NovelToon NovelToon

A Flavour to Love

Prolog

Suara dentuman live music yang tampak asyik dimainkan dengan apik oleh seorang Disc Jockey (DJ) semakin membuat para pengunjung di sebuah klub yang terkenal sebagai surganya clubbing di Kota Tokyo menggila dan bersemangat meliuk-liukkan tubuhnya untuk menikmati musik. Di sudut klub, tepatnya di lantai dua ruang VIP, tampak tiga lelaki tampan yang sejak tadi menyedot perhatian kaum hawa yang berada di sana.

Mereka adalah Daichi Matsumoto sang pewaris dari Matsumoto Global Group yang bergerak dibidang perhotelan dan properti dengan cabang di berbagai negara, Akio Fujiwara sang pewaris dari Fujiwara Interprise yang bergerak dibidang ritel dan jaringan e-commerce dengan merk dagang QLONE yang menguasai pasaran Asia-Eropa dan Kazuto Hoshi sang pewaris perusahaan minyak dan tambang yang cabangnya tak kalah banyak dari kedua sahabatnya.

"Sial! Aku kalah lagi darimu Senpai!" Keluh Akio sambil mengacak-acak rambut emo hitam miliknya. Dasi yang dikenakannya tampak longgar dari kerah kemeja putih ketat yang ia kenakan nampak menunjukkan betapa atletis tubuhnya dengan otot-otot yang sempurna dan itu terlihat errr...seksi.

"Butuh seratus tahun untuk bisa mengalahkanku Akio," Senyum miring tercetak di wajah Daichi setelah memenangkan pertaruhan antara dirinya dan salah satu sahabat serta juniornya sejak SMA dalam meniduri anak gadis dari salah satu anggota parlemen yang terkenal sangat susah ditaklukan. Perpaduan gen sempurna dari kedua orangtuanya membuat wajahnya bak Dewa Yunani yang selalu mendapatkan yang dia inginkan.

"Sesuai kesepakatan, berikan kunci mobil kesayanganmu itu!"

Dengan eraman tanda tidak rela Akio merogoh kantong celananya dan menyerahkan kunci mobil kesayangannya yang didapatnya dengan susah payah mengingat ia dulu pun berebut sang kuda jingkrak dengan seniornya tersebut ketika di-launching-kan pertama kali.

"Bisakah kalian berdua menghentikan pembicaraan mengenai hal-hal yang berbau selangkangan?" Kazuto yang sejak tadi pusing mendengarkan perdebatan mengenai hal yang cukup menjijikkan terdengar di telinganya dari kedua sahabatnya itu memilih untuk menjadi penengah. "Aku lelah setiap kali kita berkumpul hanya pembicaraan tersebut yang kalian ributkan. Tak adakah topik lain yang dapat kita jadikan bahan?"

"Bukankah kau juga sangat menyukai topik itu Tuan sok setia dengan tunangannya?" Daichi mencibir Kazuto. Bagaimana tidak, Kazuto yang sama terkenalnya sebagai playboy dan brengsek seperti dirinya mendadak insyaf ketika ia bertemu dan bertunangan dengan Park Ha Neul, Model blesteran Jepang-Korea sekaligus pewaris dari perusahaan kosmetik terkenal di Korea Selatan. Entah apa yang dimiliki gadis itu sehingga membuatnya kehilangan salah satu teman bejatnya untuk bergonta-ganti pasangan.

"Jangan membawa-bawa Ha Neul, Senpai, aku berbeda dengan kalian," Kazuto meneguk Whisky yang ia pesan tadi. "Apakah kalian berdua tidak ingin berhenti dari sifat brengsek kalian selama ini dengan memiliki satu pasangan saja? Senpai*, bukankah kau memiliki adik perempuan?"

"Apa hubungannya dengan adikku?" Daichi mengerutkan dahinya untuk menunjukkan ekspresi tidak suka ketika Kazuto mulai membawa-bawa nama adiknya dalam pembicaraan yang menurutnya konyol ini.

"Bagaimana jika adikmu dipermainkan oleh playboy seperti kalian?" Kazuto menatap serius kearah Daichi dan sesekali melirik kearah Akio. "Misalnya dipermainkan oleh si brengsek Akio mungkin?"

Akio yang merasa namanya disebut hanya menaikkan sebelah alisnya. Adik Daichi-senpai? Memangnya pernah ya Daichi menyembutkan ia memiliki seorang adik perempuan?

"Pufft, hahahaha," Tawa keras menggema di ruangan tersebut namun tak satupun menyadari mengingat suaranya terkalahkan dengan dentuman musik yang begitu memekakkan telinga. "Jangan bercanda, aku pastikan ia akan terhindar dari lelaki brengsek sepertiku dan Akio. Untuk apa aku dan orang tuaku susah payah menjauhkan kehidupan bebas di negara ini jika hal tersebut akan terjadi padanya. Jangan meremehkan instingku! Adikku tidak selemah itu!" Nada mengejek keluar dari bibir Daichi. "Buktinya aku berhasil membuat kalian dan orang-orang di sekelilingku tidak mengetahui seperti apa rupa adikku bukan?"

