“KYAAAA!!!"
Teriakan histeris terdengar dan menggema diseluruh penjuru TA Square, Mall terbesar disini. Hari ini adalah launching album terbarunya Rhine. Dan seperti biasanya, aku yang memang sejak awal sangat sangat sangat membenci idola yang satu ini, aku tekankan sekali lagi ya, sangat membenci idola yang satu ini, terpaksa harus membantu teman-temanku yang merupakan fans setianya dengan memintakan atau lebih tepatnya memaksaku untuk menemani mereka membeli album terbaru plus harus menjadi korban antrian tanda tangan eksklusifnya. Sebenarnya aku juga ingin membeli albumnya sih, karena memang lagu-lagu ciptaannya sangat easy listening ditelinga. Tapi jika melihat orangnya... nggak jadi deh!
Kalian tentu penasaran siapa itu Rhine sehingga membuat orang-orang rela antri panjang kali lebar kali tinggi jadi isi hanya demi sebuah album barunya?
Rhine, adalah seorang penyanyi idola misterius yang tidak pernah diketahui nama aslinya. Ia tiba-tiba saja datang menggebrak pasar musik Indonesia dengan aliran musik yang entah apa namanya, dan aku akui kalau yang satu ini memang tidak ada orang yang menandinginya!
Ciri khas dari penyanyi ini adalah penampilannya yang super nyentrik, futuristic dan gothic. Rambut hitam pekat model Emo acak di belakang, ditambah pirsing alias tindikan dibagian telinga serta cat kuku senada dengan rambutnya menambah unik image-nya. Secara penampilan dan musikalitas aku memberi acungan jempol dan kuberi nilai seratus! Tapi soal kepribadian si idola ini...nol besar! Dia adalah orang yang NARSIS-nya najis-najis!
Mengapa aku katakan demikian? Jawabannya hanya satu, Rhine selalu menyebut dirinya adalah orang yang paling sempurna di muka bumi ini dan GENIUS! Serta yang parahnya lagi, dia selalu membuat pernyataan bahwa hanya dirinya lah yang paling dia cintai di dunia ini! Huek! Mendengarnya saja sudah mau muntah! Terlalu lebay dia jadi orang! OVER ACTING! Seumur-umur baru kali ini aku melihat orang se-NARSIS itu! Enggak banget! Sumpah, enggak kebayang cewek seperti apa yang mau jadi pacarnya? Kalau aku, meskipun di dunia ini makhluk yang bernama cowok tinggal dia satu-satunya, sampai mati pun aku nggak mau sama dia! Amit-amit!
Tapi anehnya, kenapa semakin lama justru fansnya semakin banyak ya?! Benar-benar anomali tingkat dewa! Ampun, aku benar-benar nggak habis pikir, berapa kalipun dipikirkan alasannya tetap tidak ada gunanya karena sudah pasti tak akan menemukan titik temunya dan hanya menguras energiku saja!
Sejak tadi hanya pikiran negatif itu saja yang ada dibenak Junna. Gadis energik nan manis dengan rambut hitam diikat tinggi seperti ekor kuda menyisakan sedikit poni menyamping ini terpaksa mewakili keempat sahabatnya atau tepatnya menjadi tumbal mengantri demi sebuah tanda tangan dari Rhine hanya karena alasan konyol keempat sahabatnya itu. Dengan dalih takut pingsan jika harus berhadapan langsung dengan idola tercinta mereka, semakin memperparah kebenciannya kepada Rhine, penyanyi berkarismatik dan sedikit narsis yang berhasil membius banyak orang dengan lagu-lagu easy listening serta suara bariton yang sangat merdu nan seksi memikat siapapun yang mendengarnya.
Aduh, kakiku pegal nih, sampai berapa lama lagi sih aku harus mengantri? Sialan! Keluh Junna sambil mendecakkan kakinya ke lantai beberapa kali untuk mencegahnya kram dan kesemutan. Ingin rasanya ia melarikan diri dari situasi yang tidak menyenangkan saat ini jika saja ia tidak mengingat rengekan memohon-mohon keempat sahabatnya. Cih, menyebalkan!
"Yak, yang berikutnya!" Suara Rhine menyadarkan pikiran Junna yang sibuk mengawang-awang tidak jelas dikarenakan terlalu lelah ngantri.
