Reani Felicita tidak pernah berpikir akan jadi seperti ini kehidupannya. Saat ini ia hanya bisa berjalan tanpa tahu kemana arah dan tujuannya hanya dengan sebuah koper berisikan pakaian dan buku-buku belajarnya sembari telapak tangan kirinya terus terletak diperutnya yang terlihat rata namun ada kehidupan di dalam rahimnya. Belum lama dan belum sampai sehari, ia sudah ditendang keluar oleh ibunya sendiri dengan tangis dan teriakan penuh serapah.
Di keadaan yang seperti ini wanita berusia 21 tahun itu tidak tahu harus kemana kakinya pergi. Setelah fakta yang terjadi padanya seketika menyapu habis kehidupannya yang tertata, ini semua karena kesalahan dan kepolosannya serta kecerobohannya dalam menjaga diri. Apa yang diharapkan pada usia setua ini jika tidak dapat menjaga nama baik? Reani berkali-kali menampar wajahnya sendiri demi meluapkan kekesalan hingga membuat bekas merah tamparan ibunya kembali merekah dan dibasahi oleh hujan serta air mata.
Langkah Reani terhenti disebuah gerbang besi yang menjulang cukup tinggi, terdapat papan nama kayu yang basah karena derasnya hujan sore ini bertuliskan biara D’Acqua Dolce. Bangunan yang disusu dengan batu bata itu berdiri kokoh di hadapan Reani. Pikiran wanita itu hanya tertuju pada satu pertanyaan, apakah di dalam sini benar-benar hidup dengan penuh kasih seperti yang mereka biasa perlihatkan pada orang-orang?
Reani terlalu banyak pikiran, tangannya pun terangkat memukul cukup keras pagar besi tersebut. Berkali-kali hingga terlihat samar dari arah pintu masuk keluar seorang wanita paruh baya berjubah hitam dan putih keluar sembari membawa lentera minyak menghampiri keberadaan Reani yang sudah sangat kacau.
“Suster Iriana…” lirih Reani pasrah ketika ia dengan jelas melihat sosok yang datang menghampirinya.
“Reani, apa yang terjadi?” ucap suster Iriana sembari membukakan gerbang dan menarik Reani masuk ke dalam kawasan biara.
Pemandangan kedatangan Reani memang tidak biasa dan menjadi pusat perhatian penghuni lainnya, akan tetapi siapa yang berani berbicara jelek di kawasan itu? Suster Iriana pun membawa Reani ke ruangannya dimana wanita basah kuyup itu diberikan handuk yang hangat dan dengan cepat suster Iriana membuat teh hangat.
“Apa yang terjadi Reani?” tanya suster Iriana sembari memberi gelas keramik berisi air teh yang panas ke kedua jemari Reani.
Wanita muda itu belum menjawab dan meraih gelas pemberian suster Iriana dengan tangan bergetar. Kedua bibirnya terlihat kaku dan sulit mengeluarkan kata-kata hingga membuat kedua bahunya bergetar hebat dan air mata mengalir dengan deras dari kedua matanya. Reani tiba-tiba sesegukan dan berusaha mengeluarkan kata-kata yang ada dikepala.
“Suster… saya tidak tahu… hiks! Saya merasa saya bodoh! Bahkan terlalu bodoh! Hiks!” ucap Reani penuh penyesalan dengan suara yang terbata-bata sembari menatap suster Iriana yang sudah duduk di hadapannya kini.
“Reani, pelan-pelan. Minum dulu tehmu sebelum dingin.” kata-kata lembut suster Iriana mampu masuk ke dalam diri Reani sehingga ia menuruti perkataan suster Iriana.
“Saat ini saya jelas menyadari kesalahan dan keteledoran saya dalam menjaga diri. Hiks! Suster! Bagaimana ini!? Hiks! Saya hamil! Saya tidak tahu kenapa saya bisa hamil!” Reani tidak bertele-tele, ia mengatakan keadaan dirinya dengan jelas dan suster Iriana sepenuhnya sadar mendengar pernyataan mengejutkan itu.
Jika Reani datang dengan penampilan seperti ini, suster Iriana dengan jelas dapat menyimpulkan bahwa kehamilan Reani tidak diinginkan oleh keluarganya. Jelas wanita itu sudah diusir keluar oleh keluarganya dan tidak tahu akan pergi kemana.
Suster Iriana menarik napas dalam-dalam, menghembuskan dengan perlahan agar tetap berkepala dingin.
“Reani, apa kamu tahu siapa yang ikut bertanggung jawab?” tanya suster Iriana.
Reani menjawab dengan air matanya yang deras kemudian menggeleng.
“Saya tidak tahu kapan dan dimana, semuanya samar-samar di kepala saya…”
Pagi itu yang Reani lakukan adalah pergi begitu saja tanpa ingin melihat siapa yang terlelap di sisinya tanpa menenakan sehelai benang pun. Reani bahkan tidak tahu kenapa ia bisa berakhir di sebuah kamar penginapan yang mana merupakan lokasi tempat ia merayakan ulang tahun salah satu teman sekelasnya.