"Kan aku bilang seandainya Senpai," Kazuto menghela napas panjang. Menghadapi senpai-nya yang keras kepala dan tak pernah mau mengalah ini membuat kepalanya sendiri pening.

"Jika sampai hal itu terjadi aku akan membunuhmu Akio!"

"Hei, kenapa Senpai seperti itu? Tahu adikmu saja tidak!" Protes Akio.

"Atau misalnya Senpai bertemu dengan gadis dingin yang memiliki kebencian kepada lelaki?"

"Aku pasti bisa menaklukkannya Kazuto," Senyum percaya diri dan angkuh tampak tergurat diwajah tampan Daichi. "Tidak ada satupun gadis yang menolak pesonaku," Tegasnya kembali.

"Terserah Senpai sajalah," Kazuto berdiri dari duduknya setelah ia menerima pesan di smartphone dari tunangannya yang memintanya pulang.

"Kau mau ke mana?" Tanya Akio.

"Pulang, gadisku sudah menungguku di apartemen," Kazuto tersenyum mengejek. "Oh iya, aku punya doa untuk kalian, kusumpahi kalian kena karma jatuh cinta pada gadis yang tidak tertarik pada kalian berdua! Khusus Akio, kusumpahi kau jatuh cinta pada adik dari Daichi-senpai! Aku mau lihat apakah kalian berdua masih bisa membahas hal-hal yang berbau selangkangan dengan santai seperti sekarang setelah hal itu terjadi nanti!"

"Sialan!" Akio melempar kotak tempat tisu kearah Kazuto dan dengan sigap Kazuto berhasil menghindari serangan itu kemudian meninggalkan kedua sahabatnya. "Kalau kau mengeluh kepadaku untuk membantu tugas kuliahmu aku tidak akan lagi membantumu!"

"Kau tak mungkin bisa sekejam itu padaku," Kazuto menatap remeh kearah sahabatnya dari kecil itu. "Kartu AS-mu ada padaku A-ki-o."

Brengsek! Keluh Akio, sahabatnya itu terlalu tahu tentang kehidupannya. Jika kakeknya tahu selama ini ia selalu bermain-main dengan perempuan, dalam hitungan detik ia pasti akan disodorkan proposal perjodohan dan ia tak menginginkan hal itu. Terikat dengan satu perempuan? Membayangkan dirinya tak bisa bebas seperti sekarang membuatnya merinding.

Drrrttt....Drrrttt...Drrrrrttttt...

Getaran smartphone terasa di kantong celana Daichi. Ia pun segera mengambilnya dan mengecek pesan yang masuk. Kedua matanya yang berkelopak itu membulat sempurna ketika ia membacanya.

Adikmu diterima di Universitas Tokyo kelas internasional mulai musim gugur ini dan akan tinggal di tempatmu. Ia akan berangkat minggu depan. Tolong jemput dan jaga dia ya karena ia baru saja sembuh dari kecelakaan yang dialaminya dan sedikit mengalami amnesia.

-Mama-

Shit!

Umpat Daichi dalam hati sambil memegang kepalanya dengan kedua tangannya mengeram kesal. Kenapa di saat seperti ini adiknya harus datang dan tinggal bersamanya? Ia jadi memikirkan perkataan Kazuto tadi.

"Senpai, kau baik-baik saja? Apa ada berita buruk?" Akio menggoyang-goyangkan bahu Daichi.

Daichi yang menyadarinya langsung menatap kearah Akio yang mencemaskannya. Ia segera mencengkeram kerah kemeja Akio dengan kedua tangannya. "Dengar Akio, kutegaskan lagi pernyataanku tadi, jika kau seujung jari pun menyentuh adik perempuan semata wayangku, tidak hanya kupastikan kau akan mati di tanganku namun mayatmu pun akan kubuang ke laut!" Ia pun menghempaskan tubuh Daichi ke sofa dan beranjak dari tempat duduknya. "Persetan dengan kakekmu itu!"

"Apa maksud Senpai?" Akio menatap bingung kearah Daichi. "Aku kenal dengan adikmu saja tidak mengapa kau berkata seperti itu?"

Daichi tidak mengindahkan ucapan dari Akio yang berteriak kearahnya dan memutuskan meninggalkan juniornya itu sendirian. Ia harus bergegas menyiapkan kedatangan adiknya.

"Senpai! Kau mau kemana?"

"Aku harus pulang sekarang!" Ujar Daichi terburu-buru.

"Terus aku pulang dengan siapa setelah mobilku kau sita?"

Daichi hanya mendengus kesal. Ia pun melempar kunci mobil milik Daichi yang telah ia menangkan tadi. "Kau boleh mengambilnya kembali, aku sudah tidak berminat lagi pada mobilmu! Aku lebih sayang adikku!"

Entah mengapa ia merasakan firasat tidak enak akan sumpah serapah Kazuto. Tuhan, semoga doanya tidak Engkau kabulkan! Batin Daichi penuh pengharapan. Ia memang brengsek dan bejat, tapi ia tak mau melibatkan adiknya ke dalam dunianya yang seperti itu!

