NovelToon NovelToon

TERJEBAK CINTA 2 PEWARIS

Dino Arman Putra Jaelani

Sinar matahari yang terik menyinari gedung-gedung pencakar lagit Indonesia. Tak jauh dari bangunan-bangunan gedung di kota ada sirkuit balap yang sedang sangat ramai.

Sirkuit balap itu cukup mewah dan besar, beberapa motor sudah saling menggerung, pebalap-pebalap itu sudah siap dengan posisi mereka.

Di antara mesin-mesin yang mulai menderu, mekanik yang sibuk, dan para pebalap yang bersiap di garis start balapan, Grid Girl yang mulai membawa payung-payung mereka dan berlenggang pergi.

Tak berapa lama kemudian. Aba-aba Start sudah di mulai. Para pebalap memutar gas mereka dan melaju dengan kecang.

Sorak sorai penonton menjadi kan siang yang panas semakin membara, apalagi jagoan mereka memiliki paras yang tidak di ragukan lagi ketampanannya.

Para wanita dan juga pria berteriak-teriak menyerukan nama jagoan mereka masing-masing. Namun, di dalam ruangan ber AC VIP ada 1 pria tampan duduk dengan tenang memperhatikan salah satu temannya bertanding.

Pria itu bernama Dino Arman Putra Jaelani. Pria yang duduk dengan tenang, dingin dan tidak memiliki ketakutan apapun, kecuali memutar gas motor balap nya lagi.

Pria tampan 24 tahun dan masih sangat muda, Dino salah satu anak dari Hartono Jaelani yang akan menjadi pewaris dari HARTONO JAELANI GROUP.

"Tuan Dino..." Sapa sang pengawal yang memakai setelan jas serba hitam dan memakai headset di telinganya.

"Tuan besar, meminta anda untuk pulang ke rumah utama." Sambung nya lagi.

Dino masih memperhatikan temannya memutari lapangan balap dengan motornya, Dino sendiri kini memilih untuk menjadi penyokong dana atau penyedia dana untuk team yang di naungi oleh temannya.

"Untuk apa pria tua itu menyuruhku pulang?"

"Katanya jika anda tidak segera pulang, anda akan kehilangan hak waris."

Dino menghela nafas nya panjang, wajah dinginnya berubah dengan senyuman yang menyeringai.

"Aku tidak yakin dengan itu, bahkan jika pria tua itu memberikan hak waris nya pada ku sebesar jari kelingkingnya saja, banyak senjata akan siap membidikku, pedang-pedang yang di sembunyikan di balik punggung mereka pun siap dihunuskan padaku."

"Tapi anda harus pulang tuan... Mereka sudah menunggu anda."

Dino memang sudah lama pergi dari rumah utama, hampir 4 tahun lebih ia memilih hidup sendiri di apartmen miliknya yang masih di bawah naungan HARTONO JAELANI GROUP.

Saat itu juga Dino berdiri dan siap pergi, pria itu memiliki tubuh tinggi semampai dengan kulit putih bersih dan juga otot yang bagus.

Namun, baru saja keluar dari ruangannya dan berjalan menyusuri koridor langkah kaki nya terhenti ketika ia melihat seorang gadis yang bekerja sebagai waitress berdiri dengan menundukkan wajahnya di depan seorang Manager wanita.

Manager wanita itu terlihat sedang benar-benar memaki habis-habisan sembari berkacak pinggang.

"Aku menerima mu karena Sasya orang yang paling profesional bekerja di sini, tapi kamu justru membuat kesalahan fatal!" Geram Manager tersebut.

Sang waitress hanya menundukkan kepalanya. Waitress itu menguncir ramput ala ekor kuda, memakai seragam waitress warna merah dan hitam, rok pendek selutut serta sepatu fantofel.

"Kamu bekerja hanya untuk satu hari tapi sudah membuatku rugi besar!  Kamu tahu tamu

yang sedang berada di dalam ruangan itu adalah tamu VIP! Apa salahnya jika dia hanya memintaku duduk menemaninya!" Teriak sang Manager lagi.

Dino berjalan dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, dan sedikit melirik ke arah waitress yang tanpa sengaja juga melihatnya.

Dino terus berjalan dan melewati mereka, ia tidak ingin ikut campur, Dino bukan lah pria yang suka tampil di depan umum menunjukkan dirinya.

