Hidup menuntutnya untuk bekerja di usia yang masih belia. Tinggal berdua dengan sang Ibunda yang memiliki penyakit parah membuatnya harus bekerja sedikit lebih giat untuk bisa memenuhi kebutuhan.
Sepulang sekolah, ia pasti akan pergi ke sebuah kelab malam di kawasan kota New York, USA, untuk bekerja sebagai bartender. Namun, terkadang ia dipaksa untuk menyanyi jika tidak ada yang menghibur para pelanggan di sana. Dan yang pasti, ia akan memperoleh tip dari beberapa pelanggan tetap tempat hiburan itu.
Dia adalah Agnese Camila Fernandez. Gadis berusia tujuh belas belas tahun, blasteran Indonesia-Spanyol yang bermukim di USA. Statusnya masih sebagai seorang pelajar di sebuah sekolah ternama di sana. Sejak sang ayah meninggal, ia harus membiayai sekolah sendiri. Setiap pulang kerja, ia akan menyisihkan uang yang didapatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga masa depannya.
Saat ini, Agnese sedang berada di sekolah. Ia memanfaatkan waktu luang untuk menyalurkan hobi. Jarinya dengan lihai menari di atas kertas gambar sehingga membentuk sebuah gambar yang sangat Indah. Gambarannya tampak begitu rapi dan hampir seperti dengan bangunan yang asli. Hanya berbeda di skala dan warna saja. Saat tengah menggambar, ia dikagetkan dengan suara teman sekelas yang memanggil namanya dengan heboh.
"Agnese!"
Teriakan itu membuat Agnese mendongak untuk menatap teman sebangkunya. Sebelah alis terangkat menandakan ia sedang bingung kenapa temannya berteriak seperti tadi.
"Ada apa? Kau membuatku kaget!" seru Agnese dan kembali lanjut menggambar.
Yoana Xalvadora adalah satu-satunya teman yang masih mau berteman dengan Agnese sejak keluarga Agnese mengalami kebangkrutan.
Yoana mendudukkan bokongnya di kursi yang berada di samping Agnese lalu menghela napas pendek. "Kau harus tahu berita besar ini!"
"Berita besar seperti apa yang kau maksud, Yoan?" Agnese yang berhasil menyelesaikan gambarnya langsung menutup buku gambar dan fokus pada topik yang akan disampaikan Yoana.
"Anak dari pemilik sekolah akan datang dalam waktu dekat, Agnese!"
Agnese memutar bola mata dengan malas saat mendengar ucapan Yoana yang menurutnya sangat tidak penting. Ia memilih mengambil ponsel di saku kemeja lalu memainkannya. Ponsel lebih menarik perhatiannya saat ini daripada harus mendengar ucapan tidak penting Yoana.
"Ck! Kenapa kau tidak antusias mendengar berita ini? Sungguh, semua murid di sekolah tengah membahas berita ini sekarang."
Yoana kembali berbicara untuk menyita perhatian Agnese. Namun, semuanya sia-sia karena Agnese hanya fokus menatap wajah tampan dari para anggota boyband favoritnya, One Direction. Ia mengembuskan napas kasar. "Kau menyebalkan sekali, Agnese! Dari tadi aku berbicara padamu, tapi kau tak mendengarnya."
Agnese beralih menatap Yoana yang sedang memasang wajah kesal. Biarlah sekarang ia mengerjai sahabatnya itu. Karena Yoana tak kunjung mengubah mimik wajah, ia mencubit kedua pipi Yoana dengan gemas. "Memangnya pemilik sekolah ini memiliki wajah bak Dewa Yunani? Kenapa kau sangat antusias memberitahuku berita tentangnya?"
Yoana tersenyum sebab Agnese sudah merespons ucapannya. Ia membalikkan badan lalu menatap Agnese dengan penuh semangat.
"Memangnya kau tidak pernah melihat pemilik sekolah ini?" Agnese menggeleng karena memang sama sekali tidak tahu-menahu tentang pemilik sekolah itu. "Ya ampun! Pantas saja kau bersikap biasa saja saat aku memberi tahu tentangnya," lanjut Yoana seraya terbelalak.
"Untuk apa aku tahu soal pemilik sekolah ini? Yang aku tahu, aku hanya harus belajar dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita yang diinginkan Ayah melalui sekolah ini."
Setiap menyebut kata 'Ayah', Agnese pasti akan mengingat kejadian di mana nyawa sang ayah melayang karena melindungi dirinya. Sosok yang selalu menjaganya sewaktu kecil telah pergi untuk selama-lamanya. Tak ada lagi tawa dan kasih sayang dari seseorang yang begitu disayangi. Bahkan ia belum sempat membalas budi atas semua yang telah beliau lakukan untuknya walaupun ia tidak akan pernah bisa membalas apa yang sudah dilakukan oleh almarhum ayahnya.
