangannya,” imbuhnya seraya tersenyum.
Pak Toni telah menurunkan kopernya dari kabin mobil.
“Saya, Gemala.” Ia mengulurkan tangannya, “maaf terlambat baru sekarang berkenalan.”
Toni menyambut tangannya, “Toni.”
Tapi laki-laki yang dipanggil Pak Ru itu justru cuek masuk ke dalam mobil. Tak mengidahkannya sama sekali.
“Beliau, Pak Ru. Atasan saya.” Terang Toni. Lalu bergegas memutari mobil.
Ia sekilas melihat laki-laki itu yang kembali mengenakan kaca mata hitamnya. Hingga mobil itu bergerak perlahan meninggalkan rumah Waylik.
...***...
“Jadi Ibu udah punya cucu 20?” tanyanya saat membantu Ibu Saidan—istri Waylik--memasak di tungku. Ia meniup api agar terjaga menggunakan semprong.
Uhuk.
Uhuk.
Ia menghirup asap dari semprong. Matanya pedih. Tenggorokannya perih.
“Ati-ati. Bialah Ibu yang buat apinya,” sergah Saidan.
Ia masih terbatuk-batuk, menyerahkan semprong tersebut.
Dan sekali tiup, api langsung menyala kembali.
Ia meringis. Malu.
“Cucung kami 20. Dari duo istri. Istri pertamonyo lah meninggal punya 5 anak. Sama sayo ado 5 anak.”
“Anak-anak semuanyo berpencar. Cari rezeki masing-masing. Ado 2 cucung yang tinggal sama kami.”
“Assalamu’alaikum,” sapa 2 anak kecil hampir bersamaan yang baru saja datang.
“Inilah cucung kami, namanya Azizah sama Nyumba.” Saidan memperkenalkan cucunya. “Salim dulu,” perintah Saidan pada 2 cucunya.
Lingkungan di desa yang didatanginya lumayan ramai. Saat sore menjelang anak-anak baru saja pulang dari sekolah madrasah. Sementara ibu-ibu ada yang sekedar duduk-duduk di teras. Sebagian memunguti jemuran pinangnya yang mulai kering.
Bersyukur ia diberi tumpangan Waylik di rumahnya. Menempati salah satu kamar anak laki-lakinya yang baru saja menikah.
“Cemano, mau mulai dari mano? Sayo biso bantu, tapi kalo pas senggang. Kalo pas sibuk, maaf sayo dak biso," kata Waylik saat mereka telah menyelesaikan makan malamnya.
“Saya mulai dari kampung ini dulu, Pak. Mungkin beberapa hari,”
“Kalo ado apo-apo bilang saja. Jangan takut.”
“Nanti biar Zizah sama Nyumba yang ngawani. Tapi kalo rombong di sini semua sudah paham Bahasa Indonesia,” Waylik tampak menyeruput kopi hitamnya dalam gelas belimbing.
“Nah, nanti kalo di dalam hutan. Bialah sama sayo. Di sano dak sembarangan orang bisa masuk," jelas Waylik.
Ia mengangguk.
Malam pertama di Ayik Itam ia menempati kamar ukuran 3 x 3 meter. Di rumah bagian belakang dengan dinding setengah masih kayu. Lantai semen dilapisi karpet plastik bercorak batik. Hanya terdapat ranjang dengan kasur tipis, meja kecil dan kursi usang. Serta lemari pakaian hanya satu pintu.
Ia mendesahkan napas. Suara ponselnya membuatnya menjengit.
Mama calling ....
“Ya, Ma.” Sahutnya sambil berdiri menghadap jendela. Ia sengaja me-loudspeaker volume ponselnya.
“Kamu udah sampai, Sayang?”
“Udah, Ma. Tadi siang.”
“Kok susah sekali menghubungi kamu. Dari tadi Mama nyoba telpon. Tapi di luar jangkauan terus.”
“Mama ... ‘kan, Mala udah bilang. Penelitian ini di hutan. Pelosok. Jadi susah sinyal,” curhatnya. “Ini aja, ponsel harus berdiri di jendela. Geser dikit sinyal ilang.”
“Itulah ... dari awal Mama bilang cari tempat yang mudah dijangkau, bukan pelosok gini, Sayang.”
“Lagian kamu ini iya-iya aja usul dosen kamu. Kan, kamu juga punya hak nyari tempat. Bukan nurut-nurut aja!”