Namun, saat kakinya sudah siap melangkah masuk ke dalam lift, pria itu memutar tubuhnya dan kembali.

"Berapa jumlah uang yang harus dia ganti."

Terdengar suara yang cukup rendah, tegas namun juga dingin.

Waitress itu melotot dan menoleh karena terkejut, sang Manager juga ikut melongo.

"Bu-bukan masalah uang tuan... Ta-tapi ini masalah tanggung jawab..."

"Berapa jumlahnya, sebutkan dan kamu harus meminta maaf padanya." Tatapan Dino dingin dan tak ingin di bantah.

Setelah sang Manager menyebutkan nominalnya, Dino menyuruh pengawalnya untuk mentransfer sejumlah uang yang di sebutkan.

Sang Manager pun meminta maaf pada Waitress yang sudah ia maki-maki. Kemudian sang Waitress mengikuti Dino dari belakang.

"Maaf kenapa anda membantu saya..." Tanya sang Waitress.

"Daripada bertanya sesuatu yang tidak penting, kenapa tidak ucapkan terimakasih saja." Kata Dino dengan tenang kemudian memencet tombol dengan ujung jarinya dan memasukkan tangannya kembali ke dalam saku

celana, lalu pintu lift pun menutup.

Saat di dalam lift Dino hanya menyeringai kan ujung bibirnya melihat gadis waitress yang dengan polos bertanya padanya tentang siapa dirinya.

"Dia sama sekali tidak mengingatku..." Kata Dino lirih.

"Ya tuan?" Tanya sang pengawal.

"Tidak apa-apa, kita langsung menuju rumah utama saja." Perintah Dino.

"Baik Tuan Dino..."

Perjalanan memakan waktu yang cukup lama, mengingat rumah utama berada cukup jauh. Pria itu duduk dengan tenang, gestur tubuhnya tinggi tegap, rahang nya yang kuat terlihat mempertampan wajahnya.

Dino hanya melihat pemandangan kota dari balik jendela mobilnya, banyak orang lalu lalang dengan kesibukan mereka masing-masing. Lalu banyak bangunan yang sudah tua namun masih kokoh di hiasi mural-mural tergambar di setiap dinding yang ia lewati di jalanan kota, mural yang bertebaran tentang kritikan mereka pada pemerintah,

atau mural tentang seni jalanan.

 Mobil sudah memasuki gerbang yang besar, mobil mewah itu pun melesat dengan elegan melewati jalan aspal yang halu, serta lahan yang sepi, hanya ada rumput hias yang luas dan pepohonan.

Sampailah Dino di rumah utama. Rumah mewah yang besar nan elegan dengan corak dan arsitektur ala Eropa. Dino keluar, memandangi rumah itu dengan tatapan nanar.

Sudah sangat lama Dino tidak menginjakkam kakinya di rumah tersebut, rumah itu hanya akan mengingatkannya kenangan akan sesuatu yang teramat menyakitkan.

Dino masuk dan para pelayan pun menyapa serta menunduk hormat padanya, mereka semua memberikan salam.

 "Selamat datang kembali Tuan Dino..." Sapa mereka dengan sopan.

Pria itu kemudian berjalan menelusuri koridor mewah, koridor yang memiliki lantai mozaik yang indah dan juga megah.

 Cahaya dan sinar matahari dengan leluasa memasuki koridor tersebut, terlihat pula pepohonan yang rindang membuat suasana semakin sejuk.

Sampailah Dino di depan ruang keluarga, para pengawal yang menjaga pintu besar itu pun membukanya. Pintu yang besar berwarna kuning, dengan ukiran-ukiran yang rumit.

Terlihat Hartono Jaelani duduk di atas kursi kebesarannya. Hartono pun sudah menaruh beberapa berkas di hadapannya, di atas meja marmer mahal berbentuk oval.

Terlihat juga Dirga Hartono Putra Jaelani sudah duduk di samping kanan.

"Kamu sudah datang Dino, duduk lah kemari." Kata Hartono menunjuk kursi kosong di sebelah kirinya.

Kemudian Dino menarik kursi perlahan dan ia pun duduk, pandangan matanya tak lepas dari mata elang sang kakak.