Kini, pria asing itu meninggalkan jejak dalam diri Reani berupa janin yang tidak bersalah namun menghancurkan hidupnya.
Lantas siapa yang patut Reani salahkan?
Alasan kenapa ia bisa berakhir di kamar sialan itu tak luput dari kecerobohannya dan minuman alkohol yang membuatnya mabuk dan salah masuk kamar.
“Apa akan selesai jika saya mengakhiri hidup saya?”
Suster Iriana membelalakan matanya. Reani yang ia kenal bukan seorang wanita yang berpikiran pendek seperti ini.
“Reani! Jangan pernah kamu berpikiran seperti itu!” suster Iriana murka mendengar kata-kata pasrah Reani.
“Suster, saya tidak punya tempat lagi! Kemanakah saya harus pergi? Sementara keluarga saya sudah membuang saya hanya karena kesalahan ini!? Saya tidak tahu siapa ayah anak ini! Saya tidak ingat apa-apa!” Reani berulang kali mengusap air matanya yang tidak kunjung mereda.
Suster Iriana mendekati Reani, meraih telapak tangan yang dingin itu dengan menyatukan kedua tangan dan membuat arah tatapan wanita muda itu pada matanya.
“Kamu harus tahu Reani, nak. Tidak boleh kamu membunuh dirimu sendiri dan saat ini tidak hanya nyawamu sendiri yang kamu bawa. Hadirnya kamu ke sini, itu merupakan sebuah keputusan yang luar biasa. Tuhan akan membantumu, begitu juga dengan biara. Tinggallah disini sementara waktu sampai kamu siap kembali ke dunia luar, rawatlah anak ini, berikanlah ia pilihan hidup.”
Reani jelas mendengar nasihat suster Iriana padanya. Deras air mata tak kunjung berhenti karena perasaan yang bercampur aduk. Pandangan Reani tak lama ini terlihat gelap pada dunia sekitarnya, hingga akhirnya ia bisa melihat sedikit cahaya harapan pada kata-kata suster Iriana.
*
*
*
8 bulan kemudian
Sementara itu, dibelahan wilayah lain kota Acqua tepatnya disebuah markas yang tersembunyi. Terdapat di pedalaman pinggiran kota Acqua sebuah rumah megah dengan halaman yang banyak pepohonan hingga membuat halaman rumah tersebut rindang dan gelap hingga membuat orang-orang tersesat ketika memasuki gerbangnya. Rumah megah yang berdiri di tengah hutan seperti itu adalah milik seorang pria muda yang berdarah dingin, kejam, dan keji. Begitulah orang-orang dunia bawah Elemento mengenalnya, yaitu Dominic Venigais.
Dominic Venigais merupakan pria dengan kulit seputih pualam, rambut hitam dengan potongan pendek dan rapi, memiliki bentuk mata tajam dan bola mata abu-abu yang mirip dengan musim dingin mencekam, memiliki garis hidung yang lancip dan tegas, serta bibir yang sensual, serta ciri yang membuat seluruh organisasi dunia bawah mengenalnya adalah tato bunga mawar yang berada di belakang bahu kanannya. Tato itu terlihat tak kala ketika Dominic membuka bajunya setiap ia akan menghabisi para musuhnya.
Isu sifat dinginnya bukanlah isapan jempol belaka, sampai saat ini keputusannya untuk tidak menikah dengan para putri petinggi dunia bawah lainnya karena sifat dinginnya itu sendiri. Dominic tidak peduli dengan wanita, ia terlalu tidak peduli dengan wanita. Berpuluh-tidak, bahkan ratusan wanita yang didatangi padanya akan tetap ia diamkan.
“Ini sudah 8 bulan sejak kejadian itu!! dan kamu belum menemukan wanita itu!?” dominic menghantam mejanya keras ketika Michael yang merupakan sekretarisnya mengatakan belum mendapat kabar tentang wanita yang Dominic pikir telah melecehkannya pada malam 8 bulan yang lalu.
Michael adalah sekretaris pribadi Dominic, dimana Michael ini memiliki ciri berambut ikal dengan kulit putih dan mengenakan kacamata persegi panjang yang selalu bertengger dikedua telinganya. Michael memiliki suara yang lembut dan ringan serta tenang meskipun Dominic sering melampiaskan kemarahannya pada Michael dengan berteriak di depan wajah pria itu, Michael tetap melayani Dominic dengan baik. Bahkan isu mengatakan bahwa Michael adalah pasangan gay dari Dominic karena selalu bersama hampir di setiap waktu.
Michael juga sulit ingin mengatakan bahwa ia belum mendapat jejaknya. Hal itu karena Dominic sendiri tidak dapat menjelaskan secara rinci ciri-ciri dari wanita yang melecehkan atasannya itu.
“Bahkan dari para penari mereka tidak ada yang mengaku masuk ke kamar anda tuan.” jelas Michael.