“Sekarang, kamu kayak di planet mana gitu. Mama susah banget mau telpon aja. Mending di Melbourne tiap detik bisa nyambung komunikasi ....”
Dan suara mama masih terus berdengung. Sementara ia menjauh dari jendela. Duduk di kursi.
“Mal ....”
“Mala ....”
“Hallo ... Mala?!”
Ia kembali berdiri menghadap jendela. “Ya, Ma.”
“Ingat pesan Mama! Hati-hati dan mawas diri. Jangan sembarangan makan. Jangan gampang percaya sama orang. Jangan gegabah ambil keputusan. Jang—”
“Iya, Ma. Iya," potongnya cepat.
“Okay ... love you.”
“Love you too, salam buat Papa.”
Sambungan telepon itu pun berakhir.
Tidurnya dalam gelisah. Suara nyamuk berdenging hilir mudik di indra pendengarannya.
Plak!
Lolos.
Plak!
Lolos lagi.
Ia mendesah. Meski tangan dan kaki telah diolesi autan sachet-an yang Ibu Saidan berikan tadi sebelum masuk kamar. Tapi tetap saja suara nyamuk membuat matanya nyalang susah terpejam.
Ia belum pernah mengalami kehidupan yang seperti ini. Selalu tercukupi bahkan berlebih. Hidupnya terjamin. Tapi ia selalu berusaha menempatkan diri di mana pun. Mandiri sejak kecil jauh dari orang tua membuatnya belajar dari pengalaman.
Ngiiiiiiingg ....
Plak!
“Akhirnya,” desahnya penuh kepuasan setelah berhasil menangkap seekor nyamuk berukuran besar.
Keesokan paginya ia terbangun kesiangan. Pak Way dan Ibu Saidan telah pergi ke ladang. Sementara di rumah tinggal Azizah dan Nyumba. Kedua gadis kecil itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 5 dan 4.
“Kakak, disuruh makan sama nenek betino," kata Azizah saat melihatnya keluar dari kamar mandi yang terpisah di belakang rumah.
“Makasih, Zah. Nanti Kakak, makan. Barengan, yuk!” ajaknya.
“Kami, lah makan, Kak," sahut Zizah.
Ia tersenyum.
“Nanti habis makan temani Kakak keliling ya,” pintanya. Ini hari minggu. Kedua gadis kecil itu libur sekolah. Jadi bisa menemaninya.
Azizah mengangguk.
Tak berapa lama ia keluar rumah bersama dengan Zizah dan Nyumba saat matahari sudah sepenggalah.
Jalanan becek bekas hujan tadi malam masih membekas. Ditambah tidak adanya parit untuk saluran pembuangan air menjadikan air tergenang di kubangan.
Keberadaan Zizah dan Nyumba sangat membantunya. Mereka menunjukkan satu persatu warga yang masih keturunan Suku Anak Dalam (SAD) atau orang Rimba.
Walau sebagai kepala keluarga sebagian besar pergi berladang atau mencari nafkah di pagi ini. Tapi ia bisa berinteraksi dengan kaum para ibu dan anak-anak.
Mereka ramah. Dan menyambutnya dengan baik.
Kehidupan mereka yang memilih tinggal di luar Taman Nasional Bukit Duabelas jelas lebih tertatih-tatih. Apalagi dengan kehidupan nomaden. Areal hutan sebagai sumber kehidupan yang banyak beralih fungsi. Lalu harus bersinggungan dengan orang luar. Meski, ya ... sebagian lain hidupnya lebih maju dan berhasil. Seperti keluarga Pak Waylik contohnya.
Tapi tak sedikit juga yang diambang kepayahan.
Menurut informasi, dulu pemerintah membuatkan mereka rumah dan ladang untuk bercocok tanam. Seperti program transmigrasi. Tapi sayangnya mereka lupa bahwa SAD punya tradisi nomaden atau pengembara.
Tentu butuh pendampingan yang ekstra. Berbeda dari transmigrasi yang berasal dari Pulau Jawa.
Dengan terpaksa rumah dan ladang yang diperuntukkan kelompok SAD akhirnya diperjualbelikan dengan harga seadanya. Lalu pada akhirnya mereka hidup kembali berpindah-pindah. Miris sih.
