NovelToon NovelToon

Playboy Jatuh Cinta

Pertemuan pertama

Pagi itu, Arthur sudah terlihat rapi, mengenakan seragam sekolah putih abunya, tak lupa sepatu putih yang melekat di kedua kakinya, lalu menunggangi kuda besi kesayangannya yang diberi nama Axel.

"Mang, berangkat!" Teriaknya pada mang Ramlan, security yang berjaga digerbang pintu rumahnya.

"Siap den!" Balasnya, sembari menutup pintu gerbang, lalu menguncinya.

.

.

Disekolah seperti biasa, Arthur selalu menjadi pusat utama perhatian para cewek-cewek sekelas, maupun adik kelasnya.

Meski julukan Playboy sudah melekat permanen dalam diri Arthur, namun mereka tak peduli.

Bahkan sebagian dari mereka ada yang terang-terangan, mengatakan langsung pada Arthur, dengan suka rela untuk menjadi cinta satu malamnya.

.

.

Di kantin..

"Thur, si Vinna nangis terus tuh, kagak terima dia elo putusin gitu aja, kasian tahu dia." Seru Ardi dengan wajah yang dibuat iba.

"Terus lo pikir, gue peduli!" Balasnya datar, sembari meniup-niupkan kepulan asap rokok yang sedang dihisapnya.

"Kebiasaan lo, disaat cewek lagi sayang-sayangnya malah lo tinggalin."

"Salah sendiri, jade cewek baperan!" balas Arthur sarkas.

Yang disambut gelak tawa oleh Damian dan Seno.

"Elahh elo Di, kaya yang baru kenal si Arthur aja, mana pernah dia peduli sama perasaan cewek." ucap Seno.

"Gila lo ya, udah berapa puluh cewek yang udah lo bikin nangis kek gitu?" Damian ikut menimpali.

"Kagak ngitung gue!" jawabnya santai.

"Bangsad, banget lo!"

"Gue sumpahin kena karma lo!" celetuk Seno, sembari terkekeh.

"Anjir parah bats lo Sen," Ardi menggeleng-gelengkan kepala.

"Asli gue juga sependapat sama lo bro, tos dulu dong!" Damian mengangkat tangannya, sambil tergelak.

"Biar tahu rasa tuh bocah." lanjutnya, yang disertai kekehan ketiganya.

Sedangkan yang menjadi bahan omongan mereka hanya acuh, asik menikmati sebatang rokok yang terselip di jari tangannya, tanpa berniat membalas ucapan mereka.

"Thur, lo yakin kagak takut karma?" seno kembali berujar.

Lagi-lagi Arthur tak peduli, ia hanya menoleh sekilas sembari mengangkat sebelah alisnya, setelah itu kembali menghisap rokoknya acuh.

"Hati-hati lo ya, sekarang emang hampirg semua cewek-cewek disekolah ngejar-ngejar elo, tapi gue yakin suatu saat dunia lo bakalan kebalik, giliran elo yang bakal ngemis-ngemis minta perhatian tuh cewek." lanjut Seno.

"Kagak bakalan!" ucapnya, beranjak pergi dengan tangan kirinya yang mencangklong tas.

"Mau kemana lo?" teriak Damian.

Arthur menoleh sekilas, "Balik." jawabnya singkat, mencangklong tasnya dengan sembarang

"Anjirrr, bolos lagi keknya tuh bocah."

Ardi dan yang lainnya berlari mengejar langkah Arthur yang semakin menjauh meninggalkan kantin.

"Eh inget ya, yang gue bilang tadi?" Seru Damian, ketika berhasil mengejar langkahnya, yang kini sudah berada disampingnya.

"Yang mana?" Arthur menoleh dengan alis bertaut.

"Anjir, kocak ni bocah, pake acara pura-pura amnesia segala lo?"

Arthur berdecak, dengan kaki sebelah kanan, menginjak puntung rokoknya yang masih mengeluarkan asap.

"Karma yang lo bilang tadi?" balasnya sembari terkekeh.

"Alaaahhh...kagak ada yang namanya karma dalam hidup gue," mengayunkan tangannya ke udara, dengan gerakan mengibas-ngibas.