Dominic meremas kertas yang terdapat di atas mejanya sampai remuk sebagai pelampiasan kemarahannya. Masih jelas di ingatan Dominic, ia terbangun dengan seluruh tubuhnya yang kesakitan dan kepala yang pusing serta tanpa mengenakan apapun di bawah selimut lalu menemukan secarik kertas permintaan maaf dari seorang wanita yang bahkan Dominic tidak ingat bagaimana wajahnya.
“Ia merupakan wanita yang memiliki aroma segar seperti jeruk dan daun mint. Bagaimana bisa kamu tidak bisa menemukanny!? MICHAEl!!!” murka Dominic tidak menggoyahkan langkah Michael untuk mundur dari hadapan tuannya dan masih bisa Michael bersikap tenang.
Michael sendiri paham betapa tingginya harga diri Dominic, menemukan diri tanpa busana di pagi hari dan secarik kertas berisi permintaan maaf singkat memang memalukan terlebih untuk seorang bos besar seperti Dominic.
Namun, disisi lain Michael juga kebingungan.
“Wanita dengan aroma jeruk dan daun mint tidak hanya satu saja tuan, bisa saja itu merupakan jebakan dari musuh.” ucap Michael tenang.
“Justru memikirkan jebakan dari musuh maka aku memintamu untuk mencarinya agar tahu apa saja yang ia dapatkan pada malam itu. Malam itu!! Meski tidak ada yang hilang, namun kotak tempat menyimpan surat perjanjianku dengan ketua geng kota Il Vento terbuka lebar!!”
Seperti yang dimaksud Dominic, ia memang tidak kehilangan barang, namun pagi itu ia menemukan sebuah kotak berisi surat perjanjian dan dokumen bisnis Dominic terbuka lebar dan terlihat berantakan. Rahasia penjualan, bisnis, dan lainnya, hal itulah yang Dominic khawatirkan. Meskipun sudah 8 bulan semenjak kejadian itu belum terjadi hal yang mencurigakan.
“Ini semua karena ulah nenek tua itu! ia pasti menjebakku dan membuatku mabuk lalu mengirim seorang penari yang ada di acara itu pada kamarku.”
Tidak ada yang Dominic ingat setelah ia berhasil bersepakat dengan ketua geng kota Il Vento. Dominic terlalu muak dengan para penari wanita yang diundang terus mendekat padanya dan menempel seolah tidak mau lepas. Minumannya malam itu seolah dicampur oleh sesuatu dan membuat Dominic hampir lepas kendali, karena mengantisipasi agar tidak terjadi hal yang tidak menyenangkan Dominic memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan beristirahat disana.
“Michael, sebelum semuanya menjadi buruk. Aku ingin kamu menemukan wanita beraroma jeruk dan daun mint itu secepatnya.” Sekali lagi Dominic memerintah.
“Lantas ketika ditemukan, apa yang akan anda lakukan?” tanya Michael.
“Perlukah kamu menanyakannya lagi untuk orang yang telah melecehkanku? Tidak ada baginya kesempatan untuk hidup lagi.”
To Be Continued.
Cuaca mendung nampaknya tidak hanya berada di pinggiran kota Acqua saja, hal itu juga nampak dari sebuah lokasi yang berada di dalam pagar tinggi istana kerajaan yang terletak di salah satu titik wilayah kota Acqua. Berdirilah sebuah istana yang sangat luas dengan pagar besi mengelilingi keseluruhan wilayah 5 hektar tersebut. Salah satu pemiliknya, yaitu ibu negara yang merupakan ibu tiri Dominic dan ibu kandung seorang pangeran mahkota nampak menikmati pemandangan langit mendung dari ruangannya yang disediakan jendela besar hingga menampakkan seluruh pemandangan luar istana.
“Apa benar berita itu?” tanya ratu negeri Elemento bernama Regina Fredda Mondo itu pada seorang pria paruh baya yang berstatus jenderal perang kerajaan yaitu Falco Aquila dimana pria tersebut merupakan kakak kandung ratu Regina.
Ratu Regina menggenggam erat cawan anggur yang ia pegang dengan geram.
“Takhta kerajaan tidak akan pernah bisa diduduki oleh anak haram itu.” geram wanita paruh baya itu.
“Rencana raja saat ini memang terdengar seperti isu di dalam istana dan sekelompok petinggi kerajaan, namun sumber isu dapat dipercaya bahwa raja Redel ingin mewariskan takhtanya pada Dominic.” jelas Falco.
“Jangan sebut namanya dihadapanku!” bentak ratu Regina dengan suara nyaring.
“Tidak ibunya dan anaknya sama saja! Merebut milik orang lain! kakak! Aku ingin kalian mengirim orang-orang untuk membunuhnya! Aku juga mendengar bahwa anak itu sedang mencari seorang wanita. Ini bisa saja menjadi jalan mempermudah rencana kita untuk menyingkirkan anak itu.” ujar ratu Regina sedetik setelah ia membentak kakaknya sendiri.