Akio yang telah ditinggal sendirian di Klub sangat terheran-heran dengan ucapan terakhir yang keluar dan terdengar seperti bernada penuh ancaman dari kakak seniornya itu. Sosok Daichi yang selalu tenang dan dewasa mendadak gusar hanya karena pesan yang masuk di smartphone-nya. Ada apa gerangan dengan semuanya ini?!

***

1-1

Hawa dingin di malam hari berhembus masuk melewati celah-celah tak kasat mata pada pintu masuk otomatis khusus penerbangan luar negeri Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta Terminal 3 Ultimate. Namun kondisi itu tak mengusik seorang lelaki yang sedang duduk santai di salah satu bangku ruang tunggu kosong karena hanya terisi olehnya bersama sebuah koper besar berwarna hitam. Nampak ia sedang menunggu penerbangan yang menjadi tujuannya, Bandara Udara Internasional Narita, Jepang. Dengan headset di telinganya, ia tampak asyik menikmati lanunan lagu yang berputar pada Ipod Touch miliknya dan tak perduli dengan lalu lalang orang yang melewati dan memperhatikannya. Sesekali ia melihat sebuah jam tangan sport berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB. Masih ada waktu sepuluh menit lagi sebelum check-in dalam batinnya.

"Nani?!" (Apa?!)

Tiba-tiba sebuah suara teriakan tertahan dari seorang gadis membuat sang lelaki sontak menoleh kearah pemilik suara tersebut yang posisinya tak jauh dari dirinya. Dipandanginya sang gadis dengan sepasang mata berwarna senada dengan batu onyx yang hitam pekat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gadis itu sepertinya berusia tak jauh darinya dan nampak sedang sibuk dengan smartphone berwarna putih di telinga kirinya. Rambut hitam lurus sepunggung dengan sedikit bergelombang dibawahnya dan poni di dahinya, kulit putih langsat, bola mata hazel berkelopak dengan bulu mata yang lentik, wajah bulat telur, hidung yang mancung, bibirnya yang mungil nan ranum, tubuhnya yang langsing berisi dengan tinggi 160 cm sangat serasi dengan balutan kemeja biru muda dengan motif bunga-bunga kecil perpaduan warna kuning dan coklat serta jaket ber-hoody warna biru torquise tampak serasi dengan celana jeans biru tua dan sepatu boots coklat khaki yang dikenakannya. Penampilan gadis ini bak boneka Barbie versi asia, cantik dan cukup stylish. Boleh juga nih dijadikan target! Batin sang lelaki sambil tersenyum miring.

Yang membuatnya menarik perhatiannya bukanlah penampilan fisik gadis itu melainkan bahasa yang digunakannya. Ya, ia sangat mengenal bahasa itu, bahasa resmi negara tempat tinggalnya.

“Yang benar saja?! Pokoknya kalau sudah sampai di Narita aku nggak mau di jemput oleh bodyguard!" Gadis yang*rupanya bernama Kirana atau tepatnya Kirana Kiseki Matsumoto berkata kepada sang papa melalui smartphone* miliknya. "Aku nggak mau semua orang mengarah kepadaku karena pengawalan yang terlalu mencolok!"

"Tapi keselamatanmu adalah yang paling utama Rana-chan," Sang papa yang bernama Daiki Matsumoto rupanya sangat mencemaskan keselamatan anak perempuannya itu. "Kami semua mengkhawatirkanmu, terlebih lagi kamu baru sembuh dari kecelakaan mobil itu dan juga mengalami..."

"Amnesia maksud Papa? Amnesia itu bukan berarti aku lupa segalanya Pa, buktinya aku masih ingat Papa dan Mama serta Daichi-nii! Kan dokternya sendiri bilang bahwa amnesiaku termasuk amnesia yang cukup langka. Hanya lupa beberapa kejadian di masa laluku tapi tak lupa dengan orang-orang terdekatku. Aku bukan anak kecil lagi Pa, yang kemana-mana harus diawasi, aku pastikan semuanya akan baik-baik saja. Bukankah sejak kecil aku sudah dibekali dengan pembelajaran berbagai macam ilmu beladiri untuk menjaga diriku sendiri?" Kirana berkata dengan nada keras kepalanya.

Cih, gadis ini cerewet sekali! Lelaki itu berdecak kesal mengupat dalam hati sambil terus menatap Kirana. Sungguh tidak tahu malu! Sengaja menarik perhatian orang-orang di sekeliling ya?! Kutarik kata-kataku tadi, dia tidak menarik!

"Papa tidak butuh komentarmu Rana-chan, kau sekarang adalah sepenuhnya tanggung jawab Papa dan Mama!" Daiki yang merasa terdesak dengan kekeraskepalaan sang putri akhirnya mengeluarkan ucapan tegasnya. "Melepasmu untuk tinggal bersama Kakek dan Nenek di Indonesia sejak usia 13 tahun sudah cukup membuat kami menangisimu berhari-hari karena berat melepasmu yang notabennya anak perempuan kami satu-satunya."

Kirana memutar bola matanya bosan. Entah sudah keberapa kalinya ia mendengarkan kalimat yang diucapkan oleh papanya yang over protective itu. Semoga saja ia tidak menjadi anak durhaka dengan sikapnya saat ini.