"Maafkan aku, Agnese," lirih Yoana karena benar-benar merasa bersalah pada Agnese.
Yoana tidak bermaksud untuk membuat Agnese merasa sedih dan mengingat semuanya. Ia hanya ingin Agnese ikut merasakan kebahagiaan yang tengah dirasakan semua murid yang ada di sekolah. Ia merentangkan tangan dan dengan senang hati, Agnese langsung memeluk tubuh sahabatnya itu.
"Tidak apa, Yoan. Aku sudah berjanji pada mendiang Ayah untuk tidak terus larut dalam kesedihan yang mendalam. Karena aku tahu, dia juga pasti akan merasa sedih di sisi-Nya."
Ucapan Agnese membuat Yoana merasa iba. Saat pertama kali Agnese berkunjung ke rumah Yoana, ia pasti akan selalu memberi tahu jika Agnese boleh menganggap kedua orang tuanya sebagai orang tua Agnese juga.
Air mata yang sedari tadi tertampung di kelopak mata Agnese, akhirnya tumpah juga. Namun, dengan segera ia menyeka air mata itu. Ia melerai pelukan lalu beralih tersenyum untuk mengelabui orang di sekitarnya jika ia sedang baik-baik saja. Padahal jika terus memerhatikan matanya, terserat sebuah kesedihan dan juga ketakutan di sana. Ia berusaha tegar untuk terus melanjutkan hidup. Biarlah kejadian kelam di masa lalu menjadi kenangan untuk kehidupan yang lebih layak ke depannya.
"Agnese, apa kau merasa lapar?"
Agnese menggeleng lalu menyunggingkan senyum. "Aku tidak merasa lapar sama sekali," kata Agnese dengan tenang.
Yoana mengangguk. "Kalau begitu, aku pergi ke kantin, ya?"
Agnese hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Yoana. Setelah itu, Yoana berlalu pergi meninggalkan Agnese yang masih setia memandangi ponsel. Mulutnya memang mengatakan jika ia tidak merasa lapar. Namun, hulu hatinya sudah terasa perih sejak tadi pagi karena dari semalam ia belum menyentuh makanan sedikit pun.
...🍒🍒🍒...
Tidak lama lagi, jam pulang akan segera tiba. Para murid sudah bergegas mengemasi buku termasuk Agnese. Bertepatan dengan Agnese yang selesai berkemas, bel pulang berbunyi.
Agnese menyampirkan tas di kedua bahunya lalu beranjak keluar kelas bersama dengan Yoana. Mereka berjalan seraya berbincang dengan topik yang sangat tidak penting.
Yoana yang mendapat julukan Mrs. Up To Date, terus saja menceritakan berbagai kejadian yang terjadi di sekolah. Tentu saja berdasarkan pengamatannya sendiri yang disebar melalui aplikasi Instagram.
Saat asyik tertawa, ada yang meneriaki nama Agnese. Dia adalah Mrs. Ernesta, guru yang aktif dalam bidang kesenian. Guru itu berjalan menghampiri Agnese dan Yoana yang berdiri di ujung koridor.
"Agnese, semua orang tahu kemampuanmu dalam bernyanyi. Jadi, kau terpilih untuk menampilkan bakat bernyanyimu di depan pemilik sekolah nanti. Kau mau, 'kan?"
Agnese terlihat menghela napas. Ia tidak suka jika menunjukkan bakat yang dimiliki. Ia lebih memilih untuk memendam bakatnya daripada harus disaksikan oleh orang lain. Sebab ia mengalami trauma yang suka menghantui dirinya jika sedang menunjukkan bakatnya.
Yoana menyikut lengan Agnese agar sahabatnya itu segera menerima tawaran yang diajukan Mrs. Ernesta.
"Akan kuusahakan, Mrs. Ernesta," jawab Agnese dengan senyum yang tercetak di bibir mungilnya.
Mrs. Ernesta mengangguk seraya tersenyum. "Kuharap, kau tidak mengecewakanku sebagai guru kesenian, Agnese."
Setelah mengatakan itu, guru kesenian berlalu meninggalkan Agnese yang masih berpikir tentang penawaran yang berlaku untuknya.
"Terima saja, Agnese! Ini kesempatan yang sangat langka. Aku saja mau mendapat tawaran seperti ini, tapi kau tahu sendiri bagaimana suaraku, he-he!" Yoana berusaha memengaruhi Agnese agar mau tampil dalam acara penyambutan pemilik yayasan sekolah.