“Keberadaan anak itu tidak akan bisa membuat aman jalan putraku Coraggioso untuk menjadi raja, apapun itu aku akan menghancurkan hidupnya sampai lebur.”
*
*
*
Sementara itu di depan sebuah bekas gedung yang sudah rata dengan banyaknya sisa-sia kebakaran dapat diketahui penyebab hancurnya bangunan itu. Turunlah dua orang dari sebuah mobil yang mereka kendarai sendiri menatap lelah bangunan yang sudah rata dengan tanah tersebut.
Nampaknya itu kunjungan yang kesekian kalinya hingga kedua pria dewasa tersebut nampak jenuh.
“Apa bos tidak bosan?” tanya salah satu pria dengan tubuh yang gempal bernama Truppe pada rekannya yang kurus bernama Orso.
“Apa kamu memilih mati di tangan bosmu sendiri karena tidak menjalankan tugasnya?” ucap Orso sembari menyalakan rokoknya.
“Ah, kamu benar. Ada pilihan yang lebih baik dari pada mati cepat.” ucap Truppe pasrah.
“Ah! Bukankah itu! Halo kalian berdua!!”
Truppe dan Orso kompak terkejut melihat siapa yang menyapanya, ternyata dari kejauhan seorang wanita yang mengenakan jubah khas biarawati berwarna hitam dan putih serta diikuti oleh wanita muda yang sedang hamil besar. Kedua wanita itu semakin mendekat dan Truppe serta Orso kompak tersenyum hangat membalas senyuman ramah biarawati yang merupakan suster Iriana.
“Suster Iriana! Apa kabar?” tanya Truppe langsung membuang puntung rokoknya dan diikuti oleh Orso ketika menyadari keadaan dari wanita yang ikut dengan suster Iriana yaitu Reani itu sendiri.
Reani dan suster Iriana baru tiba dari pusat kota dengan menggunakan kereta dan berjalan dari stasiun menuju biara, saat ini mereka kebetulan bertemu dengan kenalan Truppe dan Orso.
“Kabar saya luar biasa, apa yang kalian berdua lakukan disini?” tanya suster Iriana berbasa-basi.
“Hehehe… hanya menjalankan tugas seperti biasa. Nampaknya kalian banyak belanja, kami akan mengantar kalian pulang.” Tawar Orso ketika melihat kedua tangan suster Iriana dan Reani penuh dengan barang-barang terlebih ketika melihat Reani yang sedang mengandung dan usia suster Iriana yang tidak lagi muda.
“Itu sepertinya akan merepotkan kalian, apalagi kalian sedang bekerja.” ujar suster Iriana tidak enak dan Reani hanya tersenyum saja.
“Tidak apa-apa!! Ayo naik saja! Tenang saja! Mobil kami tidak bau karena bos kami tidak menyukai mobilnya bau!”
Mau tidak mau Reani dan suster Iriana masuk ke dalam mobil milik Truppe dan Orso. Tentu saja seperti yang dikatakan, mobil tersebut tidaklah bau dan terasa nyaman ditumpangi.
Tak lama Orso dan Truppe mengantar ke biara dan membawakan barang-barang sampai ke depan gerbang karena mereka tidak dibolehkan masuk pagar biara.
“Kami sangat berterima kasih.” ujar suster Iriana.
“Terima kasih sudah mengantar.” ucap Reani.
“Tidak apa-apa, kami pergi dulu.”
Orso dan Truppe langsung pergi dan masuk ke dalam mobil dengan raut wajah yang sedikit resah. Keduanya terdiam sesaat ketika melihat Reani dan suster Iriana sudah masuk ke dalam gerbang dari dalam mobil lalu kembali menatap satu sama lain seolah memiliki pemikirannya yang sama.
Truppe yang berada di kursi setir mulai menyalakan mesin mobil dan meninggalkan biara.
“Baiklah, ciri-ciri yang tuan berikan memang sangat sulit untuk dicari. Bagaimana mungkin ada satu wanita yang hanya menggunakan aroma daun mint dan jeruk. Aroma itu sangat pasaran.” ucap Truppe.
“Tapi lebih tidak masuk akal ada wanita hamil disebuah biara biarawati yang mana tidak ada yang menikah.” sambut Orso.
Tiba-tiba Truppe mengerem mendadak mobil yang mereka kendarai hingga masing-masing kening keduanya terbentur ke depan.
“Truppe, apa yang harus kita lakukan?” tanya Orso.
“Wajah bos ketika membicarakan wanita yang ia cari lebih menyeramkan dari apapun karena bos selalu berada di level tertinggi kemarahannya.”
Truppe dan Orso pun sepakat untuk membanting setir menuju kediaman pemimpin organisasi besar Venigais mereka yaitu Dominic Venigais.
Akan tetapi, nampaknya bukan hanya mobil Truppe dan Orso yang meninggalkan biara. Tak jauh dari keberadaan mobil Orso dan Truppe, di dalam mobil misterius itu mereka mengambil arah berbeda dari Truppe serta Orso.