"Baik, permintaanmu itu Papa penuhi! Dengan catatan orang yang akan menjemputmu adalah Daichi!"

"Kenapa Daichi-nii yang harus menjemputku? Dia pasti sedang sibuk dengan pekerjaannya sebagai CEO dengan tanggung jawab bisnis perusahaan yang sebagian telah Papa limpahkan kepadanya, jangan ditambahkan lagi dengan merepotkannya untuk menjemputku," Protesnya kembali dan kali ini sedikit frustasi karena ia bisa membayangkan betapa kakak lelakinya itu adalah orang yang sibuk dan ia tak ingin kehadirannya nanti akan merepotkan sang kakak. "Papa dan Mama kan sudah berjanji kepadaku untuk menjemputku sebelum akhirnya aku memutuskan untuk kuliah dan kembali ke Jepang."

"Ya Tuhan, kesalahan apa yang telah kuperbuat di masa lalu sehingga anakku mengalami amnesia separah ini," Keluh Daiki menghela napas berat. "Bukankah Papa sudah mengatakan bahwa kau akan tinggal bersama Daichi di apartemennya di Tokyo? Papa dan Mama saat ini sedang melakukan perjalanan bisnis mengunjungi cabang-cabang hotel keluarga kita di Eropa dan dapat dipastikan memakan waktu yang cukup lama. Jadi, sudah pasti kakakmu itu yang menjemputmu sayang."

"Namanya juga amnesia Pa, hehehehe," Ujar Kirana membela diri sambil meringis lebar.

"Papa mengerti," Daiki harus bisa sabar menghadapi anak gadisnya itu. Ia harus memaklumi penyakit yang dialami oleh sang anak sehingga membuat keluarganya yang semula berbahagia berubah menjadi bencana. Terlebih lagi perubahan sikap dari sang anak yang semula manis dan penurut menjadi keras kepala. Dalam hatinya berkata, sifat anak itu menurun dari siapa? Ia melirik wanita cantik yang memeluk lengan kanannya seolah memberikan kekuatan untuk sabar, istrinya. "Papa akan mengirimkan foto kakakmu yang terbaru dan jangan sampai salah mengenali orang ya, kalau tidak berhasil menemukan kakakmu, kamu harus segera ke ruangan informasi meminta bantuan mereka untuk mencari kakakmu. Kamu mengerti kan Nak?"

"Hai-Hai," (Iya-iya) Jika bukan papanya yang menelepon, ingin rasanya Kirana segera memutuskan hubungan pembicaraan itu. Ia sangat jenuh mendengar ceramah panjang seolah ia telah membuat kesalahan fatal dan membutuhkan nasehat-nasehat agar ia tidak melakukan perbuatannya itu lagi. Ayolah Pa, aku sudah berusia 18 tahun saat ini.

"Kami semua disini menyayangimu,"

"Aku juga menyayangi Papa dan Mama,"

Telepon dengan sang papa pun terputus. Emosi yang berusaha ditekannya sejak tadi Kirana rasakan berusaha dibuangnya jauh-jauh. Ia memejamkan matanya sejenak dan mendongakkan kepalanya ke atas. Kedua tangannya diletakkan di masing-masing sisi pinggangnya dan melakukan gerakan rileks dengan memutar kepalanya kearah kiri serta kanan. Tak lupa ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya sekuat tenaga. Hal tersebut dilakukannya guna menenangkan hatinya.

"Apakah Kirana yakin akan tetap kembali ke Jepang?" Sepasang suami istri berusia delapan puluh tahunan namun tak menampakkan fisik seusianya menatap lurus kearah Kirana. Pandangannya yang tampak begitu khawatir dirasakan oleh Kirana. "Kondisimu masih belum pulih benar."

Lelaki itu mengerutkan alisnya ketika mendengar pembicaraan gadis itu dengan pasangan tua yang ada di hadapan gadis itu. Ia juga mengenal bahasa yang digunakannya, bahasa yang ia pelajari selama berada di Indonesia untuk mempermudah aktifitasnya di Indonesia. Ia sungguh berterima kasih dengan gen jenius yang dimilikinya untuk dapat mencerna semua ucapan gadis bernama Kirana itu. Nama yang cukup aneh untuk orang berdarah Jepang sepertinya. Tapi apa perdulinya? Gadis ini bukanlah objek spesial baginya. Sial, kenapa matanya tidak ingin lepas memandang gadis itu?!

"Mau bagaimana lagi Kek, Nek, menantu kesayangan Kakek dan Nenek itu sudah memberikan instruksi seperti itu," Jawab Kirana dengan senyum getir dibibirnya memandang kedua orang tua dari ibunya yang berkebangsaan Indonesia itu. "Mungkin ini balasan karena aku telah egois meninggalkan mereka dan memilih tinggal bersama Kakek dan Nenek," Tatapan Kirana seolah menerawang jauh entah kemana. "Maafkan aku ya Kek, Nek, hanya bisa menemani Kakek dan Nenek selama delapan tahun."