"Huft! Baiklah, aku akan tampil di acara itu."
"Kau memang sahabat terbaikku, Agnese. Aku yakin, setelah penampilanmu nanti, haters-mu akan berkurang drastis."
Yoana mengatakan itu dengan penuh keyakinan. Namun, Agnese tidak bisa yakin dengan apa yang diucapkan sahabatnya itu. Karena bisa saja orang yang membencinya semakin bertambah.
"Aku tidak yakin dengan hal itu," kata Agnese lalu berjalan mendahului Yoana.
Yoana tak tinggal diam, ia segera menyusul Agnese yang sudah sedikit jauh dari tempatnya sekarang. "Jangan bicara seperti itu, Agnese! Kau dan semua orang juga tahu kalau haters adalah penggemar rahasia. Mereka hanya iri pada kemampuan yang kau miliki karena mereka belum tentu dapat melakukan apa yang kau lakukan. Lagi pula, mereka hanya bisa mengandalkan mulut, bukan otak."
Agnese berhenti melangkah lalu kembali merengkuh tubuh Yoana. "Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa kalau kau tidak ada di sisiku, Yoan. Hanya kau yang mau berteman denganku setelah kemalangan menimpa keluargaku. Terima kasih, Yoan."
"Hei! Kau tidak perlu berterima kasih seperti ini, Agnese. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu hanya karena kau sudah hidup dalam kekurangan. Sudah tugasku sebagai seorang sahabat untuk menguatkan dan membantumu bangkit dari keterpurukan yang menimpamu."
Ucapan Yoana kembali membuat Agnese meneteskan air mata. Namun, kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan yang. Ia sangat bahagia dan bersyukur mendapatkan sosok sahabat seperti Yoana Xalvadora.
Yoana selalu membantu saat dirinya mendapat kesusahan. Yoana tidak pernah meninggalkan dirinya dalam kesedihan. Jika Yoana pergi dari hidupnya, entah apa yang akan ia lakukan.
Agnese sudah menganggap Yoana sebagai saudara perempuannya. Jadi, jika Yoana meninggalkan dirinya, ia akan merasa sangat sedih. Namun, ditinggalkan oleh Ayah dan Kakak lelakinya jauh lebih sedih.
Setelah pelukan mereka terurai, keduanya kembali mengayunkan kaki untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Agnese, kau pulang denganku, ya?" Yoana kembali mengajak Agnese untuk pulang bersama.
"Tidak perlu, Yoan, aku bisa pulang sendiri. Kau pulang saja!"
Agnese menolak ajakan Yoana bukan tanpa alasan. Ia tidak mau terus-terusan menyusahkan Yoana. Sudah beberapa tahun belakangan ini, ia terus saja meminta bantuan pada Yoana dan keluarganya. Dengan berat hati, Yoana kembali pulang ke rumah dengan menaiki mobil yang dikendarai oleh sopir pribadinya.
Agnese mulai berjalan menyusuri jalan yang lumayan ramai sore itu. Berjalan kaki bukanlah hal yang menakutkan. Justru dengan berjalan kaki, ia merasa lebih sehat. Meskipun ia lelah berjalan, ia tetap bersemangat mengayunkan kaki melewati trotoar yang mengarahkannya kembali ke rumah.
Ia berjalan sambil sesekali bersenandung mengikuti alunan lagu melalui earphone yang terpasang di kedua telinganya. Hitung-hitung sekalian berlatih untuk penampilannya nanti di acara penyambutan pemilik yayasan sekolah.
***
Di tengah perjalanan menuju rumah, Agnese menyempatkan diri untuk singgah di sebuah mini market dan membeli makanan yang akan dimasak khusus untuk Briza, ibunya. Setelah membeli yang dibutuhkan, ia kembali melanjutkan langkah dengan menenteng barang belanjaan.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di rumah. Setelah menyimpan tas, Agnese segera menuju dapur untuk memasak. Uangnya hanya cukup untuk membeli dua kaleng sardèncis. Ia mengambil masing-masing dua siung bawah putih dan bawang merah, kemudian mengupasnya sebelum mengiris tipis. Setelah itu, ia menumis bawang dan segera memasukkan satu kaleng sardèncis yang dibeli tadi.
Agnese menyiapkan sebuah piring untuk menyajikan ikan kaleng buatannya. Selagi menunggu ikan kaleng itu matang, ia menyempatkan diri untuk membuat bubur nasi instan. Ia membuat bubur nasi agar Briza bisa dengan mudah menelan. Setelah semua selesai, ia menaruh semangkuk bubur nasi dengan lauk ikan kaleng di atas nampan.