*
*
*
Kediaman utama Venigais atau tempat tinggal Dominic berada dipinggiran kota Acqua yang mana seluruh akses masuk memiliki penjagaan sangat ketat dengan banyak titik penjagaan yang memiliki senjata api, luas lahan dipenuhi pepohonan rindang dan hanya terdapat satu jalan selebar dua meter untuk akses masuk-keluar. Benar-benar lokasi kediaman yang terisolasi dari dunia luar dan tidak tertembus oleh orang biasa.
“Apa pak tua itu benar-benar datang?” tanya Dominic pada Michael yang merupakan asisten pribadi sekaligus merupakan sepupunya itu mengenai kedatangan banyaknya upeti di depan halaman rumahnya yang dipimpin oleh seorang pria yang Dominic panggil ‘pak tua’ itu dari ruang kerjanya yang berada di lantai dua gedung utama kediamannya.
“Benar, selain ingin mengirim upeti ke katedral, beliau ingin bicara denganmu.” ucap Michael.
“Baiklah, aku akan turun.” ucap Dominic memutuskan untuk turun menemui tamu yang tidak ia undang di ruang tamu.
Sementara itu di ruang tamu Dominic sudah dipenuhi berbagai macam peti kayu berisi barang-barang pangan dan sandang yang sedang diperiksa kembali oleh seorang pria paruh baya yang dipanggil Dominic ‘pak tua.
“Baiklah, apa semua sudah pas?” tanya pria paruh baya itu pada para bawahannya dan mereka semua kompak menjawab,
“Sudah.”
Pria itu merupakan Sicurezza Iupo, seorang Duke kerajaan Elemento yang memiliki wilayah kekuasaaan dan pengaruh cukup besar dibawah keluarga kerajaan juga sekaligus merupakan paman dari Dominic dan ayah dari Michael.
“Jadi apa tujuanmu adalah untuk membuat ruang tamuku ini sesak? Pak tua?” tanya Dominic dingin saat menuruni tangga ingin menghampiri Sicurezza.
“Ini adalah barang-barang katedral yang akan aku kirim. Beberapa sudah aku kirimkan, ini adalah susulan.” ujar Sicurezza.
“Kegiatan rutinmu itu apa harus aku selalu dengarkan? Karena kedatanganmu nampaknya ingin memberitahu sesuatu.” Selidik Dominic karena pamannya itu hanya menyengir.
Sebelum Sicurezza kembali berbicara ia mengisyaratkan pada seluruh bawahannya untuk mengosongkan ruangan dan meninggalkan ia, Dominic serta Michael. Tanpa menunggu lama, ruangan yang ramai itu senyap tanpa suara satupun orang.
“Dengar Dominic, Kubu Barat berencana mengangkatmu menjadi pangeran mahkota di bawah perintah Redel itu sendiri.” ucap Sicurezza.
“Situasi politik macam apa ini?” ucap Michael.
“Tidak seperti yang dibayangkan, raja memang mengangkat Coragiosso menjadi putra mahkota namun ia ingin mengubah itu sebelum ia meninggal.” jelas Sicurezza.
Ya itu benar, situasi politik macam apa ini? Dominic sendiri bukanlah seseorang yang haus akan takhta kerajaan karena ia sudah sibuk dengan urusannya sendiri.
“Ak-.”
Ucapan Dominic terpotong
“Bos!!! Kami menemukannya!!”
Pintu ruang tamu tiba-tiba terbuka lebar menampakkan Truppe dan Orso tanpa wajah berdosanya.
“Wanita itu!! kami yakin dia!!”
Suasana pembicaraan mereka berubah dari serius menjadi sedikit berantakan karena kepanikan Truppe dan Orso.
“Apa!? Wanita! Dominic!!” suasana hati Sicurezzo tiba-tiba berubah dan bersemangat menatap Dominic.
*
*
*
“Hmm… baiklah, aku mengerti.” ucap Sicurezza menatap Dominic setelah pria itu menjelaskan apa yang terjadi.
“Lalu, kamu ingin membunuhnya?” tanya Sicurezza penuh selidik dan cukup serius.
Truppe dan Orso hanya diam dibelakang melihat Dominic di interogasi oleh Sicurezza.
“Truppe! Orso!” panggil Dominic cukup keras.
“Iya bos!!”
Dominic melempar tatapan tajam pada kedua bawahannya.
Lalu sebelum Dominic memarahinya, Sicurezza menepuk bahu pria itu cukup kuat.
“Kita harus melihatnya secara langsung.” saran Sicurezza ingin mengambil jalan tengah dan kepastian.
Sicurezza pun keluar dari ruang tamu dengan siulan yang cukup ceria, menandakan perubahan hati pria tua itu menjadi sedikit bersemangat.
“Nampaknya dia senang.” Michael menyikut lengan Dominic dan menyusul langkah ayahnya.