"Kirana...," Wahya, sang nenek menatap nanar. Ia merasa bersalah akibat kecelakaan yang dialami oleh cucunya itu. Kecelakaan yang seharusnya tidak terjadi seandainya ia tak membiarkan anak yang masih belum lancar menyetir itu mengendarai kendaraan roda empat miliknya, tepatnya milik Rea, ibu dari Kirana. Ia ingat bahwa anak perempuannya itu menangis tersedu-sedu melihat Kirana yang terbaring lemah dengan kondisi yang memprihatinkan di ruang perawatan insentif di sebuah rumah sakit dan hampir menyalahkan dirinya serta suaminya yang tidak dapat menjaga anak yang sudah ia relakan untuk dibesarkan olehnya dan suaminya. Ia berterima kasih kepada menantunya, Daiki yang bisa menenangkan dan mendamaikan hubungan mereka yang cukup tegang karena insiden itu.

"Kakek dan Nenek tidak perlu khawatir, aku akan baik-baik saja di sana!" Ujar Kirana mantap sambil tersenyum lebar berusaha menenangkan kakek dan neneknua. Kedua tangannya menggenggam tangan Wahya dan Sutomo. "Kalau nanti liburan panjang, aku akan datang menemui Kakek dan Nenek."

"Tentu saja Kirana," Wahya dan Sutomo memeluk tubuh cucunya erat. Seolah memberikan kekuatan kepadanya untuk dapat melewati semuanya. Bagi mereka berdua, Kirana adalah anugerah terindah yang diberikan anak keduanya untuk membunuh rasa sepi di rumah mereka sejak ketiga anak kandung mereka memiliki kehidupan rumah tangganya masing-masing. Keceriaan dan kepolosannya akan sangat mereka rindukan. "Kami akan selalu ada untukmu Kirana."

"Terima kasih Kek, Nek," Kirana membalas pelukan kakek dan neneknya tak kalah erat. Sesungguhnya ia membenci perpisahan ini. Entah mengapa perpisahan dengan kakek dan neneknya saat ini terasa berat. Ia seperti kehilangan kekuatan penopang dalam hidupnya. Meskipun ia mengalami amnesia, ia dapat merasakan bahwa betapa banyak cinta yang telah diperoleh dari pasangan paruh baya tersebut. Tapi ia tidak boleh egois, ia memiliki keluarga tempat di mana ia seharusnya berada. Keluarga yang perlahan akan membantu mengingat tentang masa lalunya yang terlupakan. "Ah, sudah waktunya aku pergi," Kirana melepaskan pelukan eratnya dan mencium punggung tangan kanan Kakek dan Neneknya. "Aku pamit ya Kek, Nek."

"Hati-hati ya sayang," Widya menepuk-nepuk kepala Kirana yang menunduk dengan lembut. "Kami akan sangat merindukanmu."

"Aku juga," Kirana tersenyum. Ia menarik koper besar warna pink fanta miliknya dan pergi meninggalkan pasangan tua itu menuju counter maskapai untuk memasukkan kopernya ke dalam bagasi pesawat setelah proses check-in yang telah ia lakukansebelumnya via online.Ia melewati lelaki yang sedang mendengar musik dengan headset di telinganya. Samar-samar tercium wangi parfum perpaduan antara lavender dan vanila sehingga membuat pemuda itu tanpa sadar menarik napas seolah terbius sensasi aroma terapi yang wangi dan menenangkan. Manis, meskipun kata itu tidak cocok untuknya yang tidak menyukai segala sesuatu yang manis, Ia mengguratkan sebuah senyum bengkok yang sangat tipis dan mengikuti sosok Kirana dari belakang.

***

1-2

Kirana membuka matanya perlahan. Ia pun merubah posisi tubuhnya yang semula berbaring menjadi duduk. Ditatapnya ke sekeliling kabin Business Class pesawat plat merah milik Indonesia yang sedang membawanya terbang dari Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, Indonesia menuju Bandara Udara Internasional Narita, Tokyo, ibukota negara Jepang.

Ia menoleh kearah lelaki yang duduk disebelahnya. Dipandanginya pemuda yang masih tertidur itu sesaat. Wajah oval dengan dagu yang berbentuk 'V' dan rahang yang kokoh, rambut gaya shaggy pendek berlayer yang bertumpuk-tumpuk dengan panjang yang tidak merata dan sedikit kesan berantakan di belakang berwarna hitam yang sama pekatnya dengan bola mata berwarna onyx-nya ketika ia bertatapan muka memohon izin hendak melewati tempat duduknya yang berada tepat di sebelah jalan badan pesawat, hidung yang mancung, bibir yang tipis, kulit putih porselen yang senada dengan miliknya, tubuhnya yang atletis serta pakaian mahal nan rapi elegan yang dikenakannya, menunjukkan bahwa lelaki ini bukanlah orang sembarangan. Sungguh tampan lelaki ini, batin Kirana sambil tersenyum simpul. Hitung-hitung mendapatkan pemandangan indah selama perjalanan yang membosankan ini kan lumayan.