Agnese berjalan menuju kamar sang ibunda dengan santai. Senyuman tidak pernah lepas dari bibirnya jika berhadapan dengan Briza. Semua dilakukan agar Briza tidak semakin tertekan jika melihatnya bersedih.
Agnese menarik kursi yang berada di sisi kanan ranjang tidur Briza. "Mom, makan dulu, ya? Agnese akan menyuapimu," ucap Agnese yang langsung mendapat tatapan sendu dari Ibunya, Briza.
Briza tersenyum melihat anaknya yang tumbuh semakin cantik. Ia mengangguk saat Agnese memintanya untuk makan. "Kau sudah makan, Honey?" tanya Briza pada Agnese yang masih fokus menyuapi dirinya dengan bubur.
Agnese tersenyum seraya mengangguk. "Iya, sudah. Sekarang Mommy makan yang banyak agar cepat sembuh."
Briza mengangguk dan kembali menerima suapan demi suapan dari Agnese hingga bubur nasi dan juga sardèncis itu tandas.
"Istirahatlah, Agnese akan mandi," kata Agnese lalu beralih mencium kening Briza.
Agnese keluar dari kamar sambil membawa nampan yang tadi dipakai saat mengantar makanan. Saat tiba di dapur, ia menyendok sisa bubur yang ada di panci ke dalam mangkuk. Ia pun makan dalam diam hingga merasa kenyang. Setelah itu, ia langsung membersihkan peralatan masak dan makannya. Saat sudah bersih, ia mengayunkan kaki menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Agnese membersihkan tubuh dan segera bersiap untuk berangkat kerja malam nanti. Sebelum berangkat ke tempat kerja, ia menyempatkan diri untuk mengerjakan tugas rumah yang diberikan oleh Mr. Alex. Setelah semua siap, ia langsung turun ke lantai bawah dan menghampiri Briza. Meski sampai sekarang Briza belum mengetahui pekerjaan apa yang digeluti, ia merasa tetap harus berpamitan agar nantinya tidak dicemaskan.
Agnese berjalan menuju kelab malam tempatnya bekerja. Saat tiba di sana, ia segera mengganti baju. Setelah itu, ia segera menuju bar untuk melayani para pengunjung yang ingin minum minuman keras seperti wiski, vodka, anggur, wine, bir dan masih banyak jenis lainnya.
Dentuman musik tengah mengalun di kelab malam itu membuat banyak pengunjung ikut menggerakkan tubuh seirama dengan alunan musik yang lincah. Apalagi yang telah dikuasai oleh minuman keras, mereka berjoget lebih lincah.
"Saya pesan vodka, Nona. Tolong kau ambilkan lima botol," pinta seorang pria yang duduk di depan bar dengan setelan pakaian serba hitam pada gadis yang sedang menuangkan wine ke gelas kosong.
Agnese mengangguk lalu bergerak mengambilkan lima botol minuman keras asal Rusia yang bernama vodka itu. Setelah mendapatkan yang diinginkan, pria itu mengeluarkan beberapa lembar pecahan seratus dolar lalu menyerahkannya pada Agnese.
Agnese menerima uang itu dan langsung menghitungnya.
"Maaf, Tuan, uangmu lebih," kata Agnese sambil menyodorkan kembali sisa uang yang pria itu miliki. Namun, pria itu menanggapi dengan gelengan kepala.
"Tidak usah. Anggap saja itu sebagai tip untukmu," tolak pria itu dan langsung melengos pergi.
"Hei! Aku tidak bisa menerima uang ini, Tuan."
Agnese berteriak berharap pria itu kembali dan mengambil kelebihan uang. Namun, teriakannya tidak berhasil membuat pria itu kembali. Dengan pasrah, ia memasukkan kelebihan uang itu dalam saku seragamnya. Baru saja beberapa saat terduduk, manager kelab malam menghampiri sambil bersedekap.
"Ada apa, Mr. Adrian?" tanya Agnese saat Adrian baru saja tiba di hadapannya.
Adrian menatap Agnese selama beberapa detik. Ia memerhatikan penampilan Agnese malam ini. Ia berdeham sebelum berbicara sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana yang dikenakan.
"Apa kau siap menjadi singer lagi, Agnese? Kurasa kau tidak keberatan dengan pertanyaanku ini."
Dengan susah payah Agnese menelan salivanya. Ia tidak siap untuk menjadi penyanyi saat ini. Ia sudah merasa tidak enak badan sejak kemarin malam. Namun, ia tetap memaksa diri untuk tetap pergi bekerja agar semua kebutuhannya bisa terpenuhi. Ia termenung memikirkan keputusan apa yang akan diambil, tetapi Manager itu justru membuat lamunan yang berlabuh buyar seketika.