*
*
*
Reani dan para suster yang tinggal di biara ternyata sedang melakukan bersih-bersih lingkungan di sekitaran biara sore itu. Tidak ingin berdiam saja, Reani ikut bersama suster Iriana menyapu halaman depan bagian gerbang sembari mengangkut beberapa kantong sampah di tong sampah pinggir jalan.
Reani yang tidak mampu mencium bebauan tajam seperti sampah hanya bisa bekerja dengan menutup wajahnya menggunakan masker untuk menutupi wajahnya. Saat Reani ingin menaruh kantong sampah pada tong, ujung matanya menatap sesuatu yang menarik perhatian.
Benda itu adalah sebuah sapu tangan berwarna perak terbuat dari sutra dan terasa lembut. Reani menoleh ke kanan dan kiri karena nampaknya sapu tangan ini tidak lama terjatuh hingga matanya menangkap sebuah punggung pria yang belum jauh melangkah.
“ Hey!” panggilan Reani yang pertama tidak digubris pria itu dan sedikit membuat Reani kesal hingga kembali Reani maju melangkah dan menurunkan maskernya sembari menghirup napas dalam.
“Hey!!! Pria dengan kemeja hitam dan celana hitam, putih, tinggi menjulang!!!” benar saja, langkahnya berhenti ketika Reani menyerukan.
Reani masih melangkah mendekati dan menyebutkan bahwa pria itu menjatuhkan sapu tangan yang sedang Reani pegang.
Tampan, begitulah yang Reani pikirkan ketika pria yang ia panggil menoleh menghadapnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Reani pun menyerahkan sapu tangan yang ia temukan dan pria itu hanya menerima tanpa membuka mulut sedikitpun.
“Ini milikmu bukan? Ada namanya disitu, tuan Venigais.” ucap Reani menunjukkan inisial dalam sapu tangan bertuliskan Venigais.
Bagaimana ini? Bukankah selama beberapa bulan ini, seluruh hati Dominic dipenuhi rasa benci yang ingin meledak dan menyelesaikannya dengan cepat. Mudah saja kedua tangannya mengakhiri wanita yang ada di depannya saat ini, namun Dominic malah merasa bahwa dirinya tidak ada bedanya dengan para pembunuh keji yang merenggut nyawa ibunya.
To Be Continued.
Sebuah mobil melaju memasuki kawasan kediaman Venigais pada malam yang tenang hari ini. Ternyata mobil yang disetir Truppe itu ditumpangi suster Iriana dan father Joan lalu berhenti tepat di depan pintu masuk utama kediaman dan disambut beberapa pelayan rumah Venigais.
“Selamat datang father Joan dan suster Iriana.” ucap Michael menyambut kedatangan keduanya.
“Selamat malam,” sambut keduanya.
“Silahkan masuk dan saya akan mengiring anda berdua ke ruangan tuan Venigais.”
Kedatangan suster Iriana dan father Joan tak lain adalah karena menerima kabar dari Venigais yang merupakan teman akrab keduanya dan membawa topik tentang Reani.
Sesampai di depan ruangan yang Michael maksud, pria muda itu membuka pintu dan mempersilahkan kedua tamu untuk masuk terlebih dahulu.
Di dalam ruangan itu sudah terdapat Sicurezza itu sendiri dan pria muda pemilik rumah yaitu Dominic. Situasi di dalam ruangan cukup serius dan berat yang akan menyertai pernyataan fakta yang sebenarnya.
*
*
*
Hari ke hari perkembangan janin di perut Reani semakin besar dan tibalah dimana harinya ia akan bersalin. Malam itu tepat di tengah malam, suster Iriana bersama dengan father Joan mengantar Reani pergi ke rumah sakit tepat ketika air ketubannya pecah dan siap untuk bersalin. Reani tahu inilah saatnya, segala cerita hidupnya berubah drastis karena apa yang ada pada dirinya akan lahir ke dunia yang kejam. Perasaan putus asanya beberapa bulan lalu tentang hidupnya hari demi hari terhapus dan tergantikan dengan rasa penantian akan seorang yang menjadi seluruh fokus kehidupan dan kebahagiaannya.
Tangan Reani tidak pernah melepas jemari suster Iriana meski ia merintih dan menahan rasa sakit yang luar biasa meski mereka sudah tiba dirumah sakit.
Di lain sisi, masih di waktu yang sama. Truppe membawa laju mobil yang ia setir menyesat di jalanan subuh yang sepi dengan tujuan rumah sakit yang sama dengan tempat Reani bersalin. Di belakang kemudi setir sudah ada dua pria yang memiliki perasaan berbeda.
Sicurezza dengan wajah gembira dan tidak sabarannya dan Dominic yang terlihat begitu cemas namun terlapisi dengan wajah dinginnya.
Beberapa minggu sebelumnya, masih Dominic ingat bagaimana ia menerima tamparan keras di pipinya dari suster Iriana ketika tahu bahwa ia yang menghamili Reani meski semuanya adalah kesalahpahaman dan berujung kecelakaan. Namun, tetap saja suster Iriana menampar Dominic karena tahu bagaimana Reani diperlakukan orang-orang disekitarnya dengan tidak layak hingga ingin membunuh dirinya.