~bersambung~

Dirga Hartono Putra Jaelani

Dirga Hartono Putra Jaelani 28 tahun, memiliki paras tampan campuran Arab yang di dominasi dari gen sang Ibu. Pria itu duduk dengan tegap di samping kanan papanya yang tak lain adalah Hartono Jaelani, Dirga menatap tajam pada Dino yang sudah beberapa tahun mereka tidak pernah saling sapa.

Pertemuan itu adalah pertama kalinya bagi mereka sejak keluarga Hartono bercerai berai, dan kali ini Hartono akan memberikan tugas untuk anak-anaknya.

"Aku tidak ingin kalian bertikai, mulai hari ini kalian akan mempunyai tugas untuk mengambil alih pabrik."

"Pah...! Tidak mungkin aku bisa sejalan dengan Dino menjalankam pabrik itu! Papa janji menjadikan aku pemegang saham paling besar di pabrik itu!" Dirga mulai memanas.

Dirga memiliki obsesi yang cukup besar, ia sudah memiliki sedikitnya 10 perusahaan nya sendiri dan perusahaan itu tersebar di seluruh Indonesia.

Namun pria itu masih ingin menambah daftar perusahaan miliknya. Dirga memang pandai dan cerdas, ia bahkan menjadi pria paling muda yang masuk dalam kategori pria muda tampan yang paling sukses dalam majalah bisnis.

"Pelan kan suara mu Dirga, papa belum tuli." Kata Hartono.

"Aku tidak berminat..." Kata Dino.

Dirga hanya membalas Dino dengan mata elangnya yang siap merajam.

"Tidak ada penolakan di sini, Dirga dan juga kamu Dino, kalian harus mengurus perusahaan ini dengan baik. Aku sudah mengambil alih semuanya, dan aku akan sibuk di Singapura. Pabrik itu butuh seseorang untuk menjaganya. Setidaknya tidak ada kekosongan jabatan. Kalian akan pergi atau tidak itu terserah kalian." Kata Hartono yang kemudian mengakhiri kalimatnya dengan berdiri meninggalkan mereka.

Dino menelan ludahnya, duduk dengan santai menyandarkan lengannya pada kursi.

Dirga kemudian mengambil satu berkas dan meninggalkan ruangan tanpa sepata kata pun. Wajah dingin dan kesalnya tidak dapat ia tutupi.

Sedangkan Dino juga mengambil berkas miliknya, ia hanya membuka sekilas namun matanya tertuju pada nama seseorang. Berkas yang asal ia buka tepat di daftar nama pegawai pabrik tersebut.

Dino berdiri dan meninggalkan ruangan, ia menelusuri lobby dan melihat pengawalnya Emanuel masih menunggu dengan setia, berdiri tegap dengan setelan jas mahal serba hitam.

"Kita kembali ke apartmen." Perintah Dino.

"Baik tuan..." Sahut Imanuel pengawal setianya yang selalu di panggil Nuel oleh Dino.

Saat akan keluar Dino berpapasan dengan Dirga yang juga akan pergi keluar. Aura dingin dan saling tak akur mewarnai sekeliling mereka.

"Aku pikir kamu tidak akan datang, tapi ternyata muka mu tebal juga dan jauh lebih tidak memiliki rasa malu." Sindir Dirga yang berdiri tepat di depan Dino, Felix juga ada di sampingnya.

"Aku sedang malas berdebat, anggap saja aku tidak ada atau anggap aku bukan manusia dan tidak terlihat." Kata Dino malas dan berlenggang pergi.

"Aku sedang tidak bercanda!" Teriak Dirga

"Apa aku terlihat bercanda?" Tangkas Dino yang berbalik mendekat pada Dirga.

Mereka saling tatap, hati mereka memanas, otak dan pikiran mereka saling siaga, bahkah tubuh kekar mereka saling menegang.

Dalam diamnya mereka justru seolah sedang menggambarkan pertarungan, seolah-olah hanya dengan tatapan saja mereka menggambarkan sebuah pertarungan sengit satu lawan satu.

"Jangan memancing untuk berkelahi, kamu tahu aku juara taekwondo!" Kata Dino.

"Siapa yang takut!" Dirga melemparkan tatapan dinginnya.

"Aku tidak suka rumah ku di jadikan ajang perkelahian, kalau kalian mau berkelahi akan ku buatkan ring pertandingan." Kata Hartono yang menyaksikan dari ujung tangga di lantai atas.