“Duo anak kami seminggu ini domom (sakit). Kami dak bisa makan tiap hari,” ujar Selisih. Kala ia mewawancarai salah satu penghuni rumah bantuan dari pemda setempat. Hatinya langsung terenyuh. “Bapaknyo lah cari uang ke sano kemari. Tapi dak ado hasil,” imbuh Selisih.
Ia mencoba meraba kening kedua anak tersebut dengan punggung tangan. Benar saja. Masih demam.
“Gak dibawa ke Puskesmas, Bu?” tanyanya.
“Puskesmas jauh. Lagi pulo, kami dak ado duit. Cemano bayarnyo nanti.” Raut wajah Selisih memilukan. Gurat kesusahan dan kesedihan sangat kentara sekali.
Ia merogoh uang dalam saku celananya, “Mungkin bisa sedikit membantu, Bu. Terimalah.” Menarik tangan Selisih lalu meletakkan beberapa lembar di telapak tangannya.
Selisih tidak menolak. Bahkan malah menangis.
“Terima kasih, Kak. Terima kasih ....” Seraya menyusut air matanya dengan ujung baju yang dikenakannya.
Ia menepuk bahu Selisih, “Harus secepatnya dibawa ke Puskesmas, Bu. Jangan ditunda lagi.”
Mereka kembali ke rumah saat matahari tepat di atas kepala. Dengan peluh yang bercucuran. Sebab cuaca sedang terik-teriknya.
Sore harinya ia kembali berkeliling. Kali ini hanya ditemani Zizah. Tujuannya bukan lagi warga yang di rumah penampungan. Tapi, kelompok yang nomaden. Masih sekitar desa, namun berbatasan dengan perkebunan perusahaan kelapa. Eh ... kelapa sawit.
Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik ke atas. Mengingat perdebatan kelapa dan kelapa sawit. Mengingatkan pada laki-laki yang arogan dan bossy. Siapa lagi?
Ternyata membawa Zizah memang ada hikmahnya. Anak-anak kelompok Temenggung Bekilat langsung berbaur dengan Zizah.
“Lah, lamo kami di sini," jawab Bekilat ketika ia menanyakan sudah berapa lama tinggal di perkebunan sawit. Ia dan Bekilat duduk di atas pelepah sawit dekat sudung.
Dengan kondisi sudung seadanya. Beratapkan terpal. Tanpa sekat dan dinding. Bagaimana mereka bisa bertahan seperti ini, pikirnya.
Kelompok Bekilat terdiri dari 35 orang. Dengan 3 istri dan 16 anak. Sisanya adalah keluarga kecil beserta anak-anaknya. Bahkan anak yang sudah menikah masih ikut dengannya. Namun dengan sudung berbeda. Tradisi matrilineal SAD bahwa anak laki-laki yang sudah menikah harus tinggal bersama keluarga dan kerabat dari istri.
Mereka tinggal dalam keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari pasangan suami istri dan anak-anak yang belum menikah. Sementara keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga kecil dari pihak kerabat istri.
“Baru 1 minggu anak-anak kecik (kecil) lah sembuh dari domom (sakit),” imbuh Bekilat. “Tapi ado yang masik domom, induknyo (ibunya). Kami sendirikan. Biar dak nular ke yang lain,”
“Bepak, Induk (ibu) panggil-panggil," sela anak kecil yang menyambutnya tadi di awal kedatangannya bersama Zizah.
Bekilat tak acuh, “Lah, biaso. Waktunya dekat melahirkan.”
Tapi baru beberapa detik anak itu berlalu, terdengar teriakan para ibu membuatnya berdiri. Pun dengan Bekilat. Ia mengekori Bekilat hingga tiba di sudung sedikit jauh tapi masih satu lokasi.
“Kenapo?” tanya Bekilat.
“Deghoh (darah)!” teriak salah satu istri Bekilat menunjuk paha ibu yang mau melahirkan tadi.
“Panggil dukun!” teriak Bekilat menyuruh salah satu kerabatnya. Bergegas salah satu kerabat yang disuruh itu pun segera melajukan motornya.
Ia ikut panik. Darah semakin banyak yang keluar. Ibu tersebut merintih kesakitan. Matanya mengedar ke segala arah mencari sosok Zizah.
“Zah!” panggilnya.
Zizah muncul dari belakangnya, “Kakak.”