"Eh iya," Spontan Junna meletakkan empat buah CD album terbaru Rhine tepat di depan sang penyanyi yang sedang duduk santai dengan kaos tanpa lengan warna hitam corak abstrak warna-warni, jaket putih berkerah tinggi terbuka tidak diresleting dan celana cargo yang senada dengan warna jaketnya. Tak lupa beberapa aksesoris kalung dan anting serta sepatu boots yang melengkapinya.
"Wah, kamu pasti salah satu fans beratku ya, sampai membeli CD albumku empat buah?" Rhine memasang senyum komersilnya sementara tangan kanannya sibuk membubuhkan tanda tangannya di atas CD album terbarunya. "Nah, selesai!"
Tuh kan, narsisnya mulai kumat... jijay! Junna memutar bola matanya bosan. Rasanya ingin muntah ditempat dan saat itu juga jika diperbolehkan setelah mendengar statement yang baru saja didengarnya langsung dari bibir Rhine.
"Terima kasih, TU-AN PE-NYA-NYI TER-KE-NAL," Junna membalas senyum Rhine dengan senyum yang sangat dipaksakan dan nada suara penuh penekanan. "Tapi sayangnya aku bukan fans beratmu, aku hanya memenuhi permintaaan keempat temanku yang sedang menungguku di pintu keluar." Jari telunjuk Junna menunjuk kearah empat orang gadis berusia sebaya dengan dirinya yang memasang ekspresi harap-harap cemas. "Mereka bilang takut mati berdiri jika harus berhadapan denganmu secara langsung!"
Junna dengan santainya berjalan meninggalkan Rhine. Seluruh orang yang ada disana, termasuk Rhine hanya bisa tercengang mendengar komentar pedas yang keluar dari bibir mungil Junna sambil menatap kepergian sang gadis.
"Nih, gue sudah menepati janji gue! Satu untuk Tia, satu untuk Riri, satu untuk Cia, dan satu untuk Lily. Impaskan?" Junna menyerahkan CD album terbaru Rhine ke tangan keempat sahabatnya.
"Thank you Junna," Balas keempat sahabatnya itu kompak sambil memeluk Junna erat.
"Sekarang mana traktiran pizza-nya?" Junna menjulurkan telapak tangan kanannya menagih janji.
"Dasar perhitungan!" Ledek Tia.
"Biarin! Kalian berempat kan sudah menyiksa gue untuk ngantri panjang banget cuma demi tanda tangan CD itu! Sekarang boleh dong gue minta imbalannya? Hmm, kayaknya pizza ukuran large enak nih," Junna merangkul pundak keempat sahabatnya dengan erat dan memaksa mereka memasuki salah satu restoran pizza paling lezat dan mahal yang ada di Mall tersebut.
Ia tidak sadar bahwa kebenciannya pada sang penyanyi yang terlalu berlebihan itu akan menjadi bumerang untuk dirinya kelak.
***
CIITT!
Sebuah sepeda Cross Country dengan Full Suspension berwarna merah berhenti tepat di depan rumah bertingkat dua dengan konsep minimalis dilengkapi taman penuh bunga dan hanya dibatasi oleh pagar kecil berbahan stainless steel warna hitam sebagai tanda pemisah dari rumah yang berada disebelahnya. Pemilik sepeda itu tak lain adalah Junna, gadis berusia tujuh belas tahun yang saat ini sedang duduk di bangku kelas XII di SMA Perguruan TA, sebuah SMA Swasta elit yang terkenal di salah sudut Jakarta. Dengan seragam kemeja biru muda lengan pendek berlogo lambang sekolahnya dikantong saku dada kirinya, dasi berbentuk kupu-kupu berwarna merah polos sangat serasi dengan rok kotak-kotak perpaduan merah dan biru dan kaus kaki biru tua sebetis serta sepatu pantofel hitamnya membuatnya nampak manis. Peluh didahinya menunjukkan bahwa ia baru saja berjuang sekuat tenaga menempuh jarak yang cukup jauh dari sekolah menuju rumahnya. Tak seperti biasanya, ia yang selalu langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa memperdulikan lingkungan sekitar, saat ini justru terpaku memperhatikan rumah yang bersebelahan dengan rumahnya.