"Gimana kalau dalam waktu dekat ini, ada seorang cewek yang bikin lo jatuh Cinta?" timpal Ardi, sembari merangkul pundaknya.

"Heh, cewek model gimana yang bisa bikin gue jatuh cinta, yang bener aja!" balasnya disertai tawa., yang terdengar hambar ditelinga sahabatnya.

"Yang di bilang si Arthur, ada benernya juga sih, kalau dipikir-pikir, si most wanted Monica aja kagak bisa tuh bikin sahabat gila kita ini bisa kelepek-kelepek."

"Apalagi cuma cewek biasa-biasa yang jauh dari kata cantik dan bohay, beuuhhh semuanya lewat cuy!" timpal Seno.

...

Jelang sore, seperti biasa, Arthur dan ketiga sahabatnya nongkrong di warung angkringan bang Rojak yang selalu di penuhi pengunjung anak muda-mudi disetiap harinya, terutama sore hari.

Warung sederhana, yang terbuat dari anyaman bambu, yang di bentuk mata walik tersebut, tak kalah ramainya dari tempat Cafe-cafe terkenal kebanyakan diluar sana.

"Ada cewek bohay bro, asik nih!" seru Damian, mengerlingkan mata, dan hendak bangkit dari duduknya.

"Gila lo, lihat yang bening dikit aja, mata lo langsung ijo!" seru Ardi dengan nada mencibir.

"Samperin bro samperin, siapa tahu kali ini jodoh elo." ujar Seno menyemangati, sembari mendorong punggungnya pelan.

Sempat menoleh sebentar kearah perempuan yang dimaksudkan sahabatnya, setelah itu Arthur duduk di salah satu bangku kayu dengan gaya coolnya, asik sendiri memainkan ponsel ditangannya.

Sedangkan Ardi memilih untuk membuat kopi kesukaannya, dan menghampiri bang Rojak.

"Cantik, sendirian aja nih, boleh gabung disini nggak?" ucap Damian berbasa-basi ketika sudah berada dihadapannya.

"Boleh kak," jawab gadis tersebut sumringah, kapan lagi bisa duduk bareng cowok ganteng begini, batin gadis itu.

"Lagi nungguin siapa sih?" lanjut Damian, mengikuti arah pandang gadis dihadapannya, yang sejak tadi terus menoleh ke kiri dan ke kanan, seperti sedang menunggu kedatangan seseorang.

"Eh, itu kak nungguin temen."

"Oh, temen." Damian pun mengangguk-anggukan kepalanya.

"Temennya cewek, apa cowok tuh?" lanjutnya penasaran.

"Cewek kak."

"Ok, sambil nemenin temennya dateng, boleh dong kenalan dulu!"

"Oh boleh kak." iapun mengulurkan tangannya antusias.

"Puspa."

"Damian." balasnya, menjabat tangan Puspa, sembari tersenyum.

"Ganteng kaya orangnya!" ucap Puspa tanpa sadar.

yang kemudian memukul pelan mulutnya, malu!

"Makasih," ucapnya.

"Kebanyakan cewek-cewek sih bilang kalau gue itu emang ganteng, mungkin udah bawaan dari orok kali ya!" ucap Damian dengan kepercayaan dirinya yang tinggi.

Membuat Puspa meringis, sedikit menyesali ucapannya tadi.

Sedangkan dari kejauhan, Seno terkekeh geli memperhatikan gerak-gerik Damian, yang sepertinya sangat menikmati obrolannya dengan seorang gadis cantik dihadapannya kini.

Dan sesekali ia menoleh kearah Arthur, yang sejak tadi hanya fokus pada gadgetnya.

"Gila si Damian, emang paling bisa banget tuh bocah."

"Thur, tumben lo diem aja, kagak mau nyamperin tuh cewek, payah lo!"

"Lagi nggak Naf su gue!" balasnya acuh.

"Kagak salah denger nih gue, seorang Arthur si Playboy seantero sekolah Pelita Bangsa, ngomong kek gini, kagak percaya gue!" Seno pun menggelengkan kepala, sembari berdecak.