Ia berjongkok, “Kamu tahu di mana bidan?” tanyanya sembari memegang kedua bahu Zizah.
Azizah mengangguk. “Tapi,” jeda sesaat.
“Tapi apa?”
“Jauh. Di puskesmas.” Kedua tangannya langsung melorot. Sementara kondisi istri Bekilat sepertinya parah. Harus secepatnya ditangani dokter atau pihak medis paling tidak.
Ia menggandeng Zizah berjalan menjauhi sudung menuju tepi jalan. Kerabat Bekilat sudah semua berkumpul. Ada yang bersedih. Menangis, bahkan berteriak yang ia tidak tahu artinya apa.
Duduk di bawah pohon sawit beralaskan pelepah. Tatapannya kosong. Ini pertama kali. Seumur hidupnya melihat orang mau melahirkan berdarah dalam kesakitan. Tapi ia tidak bisa menolong.
Setetes kristal cair bergulir dari pelupuk matanya.
“Kak,”
Ia bergeming.
“Kak,” panggil Zizah kedua kali.
Ia masih bergeming.
Zizah menggoyang lengannya yang memeluk kakinya yang ditekuk.
“Kak!”
Ia baru menoleh.
“Itu,” tunjuk Zizah pada sebuah mobil yang berhenti tepat di depannya.
-
-
Catatan :
Sudung : rumah atau tempat tinggal Suku Anak Dalam. Biasa berupa pondok tanpa dinding beratapkan daun benal atau rumbia. Tapi kondisi sekarang jauh berbeda. Lebih banyak beratap terpal dan beralaskan pelepah. Tiap sudung keluarga terpisah dengan sudung keluarga lainnya. Pun, bagi anak-anak yang sudah besar dibuatkan sudung sendiri. Namun masih 1 lokasi dalam kelompoknya.
Terima kasih yang berkenan mampir, membaca dan memberikan dukungannya ... 🙏
...2. Jangan Kowatigh...
Gemala
Ia segera bangkit begitu melihat mobil di depannya. Laki-laki yang bernama Ru muncul dari pintu mobil yang terbuka.
“Saya minta tolong,” pintanya mengiba. Belum juga Ru menutup pintu. Ia berdiri tepat di samping laki-laki itu.
Ru terlihat mengernyit bingung.
“Please! Saya butuh bantuan Anda.”
Tanpa menunggu jawaban Ru, ia melesat menuju sudung.
“Pak, kita sebaiknya bawa ke puskesmas. Harus secepatnya ditangani bidan atau dokter.” Tukasnya saat menerobos kerumunan kerabat Bekilat yang mengerubungi ibu yang mau melahirkan tersebut.
Bekilat seperti ragu.
“Pak, ini bahaya.”
“Harus secepatnya ditolong.” Jelasnya lagi penuh permohonan dan meyakinkan. Sementara ibu tersebut sudah terkulai lemah.
“Di depan ada mobil. Kita bawa ke puskesmas!” serunya.
Tanpa bicara Bekilat membopong istri ketiganya masuk ke dalam mobil.
“Wait ... tunggu ... mak—” Ru menyergah ketika ia membuka pintu kedua untuk Bekilat dan istrinya.
Blam.
Suara pintu tertutup dengan keras hingga berdebam. Lalu mendekati Zizah. Berpesan pada gadis kecil itu untuk pulang. Dan meminta tolong salah satu kerabat Bekilat untuk mengantarkannya kembali ke rumah.
Ia kini duduk di samping kemudi.
Tapi laki-laki yang dipanggil Ru itu masih memaku di samping pintu yang terbuka.
“Ayo!” tandasnya kesal.
“Atau saya yang bawa!” sambungnya.
Ru terpaksa mengikuti instruksi gadis itu. Tanpa bicara.
“Bisa cepat gak! Kita bawa pasien. Butuh pertolongan pertama.”
“Hidup matinya ditangan Anda,”
“Semakin cepat ditangani medis, semakin besar peluang hidupnya. Tapi kalau Anda menyetir seperti ini, rasanya peluang hidupnya kecil.” Omelnya sebal, sebab Ru membawa mobil seperti siput. Bagaimana cepat sampai di tujuan pikirnya.
Mendadak Ru menambah kecepatan. Dengan jalanan yang rusak dan ia tidak mengenakan sabuk pengaman. Tubuhnya seketika terpontang-panting. Ia memegangi hand grip.