"Aku sudah selesai!" Kata Dino dan berlenggang pergi.

Dino masuk ke dalam mobil mewahnya, dan Noel mulai menekan gas meninggalkan rumah besar yang penuh dengan sejuta memori dan tragedi.

Dalam perjalan pulang, Dino masih mempelajari berkas yang ada di tangannya. Pabrik tersebut berada di kawasan industri yang sangat jauh dari pemukiman. Lahan kawasan industri juga sangat luas, sedangkan pabrik berdiri di tanah yang sudah di beli.

"Sangat strategis, bagaimanapun pabrik ini juga akan jatuh di tangan Dirga." Kata Dino menyeringaikan bibirnya.

"Tapi ada sesuatu yang membuatku penasaran." Sahut Dino lagi yang kemudian menutup berkasnya.

 

***

Di lain tempat seorang gadis sedang mengemasi barang-barangnya yang ada di dalam loker. Gadis itu hendak pergi namun ponselnya berdering.

"Nindya bagaimana pekerjaan paruh waktu mu?"

Tanya seorang wanita di ujung ponselnya.

"Maaf Sasya, sepertinya aku tidak cocok dengan pekerjaan ini, baru sekali masuk kerja sudah membuat kesalahan."  Kata Nindya menyesal.

"Tidak apa-apa, yang penting semua masalah sudah selesai kan, memang tamu VIP selalu seperti itu, pasti suka menggoda karyawan yang masih baru dan polos, untung kamu belum menjadi karyawan kontrak dan hanya beberapa jam saja mengambil pekerjaan itu, aku yang seharusnya meminta maaf."

Kata Sasya lagi.

"Aku hanya ingin mencari uang tambahan tapi sepertinya aku harus fokus bekerja di pabrik dulu Sasya, maafkan aku dan terimakasih banyak. Semoga lain waktu aku bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu lagi yang lebih cocok saat aku libur kerja dari pabrik." Sambung Nindya.

"Iya, aku janji akan mencarikanmu pekerjaan yang lain Nindya yang lebih aman untuk kamu, maafkan aku Nindya. Sudah dulu ya, aku sedang membantu acara ulang tahun keponakanku. Sampai jumpa lagi Nindya, telfon aku jika kamu butuh sesuatu."

Sasya mengakhiri panggilannya.

"Hm... Hari ini sudah cukup dan aku harus pulang, kali ini aku harus benar-benar fokus bekerja di pabrik, tidak usah mencari tambahan uang dulu, toh jika pabrik lembur gajinya sudah lumayan." Kata Nindya yang kemudian memanggul tasnya ke bahu.

Nindya pulang mengendarai motor bututnya, melewati jalanan kota yang cukup panas dan berpolusi. Nindya adalah gadis tangguh, tulang punggung keluarga yang dengan ikhlas merelakan masa remajanya dengan bekerja. Cita-cita sederhana, menjadi orang sukses agar dapat membantu melunasi hutang-piutang orang tuanya. Namun, ternyata tidak sesederhana itu, semua yang ia hadapi sangatlah sulit.

Perjalanan cukup lama dan akhirnya Nindya sampai di desanya, gadis itu sangat ingin secepatnya istirahat. Kakinya sudah sangat pegal karena memakai sepatu fangofel yang cukup tinggi.

Nindya masuk ke dalam rumah dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang sederhana miliknya.

"Astaga... Lelahnya..."

Kemudian Nindya berdiri dan berjalan ke arah dapur, ia merasakan tenggorokannya sangat kering bahkan ludahnya sampai mengering.

"Di jalan panas banget makin bikin tambah lemas!" Kata Nindya mengambil air minum dari teko kemudian ia tuangkan ke dalam gelas dan meminumnya dengan cepat.

"Segarrr...." Katanya.

Setelah cukup beristirahat Nindya mengganti bajunya dan ingin keluar berjalan-jalan di desanya.

Saat libur bekerja Nindya memang selalu meluangkan waktunya untuk berjalan-jalan di dekat rumahnya hanya sekedar melihat suasana yang sejuk dan melihat persawahan yanga membentang luas atau melihat anak-anak yang sedang bermain, setidaknya sekedar melepaskan penatnya, itu sudah cukup.