"Serah,"

Merasa jenuh sendiri, Seno pun mulai mengambil satu batang rokok, dan menyalakannya, lalu menghisap nya pelan, seolah sedang meresapi rasanya.

"Anjiirrr,!" Seno tiba-tiba terlonjak, bangkit dari duduknya, dan tanpa sadar membuang rokok, yang baru saja sekali dihisapnya.

"Bangkee, kaget gue!" bentak Arthur, yang juga kini ikut bangkit dari duduknya.

"Gilaaa man, sumpah cakep banget!" ia menarik bagian depan jaket Arthur, dengan mata menatap lurus kedepan.

"Elo yang gila, ngagetin orang aj_"

Ucapannya terhenti, kala mengikuti arah tatapan Seno, disana seorang gadis cantik, dengan warna kulit seputih susu, serta memiliki rambut yang hitam panjang dengan tubuh yang pas, sedang berjalan dengan anggun, menuju meja yang kini tengah di duduki Damian dan Puspa.

.

.

Sekolah Baru

"Maaf kak, temen saya udah dateng, saya duluan ya!" ucap Puspa, mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja, lalu bergegas melangkahkan kaki meninggalkan area angkringan bang Rojak.

Sedangkan Damian, terperangah dengan mata tak berkedip, menatap sosok menawan dihadapannya.

"Anjir ada cewek cakep, kenapa kagak lo tahan si?" Seno berdecak, menghampiri Damian sembari mengacak rambutnya frustasi.

"Elahhh, si curut malah bengong!" Seno menjitak pelan kepala Damian.

"Sakit, kunyuk!" Damian mengusap-usap kepalanya.

"Gila lo ya, ada cewek cakep malah lo biarin pergi gitu aja, payah lo!"

"Gue terlalu terkesima tadi, sampai-sampai gue kagak bisa ngomong apa-apa,"

"Elahh, mati kutu kali, lo ya!" ujar Seno sembari memutar badan, kembali menghampiri Arthur.

"Ck, gila! parah, cakep banget," seru Seno, yang sudah kembali duduk disamping Arthur.

Sedangkan Arthur bergeming, ditempatnya.

"Bro, tumben banget lo diem aja, lihat cewek bening, Insyaf lo?"

Arthur hanya menggidikan bahu, sebagai jawaban.

...

...

Di pagi hari yang cerah itu, seorang gadis cantik yang sedang tertidur pulas, terperanjat kaget, kala mendengar bunyi nyaring yang berasal dari jam weker miliknya, yang berada di atas Nakas, disamping tempat tidurnya.

Matanya terbelalak lebar, saat mendapati jarum jam di dinding kamarnya menunjukan pukul setengah 6 pagi.

"Mampus, telat gue!" ucapnya, sembari menepuk jidatnya, lalu secepat kilat menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi.

.

.

Di Meja Makan..

"Mau di antar siapa kak,? mang Rahmat apa bareng papa?" seru mama Sinta, yang sedang sibuk mengolesi beberapa lembar roti tawar dihadapannya.

"Kak Dara, bareng mang Rahmat aja ya, aku mau bareng papa." celetuk Darren sang adik, yang baru saja datang, dan menarik kursi disampingnya, melahap dua lembar Roti, yang sudah diberi selai coklat kacang kesukaannya.

"Kamu aja ah dek, yang bareng mang Rahmat, ini kan hari pertama kakak berangkat kesekolah baru kakak." Balas sang kakak, tak mau kalah.

"Udah dek, ngalah ya sama kakak, besok-besok kan bisa, berangkat bareng papa, mungkin kakak butuh semangat dek, kan ini hari pertama kakak pindah kesana." timpal mama menengahi perdebatan kedua putra-putrinya.

"Tuh denger, wle!" Dara menjulurkan lidahnya pada Darren sang adik, yang sedang menatapnya dengan tatapan kesal.

"Hari ini doang tapi ya!"

"Iya iya,"

"Siapa yang pagi ini mau berangkat bareng papa?" Seru papa Arga, sembari mendudukan dirinya disamping mereka.

Hening,

Tidak ada yang menjawab sapaan sang papa.

"Darren kayaknya mau bareng papa," ucap Dara, membuka suara, sembari melirik kearah sang adik yang sedang menunduk, dengan wajah ditekuk.