Laki-laki itu tersenyum tipis.
Ia berdecak.
Sekitar 1,5 jam perjalanan, mereka tiba di puskesmas yang di tuju. Tapi sayangnya ketika Bekilat merebahkan istrinya di brankar. Sang bidang menggelengkan kepalanya setelah beberapa menit memeriksa kondisi pasien.
“Harus dibawa ke rumah sakit,” terang sang bidan.
“Ini komplikasi. Maaf kami dak bisa nangani. Peralatan di sini terbatas. Kami dak bisa ambil resiko.” Begitu penjelasan bidan.
Ia menggigit bibir bawahnya. Menatap Ru yang juga tengah menatapnya. Meski kaca mata hitam menjadi penghalang.
“Kita bawa ke rumah sakit.”
Menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam akhirnya mereka tiba di kota Sarolangun. Istri Bekilat langsung ditangani di IGD.
Menurut penuturan dokter. Pasien mengalami pendarahan.
Abruptio plasenta.
Yaitu kondisi lepasnya plasenta dari dinding rahim sebelum waktunya sehingga menimbulkan pendarahan pada kehamilan usia tua.
“Kami butuh stok darah. Pasien mengalami pendarahan hebat,” imbuh dokter.
Ia menatap Ru. Lalu beralih ke Bekilat.
“Golongan darahnya apa?” tanyanya.
Bekilat menggeleng. Tak tahu menahu soal golongan darah.
Dokter itu pun seperti pasrah. “Baiklah, kami cari tahu dulu golongan darah pasien.” Putus dokter lalu bergegas meninggalkan mereka.
Ia terduduk di kursi tunggu. Di sebelahnya Ru yang masih berdiri menyender dinding. Lalu Bekilat duduk di kursi tunggu depannya.
Tak ada yang berbicara.
Hanya deru suara roda brankar yang menggema didorong lalu menghilang di balik ruangan. Dan sayup-sayup orang berteriak dari ruangan lain.
Pintu ruangan IGD terbuka, “Kerabat pasien atas nama Nyede!” teriak suster di ambang pintu.
Bekilat beranjak lalu mendekati suster tersebut, “Sayo suaminyo.”
“Pasien golongan darah O.”
Ia menoleh pada Ru. “Gue, AB.”
Ia mendesahkan napas. Sementara dirinya A.
Lalu ia ikut mendekat pada suster itu, “Berapa stok yang dibutuhkan?” tanyanya.
“Di sini hanya tinggal 3 kantong. Kami juga harus membagi-bagi untuk pasien yang lain,” sahut suster.
“Bisa carikan stok di rumah sakit lain?”
Suster itu menggeleng lemah, “Lebih baik dari kerabatnya.”
Ia kembali menoleh pada Bekilat, “Bapak coba diperiksa dulu, golongan darahnya apa?”
Bekilat mengangguk. Mengikuti suster.
Sudah lebih dari 30 menit ia dan Ru menunggu di depan ruang operasi. Tindakan sectio caesaria akhirnya dilakukan karena pasien mengalami pendarahan hebat. Kehamilan di usia 35 minggu memungkinkan untuk itu. Bekilat akhirnya bisa mendonorkan darah untuk istrinya setelah dilakukan pengecekan ternyata golongan darah mereka sama.
Ia sedikit bernapas lega.
...***...
Garuda
Ia terpaksa menemani gadis itu makan malam di bawah jembatan Beatrix. Tepatnya di taman Tepian Cik Minah.
“Aku mau di situ aja,” tunjuk gadis itu ketika melewati jembatan yang terkenal di Sarolangun. Apa lagi suasana malam, lampu gemerlap colourful menghias jembatan. Menambah keindahan.
Ia telah memarkirkan kendaraannya. Gadis itu keluar dan langsung duduk di kursi plastik. Menghadap sungai Batang Asai.
Sebenarnya inilah pertama kali baginya menyambangi tepian sungai ikon kota ini. Bukan masuk dalam daftar tempat yang akan atau sudah pernah dikunjunginya. Kalau diberi pilihan, ia pasti memilih tempat yang nyaman. Terjamin. Dan pastinya sesuai kantong dompetnya. Dignity dan prestige tetap harus no 1.
Sementara ini?
Tempat wisata yang ... merakyat batinnya berucap.