Agnese menengadah lalu menatap Adrian dengan sedikit takut. Jika menolak keinginan sang Manager, maka ia harus kembali menelan pil pahit jika tidak mendapat upah pada hari itu. Namun, jika menerima permintaan itu, sama saja jika dirinya menyerahkan tubuh untuk disaksikan para pria hidung belang yang tersebar di sana.
Agnese bingung, tetapi harus mengambil keputusan untuk masa depannya. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya sebelum berbicara.
"Maaf, Tuan, tapi aku tidak bisa melakukan pekerjaan itu sekarang," tolak Agnese dengan halus, tetapi justru membuat darah Adrian mendidih karena tidak suka dengan penolakan.
Adrian yang mendengar itu langsung memukul meja bar yang ada di hadapannya. Agnese tersentak mendengar pukulan yang Adrian layangkan pada meja bar tak berdosa yang menjadi sasaran kekesalannya malam itu.
Terlihat jelas di mata Adrian jika sedang marah besar. Namun, ia menahannya karena tidak ingin menyakiti Agnese dan membuat Agnese keluar dari pekerjaannya. Jika sampai terjadi, maka pemasukan yang ada di kelab malam itu bisa berkurang drastis. Karena banyak pengunjung yang datang ke sana hanya untuk menikmati kecantikan dan kemolekan tubuh Agnese sekaligus menikmati minuman keras yang disediakan.
"Kenapa tidak bisa? Tumben sekali kau tidak mau. Kau tahu? Kau adalah maskot di kelab ini. Jadi, apa pun yang kau lakukan, bisa mendatangkan banyak uang." Adrian berusaha memengaruhi Agnese.
Agnese tersenyum menanggapi ucapan Adrian. "Maafkan aku, Tuan. Kurasa dengan menjadi bartender saja sudah cukup. Aku tidak perlu menjadi penyanyi di sini. Karena kemampuan menari dan suaraku juga masih minim sekali. Kau bisa meminta para penari di sini untuk menghibur tamu, Tuan. Biarkan aku melaksanakan tugasku dengan baik sebagai bartender."
Adrian menghela napas dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Baiklah, aku terima keputusanmu, tapi aku harap kau tidak akan berhenti dari pekerjaanmu. Karena kau telah terikat kontrak dengan kelab ini."
"Baik, Mr. Adrian," kata Agnese sebelum Adrian kembali ke ruangannya.
Setelah melihat Adrian kembali masuk dalam ruangannya, Agnese baru bisa bernapas lega karena Adrian tidak memaksa untuk menghibur para pengunjung. Ia terus melanjutkan pekerjaan hingga jam kerja yang dikantongi selesai.
***
Setelah semua pekerjaan selesai, Agnese bergegas menuju ruangan khusus untuk para pekerja di kelab malam. Ia mengambil baju di dalam loker kemudian mengayunkan kaki menuju kamar mandi dengan senyum yang terus mengembang. Bagaimana, tidak? Hari ini ia sudah mendapat tiga kali tip lebih dan ia bersyukur karena tanpa menggerakkan tubuh di depan para pengunjung, ia bisa mendapatkan tip lebih.
Selepas mengganti baju, Agnese kembali berjalan untuk pulang ke rumah karena besok harus kembali bersekolah. Ia berjalan dengan terburu-buru karena berharap cepat tiba di rumah tanpa ada halangan. Saat melewati sebuah gang kecil, ia merapatkan jaket yang dipakai dan sesekali menengok ke belakang karena merasa jika ada orang yang mengikutinya. Ia mempercepat langkah begitu melihat ada bayangan di aspal.
Namun, ia kalah cepat dengan orang itu. Mereka berjumlah enam orang sementara Agnese hanya seorang diri. Ia tidak tahu harus berbuat apa karena telah dikepung oleh mereka dengan membentuk sebuah lingkaran.
"Ayo, Nona. Bersenang-senanglah dengan kami," ujar salah satu pria yang mengelilingi tubuh Agnese.
Dalam hati, Agnese terus merapalkan doa. Baru saja merasa senang karena mendapat tip lebih, sekarang ia sudah berada dalam masalah lagi.
Ya Tuhan, kumohon datangkan siapa saja untuk membantuku melawan mereka. Aku tidak mau mati sekarang.
Agnese melihat dagunya disentuh oleh pria berkepala pelontos yang berdiri di samping kanan. Saat pria yang lain hendak menyentuh, ia memalingkan wajah. Alhasil, pria itu hanya sempat menyentuh rambut. Namun, itu kesempatan bagi pria yang berkepala pelontos untuk menjambak rambutnya hingga mengaduh kesakitan.
