"Kau itu hanya setengah Emirati!"
"Ibumu telah merebut kasih sayang ayahku terhadap ibuku! Bukankah itu tindakan yang kejam?!"
Mundika melepas abaya hitam dan flat shoes berwarna rose gold senada dengan dress panjang semata kaki bermotif bunga kecil-kecil yang dikenakannya. Langkah kaki telanjangnya mulai berjalan ke bibir Pantai Kite untuk menyapa buih-buih air laut. Angin laut berhempus sepoi membelai pipinya yang merona kemerahan terkena sinar matahari yang mulai condong kearah Barat.
"Nduk, maafkan keputusan Ibumu yang telah membuatmu menjadi anak yang tidak diakui kakak-kakaknya, ini semua takdir yang harus Ibu jalani."
Perlahan langkah kakinya mulai memasuki laut yang menggulung-gulung seolah-olah menarik dirinya untuk terus berjalan maju menuju ketengah.
"Kak Majid, mengapa Kak Maitha dan Kak Haya membenciku? Padahal aku juga adik mereka, padahal aku menghormati dan menyayangi mereka. Apakah Kak Majid juga akan membenciku seperti mereka?"
Setelah memastikan air telah setinggi dada, Mundika memejamkan matanya dan membiarkan tubuhnya perlahan tertelan air. Rasanya begitu damai dan tenang. Kepenatan dan sesak di dada seolah terangkat dan terlarung kelautan luas. Tubuhnya semakin lama semakin tenggelam. Sayup-sayup ia mendengar suara teriakan seseorang yang berlari kencang masuk ke dalam air hingga menimbulkan suara percikan namun ia tak memperdulikannya. Yang ia butuhkan adalah rasa berserah diri menikmati air laut yang membelainya dengan lembut.
"Baba, mengapa kau lakukan semua ini padaku? Mengapa kau memposisikanku seolah sebagai anak hasil merusak rumah tangga orang lain? Mengapa kau menjadikan ibuku wanita kedua dalam hidupmu? Jika memang cinta, tak seharusnya Baba mendua.”
“Seandainya aku bisa memilih, aku lebih baik lahir di dalam keluarga yang sederhana namun bahagia daripada bergelimang harta dan gelar namun tidak bahagia karena mendapat cap sebagai anak yang tidak disayangi oleh kakak-kakaknya!"
"Dasar gadis bodoh! Kau berniat untuk bunuh diri hah?!" Suara teriakan seorang lelaki yang menarik tubuh Mundika dari dalam air laut mengejutkan dirinya.
"Eh?!" Mundika masih berusaha mencerna dengan situasi yang saat ini dihadapinya. Ia berada dalam pelukan seorang lelaki tak dikenal yang memapahnya dengan tergopoh-gopoh untuk keluar dari laut. Setelah sampai di pinggir pantai, dengan sedikit kesal lelaki itu mendudukkan Mundika di salah satu tempat duduk yang tersedia di sana kemudian menceramahinya habis-habisan.
"Apa yang ada di dalam pikiranmu sehingga memutuskan untuk bunuh diri?! Kau itu sungguh tidak ada rasa bersyukurnya atas hidup yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa! Padahal di luar sana masih banyak orang yang berjuang untuk hidup meskipun sedang dilanda perang. Ditambah kau mengambil lokasi di pantai ini lagi?! Untung saja aku melihatmu yang mulai tenggelam, jika tidak, berita kematianmu akan muncul di kolom headline surat kabar besok!" Lelaki itu berkacak pinggang dan mencondongkan tubuhnya ke hadapan Mundika.
Mundika yang telah kembali kesadarannya merasa dirinya seperti anak kecil dimarahi oleh orangtuanya karena telah berbuat salah. Kenal lelaki ini saja tidak, kenapa bisa-bisanya ia diceramahi seperti ini?!
"Si...siapa yang berniat bunuh diri sih?!" Balas Mundika tidak kalah ketus. "Aku itu hanya ingin berendam untuk menenangkan diri! Dasar gila!" Ia berdiri dari duduknya dan mendorong tubuh lelaki tersebut untuk menjauhinya karena dirinya merasa tidak nyaman dengan tatapan mengintimidasi milik lelaki tersebut kemudian berjalan menuju tempatnya meletakkan abaya dan sepatunya.