~bersambung~

Pertengkaran yang tidak asing

Di sebuah desa yang cukup jauh dari suasana keramaian kota, beberapa anak bermain dengan canda dan tawa penuh kerenyahan. Para anak laki-laki dan perempuan bermain petak umpet, ada yang bermain lompat tali, ada juga yang bermain polisi dan penjahat.

Dibawah pepohonan rindang yang berdiri dan berbaris kokoh, tanah kering yang sudah di siram dengan air agar tidak berdebu, membuat semuanya terlihat segar.

Beberapa pancaran-pancaran sinar matahari menerobos masuk dan terasa hangat dari celah-celah dedaunan. Udara di pedesaan masih alami dan sejuk, belum terjamah oleh polusi seperti di Kota.

Nindya Ayu Sukmawati, usia nya 22 tahun, duduk sendirian di atas mistar berubin tepatnya ada di samping rumah kuno sederhana yang terbuat dari kayu. Sesekali senyuman ringan mengembang dan melukiskan kecantikan wajahnya.

Nindya memiliki paras cantik, dengan kulit kuning langsat dan memiliki rambut sebatas bahunya. Namun kesehariannya, ia lebih memilih mengikat rambutnya.

Leher mulus dan jenjang terlihat indah, ketika Nindya mengikat rambut menjuntai ke atas ala ekor kuda.

Nindya adalah salah satu gadis paling cantik di desanya, tepatnya Desa Suka Gendang. Nama Suka Gendang di ambil dari para leluhur yang dulunya desa tersebut warganya selalu bermain gendang hingga akhirnya tersebutlah nama Suka Gendang.

Nindya mengamati anak-anak yang sedang bermain dan terlihat bahagia, mengingatkannya ketika masih kecil, meski masa kecilnya tidak terlalu bahagia namun tidak seberat yang ia lalui ketika telah menjadi dewasa.

"Nindya, kamu sendirian saja di sini, memangnya lagi libur kerja? " Kata seorang wanita paruh baya yang sedang mencari anaknya.

"Iya kebetulan pabrik sudah selesai ekspor." Kata Nindya ramah.

"Ohh.. Begitu, biasanya tanggal merah atau hari minggu kamu tetep kerja." Kata tetangga Nindya dengan tersenyum.

Nindya memang cukup menjadi bintang di desanya, karena keramahan kesopanan dan tentunya karena wajah cantiknya.

"Dodit ayo pulang dulu, kalau main itu ingat waktu sekarang sudah siang, makan dulu, sholat dzuhur baru tidur siang!" Teriak Budhe Sri.

"Iya maak..." Teriak Doditdan berlari menuju ke arah amaknya.

Nindya melihat bagaimana Ibu dan anak yang saling bergandengan, saling menyayangi dan sang ibu selalu memperhatikan anak nya, membuat hati Nindya ingin kembali ke masa kanak kanak. Meski masa kanak-kanak nya tidak terlalu indah, namun tidak seberat yang ia jalani sekarang.

"Hmmm..." Nindya menghela nafas panjangnya.

Gadis itu kemudian berdiri untuk pulang menuju rumahnya, dengan sedikit perasaan kelegaan dalam hati karena sudah cukup lama bersantai dan tersenyum melihat anak-anak bermain. Kini hati nya sudah cukup ringan.

Namun ketika Nindya sampai di halaman rumahnya.

"PRANGG!!”

“PYARRR!!"

Langkah kaki gadis itu seketika terhenti. Sudah tidak asing bagi Nindya mendengar sesuatu yang pecah dari dalam rumahnya.

Nindya sama sekali tidak terkejut, ia sudah hafal dengan keadaan dan kondisi di dalam rumah yang ia tinggali selama 19tahun, perasaan sedih yang sangat dalam kembali menyeruak di wajahnya, hatinya yang kian lelah semakin tenggelam dalam lubang yang gelap.

Perlahan Nindya melangkahkan kakinya untuk masuk sembari mencengkram gagang pintu dengan tangannya yang memiliki jemari lentik.

Terlihat emak dan bapaknya sedang saling memaki satu sama lain. Beberapa perabotan sudah di banting, dan pecahan piring sudah berserakan, barang-barang lainnya pun sudah berceceran.