Air mata Agnese sudah keluar membasahi wajah cantiknya karena menerima perlakuan kasar dari mereka dan karena ketakutan. Pria yang berbadan lebih besar dari yang lain maju dan mencengkeram dagunya. Karena ia terus saja meronta, kedua tangannya langsung dipegangi oleh dua pria yang lain.
"Rupanya gadis cantik ini lebih suka bermain kasar daripada lembut," ucap pria berbadan besar itu seraya membelai pipi Agnese.
"Tidak! Kumohon lepaskan aku. Jangan menyentuhku!"
Agnese memohon dengan keadaan yang sangat menyedihkan. Kedua tangan dipegangi, dagu dicengkeram, dan rambut yang masih ditarik setelah dijambak tadi. Saat pria yang berdiri di hadapannya hendak mencium bibir, tiba-tiba terdengar suara ban mobil yang berdecit sehingga membuat mereka berbalik badan untuk melihat siapa yang telah menganggu.
Tak lama kemudian, seorang pria turun dari dalam mobil berjenis Maserati GranCabrio. Dengan santai, ia membuka kacamata lalu menempatkannya di kerah sweater yang digunakan. Ia adalah salah satu orang yang paling penting di negara USA. Namun, keenam pria mabuk dan Agnese tidak terlalu mengenalinya. Maka dari itu, mereka terlihat santai saat melihat kedatangannya.
Agnese semakin merasa takut karena terdapat pria lain. Namun, ia tidak tinggal diam, ia justru memanfaatkan situasi yang ada dengam menggigit tangan dan menendang orang yang menahannya. Setelah berhasil, ia berlari kencang agar segera menjauh dari tempat itu.
Pria yang bersandar di depan mobil tersenyum penuh kemenangan saat melihat aksi Agnese meloloskan diri. Ia melihat keenam pria itu mencoba mendekatinya. Tidak ada rasa takut sedikit pun yang terpancar dari wajah mulus nan tampan yang dimiliki. Saat pria pelontos berdiri di depannya, ia hanya menatap tajam pria itu dengan mata elang yang dimiliki.
Pria berkepala pelontos itu tampak takut, tetapi tidak menunjukkannya. Dengan keberanian yang melekat, ia mengepalkan tangan dan langsung melayangkan bogeman mentah ke wajah pria tampan di hadapannya. Namun, saat jarak kepalan tangan masih berjarak sekitar tujuh senti, ia langsung menangkis kepalan tangan dan memutar tangan pria berkepala pelontos itu.
Melihat temannya kesakitan, pria yang lain maju untuk menyerang pria yang datang bersama mobil mewah. Namun, pria bermobil begitu mahir dalam melawan keenam pria bejat yang suka mengganggu para gadis yang melintas di sekitar gang di sana termasuk Agnese yang hampir menjadi korban mereka.
Pria bermobil sempat lengah hingga terkena satu pukulan tepat di pipi kanannya. Namun, ia tidak langsung membalas, ia justru menunggu rasa sakit di pipinya menyebar. Semakin merasa sakit, maka kemarahan yang ada dalam dirinya akan semakin memuncak.
Sebelum pergi dari sana, Agnese tinggal menyaksikan pertarungan yang terjadi di depan gang kecil itu. Ia meringis sakit saat melihat wajah pria bermobil terkena bogeman dari salah satu pria mabuk di sana.
Dalam waktu singkat, pria bermobil berhasil melumpuhkan keenam pria itu. Ia kembali memakai kacamata yang sempat dilepas lalu masuk ke dalam mobil hitam dan mengendarainya dengan kecepatan pelan. Sambil mengendarai, ia celingak-celinguk untuk menemukan keberadaan Agnese yang sempat kabur dari kepungan keenam pria mabuk tadi.
Agnese kembali berjalan sambil terus merapatkan jaket yang dipakai untuk menghalau dinginnya malam. Saat berjalan, ia dikagetkan dengan mobil hitam yang tiba-tiba berhenti di hadapannya. Dengan sangat terpaksa, ia berhenti melangkah karena mengenali pengendara mobil itu.
"Sebaiknya kau ikut denganku, Nona." Pengendara mobil itu turun sambil bersedekap di depan pintu.
Agnese memutar bola mata saat mendapat ajakan dari pria itu. "Maaf, Tuan, kurasa kau tidak perlu repot-repot menawarkanku untuk ikut bersamamu. Aku bisa pulang sendiri."
Agnese kembali melangkah, tetapi dihalangi oleh pria bertubuh yang lumayan besar itu. Ia berkacak kesal saat melihat pria itu semakin membuatnya terlambat untuk tiba di rumah.