Lelaki itu masih mengungkapkan kekesalannya sambil berjalan di belakang Mundika. "Bukannya berterima kasih sudah ditolong kau malah marah balik kepadaku! Begitukah cara orangtuamu mendidikmu?!"
Mendengar kata orangtua membuat Mundika yang sibuk membereskan barang-barangnya mendadak terdiam sejenak tanpa menoleh kearah lelaki itu. Bagaimanapun kondisinya, ia sangat menghormati keduanya.
"Kenapa diam?" Tanya lelaki itu. "Kau sekarang sudah mengaku salah kan? Makanya sekarang minta maaf karena sudah membuat orang khawatir padamu!"
"Siapa suruh kau perduli padaku!" Sebuah injakan keras ke kaki kiri lelaki tersebut membuatnya berteriak kencang dan merupakan kesempatan Mundika untuk melarikan diri pergi dari tempat tersebut karena ia sudah malas berurusan dengannya.
"AWWwww!" Teriak lelaki tersebut. "Awas saja kau ya jika bertemu lagi!"
"Tidak bakalan ketemu lagi!" Jawab Mundika yang menoleh sejenak kebelakang merespon teriakan bernada sedikit mengancam. "UEA itu luas Tuan! Weee!" Ia menjulurkan lidahnya seolah mengejek sambil berlari kencang kemudian masuk kedalam mobil miliknya hingga sosoknya menghilang dari pandangan.
"Dasar...," Lelaki tersebut menggelutukkan giginya sambil mengusap-usap kakinya berusaha menahan amarah dan sakit di kakinya yang diinjak gadis tak dikenalnya itu. Baru kali ini ia bertemu orang yang kurang menghormatinya, perempuan pula.
"Bagaimana kondisimu Mansoor?" Tepukan di pundak lelaki yang rupanya bernama Mansoor itu mengalihkan sang pemilik nama. "Aku terkejut kau tadi mendadak meninggalkanku pada saat kita berolahraga dan berlari terburu-buru menuju pantai sampai basah kuyup seperti ini."
"Kak Ahmed," Mansoor menghela napas dan menjawab, "Sepertinya aku sedang sial, di saat aku berusaha menolong orang yang hampir berniat bunuh diri malah aku dimaki-maki dan diinjak kaki. Awas saja kalau ketemu lagi!" Lanjutnya berapi-api.
"Hahahaha," Ahmed tertawa melihat adiknya yang terkenal dingin bisa seemosional ini. "Memangnya kau kenal gadis itu?"
"Tidak," Mansoor menggelengkan kepalanya.
"Sudahlah, lupakan saja kejadian hari ini, anggap saja kau sedang sial. Lebih baik kau membersihkan diri di Hotel Burj Al-arab."
"Baiklah," Mansoor mengalah dan mengikuti saran kakaknya. Dalam hatinya entah mengapa ia merasa urusannya dengan gadis itu belum selesai. Dan sepertinya akan merepotkan.
***
Suara nyanyian burung bersiul indah menyambut pagi hari di Dubai. Sinar-sinar lembut dari sang mentari mengintip dibalik jendela kamar Mundika yang berada di lantai dua.
"Pipipipipipipiiiii"
Bunyi alarm jam terdengar dari smartphone milik Mundika. Sontak ia terbangun dengan membuka bedcover yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia segera mengambil smartphone-nya dan mengecek jam berapa saat ini.
"Gyaaaaa!! Aku terlambat!!!" Teriak Mundika segera turun dari tempat tidurnya dan berlari menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap. Kebiasaannya ini ia dapat dari ibunya yang mendidiknya untuk membersihkan diri minimal dua kali sehari. Namun saat ini ia sudah tidak perduli mau bersih atau tidak, yang pasti dress panjang semata kaki bermotif bunga-bunga hijau dan abaya hitam senada dengan hijab yang dikenakannya terpakai rapi di dirinya. Ia bersyukur diberikan kulit wajah yang tanpa diberikan make up tebal sudah tampak fresh dan kemerahan alami. Terima kasih kepada sang ibu yang telah menurunkan gen baik tersebut.