Perlahan sinar mentari pagi mulai menggelitik dan menarik perhatian mata hazel-nya yang duduk tepat di sebelah jendela pesawat. Tak pelak ia pun segera mengalihkan pandangannya dari sang lelaki dan menoleh keluar jendela. Rupanya ada yang lebih menarik perhatiannya dibandingkan teman sebangkunya di pesawat. Dilihatnya pemandangan di luar, Jepang! Betapa Negara ini begitu ia rindukan. Sudah lima tahun ia tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di sini.

"Ladies and Gentleman, shortly we will be landing at Narita International Airport in Tokyo, Japan. The time in Indonesia is four hours ahead of Tokyo time. Please fasten your seatbelt, adjust your seatbelt in the upright position and lock your table securely. For Business passengers, please stow your footrest and video monitor in place. Also keep your window shades open during this time. Passengers who are using laptop and other entertainment devices please switch them off now. Thank you..."

Akhirnya, aku kembali juga ketempat asalku, Jepang! Dalam hati Kirana berkata ketika pesawat terbang yang ia tumpangi telah mendarat dengan mulus dan selamat di Bandara Udara Internasional Narita. Segurat senyum merekah di bibirnya. Dihirupnya dalam-dalam udara di sekelilingnya. Tercium udara hangat nan segar yang menandakan bahwa musim panas telah menantinya disini. Ia terkikik dalam hati ketika dirinya mengamati pakaian yang ia kenakan sungguh bertolak belakang dengan musim yang akan ia hadapi di Tokyo. Mau bagaimana lagi, cuaca di Indonesia pada bulan Agustus tahun ini mengalami anomali yang cukup parah. Bulan dimana seharusnya musim kemarau masih merajalela tiba-tiba berubah menjadi musim hujan dengan tingkat kelebatan yang cukup signifikan setiap harinya. Tak pelak ia memilih menggunakan pakaian tertutup serta sepatu boots.

"Yosh, waktunya mengambil tasku dan mencari Daichi-niisan." Kirana memberikan semangat pada dirinya sendiri. Ia membuka jaketnya dan mengikatnya di pinggang rampingnya. Perlahan ia membaca petunjuk arah menuju tempat pengambilan barang yang lebih banyak bertuliskan huruf kanji meskipun terdapat bahasa Inggris sebagai pendampingnya. Ia sengaja untuk mengetes dirinya sendiri apakah kemampuan bahasa Jepangnya masih ada dan ia bersyukur bahwa penyakit amnesianya tidak membuatnya amnesia pula pada tulisan rumit itu sehingga tak membuatnya harus bertanya kesana kemari seperti orang hilang.

Sementara itu, tampak seorang pemuda berusia berusia pertengahan dua puluhan memasuki Bandara Udara Internasional Narita menuju tempat kedatangan penumpang dari luar negeri. Sontak aura di sekelilingnya berubah, seluruh mata memandang pemuda itu dengan tatapan kagum seolah melihat artis idola terkenal. Rambut coklat kehitaman dengan potongan pendek berlayer, sepasang mata berwarna hazel, wajah tampan nan baby face yang selalu menebarkan senyum ramah sungguh menggemaskan, sangat kontras dengan tinggi badannya yang 178 cm dan selera berpakaiannya yang terlihat kasual dengan kaos merah garis-garis hitam berpadukan dengan celana cargo hitam selutut serta sneakers merah senada dengan kaos yang dikenakannya.

Empat puluh lima menit telah berlalu, namun sosok yang ditunggu-tunggu belum menampakkan batang hidungnya. Tatapannya mulai gelisah dan khawatir mengapa dalam kurun waktu selama itu orang yang sedang ia tunggu kedatangannya belum juga menampakkan diri? Ampun, penyakit sister complex-nya benar-benar mengerikan! Seandainya ia tidak playboy mungkin dirinya tidak akan berlebihan mengkhawatirkannya. Namun kata-kata sahabatnya masih terngiang-ngiang dikepalanya. Junior sialan!! Rutuknya dalam hati. Bisa-bisanya ia menyumpahi dirinya!

"Onii...san...," Sebuah suara yang terdengar lembut terdengar memanggil pemuda itu. "Daichi-niisan."

"Dare?" (Siapa?) Daichi menoleh kearah suara itu berasal.

"Ternyata benar!" Ucap sang gadis bersemangat. "Wajah Daichi-niisan sangat mirip dengan foto yang dikirim Papa! Yokatta ne," (Syukurlah) Setelah hampir tersasar karena sempat salah membaca huruf kanji pada petunjuk yang berada di Bandara, akhirnya ia berhasil menemukan sosok orang yang dicarinya. Ia pun mengelus dada dan melepas nafas lega.

"Kau siapa?" Daichi mengernyitkan dahinya merasa tidak mengenali gadis yang ada dihadapannya. Cantik sih tapi...

"Masa' Niisan tidak kenal padaku? Aku yang kena amnesia kenapa justru kakakku yang lupa," Gadis itu cemberut dan menggembungkan pipinya membuat wajahnya terlihat manis dan imut. "Aku ini imouto-mu!"