"Lho, tadi katanya kakak yang mau berangkat bareng papa?" seru mama, yang baru saja kembali dari dapur, membawa nampan yang berisi 4 gelas susu.

"Aku dianter mang Rahmat aja deh, nggak apa-apa ma."

Mama tersenyum, ia merasa bersyukur memiliki anak perempuan seperti Dara, selama ini ia selalu mengalah dengan sang adik.

Bahkan dari kecil putri pertamanya tersebut, tak sekalipun berlaku manja padanya.

Sangat berbeda sekali dengan sang adiknya, Darren.

"Dara pamit ya ma, do'ain lancar." mencium pipi lalu beralih meraih dan mencium tangannya.

Begitu pun pada sang papa, melakukan hal yang sama.

"Salim dek, do'ain kakak lho ya!" mengacak pelan rambut sang adik.

"Yaudah hati-hati, bilangin mang Rahmat, jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya." seru mama.

"Hati-hati kak, sekolah baru, semangat baru, ingat! jangan dulu pacar-pacaran!" sambung papa.

"Eh si Papa, anak udah mulai dewasa gitu, dilarang pacaran mulu, kan kasian, biarin aja sih pa, yang penting anak kita nggak macam-macam." ucap mama, ketika putrinya sudah melangkah keluar.

"Nggak bisa, peraturan papa nggak bisa diganggu gugat,"

"Papa berangkat,"

"Came on, boy!" merangkul bahu Darren.

..

..

"Mang, berhenti disini aja ya,"

"Lha, kok disini non? kan sekolahannya masih agak jauh?"

"Nggak apa-apa mang, saya pengen nyoba jalan kaki, seru kayaknya, lagian bel masuk nya masih 15 menitan lagi, waktunya cukuplah."

"Yasudah Non, nanti pulangnya kabarin mamang ya non."

"Siapp, hati-hati mang Rahmat, kata mama jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya." ucapnya sambil terkekeh geli.

"Laksanakan!" balas mang Rahmat, sembari menyengir kuda.

Setelah mobil mang Rahmat hilang dari pandangan, ia pun melangkahkan kakinya menuju gerbang besar, yang menjadi tempat sekolah barunya kini.

.

.

Di Kelas.

"Selamat pagi anak-anak?" sapa pak Hartadi.

"Pagi pak!" jawab para murid, dengan nada yang terdengar ogah-ogahan.

"Sebelum kita memulai pelajaran, saya mau mengenalkan seseorang dulu sama kalian, dia murid baru, pindahan dari sekolah, Bhakti Nusa.

" Huuuuu!" teriak sebagian para murid yang terkenal nakal, seperti Arthur, Damian, Seno dan Ardi.

"Sini cantik, kenalan dulu sama teman-temannya."

pak Hartadi keluar sejenak, memanggil Dara yang menunggu di belakang pintu.

"Ini dia anak-anak, teman baru kalian, namanya Dara,"

"Dara, ayo perkenalkan diri kamu."

"Hallo semuanya, selamat pagi? perkenalkan nama saya Adara Nashwa Larasati, biasa di panggil Dara, saya pindahan dari sekolah Bhakti Nusa, saya berharap semoga teman-teman bisa menerima saya, dan kedepannya dapat membantu saya memberi arahan mengenai peraturan di sekolah ini, terimakasih!"

"Tolong bantuan dan supportnya untuk teman baru kalian ini, ya anak-anak."

"Siap pak!" jawab anak laki-laki penuh semangat, terutama Damian, dan Seno, yang sejak pertama Dara masuk di buat melongo olehnya.

"Dara, duduk sebelah Arthur ya," ucap pak Hartadi, karena kebetulan Arthur duduk sendiri.

"Baik pak!"

Darapun berjalan melewati beberapa murid laki-laki dan perempuan, dengan wajah menunduk, kilasan matanya dapat melihat, ada beberapa teman perempuan yang menatapnya tak suka, sedangkan kebanyakan dari anak laki-laki menatapnya penuh ke kaguman.

"Duduk sini aja cantik, kosong kok!" seru Seno, yang mendapat jitakan spontan dari Damian.