"Bu, aku berangkat sekarang ya karena harus mampir kerumah utama untuk pamit ke Baba dan Mama Latifa serta kakak-kakak yang lain," Mundika turun dari tangga dengan tergopoh-gopoh menghampiri ibunya yang sudah selesai menyiapkan sarapan untuknya dan sang adik, Zayed. "Jam 10 nanti ada meeting antar direktorat di rumah sakit."
"Kau tidak sarapan dulu Nduk?" Tanya Artika yang menerima ciuman tangan dan kecupan di pipi kanan dan kirinya dari Mundika.
"Aku sarapan di rumah sakit saja," Jawab Mundika mengecup dan mengelus rambut adiknya, Zayed yang berusia 15 tahun kemudian keluar dari rumah. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, hati-hati di jalan,"
Mundika berjalan setengah berlari menuju rumah utama untuk berpamitan. Bagaimanapun sebagai anak dari istri muda ayahnya, sudah menjadi kewajibannya untuk berpamitan kepada ayahnya dan ibu tuanya. Setelah sampai dirumah utama, ia melihat ayah, ibu tuanya, Kak Majid, Kak Maitha, dan Kak Haya, anak-anak dari ayah dan ibu tuanya sedang sarapan juga di meja makan.
"Selamat pagi Baba, Mama Latifa, Kak Majid," Mundika melakukan aktifitas mencium tangan, pipi kanan dan kiri kepada ayah, ibu tuanya dan Kak Majid. Ketika ia hendak melakukan hal yang sama dengan kedua kakak perempuannya, dirinya mendapatkan penolakan seperti biasanya.
"Jangan pernah sentuh aku dan adikku Haya!" Ujar Maitha ketus. Pemandangan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa selama 25 tahun hidupnya. Namun tetap saja masih menyisakan rasa ngilu di dada. Rupanya sudah selama itu kakak-kakaknya masih saja membencinya. Ya sudahlah, yang pasti ia tetap mencintai dan menyayangi mereka.
"Kau tampak terburu-buru sekali Nak, apakah ada urusan penting?" Tanya Dalmouk, Ayahnya.
"Aku pamit dulu izin pergi terburu-buru karena jam 10 pagi ini ada meeting di rumah sakit. Sepertinya akan ada kunjungan dari orang penting ke rumah sakit dan aku tidak boleh absen." Perasaan Mundika semakin kalut karena waktu terus berjalan. "Aku pergi semuanya, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam,"
Setelah meyakinkan bahwa sudah tidak ada yang tertinggal, ia segera masuk ke mobil SUV silver miliknya dan keluar dari parkiran mobil menuju jalan raya yang akan mengarahkannya ke salah satu rumah sakit tempat ia bekerja di Kawasan Dubai Healthycare City.
Ada apa gerangan hari ini sehingga ia sampai salah memasang jam alarm. Bisa-bisanya ia setelah sholat shubuh kembali tertidur. Apa karena dirinya terlalu rileks berendam di laut kemarin? Ngomong-ngomong, mengingat laut membuatnya terkenang insiden dimarahi lelaki yang tak dikenal. Dirinya pun bergidik ngeri karena dimarahi dan dituduh mau bunuh diri. Padahal kegiatan di laut seperti kemarin sering dia lakukan jika pikirannya sedang kacau. Yah, bagaimanapun ia juga manusia biasa yang tak selamanya bisa cerah ceria seperti tidak ada beban saja.
Mundika memarkirkan mobilnya di salah satu slot parkiran khusus untuk dokter. Setelah memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal, ia segera berlari menuju mesin absen kemudian melanjutkan langkah kakinya menuju lantai 15 untuk mengikuti rapat. Fiuhhh, dirinya mengusap bulir-bulir keringat yang menetes di pelipisnya dengan tisu yang ia simpan di tas punggung coklatnya. Salah satu perbedaan yang ia rasakan mengapa ia lebih memilih menggunakan tas punggung dibandingkan dengan tas wanita seperti kebanyakan emirati yang lain karena tas tersebut banyak memuat kebutuhan yang ia miliki. Ia jadi sedikit mengerti mengapa dua kakak perempuannya sering menyebutnya setengah emirati. Ia selalu punya tampilan yang berbeda dari kebanyakan orang di sana dan lebih cenderung menerima budaya dari pihak ibunya yang berasal dari Indonesia.