Lho, sejak kapan rumah disebelah diisi orang? Tapi baguslah, setidaknya rumah hantunya berkurang satu lagi! Gumam Junna. Bola matanya mengikuti gerak-gerik beberapa kurir yang sibuk memindahkan barang-barang dari dalam mobil wingbox besar yang terparkir didepan rumah tersebut dan membawanya ke dalam rumah tersebut.
Komplek perumahan tempat Junna sangatlah sepi. Bagaimana tidak, mengingat betapa jauhnya jarak antara tetangga yang satu dengan tetangga yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan cluster masing-masing rumah memiliki luas tanah yang cukup besar yaitu 700 meter dengan luas bangunan kurang lebih 500 meter. Jumlah blok masing-masing tipe rumah pun sangat terbatas yaitu hanya terdapat empat bangunan rumah yang terpisah oleh jalan raya komplek dan jarang terlihat lalu-lalang orang sehingga membuat perumahan tersebut mendapat julukan komplek perumahan hantu. Padahal komplek tersebut merupakan salah satu komplek perumahan mewah dengan standar keamanan nomor wahid dikelasnya. Sungguh wajar Junna terheran-heran mengapa ada orang yang memilih tinggal tepat disebelah kanan rumahnya yang notabennya merupakan cluster paling belakang dari pintu masuk perumahan, sementara masih banyak pilihan rumah kosong yang dapat dibeli dan ditinggali dengan lokasi yang lebih dekat dengan pintu gerbang masuk perumahan.
"Eh, anak Mama sudah pulang," Suara Nadia, sang Mama gadis manis itu membuyarkan pikiran-pikiran tak berujung nyata yang merasuk di otak anak gadisnya.
"Ma, ada tetangga baru ya?" Tanya Junna sambil menuntun sepeda kesayangannya yang merupakan hadiah ulang tahun keenam belas dari Papanya memasuki garasi rumahnya.
"Iya, orangnya ganteng lho, mirip artis!" Ujar Nadia berceloteh. "Mungkin sepantaran sama kamu. Yah, lebih tua sedikit sih."
"Enggak tertarik sama sekali! Aku kan sudah punya Ega, jadi nggak ada waktu untuk ngelirik cowok lain!" Jawab Junna pendek dan cuek. Ia segera masuk ke dalam rumah dan merebahkan tubuhnya di sofa empuk berwarna krem yang berada di ruang tamu. "Duh, capeknya, jika diibaratkan kompor minyak tanah, otakku hari ini bukan hanya berapi namun juga berasap setelah ulangan seharian tadi," Sesekali ia memijit dahinya mengurangi kerutan stres yang dialaminya.
"Tapi bisa dikerjakan dengan baik kan?"
"Tentu saja!" Ujar Junna mantap dan percaya diri. "Tidak akan mengecewakan Papa dan Mama deh pokoknya."
"Junna, hari ini Mama masak scotel kentang keju dan sop kacang merah kesukaanmu lho."
Nadia berjalan ke dapur dan kembali sibuk berkutat dengan masakan yang sedang dibuatnya. Tak Lupa Bi Imah, asisten rumah tangganya membantu.
"Oh ya? Asyik!!" Junna dengan penuh semangat berdiri dari duduknya dan berjalan menuju meja makan yang letaknya berdekatan dengan dapur. "Kebetulan perutku sudah konser dari tadi minta diisi. Mending konsernya bagus, orang bunyinya KRUYUUK-KRUYUUK gitu Ma, hehehe."
"Dasar anak Mama yang satu ini manjanya minta ampun," Nadia tersenyum dan membawa masakannya ke meja makan. "Bagaimana kalau kamu jadi kakak nanti?"
"Ya, otomatis jadi nggak manja lagi dong Ma," Junna menghampiri Mamanya yang sedang hamil besar 8 bulan. Ia mengusap-usap perut Mamanya yang membesar. "Dek, nanti kalau kamu lahir, aku pasti jadi kakak yang baik buatmu!" Ujarnya penuh semangat.
"Junna, nanti kalau sudah selesai makan, Mama minta tolong untuk mengantarkan makanan ini kesebelah ya," Nadia meletakkan dua kotak makan berbahan plastik dengan kualitas tinggi berisi scotel kentang keju dan sop kacang merah.
"HUUK! Uhuk-uhuk!" Junna yang sedang asyik mengunyah makanan di dalam mulutnya mendadak tersedak setelah mendengar permintaan Mamanya. Ia segera mengambil gelas berisi air mineral yang berada disebelahnya dan segera meminumnya. "Kesebelah?! Maksud Mama ke tetangga baru itu Ma?"