"Anjir, kosong lo bilang, terus ini gue apaan?" bisik Damian kesal.

"Sorry, gue kira lo demit, abis kagak kelihatan!" Seno terkekeh pelan.

"Anjirr, dasar teman durjana lo!"

"Sudah sudah, Anak-anak jangan gaduh, ayo sekarang kita mulai pelajarannya ya!" pak Hartadi kembali membuka suara, di tengah kegaduhan yang tercipta didalam kelas tersebut.

Dara meletakan tasnya diatas bangku, dan mulai mengambil buku serta pulpennya, ia sempat menoleh kearah Arthur yang tengah menatapnya tanpa berkedip, membuatnya kini merasa sangat risih.

Sepanjang pelajaran pak Hartadi, Arthur sama sekali tidak fokus, ia terus saja mencuri pandang pada wajah cantik Dara, yang berada di sampingnya.

.

.

Jelang Istirahat..

"Sendiri aja, temennya kemana?" Dara menghampiri anak perempuan yang sejak tadi hanya duduk sendiri di meja kantin.

Ia mendongak, menatapnya bingung.

"Boleh aku duduk?" lanjutnya, karena gadis itu tak kunjung membuka suaranya.

Ia mengangguk, dengan tangan yang sibuk mengaduk-ngaduk semangkok bakso dihadapannya.

Setelah mendapat persetujuannya, Dara pun bergegas menarik kursi, lalu mendudukan dirinya disana, lalu meletakan bakso yang ia bawa.

Hening..

.

Hanya suara denting garpu dan sendok yang beradu dengan mangkok, keduanya menikmati bakso yang sedang di makannya dengan lahap.

"Aku disini belum punya temen, sepi banget rasanya, kamu mau nggak jadi temen aku?" ucap Dara, yang membuat gadis dihadapannya hampir tersedak.

"Eh eh, Hati-hati dong makannya, pelan-pelan." Dara mengulurkan air minumnya pada gadis tersebut.

Dan gadis itu kembali terbengong, dengan mata yang tertuju pada tangan Dara, yang memegang sebotol air mineral dihadapannya.

"Ayo ambil, di minum!"

Dengan ragu, gadis itupun akhirnya mengangguk, mengambil air minum dari tangan Dara, dan meneguknya hingga tersisa setengah.

"Terimakasih!" ucapnya, yang dibalas senyuman hangat oleh Dara.

"Dari tadi kita belum kenalan kan, kenalin aku Dara, kamu?" ia kembali mengulurkan tangannya.

"R-ratih." jawabnya singkat.

"Kamu kok sendirian, temen kamu kemana?" Dara mengulang kembali ucapannya.

"S-saya, nggak punya temen."

"Kamu anak baru juga?"

Ratih menggeleng, "Aku dari awal sekolah disini."

"Kamu bercanda?" tanyanya tak percaya, mana mungkin ia tidak memiliki teman, pikirnya, karena sudah lama berada disekolahan ini, berbeda dengan dirinya yang baru pertama kali masuk.

"Aku serius."

"Why?"

"Karena, nggak ada yang mau temenan sama aku, karena aku katro, dan miskin." ucapnya dengan suara yang terdengar bergetar ditelinga Dara.

Ck!

Dara berdecak, "Aneh sekali!" gumamnya.

.

.

Misi Pertama

Di Cafe depan sekolah..

"Bro, anak baru tadi, bukannya cewek yang kemarin datang ke angkringan ya?" ucap Seno memastikan, bahwa dirinya tidak salah lihat.

"Iya bener, itu temennya cewek yang kemarin gue ajak kenalan,"

"Wah gila, ternyata bener kata pepatah, kalau jodoh itu kagak bakal kemana."

"Maksud lo apaan?" sambar Ardi.

"Cewek itu, adalah jelmaan bidadari yang tuhan kirim buat gue,"

"Kemarin gagal, kagak sempet ngajak kenalan, karena dia keburu pergi, eh hari ini dia nongol tanpa di minta!" lanjut Seno, tersenyum senang.

"Kalau cakepnya model gitu, gue juga maulah!"