TING!
Bunyi lift terdengar. Mundika yang melihat pintu lift terbuka untuk lantai 15 segera melangkahkan kakinya menuju ruang rapat besar di sana.
"Selamat datang Dokter Mundika binti Dalmouk," Sapa Hakeem, Dokter Kepala rumah sakit nampaknya mengetahui kedatangan Mundika yang berjalan sedikit mengendap-endap untuk tidak mengganggu suasana hening di dalam ruang rapat tersebut. Seluruh dokter yang menjadi peserta rapat di sana sontak menoleh ke arah Mundika.
Mundika hanya bisa menepuk wajahnya menahan malu. Mengapa Dokter yang satu ini hobi sekali mengerjai dirinya. Mentang-mentang sahabat babanya sekaligus dosen pembimbingnya sewaktu thesis. Apakah ia masih tidak ikhlas memberinya nilai A sementara yang lain nilai tertinggi adalah B?
"Selamat Pagi Dokter Kepala," Mundika menarik napas kemudian memasang senyum andalannya yang menurut teman-temannya dapat menaklukkan siapa saja. "Mohon maaf agak sedikit terlambat."
"Untung saja pemilik rumah sakit ini masih dalam perjalanan menuju ruangan ini. Sehingga kejadian seperti ini tidak diketahui oleh mereka," Hakeem, lelaki tua namun berkharisma menegur Mundika dengan halus kepada dokter kebanggaannya itu. Ia dipesankan oleh ayah gadis itu untuk mendidiknya menjadi pribadi yang kuat dan tangguh. "Saya harap kejadian seperti ini tidak terjadi lagi."
"Baik Dokter Kepala," Mundika mengangguk dan berjalan ketempat duduknya di sebelah Rabiya, salah satu teman satu kuliahnya dulu dan juga dokter di rumah sakit tersebut.
"Tumben kau terlambat?" Tanya Rabiya sambil berbisik.
"Aku salah pasang alarm," Mundika meringis mengingat kebodohannya.
"Untung saja rapatnya belum mulai."
"Memangnya sepenting apa orang yang akan datang hari ini? Apakah Emir atau Putra Mahkota yang akan datang?" Tanya Mundika. "Mengapa aku merasa ekspresi orang-orang yang hadir di sini tampak tegang dan serius sekali?"
"Apakah kau tidak membaca detail undangan yang dikirimkan pihak Umum terkait rapat hari ini?"
"Tidak," Mundika menggelengkan dengan wajah polosnya. "Aku hanya membaca tanda 'urgent' di email tersebut.”
"Sepertinya akan ada pergantian penanggung jawab rumah sakit ini," Rabiya menghela napas melihat sifat temannya ini yang jika sedang terburu-buru kurang memperhatikan detail apapun. "Kau kan tahu sendiri bahwa Emir kita memiliki putra yang cukup banyak, mungkin salah satu dari mereka yang akan datang adalah penanggung jawab rumah sakit yang baru."
"Ooo," Mundika mengangguk malas. Bukan ia tak menghormati pimpinan atau keluarga pendiri dari kota tempat ia lahir dan dibesarkan. Hanya saja ia bukanlah orang yang suka menonjolkan diri untuk menarik perhatian keluarga tersebut karena ia ingin dikenal dengan prestasinya, bukan latar belakang keluarganya. Hal yang sangat bertolak belakang dengan orang-orang di sekelilingnya yang berlomba-lomba ingin menjadi bagian dari keluarga Emir tersebut dengan segala cara untuk mencari muka.
Berdekatan dengan keluarga Emir sangat kental beraroma politik dan ia bukanlah penikmat politik. Baginya dunia perpolitikan sangatlah memusingkan dan memuakkan sehingga ia menjauhinya karena dirinya pun adalah salah satu korban politik itu. Baba dan ibunya adalah sepasang kekasih sebelumnya. Hanya karena ibunya adalah orang luar negeri dan tak punya latar belakang keluarga darah biru seperti babanya akhirnya babanya dijodohkan dan menikah dengan Mama Latifa yang sekufu untuk meneruskan generasi darah murni keluarga besarnya.