"Ya iya dong sayang, memangnya tetangga kita siapa lagi? Perumahan ini kan penghuninya jaraknya jauh-jauh, hanya kita dan tetangga baru itu yang dekat, kasihan dia tinggal sendirian," Nadia berkata dengan nada suara tenang dan datar. "Kamukan tahu kalau Papamu yang agak anti sosial itu adalah penyebab kita tinggal di tempat yang agak terpelosok seperti ini. Tapi bukan berarti kita juga ikut-ikutan anti sosial kan? Lagi pula tidak salah juga kok kita tinggal disini karena lingkungannya masih sepi dan aman, udaranya juga bagus buat kesehatan."
"Iya, karena terlalu terpelosok, aku jadi terpaksa ke sekolah naik sepeda dan menempuh jarak 5 km hingga betisku besar kayak talas bogor!" Ujar Junna seenaknya.
"Eh ini anak...," Belum selesai Nadia mengomel, Junna telah mengambil langkah seribu keluar dari rumah sambil membawa dua kotak makanan pesanan Mamanya untuk tetangga barunya.
"Fiiuuuh, hampir saja kena semprot Mama," Junna yang berhasil keluar rumah menghela napas sambil mengusap keringatnya dengan telapak tangannya. Setelah mengatur irama napasnya yang sempat tidak beraturan menjadi normal kembali, ia segera melesat ke rumah tetangga barunya.
TING-TONG! TING-TONG!
Junna menekan tombol bel yang tepat terpasang di sebelah pintu rumah.
"Iya sebentar!" Teriak orang dari dalam rumah tersebut.
Hmmm, kira-kira tetangga baruku kayak apa ya? Cowok ya? Katanya umurnya nggak jauh beda sama aku walaupun lebih tua sedikit... Dan kata Mama orangnya ganteng. Lumayan juga kali ya bisa digebet?! Hush! Ngaco! Memangnya si Ega mau aku kemanakan? Tapi ngomong-ngomong lama amat sih orang didalam membukakan pintunya? Aku kan capek nunggunya, duh, malah aku masih lapar lagi, tadi kan belum selesai makannya. Keluh Junna sambil mengerucutkan bibirnya kesal.
TING-TONG! TING-TONG!
Sang gadis yang merasa tidak ditanggapi mulai kehabisan sabarnya. Ia pun kembali menekan bel beberapa kali.
"Iya sebentar," Kali ini sang pemilik rumah benar-benar keluar dari dalam rumah. Ketika pintu dibuka, Junna yang super cerewet dan sok supel mulai memasang aksinya untuk menyapa tetangga barunya itu.
"Halo tetangga baru, hari ini Mamaku masak scotel kentang keju dan sop kacang merah, jadi Mama menyuruhku mengantar ini untukmu sebagai salam perkenalan dari kami," Tanpa titik dan koma yang jelas, Junna yang begitu bersemangat tak menyadari bahwa ia berbicara bak kereta express yang tidak pernah berhenti kecuali dibeberapa stasiun tertentu. Terlihat bahwa ia berusaha mengakrabkan diri. Sebenarnya tindakan itu dapat dimaklumi karena ia yang sudah lama tidak memiliki tetangga akhirnya dapat memilikinya. Ia tak hanya sibuk berbicara tanpa memberikan sang tetangga baru kesempatan untuk memulai pembicaraan namun juga kurang memperhatikan secara detail siapa lelaki tetangga barunya itu. "Mamaku bilang kamu tinggal sendirian jadi Mamaku tidak tega sama kamu. Dimakan ya, masakan Mamaku enak lho."
"Oh, eh, terima kasih," Si pemilik rumah itu menerima kotak berisi makanan yang dibawa Junna dengan sedikit ragu-ragu.
"Sama-sama," Junna kemudian tersadar dan mulai memperhatikan detail lelaki yang sejak tadi diajak berbicara secara sepihak olehnya. Ketika ia benar-benar tersadar, Junna mendadak mematung. Tata cara bicaranya yang semula sangat cepat mendadak berubah drastis menjadi terbata-bata bak anak TK yang baru belajar mengeja.