“Anda mau pesen apa?” Tanya gadis itu. Ketika ia mendudukkan dirinya di seberang.
Ia berulang kali membolak-balikkan kertas menu yang hanya selembar dilaminating. Itu pun sudah lusuh dan kotor.
Ia menelan ludahnya.
“Mungkin bukan selera, Anda.” Tebak gadis itu. Dan sangat tepat.
“Anda cocoknya mungkin makan di resto bintang. Atau di rumah makan yang berkelas.” Satire Gemala.
“Tapi ... don’t worry, Anda tidak akan mati hanya gara-gara makan di sini! Palingan sakit perut.”
Ia berdecak, “Sate padang.”
Gemala mendesis, “Gak kreatif,” lalu menipiskan bibirnya.
Terang saja dari sekian menu yang tercantum ia hanya mengenal sate padang. Dan menu itu sepertinya tidak buruk. Buktinya gadis itu juga memesan sama.
Menikmati seporsi sate padang ternyata tak kalah nikmatnya. Ia pikir rasanya akan ... sesuai tempatnya. Tidak enak. Apa lagi tingkat ke-higienisnya rendah.
Tapi.
“Kita pulang,” ajak gadis itu. Setelah menyudahi seporsi sate padang yang telah ludes tidak menyisakan sedikit pun.
“Anda yang bayar.” Todong Gemala.
“Sebagai laki-laki. Dan Anda bos di sini.” Ejek gadis itu sambil berlalu meninggalkannya terlebih dulu.
Ia berdecak. Tapi sepersekian detik, menahan senyum dengan tingkah gadis itu.
Keduanya langsung pulang setelah memastikan kondisi Bekilat dan istrinya baik. Pasca-operasi Nyede masih ditempatkan di ruang pemulihan. Sementara anaknya di inkubator.
“Bapak tidak usah khawatir. Semua biaya administrasi sudah kami beresi,” tutur Gemala. “Dan ini,” gadis itu menyerahkan beberapa lembar pada Bekilat, “untuk pegangan.”
Sesekali ia melirik ke sebelahnya. Gadis itu tertidur pulas. Bahkan jalanan rusak yang dilaluinya tak membuatnya bangun dari lelapnya.
Tiba di rumah Waylik hampir tengah malam. Ia membangunkan Gemala.
“Hei,” tegurnya.
Gadis itu tak begerak.
“Hei ... bangun. Kita sudah sampai.”
Tetap saja, gadis itu hanya bergumam tak jelas.
“Kita sudah sampai. Kamu mau tidur di sini?” ia menepuk-nepuk lengan gadis itu.
“Hei ....”
Gemala menyahut, “Iya ... iya denger.” Ia mengucek matanya sesaat. Menguap seraya menutupinya dengan telapak tangan.
“Saya punya nama. Bukan hei ... hei. Nama saya GEMALA.” Ia mengeja, “G E M A L A ... Gemala.” Ucapnya penuh penekanan.
Gadis itu menyambar tas ranselnya di bangku belakang.
“Nama saya juga Garu, bukan Anda!” tandasnya membalas.
Gadis itu membuka selot kunci, “Oh ... terima kasih Pak Garu. Atas bantuannya hari ini. Semoga Bapak diberi pahala atas kebaikannya.”
“Gue juga belum menikah. Bukan juga Bapakmu.” Ia menyalak. Kurang suka dengan panggilan tersebut.
Pintu sudah dibuka sedikit, “Oh, baiklah ... gue panggil nama lo, aja kalo gitu.”
Ia menipiskan bibirnya, “Sepakat.”
Gadis itu berlalu setelah menutup pintu mobil. Tanpa lagi menoleh kepadanya. Ia pun bergegas meninggalkan rumah Waylik.
Tanpa ia ketahui. Ketika mobil perlahan meninggalkan halaman. Gemala berbalik badan. Menatap mobilnya hingga hilang di telan gelapnya malam.
...***...
Gemala
Keesokan paginya ia mendapat kabar bahwa istri Bekilat meninggal. Betapa sangat mengejutkan baginya. Rasanya ia tak percaya. Sebab sebelum pulang tadi malam ia memastikan terlebih dahulu kondisinya. Dan menurut dokter stabil, hanya belum sadarkan diri.
Kabar itu didengungkan langsung oleh Pak Waylik. Ia dan Pak Way langsung menuju sudung Bekilat di perkebunan sawit.