Ibunya yang mengetahui hal tersebut memilih mundur dari kehidupan Babanya dan berusaha untuk ikhlas bahwa jodohnya dengan babanya berakhir sampai disini. Entah bagaimana ceritanya, Mama Latifa datang kepada ibunya untuk memohon agar ibunya bersedia menikah dengan babanya dan ikhlas dirinya dimadu. Benar-benar gila! Apakah mereka tidak sadar efek buruknya kepada anak-anaknya kelak?
Ah, setiap kali memikirkan hal itu membuat dadanya seperti diiris sembilu. Ia bahkan tak pernah berani bermimpi dengan siapa dirinya akan menikah nanti mengingat dirinya yang setengah emirati ini. Yang dapat ia lakukan hanyalah membuat dirinya eksis dengan caranya sendiri.
"Dika,"
"Mundika...,"
"Dokter Mundika binti Dalmouk, apakah kau sejak tadi tidak memperhatikan apa yang diucapkan oleh Sheikh Mansoor bin Maktoum?" Lagi-lagi Hakeem menangkap Mundika melakukan kesalahan. Ada apa gerangan dengan gadis itu hari ini? Biasanya gadis itu tampil begitu cemerlang seolah tanpa cela. Namun hari ini sang gadis nyaris membuatnya murka. Bagaimana bisa Mundika melamun di saat krusial seperti ini? Terlebih lagi pada saat salah satu putra Emir Dubai, Mansoor bin Maktoum, sedang berbicara di atas podium.
"Eh?" Mundika yang tersadar dari lamunannya mengerjapkan matanya untuk memastikan ia fokus ke depan setelah mendapat teguran yang lebih keras dari Dokter Kepala. Tadi Dokter Kepala bilang apa? Sheikh Mansoor bin Maktoum? Salah satu putra Emir Dubai?
Sontak Mundika terdiam seolah baru saja melihat hantu dihadapannya. Ekspresi ketakutan bercampur ketidakpercayaan dengan sosok di podium yang sedang mengarah kepadanya dengan pandangan menusuk membuatnya ingin segera kabur dari ruangan tersebut.
Tamat sudah riwayatnya kali ini! Ia tak menyangka bahwa lelaki yang memarahinya dan dibalas olehnya dengan menginjak kaki lelaki tersebut ternyata salah satu orang penting di Dubai! Salahkan dirinya yang tidak pernah memperhatikan teman-teman atau keluarganya jika sedang membicarakan para anggota keluarga Emir Dubai. Kalau sudah begini ia harus bagaimana?!
Mansoor yang menyadari ekspresi ketakutan dan kepanikan Mundika, tersenyum miring sambil menatap tajam kearah sang gadis.
Aku menemukanmu! Jangan harap kau bisa lari dariku seperti kemarin!
***
"Sebenarnya ada apa denganmu hari ini Dokter Mundika?" Setelah rapat penting pagi yang cukup menghebohkan karena ulah gadis di hadapannya ini, akhirnya Hakeem meminta Mundika menghadap kepadanya di ruangannya. Ia sungguh merasa tidak enak dengan Mansoor bin Maktoum karena hari ini adalah hari pelantikannya sebagai penanggung jawab rumah sakit menggantikan kakaknya, Ahmed bin Maktoum sang Putra Mahkota Dubai. "Jika seperti ini bagaimana kau bisa menyelamatkan nyawa orang lain?"
"Mohon maaf Dokter Kepala, saya akui keteledoran ini salah saya sepenuhnya," Mundika yang juga bingung mengapa tingkat error dirinya hari ini cukup parah hanya bisa pasrah dimarahi oleh Hakeem. Ini sudah dua hari berturut-turut ia bisa melakukan kesalahan dan selalu berhubungan dengan lelaki yang tak ia sangka adalah salah satu anak dari Emir Dubai. Bahkan lelaki tersebut akan menjadi penanggung jawab komplek rumah sakit terbesar di Dubai ini. Ia harus bisa membunuh egonya dengan memohon maaf atas perbuatan dan sikap konyol yang telah dilakukannya kepada lelaki itu. Bukan karena ia takut kehilangan pekerjaannya disini namun karena ia tak ingin nama keluarganya tercemar. "Saya akan menghampiri beliau dan meminta maaf atas ketidaksopanan saya tadi."