"Eng...,ka...yak...nya...aku...ha...rus...pu...lang...se...ka...rang...deh...," Junna segera membalikkan tubuhnya dan membelakangi lelaki itu. Ia berjalan secepat mungkin meninggalkan rumah berpenghuni baru itu. Sepertinya ia mengenal betul siapa orang yang menjadi 'TETANGGA' barunya itu...
"Mampus gue! Ketahuan dong siapa gue," Lelaki itu memukul kepalanya sendiri dengan tangan kanannya. "Sial! Susah kan harus mencari tempat yang strategis seperti ini, masak harus pindah lagi?" Keluhnya sambil mengacak-acak rambutnya.
Sementara itu Junna yang sangat panik, segera berlari masuk ke dalam rumahnya dan tanpa sadar membanting pintu dengan keras.
BLAM!
"Junna, pintu itu jangan dibanting gitu dong sayang," Nadia yang sedang asyik membaca majalah sambil mendengarkan musik klasik di ruang tengah tergelitik berkomentar. "Kasihan pintunya setiap kamu kesal atau marah pasti kebagian imbasnya kamu banting terus, gimana tetangga barunya? Benar kan kata Mama tetangga baru kita kayak artis?"
"Aduh Mama, bukan kayak artis lagi, tapi dia memang beneran artis Ma!!!" Junna yang sejak pulang dari rumah tetangga barunya masih menahan gejolak emosinya, tanpa sadar meledak ketika sang Mama bertanya tentang objek yang berhasil membuatnya emosi. Ia pun telah melupakan perutnya yang masih lapar tadi.
"Lho, malah bagus kan kalau jadi tetangga, oh bukan, teman barumu itu artis, berarti kalau mau minta tanda tangan tinggal jalan dong kesebelah," Nadia yang tidak tahu menahu alasan Junna mendadak emosi masih saja dengan santainya berbicara sambil membolak-balik halaman majalah yang dibacanya.
"Bagus gimana sih Ma?! Dia itu Rhine! Penyanyi terkenal yang narsis-nya minta ampun deh Ma! Oh my God... kemarin aku mimpi apa sih sampai bisa punya tetangga si Rhine itu?!" Ujar Junna frustasi.
"Kok kamu malah stres gitu sih?" Nadia yang melihat putrinya tampak stres mengernyitkan dahinya dengan tatapan heran.
"Mamaku yang tercinta, masalahnya makhluk itu..."
"Manusia Junna," Ralat Nadia untuk memperbaiki tata kata anak gadisnya itu. Ia tak ingin anaknya lupa akan tata krama ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.
"Iya apalah itu namanya Ma, pokoknya aku nggak suka kalau dia jadi tetangga kita!"
"Sudahlah sayang, lebih baik kamu simpan tenagamu untuk belajar karena Mama yakin di dalam tasmu yang diletakkan di sofa terdapat banyak PR yang harus kamu selesaikan, iya kan?" Nadia tersenyum menunjuk kearah tas punggung berwarna ungu magenta milik Junna. Ia berusaha meredam emosi anaknya itu dengan mengalihkan topik pembicaraan. "Lagian memangnya kamu betah ya, pakai seragam yang bau keringat dan matahari? Ooo, Mama tahu, kamu buru-buru balik ke rumah karena ketahuan bau ya?"
"Ukh," Junna menggerutu kesal karena kalah telak dalam beragumen dengan Mamanya dan ia juga tak mau dicap sebagai anak durhaka karena berbicara kurang sopan. "Iya-iya, aku tahu!"
Dengan berat hati Junna mengambil tas miliknya dan segera menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Sepanjang perjalanan menuju kamarnya, yang ia lakukan hanyalah mengeluh dalam hati.
Kenapa sih harus dia yang jadi tetanggaku??? Ya Tuhan, Engkau sedang tidak menguji hamba-Mu yang lemah ini kan...
***
Esoknya, Ketika Junna hendak berangkat sekolah, tiba-tiba ia dihadang oleh sebuah mobil Ferrari berwarna merah. Siapa lagi jika bukan milik Rhine. Mobil elit dan elegan yang menurut pendapat banyak orang sebagai simbol yang menunjukkan pride dan kenarsisan seseorang.