Pemandangan yang sudah biasa bagi Nindya selama 22 tahun ini, namun entah mengapa meski

sudah sering kali gadis itu mendengar kalimat kasar dan teriakan serta makian, atau melihat pemandangan tersebut tetap saja tubuhnya masih gemetaran, dan dengan cepat Nindya merasa menggigil ketakutan.

Para orang tua itu mengacuhkan kedatangan Nindya yang berjalan melewati mereka, gadis itu memilih membungkam mulutnya dan masuk ke dalam kamar.

Setelah Nindya mengunci pintu, kemudian ia menyalakan radio, mencari saluran musik, dan memutar volumenya dengan cukup keras, gadis itu meraih selimut dan menutupi tubuh serta telinganya.

Samar-samar Nindya masih mendengar teriakan dan makian dari orang tua yang seolah sudah saling membenci. Terlebih emaknya yang jika marah dan emosi selalu berteriak histeris dan menangis meraung-raung. Tak jarang emaknya juga lah yang sering membanting barang dan mencakar-cakar.

Nindya merasa sangat malu ketika orang tua nya selalu bertengkar dan saling berteriak, apalagi tak jarang para tetangga selalu menatap sinis padanya.

Beberapa jam sudah terlewati, kini hanya terdengar suara emaknya yang menangis tersedu-sedu di ruang dapur. Sudah tidak ada keributan dan makian, tandanya salah satu pihak pasti memilih untuk pergi.

Nindya kemudian mematikan radio bututnya yang beberapa sisi nya di tutup dengan lakban, ia bangun dan membuka pintu, gadis itu berjalan keluar dari kamar dan menuju kamar mandi ingin membersihkan diri, namun ia lebih dulu mendatangi emaknya.

Sebagai anak yang ingin berbakti, Nindya pastilah tidak tega, sebagaimana pun kedua orang tuanya selalu menyiksa batinnya tetap saja mereka adalah orang yang telah memiliki peranan besar dalam hidupnya.

Setiap kedua orang tuanya bertengkar, emaknya selalu menginginkan Nindya untuk mendengar dan

menyaksikan mereka, entah Nindya pun tidak mengerti untuk apa.

Bahkan sering sekali ketika Nindya masih bersekolah di Taman Kanak-Kanak ia justru dipaksa untuk melihat bagaimana emak dan bapaknya bertengkar. Harus melihat jika tidak emaknya akan marah pada Nindya.

"Mak..." Kata Nindya lirih sembari ikut duduk di lantai yang terbuat dari ubin berwarna hitam.

"Ini uang untuk Emak." Kata Nindya.

Namun emaknya masih diam, mencengkram rambutnya yang lebih di dominasi dengan warna putih, masih menangis dan terisak.

Nindya kemudian bangun memilih pergi untuk membersihkan dirinya. Tak terlihat batang hidung bapak nya. Mungkin seperti biasanya. Bapaknya memilih pergi menenangkan diri di sungai atau di tempat lain yang sekiranya cukup sepi.

Nindya tahu, setiap mereka bertengkar tidak lain dan tidak bukan pasti hanya masalah uang, hutang piutang mereka terlalu banyak hingga yang mereka lakukan sejak Nindya masih kecil hanyalah bekerja dan bekerja.

Setelah Nindya selesai membersihkan dirinya, Nindya berpakaian casual, celana jeans panjang dan t-shirt pendek dengan jaket andalannya.

Gadis itu mengendarai motor nya, entah mau kemana karena pikirannya kalut. Dulu sewaktu masih kecil ketika emak dan bapaknya bertengkar Nindya tidak dapat pergi kemanapun dan sepanjang hari tersiksa dalam ketakutan yang mencekam karena emak nya bersikeras bahwa Nindya harus melihatnya.

Sekarang Nindya sudah dewasa dan ikut menjadi tulang punggung keluarga, tidak ada lagi yang mengatur nya, kini gadis itu lebih memilih untuk pergi dan mencari ketenangan.

Tak terasa motornya telah pergi begitu jauh dan hanya berputar-putar, namun kemudian ingatannya terpikirkan suatu tempat dan seolah ada energi yang lain membuat gadis itu tiba-tiba mulai bersemangat, ia memutar gas motor nya sedikit lebih dalam membuat motornya pun melaju lebih cepat.

Akhirnya sampailah dia di sebuah cafe yang berada di dekat persawahan.

 

~bersambung~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!