Situasi Dominic yang tidak seaman itu, memutuskan Dominic memberikan pilihan bagaimana ia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dominic tidak atau belum akan mengambil Reani dan anak yang dikandung untuk tinggal bersamanya, melainkan akan membiayai segala kebutuhan wanita itu dan anaknya.
Alasan yang membuat Dominic membuat keputusan pengecut seperti ini tak lain adalah karena ancaman dari ratu Regina dan situasi politik yang menimpanya.
Awalnya suster Iriana tidak bisa menerimanya, namun tidak ingin memposisikan Reani kembali ke posisi yang sulit. Akhirnya suster Iriana ikut dengan rencana Dominic dengan syarat Dominic sendiri yang harus menjaga jarak dengan Reani dan anaknya nanti agar apa yang di khawatirkan Dominic dapat dihindari.
Masalah mengatakan kenyataan, itu akan Dominic pikirkan nanti bersama dengan apa yang ia dapatkan.
“Kita sudah sampai.” ucap Michael ketika mobil yang mereka tumpangi sampai di depan rumah sakit. Tanpa menunggu lama Dominic langsung membuka pintu mobil dan melompat keluar dengan perasaan gelisah dalam diam.
“Dominic, ingat janjimu dan tahan perasaanmu.” Dominic mendengar jelas ucapan Sicurezza, namun perasaan gelisahnya tetap saja ada.
Ketiganya akhirnya masuk ke dalam gedung dan menuju ruangan tempat dimana Reani dirawat.
Di depan ruangan itu sudah ada father Joan yang menunggu di depan ruangan.
“Duke Sicurezza, nak Dominic dan Michael, kalian datang.” ucap father Joan.
“Kami berangkat tepat setelah menerima telepon darimu. Jadi bagaimana?” tanya Sicurezza.
“Semuanya berjalan dengan lancar. Saat ini suster Iriana sedang menemani Reani diruangan, kita bisa masuk setelah suster Iriana membolehkan, kecuali Dominic. Kamu mengerti bukan?” tanya father Joan.
Dominic paham, bahkan kehadirannya saat ini sangat berbahaya untuk Reani dan anaknya.
“Aku akan disini saja, pak tua, bukankah sikapmu ini terlalu kentara?”
Dominic menyinggung sikap Sicurezza yang nampak sangat berbahagia.
“Dibanding rasa bahagiaku, apa yang lahir perempuan?” tanya Sicurezza penasaran.
“Tidak, yang lahir adalah seorang laki-laki yang sangat mirip dengan Dominic.” jawab father Joan sembari menatap Dominic bangga.
Sicurezza menepuk punggung Dominic sembari menyengir lebar dan Michael hanya tersenyum tipis.
“Kamu melakukannya dengan baik.”
Dominic tidak tahu apa yang harus dibanggakan saat ini. Semuanya adalah kecelakaan yang tidak disengaja. Wanita bernama Reani itu dicari Dominic sampai seluk beluk kota bahkan di luar kota.
Apa ia seorang ayah yang gagal?
“Kamu tahu Dominic, ibumu menyerahkanmu padaku tepat setelah kelahiranmu di dunia meski ia tahu bahwa ia diburu oleh orang-orang yang ingin membunuhnya.” ucap Sicurezza sembari mengusap punggung Dominic.
“Dan yang aku banggakan padamu adalah, kamu tidak menjadi mereka yang mengambil nyawa orang-orang tidak bersalah. Pilihanmu, adalah pilihan yang tepat karena itu aku bangga telah membesarkanmu.”
*
*
*
6 tahun kemudian,
“Apa ini?” Reani baru saja pulang dari kantor pos tempat ia bekerja menemukan lembaran soal matematika yang sudah terisi dengan nilai sempurna di ruang tamu biara.
Setelah menjalankan shift malam, Reani baru bisa pulang setelah shiftnya digantikan orang lain paginya. Nampak pada wajah wanita itu lelah dan sedikit serak suaranya.
“Reani, kamu sudah datang?” tanya suster Agatha yang muncul dari arah halaman belakang membawa sekeranjang sayuran untuk sarapan.
“Ah iya, selamat pagi suster. Aku menemukan lembaran ini, nampaknya milik salah satu calon biarawati.” Timpal Reani menunjukkan lembaran soal ujian pada suster Agatha.
“Jawabannya bisa kamu lihat di halaman tengah biara. Nampaknya Felix juga ada disana.” ujar suster Agatha kembali berjalan menuju dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.
Ketika mendengar nama Felix yang merupakan putranya, Reani mengikuti ucapan suster Agatha untuk pergi ke halaman yang berada di tengah-tengah antara gedung biara. Dimana di tengah halaman itu sedang ada penghakiman oleh seorang suster senior dimana terdapat beberaba gadis-gadis muda sedang berlutut dan di ujung barisan itu terlihat seorang anak kecil ikut berlutut juga.