"Apaan sih?! Tiba-tiba menghalangi jalan gue?! Untung rem sepedanya pakem. Bisa telat nih ke sekolah...," Sontak mood Junna mendadak memburuk disaat yang tidak tepat. Jam tangan model sporty berwarna pink yang melingkar ditangan kirinya telah menunjukkan pukul setengah 7 pagi dan ia masih harus menempuh jarak yang cukup jauh sekitar lima kilometer menuju sekolah tempat ia menuntut ilmu saat ini.
"Gue perlu ngomong penting sama lo!" Rhine keluar dari mobilnya.
Sialan banget nih cowok! Enggak ada sopan-sopannya pake bahasa slank gitu! Ok, siapa takut! Gue juga akan memakai bahasa yang sama kayak lo!
"Ngomongin apaan? Kayaknya nggak ada yang harus diomongin sama sekali," Junna membuang muka. Meskipun tetap saja ia diam-diam melirik kearah Rhine. Hari ini dia menggunakan kaos warna hitam tanpa lengan, celana cargopendek warna coklat khakidan kacamata hitam. Tetep keren sih...Hush, bukan waktunya memuji orang Junna !
"Gue cuma pengen lo nggak bilang ke semua orang kalau tetangga lo itu gue!" Mata Rhine yang tajam menembus mata Junna. Ia menggenggam pundak Junna dengan erat memastikan bahwa Junna menuruti permintaannya. "Gue pindah kesini karena gue nggak ingin privasi gue terganggu akibat ulah para fans dan para wartawan yang selalu mau tahu kehidupan pribadi gue."
Cih! Bertambah lagi deh rekor burukmu di mataku! Udah narsis, jelek banget lagi perangainya! Junna menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Batinnya terus saja mengumpat lelaki dihadapannya.
"Gue pikir yang tinggal disini cuma pasangan suami istri sibuk yang sedang menunggu kelahiran anak pertamanya, tapi nggak tahunya mereka punya anak ABG yang bisa saja sewaktu-waktu jadi bom waktu dengan menceritakan keberadaan gue. Jadi gue minta lo jaga mulut lo supaya nggak keceplosan! Ngerti?!"
"Singkirkan dulu tangan lo dari pundak gue!" Junna menepis kedua tangan Rhine yang berada dipundaknya dengan tangannya. Ia balik menatap tajam Rhine. "Eh, dengar ya, gue itu bukan salah satu fans lo yang kurang kerjaan nguntitin lo kemana-mana. Jangan mentang-mentang lo banyak fans terus setiap orang yang lo temuin adalah fans lo. Kalau lo berpikiran seperti itu, lo salah besar Tuan Penyanyi!" Ia menunjuk-nujuk dada bidang Rhine dengan jari telunjuk tangan kanannya.
"Kok lo jadi balik ngancam gue?" Rhine merasa tidak terima dengan perlawanan Junna. Egonya sebagai lelaki yang tidak pernah mau mengalah akhirnya berusaha mengintimidasi balik gadis SMA didepannya.
"Siapa yang ngancam lo? Yang ada nih, gue yang akan kena sial tetanggaan sama lo! Kalau sampai wartawan mencium jejak lo tinggal disebelah rumah gue, teman-teman gue yang fans setia lo alamat mendatangi rumah gue setiap hari tahu! Kalau sudah kayak gitu gue yang bakalan dimarahi oleh bokap-nyokap gue!" Junna kembali siap mengayuh pedal sepedanya. "Lo enak, jarang di rumah tiap hari, nah gue? Tiap hari di rumah! Lo tahulah gimana rasanya privasi lo diganggu?"
"Ya sudah, kita berdua buat kesepakatan!" Potong Rhine.
"Apa itu?" Tanya Junna.
"Sesama tetangga dilarang mengganggu privasi masing-masing! Kalau nggak ada perlu, kita nggak usah saling tegur sapa? Gimana?"
"Deal!" Rhine dan Junna berjabatan tangan mantap tanda kesepakatan.
"Sekarang minggir! Gue harus buru-buru nih! Masih ada 5 kilo lagi yang harus gue tempuh untuk sampai sekolah! Kalau sampai gue telat, elo yang akan gue salahin! Wee!!" Junna masih sempat menjulurkan lidahnya mengejek Rhine sebelum kabur menggunakan sepedanya.
"Huh, dasar bocah!" Ingin rasanya Rhine menjitak kepala Junna. Tapi apa daya, Junna terlalu gesit mengayuh sepedanya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!