"Dikawinin sekarang juga, mau banget gue!" sambung Damian.

"Pede banget lo semua, belum tentu dia mau sama lo berdua!" dengus Ardi.

"Kenapa lo, kok jadi lo yang sewot, iri bilang bos!" sambar Seno.

"Tahu tuh!" Damian ikut mendengus.

"Si kunyuk dari kemarin diem mulu, lihat cewek cakep, biasanya kan dia yang nyambar duluan, nggak sih?" ucap seno setengah berbisik, yang masih terdengar jelas di telinga Arthur.

"Insyaf kali tuh bocah!" timpal Damian, yang langsung disambut gelak tawa oleh ketiganya.

"Mana ada, playboy seantero sekolah insyaf, palingan juga dia lagi ngumpulin energi buat gombalin cewek-cewek." sambung Seno, masih dengan gelak tawanya.

Sedangkan Arthur, masih terdiam, sembari menikmati sebatang rokoknya.

Membuat ketiga sahabatnya merasa keheranan.

Waktu istirahat pun kini sudah hampir habis, semua murid laki-laki maupun perempuan, kembali memasuki kelas dengan tertib, begitupun dengan seno, Ardi dan Damian, sedangkan Arthur berjalan pelan paling belakang.

Arthur semakin memendekan langkahnya, kala melihat punggung seorang gadis dihadapannya, yang juga sedang berjalan di koridor, menuju kelasnya.

Sedang tertawa, dengan seorang gadis, yang Arthur yakini adalah gadis yang selalu disapa cupu oleh teman-temannya.

Lalu Gadis yang sedang berjalan di hadapannya menoleh, hingga pandangan mereka bertemu.

Namun, detik kemudian Arthur memilih berjalan cepat terlebih dahulu.

"Ganteng nggak menurut kamu?" tiba-tiba Ratih berujar, membuat Dara menggerenyit bingung.

"M-maksudnya?"

"Cowok yang barusan lewat."

"Mayan!" jawabnya singkat, seolah tak berminat membahas laki-laki tersebut.

"Namanya Arthur,"

"Dia terkenal playboy, seantero sekolah." lanjut Ratih.

"Udah gue duga!" gumamnya, membuat Ratih menoleh kearahnya.

"Maksudnya?"

"Eh, maksud aku, kelihatan dari wajahnya, kalau dia itu playboy."

"Kalau aku perhatiin, kayaknya dia suka sama kamu," sambung Ratih, menoleh sekilas kearah Dara.

Membuat Dara berdecak tak suka, Siapa juga yang mau pacaran sama laki-laki model begitu batin Dara.

Meski di dalam kelas, keduanya duduk berdampingan, namun baik Arthur maupun Dara, tidak ada yang mau membuka suara terlebih dahulu.

"Sstttt!" Seno mencolek punggung kekar Arthur, yang duduk dibelakangnya.

"Apaan si lo,?"

"Tukeran duduk lah."

"Mana bisa begitu?" ucap Arthur dengan wajah datar, entah mengapa sudah dua hari ini Arthur terasa berbeda, ia bagaikan singa liar, yang berubah menjadi jinak dalam satu waktu.

"Dam, kira-kira menurut lo si Arthur kenapa ya?" bisik Seno.

"Maksudnya, kenapa gimana, kagak ngarti gue."

"Elo ngerasa nggak sih, kalau udah dua hari ini tuh bocah lebih banyak diem, terus di samperin cewek-cewek cakep aja dia kek cuek gitu,"

Damian manggut-manggut, "Iya, yang lo bilang ada benernya juga sih, kagak biasanya tuh bocah kaya gitu."

"Gua masih bisa denger kunyuk!" sambar Arthur, membuat Seno dan Damian terkekeh geli.

.

.

Didepan gerbang sekolah, Dara masih setia berdiri menunggu mang Rahmat menjemputnya, ia menoleh ke kiri dan kekanan, tidak ada satupun temannya yang tersisa, karena seluruh murid sudah pulang semua.

Begitupun dengan Ratih, teman barunya, ia sudah di jemput adiknya 10 menit yang lalu.