5 detik

4 detik

3 detik

2 detik

1 detik

"EEEKKKKKHHHH?!!!" Daichi berteriak seraya tidak percaya dengan penglihatan yang ada di depannya. Ia mengusap-usap matanya untuk memastikan bahwa sosok yang saat ini berada dihadapannya adalah benar adik perempuannya. Ya Tuhan, ini sungguh adiknya? Apakah selama ini ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri sehingga tidak menyadari sosok adiknya? Dasar bodoh! Keluhnya dalam hati.

"Aku dikirimkan foto ini oleh Papa," Kirana mengambil smartphone dari dalam tas kecilnya dan menunjukkan sebuah foto dengan wajah Daichi didalamnya. "Papa bilang foto ini adalah foto kakak yang terbaru agar aku tidak salah mengenali orang."

"Adikku tersayang!!" Daichi spontan berteriak dan langsung memeluk erat tubuh adiknya itu. "Aku rindu padamu, rupanya selama tinggal di Indonesia selain membawa oleh-oleh amnesia kau juga berubah menjadi cantik seperti ini."

"Yare-yare," (Ampun deh) Kirana menghela napasnya menanggapi reaksi kakaknya yang terlalu berlebihan. Tapi tak apa-apa, ia juga sangat merindukan pelukan kakaknya yang hangat. Ia pun membalas pelukan hangat kakaknya. Bau yang ia rindukan, bau seperti Papa dan Mama.

"Ayo kita menuju parkiran," Daichi menarik koper besar milik Kirana dan menggandeng lengan kanan Kirana. Ia memperhatikan orang-orang di sekelilingnya menatap kagum kepada kakak lelakinya. Dipandanginya sang kakak, ia tak memungkiri kakaknya itu adalah sosok pemuda yang tampan dan berkharisma. Ia ingat, selama menunggu di ruang tunggu keberangkatan pesawat tadi, ia menghabiskan waktunya dengan mencari informasi mengenai keluarganya melalui media internet untuk melatih ingatannya yang masih agak buram.

"Daichi-nii,” Panggil Kirana pelan.

"Apa?" Daichi menoleh kearah adiknya.

"Apakah Daichi-nii tidak merasakan orang-orang di sekeliling kita memperhatikan Daichi-nii?"

"Hal itu sudah biasa, senyum dan cuek saja. Anggap mereka tidak ada," Ujar Daichi sambil tersenyum.

Sontak Kirana tersadar akan sesuatu. Ia pun menepuk dahinya. Bukankah keluarga Matsumoto adalah salah satu keluarga kalangan atas yang berpengaruh besar pada perekonomian Jepang? Dan kakak yang sedang menggandeng tangannya ini adalah sosok yang sedang menjadi trendsetter sebagai pewaris dari Matsumoto Global Group, perusahaan yang sampai saat ini masih dikelola oleh sang Papa. Tampan, cerdas, berkelas, dan kaya raya, pantas saja ia menjadi pusat perhatian. Perasaan kagum dan bangga muncul dari hati Kirana terhadap kakaknya ini. Meskipun ia tahu kakaknya memikul tanggung jawab yang berat, ia sama sekali tidak menunjukkannya. Tak ada iri sedikitpun dalam hatinya, ia justru bersyukur terlahir sebagai perempuan di keluarga Matsumoto yang membuatnya lebih bebas menentukan pilihan untuk masa depannya. Dan ia telah memiliki pilihan itu.

"Kita naik ini?!" Kirana berteriak kencang dengan lengkingan nada tidak suka. Dihadapannya telah terparkir sempurna sebuah mobil mewah Lamborghini Reventon Roadster berwarna merah. Ia memang tidak terlalu suka dengan konsep mobil-mobil mewah yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan otomotif kelas dunia, namun ia tidak buta informasi mengenai jenis-jenis mobil lambang prestise para miliarder itu, khususnya mobil yang satu ini. Mobil produksi Lamborghini yang merupakan produsen mobil-mobil mewah, telah menciptakan sebuah seni pada tipe Reventon Roadster ini. Fitur-fitur nomor wahid dengan mesin V12 berkapasitas 6,5 liter yang menghasilkan kekuatan 650 tenaga kuda dan mampu melaju dengan kecepatan tertinggi hingga 355 km/jam serta dalam hitungan 3,4 detik mampu melesat dengan kecepatan 96,5 km/jam ditambah produksinya yang hanya berjumlah 21 unit membuatnya memiliki nilai jual tinggi sebesar USD 2,2 juta menjadikannya incaran dan favorit kaum kelas atas, salah satunya adalah kakaknya ini. Ia sadar sepenuhnya bahwa keluarganya merupakan bagian dari komunitas tersebut. Tapi ini terlalu berlebihan!

"Iya, memangnya kenapa?" Daichi bertanya dengan nada bingung atas reaksi Kirana.

"Aku tidak mau!" Ujar Kirana pendek. "Lebih baik aku naik taksi atau bis bandara atau JR saja!" Ia segera mengambil koper dorong besar miliknya dari tangan Daichi.

"Eh? Memangnya salah apa mobil ini hingga kau tidak mau menaikinya?" Tanyanya polos sambil mencegah adiknya pergi meninggalkannya.