“Sudah ku katakan! Kerjakan tugas kalian dengan jujur! Apa kalian tidak sadar tujuan kalian masuk kesini?!”
Suara teguran keras itu membungkam 5 orang gadis muda dan seorang anak kecil.
“Membuat anak kecil mengerjakan tugas kalian, apa itu masuk akal?”
“Ta-tapi Felix hanya ingin bermain dengan kakak-kakak.” sambut anak kecil di ujung barisan yang merupakan Felix Felicita putra dari Reani yang ia besarkan di biara.
“Benar suster ketua!! Kami tidak memaksa Felix, tapi ia ingin membantu kami agar bisa bermain bersama!!”
“Suster ketua, apa yang terjadi?” tanya Reani datang dengan perasaan bingung.
“Reani, aku tidak pernah menyalahkan keberadaan kalian berdua disini… hanya saja nampaknya kesekian kali dalam semester ini terjadi.” jelas suster ketua singkat namun Reani langsung memahami pokok permasalahannya.
Reani menatap putranya yang sedang berlutut namun mencuri-curi pandang dengannya dengan tatapan yang menggemaskan agar bisa diampuni.
Felix Felicita, itulah nama yang Reani berikan pada putra yang ia lahirkan 6 tahun yang lalu. Pertumbuhan dan perkembangan tubuh anak itu normal seperti anak lain pada umumnya, namun Reani menyadari bahwa perkembangan otak putranya ternyata sangat istimewa. Pemahaman dan daya ingat anak itu tidak main-main, potensi kemampuan sudah terlihat dari kecil. Putranya bahkan mampu menyusun puzzle untuk anak-anak usia 4 tahun pada usia 2 tahun dengan pemahanannya yang luar biasa. Lalu membaca tulisan sudah mampu Felix lakukan di usianya yang masih menginjak 3 tahun. Hingga kini, meski tidak selalu heboh. Setiap ada kekacauan di setiap semester pendidikan calon biarawati pasti ada Felix yang berjejer dalam barisan karena putra Reani itu sering kali menyelesaikan tugas dan ujian para calon suster.
Kepala Reani cukup sakit memikirkannya, saat ini Felix sudah semakin besar dan ia harus menempatkan anak itu pada tempat yang seharusnya yaitu sekolah. Persoalaan yang besar adalah dimana Reani bisa menitipkan putra satu-satunya ini?
“Aku akan pindah dari sini minggu depan suster kepala, namun sulit menemukan sekolah untuk Felix. Seusianya sudah mampu mengerjakan soal akademi menengah membuat kepalaku semakin sakit.” ujar Reani mencurahkan isi kepalanya pada suster kepala di halaman itu.
“Tidak masalah Reani jika kamu menempatkannya di sekolah umum. Meski ia memiliki kemampuan unik, namun emosi Felix masih seperti anak-anak umumnya.” ucapan suster kepala benar karena saat ini Felix masih suka bermain.
“Suster kepala!!! Suster kepala!!!” seruan itu berasal dari suster Agatha yang berasal dari dapur.
Nampak suster Agatha datang ke tengah halaman dan membuat seluruh penghuni biara yang mendengar ucapannya memusatkan perhatiannya pada dirinya yang sedang menghampiri suster kepala dan Reani.
Wajah suster Agatha terlihat pucat pasi, mulutnya ingin mengeluarkan kata-kata namun tidak dapat dikeluarkan begitu saja dan hanya sepenggal kata-kata.
Di tengah kebingungan dan rasa penasaran, tiba-tiba tangis suster Agatha pecah dan menggema keseluruh wilayah biara. Suster Agatha terduduk sembari memegang jubah suster kepala hingga membuatnya basah karena tangisan suster Agatha.
“Suster Iriana…beliau…ditemukan meninggal….ugh…” suster Agatha akhirnya menyatakan hal yang membuatnya menangis hebat seperti ini.
Dunia, apa ia tidak bercanda? Kenapa di telinga Reani malah terdengar seperti bualan?
Seluruh penghuni biara menjadi lautan tangisan dan memekakkan telinga, panggilan nama suster Iriana terus bersambut dengan pertanyaan mengaoa dalam hati.
“Suster, itu tidak mungkin bukan?? Benar begitu??” tanya Reani masih belum percaya dan panik.
Suster Agatha masih berlutut dihadapan suster kepala dan tidak mampu menjawab pertanyaan dari Reani sepatah katapun.
Benar, dunia tidak sedang bercanda dengan Reani.
*
*
*
“Mereka sudah bergerak, orang-orang dari ratu Regina.” ucap Michael setelah ia menerima telepon yang membawa kabar duka tentang suster Iriana.
Dominic memandang langit cerah pagi itu dengan perasaan campur aduk. Dunia memang bukanlah tempat yang menjamin keamanan. Namun bukan berarti tidak ada satupun tempat di dunia yang tidak layak untuk ditempati. Pasti ada suatu tempat.
“Michael, sudah saatnya aku membawa mereka.”
To Be Continued.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!