Dengan perasaan gemetar dan gelisah, Dara mencoba menghubungi kembali ponsel mang Rahmat, Namun setelah beberapa kali mencoba menghubunginya, tak kunjung tersambung.

Akhirnya Dara, memutuskan untuk berjalan meninggalkan area sekolahnya menuju pinggir jalan.

"Belum pulang?" seru seseorang yang berdiri dibelakangnya, yang sontak membuat Dara menoleh seketika.

"Eh,"

Arthur tersenyum, sembari mengeluarkan tangan kanannya yang bersembunyi dibalik saku jaketnya.

"Kita belum sempat kenalan kan, kenalin gue Arthur." ucapnya, yang terdengar sangat manis ditelinga Dara.

Dara terdiam lama, memandangi tangan kokoh dihadapannya, hingga kemudian membalas sekilas uluran tangannya.

"Belum ada yang jemput ya?."

"Bukan urusan lo!" ketus Dara, prinsif Dara adalah menjauhi laki-laki playboy di hadapannya.

"Kalau lo mau, gue bisa antar lo pulang,"

"Nggak perlu!" lanjutnya, memasang wajah datar, sembari meninggalkan Arthur, dan melambaikan tangan menghentikan angkutan umum, lalu menaikinya.

"Udah gue duga, dia bukan cewek biasa!" gumam Arthur, tersenyum tipis, dan bergegas menaiki motornya.

Dara terpaksa turun di persimpangan jalan, karena arah menuju gang perumahan elitnya tidak dapat dijangkau oleh angkutan umum, ia pun berjalan kaki untuk sampai di gerbang utama, perumahan elit tersebut.

"Ayo naik, gue anterin!" ucap Arthur, yang sudah berada di sampingnya, menunggangi motor gede kesayangannya.

Dara terlonjak kaget, dan menoleh kearahnya.

"Elo ngikutin gue?" ucap dara, dengan suara sedikit membentak.

"Iya!" balasnya santai.

"Ngapain, kurang kerjaan banget sih."

"Pengen aja!"

"Ayo, buruan naik, kalau nggak gue bakalan datang sendiri kerumah lo." lanjut Arthur sedikit mengancam.

Dara terdiam, kalau sampai papanya tahu ada cowok main kerumahnya, ia pasti akan di sidang habis-habisan oleh sang papa batinnya.

"Ayo, buruan naik!" desak Arthur.

"Nggak mau."

"Ok, berarti lo setuju kalau entar malem gue datang kerumah, nemuin orang tua lo."

Deg!

"Lo ngancem gue?"

"Ya, bisa dibilang begitu." menggidikan bahu.

"Nyebelin banget."

Arthur tersenyum penuh kemenangan, saat Dara mulai menaiki motornya, meski memasang wajah tak bersahabat.

"Arahnya kemana?" Ucap Arthur, sambil menoleh, setelah mengenakan kembali helmnya yang sempat di dicopotnya tadi.

"Lurus terus, depan Gapura Gold belok kanan." balasnya datar.

"Ok."

Setelah melewati beberapa rumah mewah yang cukup panjang, Dara pun meminta Arthur untuk menghentikan motornya.

"Udah sampe?" tanyanya.

Dara mengangguk, dan melengos pergi, tanpa mengucapkan sepatah katapun, bergegas membuka pintu gerbang rumahnya, berjalan lurus tanpa menoleh lagi.

Sedangkan Arthur kembali tersenyum, memandangi punggung Dara, yang perlahan menghilang di balik pintu.

"Misi pertama selesai, gua udah tahu rumahnya."

gumam Arthur, lalu kembali melajukan motornya.

..

..

"Udah pulang thur, makan gih, tante udah siapin makanan kesukaan kamu lho." ucap tante Anna riang, ketika Arthur tiba dirumahnya.

Arthur menoleh, dengan kening berkerut.

"Tumben banget tante dirumah?"

"Emang kenapa, nggak boleh?"

"Aneh aja!" balasnya, sembari membuka sepatu dan melemparkannya asal, hal itu sudah menjadi kebiasaan Arthur setiap hari.

"Adududuh, yang bener dong Ar, naro sepatunya." tante Anna menggeleng, sembari menatap keponakannya kesal.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!