"Aku benci segala sesuatu yang terlalu mewah dan pemborosan!"

"Ta..tapi Kirana," Daichi mendadak bingung dengan penolakan yang baru saja dilakukan oleh sang adik. Hanya karena mobil yang ia gunakan? Memangnya ada yang salah dengan mobil kesayangannya itu? Ia sungguh tak habis pikir dengan jalan pikiran adiknya itu.

"Apakah Daichi-nii tidak tahu bahwa masih banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan? Mereka bahkan sampai harus tidur di pinggiran jalan karena tidak memiliki tempat tinggal. Sedangkan aku dan Daichi-nii hidup dalam berkecukupan bahkan berlebihan. Tak bisakah kita hidup lebih sederhana? Lebih baik uang lebih kita itu digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan."

Daichi tak berkutik mendengar setiap kalimat yang diucapkan Kirana. Mimpi apa ia semalam mendadak diceramahi oleh adik satu-satunya itu? Ia mengakui bahwa ucapannya itu benar dan ia pun selalu diajarkan untuk hidup sederhana oleh kedua orang tuanya. Namun tidak dengan mobil miliknya yang satu ini. Ia telah berjuang setengah mati memeras otaknya demi kelangsungan bisnis keluarganya untuk membeli mobil ini. Satu-satunya hal yang sangat ia inginkan untuk dimiliki. "Aku akan mendengarkan semua keluhanmu dan menjawabnya nanti, tapi sekarang kumohon untuk menurut dan masuklah ke dalam mobil," Daichi menggenggam pundak kecil Kirana dengan kedua tangannya dan berusaha untuk menenangkan atau lebih tepatnya meyakinkan adiknya dengan perkataan bijak senjata andalannya. "Aku tidak mau dicap sebagai kakak yang tidak becus mengurusi adiknya yang sedang sakit dengan membiarkannya naik taksi atau naik bis atau lebih parah lagi naik JR," Ia memasang tatapan memohon kepada Kirana sambil membuka pintu untuk adiknya. "Tokyo sudah banyak berubah setelah sekian lama kau pergi Kirana."

"Hah, baiklah," Kirana menghela napas karena merasa tak mampu membalas ucapan kakaknya. Ia memang lemah dengan tatapan mata memelas yang dimiliki Daichi. Dengan langkah berat ia memasuki bangku sebelah pengemudi dari mobil mewah tersebut. Ia benci mengakuinya, untuk ukuran selera, sang kakak memiliki selera yang bagus. Daichi yang melihatnya hanya tertawa dalam hati dan segera menyalakan mesin mobilnya, memasukan gigi otomatis dan menginjakkan pedal gasnya untuk segera meninggalkan bandara menuju apartemennya.

Tak lama setelah Kirana dan Daichi pergi dari bandara, sesosok lelaki dengan ekspresi kelelahan namun tak melunturkan ketampanannya berjalan menuju point meeting yang telah disepakati oleh penjemputnya di ruang tunggu kedatangan penumpang dari luar negeri. Ia menoleh ke sekelilingnya, namun tak satupun penjemputnya datang menghampiri. Dilihatnya jam tangan yang dikenakannya, seharusnya penjemputnya sudah lebih dahulu datang menunggunya. Beginilah repotnya jika ia harus berpergian menggunakan pesawat komersil, ia tidak dapat seenaknya pulang dengan kendaraan pribadinya dan harus dijemput. Ia harus mengikuti perintah kakeknya yang memintanya untuk membiasakan diri dengan kesederhanaan. Untung saja masih diberikan Business Class bukan Economy Class. Dasar kakek tua sialan! Sudah tua saja masih saja otoriter!

"Akio-sama, mohon maaf atas keterlambatannya," Dua orang berpakaian resmi dengan stelan berjas serba hitam menghampiri sosok pemuda yang sedari tadi berdiri di ruang tunggu.

"Hn." Jawabnya pendek. Sorot mata tajamnya nampak mencari gadis cantik yang tadi duduk di sebelahnya ketika di dalam pesawat dan telah meninggalkannya terlebih dahulu. Ia berdecak kesal ketika tak menemukan sosok itu. Yang lebih mengesalkan adalah mengapa ia bisa tidak berkutik duduk bersebelahan dengan gadis itu seolah kemampuannya dalam menaklukkan perempuan nol besar. Kazuto sialan! Awas saja jika sumpahmu itu terjadi, kau akan kubakar hidup-hidup! Ia merutuk dirinya sendiri, mengapa ia jadi penasaran dengan gadis bernama Kirana itu? Cih, Sungguh bukan dirinya sama sekali. Lupakan saja gadis itu! Toh ia tak akan mungkin bertemu dengannya lagi.

"Akio-sama," Panggil salah satu lelaki berjas hitam tersebut untuk keduanya sambil membukakan pintu belakang dari mobil Mercy hitam yang terpampang di hadapannya.

Tanpa banyak bicara, Akio memilih masuk ke dalam mobil tersebut dan menjatuhkan tubuhnya yang masih kelelahan akibat jet lag yang ia alami selama kurang lebih delapan jam perjalanan dari Jakarta ke Tokyo.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!