"Kenapa kau tidak mau pulang bersamaku? Tidak usah khawatir, aku hanya ingin memastikanmu tiba di rumah dengan selamat. Setidaknya aku bisa memastikan komplotan pria mabuk tadi tidak mengikutimu."
Agnese tersentak begitu mendengar pria bermobil menyebut sekelompok pria tadi. Ia mengembuskan napas kasar. Mau tidak mau ia harus ikut dengan pria yang ada di hadapannya.
Demi keselamatanmu, Agnese. Kau harus ikut dengan pria ini.
Agnese mengangguk dengan ragu. "Baiklah, aku ikut denganmu. Maaf kalau aku merepotkanmu. Kau sudah dua kali membantuku hari ini, Tuan."
Baik Agnese maupun pria itu sama-sama tersenyum. Agnese menyunggingkan senyum terima kasih, sementara pria itu menyunggingkan senyuman penuh kemenangan karena gadis di hadapannya mau pulang bersama.
"Akan lebih baik kalau kau ikut denganku dari tadi. Kau tahu? Aku tidak suka dengan penolakan," kata pria itu sambil membukakan pintu mobil untuk Agnese.
Agnese masuk dan duduk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Pria itu berjalan setengah memutari mobil dan masuk ke dalam. Ia memasang sabuk pengaman sebelum mengendara. Namun, ia tak kunjung melaju. Ia justru tinggal bersedekap dada sambil menatap Agnese dari balik kacamata yang digunakan.
Agnese merasa heran dengan pria yang duduk di sampingnya karena belum juga melaju. Ia kembali mengembuskan napas karena mulai kesal sebab pria itu tidak kunjung menyalakan mesin dan mengantarnya pulang.
"Kenapa kau tidak mengendarai mobilmu, Tuan?" tanya Agnese pada akhirnya karena sudah tidak ingin berlama-lama di dalam mobil pria itu.
"Bagaimana aku bisa mengendarai Arnold kalau penumpangku belum memastikan keselamatannya?"
Agnese mengernyit saat mendengar ucapan pria itu.
Arnold? Siapa lagi itu? Tuhan, kenapa hari ini kau mempertemukanku dengan orang asing yang aneh?
Karena pria itu melihat perubahan ekspresi yang terjadi pada wajah Agnese, ia tahu apa yang Agnese pikirkan. Ia terkekeh sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang berputar di pikiran Agnese.
"Mobil yang kau naiki saat ini adalah Arnold. Dia yang kau tanyakan, bukan? Kurasa tebakanku benar," kata pria itu seraya tersenyum.
Mata Agnese terbelalak saat apa yang ia pikirkan diketahui oleh pria itu.
Dasar pria aneh. Benda mati saja diberi nama. Siapa tadi namanya? Arnold? Sepertinya nama mobil ini lebih keren daripada namanya sendiri.
"Terserah kau mau menganggapku seperti apa. Yang jelas aku tetap memiliki wajah tampan yang sudah tidak bisa diragukan lagi."
Kurasa dia memang orang yang aneh.
"Percaya dirimu terlalu tinggi, Tuan. Kuharap kau tidak akan merasa sakit hati kalau sebuah kenyataan menamparmu dengan hebat."
Pria itu tersenyum menanggapi ucapan Agnese lalu mencondongkan tubuhnya. Agnese yang menyadari pergerakan tubuh dari pria itu langsung memejamkan mata. Setelah terdengar suara klik, pria itu kembali menegakkan tubuh lalu kembali terkekeh saat melihat Agnese memejamkan mata.
"Bukalah matamu! Kau pikir aku akan menciummu? Sebegitu tampankah aku sehingga kau ingin merasakan sensasi ciuman hangat dari bibirku ini?"
Secara spontan, Agnese memanyunkan bibir ke depan, kemudian memalingkan wajah ke sebelah kanan untuk melihat hamparan jalan. Ia tidak habis pikir dengan pria yang menolongnya. Bagaimana bisa pria itu selalu tahu apa yang dipikirkan? Ia mengakui jika tadi mengira pria itu akan menciumnya. Tidak apa, bukan? Lagi pula memang terlihat seperti ingin menciumnya.
"Sepertinya kau memang ingin dicium. Kemarilah," kata pria itu sambil memajukan tubuhnya ke arah Agnese.
Deru napas Agnese terdengar berat karena sangat kesal. Ingin rasanya ia menguliti tubuh pria itu. Sayangnya, mereka sedang berada dalam mobil dan tenaga yang dimiliki tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengannya.
Pria ini berniat mengantarku pulang atau hanya ingin bermain saja, sih?