Mundika undur diri dari ruangan Hakeem setelah diinfokan bahwa Mansoor saat ini berada di S Coffee Cafe yang ada di rumah sakit. Ia segera melangkahkan kakinya menuju tempat tersebut. Terlebih lagi ia memang membutuhkan asupan racikan biji kopi dan susu guna membuatnya lebih bertenaga dan konsentrasi. Ia sebenarnya kurang menyukai kopi murni, namun jika dicampur dengan susu dan sedikit gula serta sentuhan magic dari tangan sang barista maka akan menjadi perpaduan yang sempurna untuknya.
***
Mansoor berjalan cepat bersama tiga anggota tim yang selalu mendampinginya. Ia memasuki S Coffee Cafe untuk memesan kopi favoritnya, cappucino. Setelah pesanannya datang, ia memilih duduk di pojokan dimana ia dapat melihat orang berlalu lalang sambil mengingat-ingat kejadian di ruang rapat tadi. Entah musibah atau anugerah, ia bisa bertemu gadis itu lagi. Melihat ekspresi gadis itu ia pun tertawa geli. Rupanya pertemuan mereka kemarin benar hanya kesalahpahaman saja. Dan lucunya, gadis itu melakukan hal konyol lagi dengan tertangkap oleh Kepala Dokter di rumah sakit sedang melamun pada saat serah terima tanggung jawab rumah sakit kepada dirinya. Di saat ia sedang menikmati kopinya, tiba-tiba terdengar sedikit keributan antara anggota timnya yang berusaha menahan seseorang yang hendak menghampirinya. Ia paham bahwa keselamatan dan keamanannya sangat penting sehingga tidak sembarangan orang bisa berdekatan atau menghampirinya.
"Biarkan dia menghampiriku, Badar," Ujar Mansoor mengakhiri keributan.
"Tapi Sheikh," Badar, salah satu penjaganya masih sedikit keberatan mengingat beberapa bulan yang lalu ada fans yang cukup agresif menghampiri tuannya itu.
"Tidak apa-apa," Ujar Mansoor tersenyum tipis.
"Terima kasih atas kebijaksanaannya Sheikh Mansoor," Mundika menundukkan tubuhnya. "Mohon maaf jika mengganggu waktu anda."
Hei, gadis ini lagi? Ada apa gerangan? Dirinya seperti mendapatkan jackpot bertemu dengannya berkali-kali. Mansoor tersenyum dalam hati. Ini sudah pasti bukan kebetulan belaka.
"Silahkan duduk," Mansoor yang memperhatikan Mundika tidak kunjung duduk akhirnya mempersilahkan sang gadis untuk duduk dihadapannya.
"Terima kasih, namun mohon maaf izinkan saya untuk sejenak meminum minuman saya," Mundika segera menegak caramel macchiato ice ukuran venti pesanannya. Ia butuh kesadaran penuh karena tak mau kali ini menimbulkan masalah yang akan membuatnya semakin berlarut-larut berurusan dengan salah satu anak Emir tempatnya tinggal. Tanpa ia sadari, Mansoor terus memperhatikan gerak-geriknya.
"Bagaimana? Apakah saya sudah dapat mendengarkan alasan mengapa kau sengaja menghampiri saya kemari?"
"Saya hendak meminta maaf atas ketidaksopanan yang saya lakukan," Mundika kembali menundukkan dirinya di hadapan Mansoor. "Yang pertama saya sudah menginjak kaki anda karena saya kesal dianggap anda hendak bunuh diri padahal yang saya lakukan hanyalah terapi menenangkan diri dan yang kedua karena saya menghiraukan anda yang sedang berpidato di ruang rapat tadi dengan melamun, oleh sebab itulah saya juga meminum kopi saya terlebih dahulu karena khawatir akan berbicara tidak sopan atau bertindak konyol lagi di hadapan anda Sheikh."