Para ibu dan anak-anak yang sudah mengerti terlihat menangis dan bersedih. Bahkan meraung-meraung. Ia bisa merasakan itu. Kesedihan atas kehilangan kerabat sangat terasa. Begitu menyayat.
Kesedihan itu bahkan berjalan selama 1 pekan lamanya. Setelah jenazah Nyede di kuburkan di dalam hutan.
Setelah itu kelompok Bekilat melakukan tradisi melangun. Meninggalkan tempat tinggal mereka untuk melupakan kesedihan. Mereka juga percaya bahwa tempat tersebut bisa menimbulkan kesialan.
Dengan membawa bayi Nyede yang masih berumur 1 minggu ia dan Pak Way melepas kepergian kelompok Bekilat.
“Mereka akan pergi ke mana, Pak?” tanyanya pada Waylik yang masih berdiri di sampingnya. Tatapannya memandang jalanan di mana Bekilat dan rombongannya semakin jauh.
“Sejauh mungkin.”
“Selama berapa lama?” imbuhnya.
“Bisa 4 bulan. Atau 1 tahun.”
“Tapi ... kasihan bayi Nyede masih—” jedanya. Jalanan itu sudah lengang. Bekilat dan kerabatnya sudah hilang. Air mukanya gamang.
“Jangan kowatigh (khawatir). Lah, biaso.”
“Besok kito masuk hutan. Pagi-pagi.” Pesan Waylik. Yang disertai anggukan kepalanya.
Malam harinya mamanya kembali menelepon.
“Iya, Ma.” Sahutnya ketika ia menggeser ikon hijau pada layar ponselnya.
“Gimana kabar kamu, Sayang? Sudah 2 hari gak ada kabar.”
“Kan, Mala udah bilang. Di sini susah sinyal. Hanya spot-spot tertentu saja, Ma.”
“Oh, ya ... besok Mala mau masuk hutan.”
“Hah! Hutan?” suara mama terdengar kaget.
“Mal ... sama siapa? Aduh gimana kalo nanti ketemu singa, gajah ... gorila ... buaya ... beruang ... ya ampun, Mal. Belum lagi banyak ular ....” Mama mengoceh membayangkan kehidupan di hutan yang menyeramkan.
Ia terkekeh.
“Don’t worry, Ma. Sama Pak Waylik. Lagian mana ada binatang seperti itu sekarang.”
“Aduuh, kamu tuh. Gak lihat di TV apa?! Kemarin ada berita orang dimakan ular piton di perkebunan sawit.”
“Ada juga yang dimakan buaya. Diserang macan ... ih serem, Sayang. Jangan deh. Mama takut kenapa-kenapa.”
“Pokoknya jangan! Mama gak mau ....”
Ia mendesah, “Ma ....”
“Mala, gak sendirian. Sama Temenggung Waylik. Beliau tetua di sini. Jangan khawatir. Buktinya Mala baik-baik aja, kan sampai sekarang.”
Mama masih saja melontarkan ke-tidak setujuannya.
Ia terduduk di kursi. Menelinga. Suara mama masih sibuk dari seberang. Hingga mama mengakhiri obrolannya sebab ia sudah begitu lelah.
Hanya bisa menyahut, “Hem,” dan, “iya.”
Tubuhnya ia baringkan di atas kasur. Meringkuk dengan tangannya sebagai bantalan. Yang ... jangan dibayangkan kenyamanannya. Hanya kasur tipis terbuat dari sumpalan kain perca.
Ia mengembuskan napas. Selama hampir dua minggu di sini begitu banyak kejadian yang dialami. Tentu begitu dalam mengena di hati.
Bagaimana masih ada kelompok atau rombong yang terlantar. Sakit. Kekurangan bahan makanan. Meski tak sedikit dari pemda dan pihak swasta membantu meringankan beban mereka.
Tapi, rasanya masih jauh dari harapan. Ia berharap permasalahan ini segera teratasi.
Malam ini ia harus mengistirahatkan tubuhnya. Sebelum besok pagi bersama Waylik masuk ke dalam hutan. Paling tidak pesan singkat dari Ethan mengantarkannya pada mimpi indah.
"Miss you, too ...."
-
-
Terima kasih yang sudah mampir, membaca dan memberikan dukungannya ... 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!