Agnese menggerutu dalam hati karena hingga sekarang mobil yang dinaiki belum jalan sedari tadi. Ia sudah sangat lelah dan tubuhnya sudah pegal. Ia harus segera tiba di rumah dan mengistirahatkan tubuhnya agar besok saat bersekolah, ia bisa fokus.
"Ah ya, kurasa kau sangat lelah. Akan kuantar kau sekarang," ucap pria itu dan langsung mengendara dengan kecepatan sedang.
Tak selang beberapa lama setelah pria itu berkendara, Agnese tertidur dengan pulas. Pria itu tidak ingin Agnese merasa tidak aman berada di dekatnya. Jika ia hanya seorang diri dalam mobil, maka kecepatan yang dipakai tidak tanggung-tanggung. Ia menoleh ke kanan untuk melihat wajah Agnese yang terlihat polos ketika tertidur. Sebenarnya ia juga kasihan pada Agnese.
Namun, karena wajah Agnese terlalu menggemaskan saat diajak bercanda seperti tadi, membuatnya ingin terus menggoda. Sekarang ia sedang kebingungan. Bagaimana cara agar bisa tahu di mana rumah Agnese jika orang yang ingin diantar sedang tertidur pulas? Ia menghela napas panjang lalu mengusap wajah dengan gusar.
Sebaiknya aku bawa dia ke rumah.
Pria itu terlihat mengambil sesuatu di dalam dashboard. Ia menekan tombol yang ada di earphone lalu menyematkan di telinga kirinya. Begitu teleponnya diangkat, ia langsung berbicara.
"Gal, tolong siapkan kamar tamu. Tidak lama lagi aku segera tiba," ucapnya lewat panggilan suara yang dilakukan bersama Galeno, kepala mansion yang bekerja di sana.
Setelah mengatakan itu, ia segera mematikan panggilan suara dan kembali fokus mengemudi sambil sesekali menoleh pada Agnese yang masih tertidur pulas.
Wajah Agnese begitu tenang. Berbeda dengan tadi saat berada di antara kumpulan pria yang mabuk itu. Ia terlihat begitu ketakutan. Untung saja dirinya tak sengaja lewat di sana. Jika tidak, entah bagaimana nasib gadis itu. Mungkin sudah habis diperkosa di tangan para pria mabuk itu. Namun, semua hanya sebuah kemungkinan yang belum sempat terjadi karena kehadiran pria yang begitu penting.
Tak butuh waktu lama untuk tiba ke mansion. Mobil sudah berada di luar gerbang. Ia kembali membuka dashboard dan mencari sesuatu. Setelah menemukan yang dicari, ia kemudian memencet tombol yang ada di remote. Secara otomatis, pintu gerbang terbuka dengan sendiri.
Ia pun kembali mengendarai mobil hingga masuk dalam pekarangan rumah dan tak lupa juga kembali memencet tombol agar gerbang tertutup. Ia segera turun dari mobil dan berjalan setengah memutar. Ia membuka pintu dengan hati-hati agar Agnese tidak sampai terbangun.
Pria itu menggendong tubuh Agnese dan segera berjalan masuk ke dalam rumah besar nan mewah yang biasa disebut mansion. Saat masih di depan pintu utama, ia kembali memencet remote agar pintu terbuka dengan sendiri tanpa harus menyentuh engsel yang ada di sana. Rumah itu memang telah dirancang khusus oleh salah satu arsitek terbaik yang ada di negara Italia. Ia juga menyediakan para pekerja di sana masing-masing satu remote untuk memudahkan pekerjaan mereka.
Galeno yang melihat tuannya tiba langsung menghampiri. Ia tersenyum seraya membungkukkan badan. Ia tetap melakukan hal itu meskipun tuannya sudah melarang. Namun, sebagai tanda hormat, ia terus saja melakukannya.
"Apa kamarnya sudah siap?" tanya pria itu sambil terus menggendong tubuh Agnese.
"Sudah, Tuan," jawab Galeno.
Pria itu mengangguk lalu mengayunkan kaki menuju kamar tamu yang telah disiapkan oleh pelayan yang ada di sana. Begitu tiba di kamar, ia merebahkan tubuh Agnese di atas pulau busa yang empuk. Tak lupa juga menutupi tubuh Agnese dengan selimut hingga sebatas leher.
Galeno dari tadi terus saja bertanya dalam hati tentang gadis yang bersama tuannya itu. Sepanjang ia bekerja dengan tuannya itu, baru kali ini ia melihat sang tuan pulang bersama seorang gadis.
"Dia gadis yang aku tolong di jalan. Jagalah dia, aku ingin istirahat," kata pria itu lalu berjalan keluar dari kamar tamu menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!