Mansoor yang terkenal jarang tertawa tak dapat menutupi kekehannya. Hal tersebut membuat para penjaganya saling bertatapan tak percaya bahwa tuannya ini bisa tertawa seperti itu. Gadis ini lucu, bagaimana bisa ia bertemu seseorang yang unik seperti ini? Kejujurannya sungguh diacungi jempol. Biasanya orang-orang yang berhadapan dengan dirinya akan memasang wajah palsu untuk menarik perhatiannya. Oleh sebab itulah ia selalu bersikap dingin kepada orang-orang yang mendekatinya. Meskipun tidak semua orang seperti itu ia perlakukan, karena ada beberapa orang juga yang jujur seperti gadis manis dihadapannya itu.
"Apakah Sheikh akan memaafkan saya?" Tanya Mundika penuh harap. Ayolah Tuan Besar, kumohon maafkan aku, aku tak mau membuat masalah yang lebih besar lagi, ya..., ya..., please, keluhnya berkomat-kamit dalam hati. Jangan sampai masalah ini terdengar oleh keluarga besarnya. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada ibunya yang memiliki posisi terlemah di keluarga besarnya.
"Siapa namamu tadi? Mun...Mundi...," Mansoor berusaha mengingat nama gadis ini. Namanya sedikit susah untuk dieja oleh lidahnya dan terdengar tidak familier ditelinganya.
"Mundika binti Dalmouk Sheikh," Jawab Mundika. "Saya adalah salah satu dokter yang bekerja di rumah sakit ini."
"Dalmouk? Apakah kau kenal dengan Dalmouk Al Hassimi?"
"Apakah Sheikh Mansoor mengenal Baba?" Oh tidak, apakah ia harus memohon dengan sangat kepada lelaki di hadapannya itu untuk tidak melibatkan ayahnya?
"Aku baru tahu jika Pak Dalmouk memiliki anak gadis bernama cukup unik sepertimu?" Mansoor mulai bertanya lebih dalam kepada Mundika. Wajah gadis ini memiliki keindahan tersendiri, perpaduan Arab dan Asia Timur. Dan semakin ia memandang Mundika, ia semakin terhanyut untuk terus menatap pemilik nama tersebut.
"Saya anak beliau dari...," Mundika merasa lehernya tercekat setiap kali ia mengungkapkan jati dirinya. "Istri kedua beliau yang berasal dari Indonesia," Matanya berubah nanar seolah ia baru saja menelan bulatan batu yang cukup besar namun berusaha ditutupinya dengan senyuman andalannya yang selalu berhasil menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
"Ooo, begitu," Mansoor mengangguk-anggukan kepalanya. Pantas saja nama gadis ini sedikit mengingatkan dirinya tentang Indonesia, sebuah negara dengan sebutan sepenggal surga dengan kekayaan alamnya yang berlimpah serta eksotisme pantai yang tak ia dapat di belahan negara manapun sejauh ini. "Baiklah, kau kumaafkan karena menghormati orang tuamu. Saya harap kau bisa menggantinya dengan bekerja lebih profesional lagi."
"Terima kasih Sheikh, atas kebijaksanaannya," Mundika menunduk dalam kemudian berdiri untuk berpamitan, sebuah attitude yang tak pernah ia temui selama hidupnya atau mungkin pernah ia menemukannya tapi entah di negara mana. "Kalau begitu saya pamit dulu, karena sudah waktunya saya kembali bekerja."
"Pergilah," Mansoor memberikan senyum tipis andalannya dan membiarkan Mundika berlalu dari hadapannya.
"Akhirnya lega juga!" Teriak Mundika sambil mengangkat kedua tangannya ke atas dan berjalan keluar cafe. Hal tersebut tak luput dari pandangan Mansoor yang hanya bisa geleng-geleng kepala. Kira-kira ia akan mendapatkan kejutan-kejutan apa lagi selama dirinya menjadi penanggung jawab yang baru di rumah sakit ini?
Mansoor kembali menikmati kopinya yang tertunda. Otaknya seperti sedang berpikir merencanakan sesuatu yang tak terbaca oleh para penjaganya. Sesuatu yang mungkin akan sedikit mengguncang keluarganya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!