NovelToon NovelToon

The Miracles Of Two Souls

Chapter 1: Devita, si Bayangan Semu

...╭┉┉┅┄┄┈•◦ೋ•◦❥•◦ೋ...

...         Selamat Membaca...

...•◦ೋ•◦❥•◦ೋ•┈┄┄┅┉┉╯...

Devita Bina Dheandita, merupakan gadis biasa, tidak ada yang bisa dia banggakan selain lemak di tubuhnya juga jerawat di wajahnya. Gadis remaja yang berusia tujuh belas tahun, hidup di keluarga harmonis sebagai bayangan semu.

"Gimana sekolah kalian? Apa ada masalah?"

Devita ingin menjawab pertanyaan sang ayah, namun suara Vanessa, saudara tirinya lebih dulu mendahuluinya, "Baik dong, Yah! Ayah nggak mau nambahin uang jajan buat Vanes? Tiga hari ke depan,  di sekolah bakal ngadain acara tahunan. Jadi, Vanes butuh uang jajan tambahan, hehehe ..."

"Yaelah, Nes, duit jajan lo udah paling banyak itu, nambah terus lo! Maruk banget!" Gilang, kakak tiri Devita itu menjitak kepala Vanessa.

"Gibran juga mau ditambahin dong, Yah! Hehehe ..."

"Anjir! Sakit, Bang! Lo kira-kira dong kalo mau ngejitak!" Vanessa cemberut, namun tatapan Vanessa menatap Devita yang duduk diujung meja makan. Vanessa menatapnya dengan senyuman miring, seolah mengejeknya.

"Gibran, Gilang, Vanessa! Buruan sarapannya dihabisin, jangan berantem mulu kalian!" Bunda Margaretta memperingati anak-anaknya.

"Gibran nggak ikut-ikutan kok! Gibran anak baik, jadi nggak ikut berantem sama dua kucing itu." Gibran tersenyum mengejek ke arah dua saudaranya, Vanessa dan Gilang.

"Udah-udah, jangan ribut, nanti uang jajannya Ayah tambahin semua. Buat Vanessa, Gilang, juga Gibran." Devita tersenyum miris, benar bukan? Di keluarga yang harmonis ini, dia hanyalah bayangan semu, tak dianggap. Ayahnya tidak pernah menganggapnya ada.

Devita hanyalah anak dari hubungan gelap. Ibunya adalah sahabat dari istri ayahnya yang sekarang. Namun, karena ibunya mencintai ayahnya, membuat ibunya melakukan segala cara agar bisa bersanding dengan ayahnya, salah satunya adalah menjebak Galang, ayahnya. Dahulunya, keluarga harmonis ini hampir hancur akibat ibunya yang datang membawanya kemari. Sedari kecil, ibunya selalu memaksa agar Devita datang ke keluarga harmonis ini dan memaksa menjadi bagian dari keluarga ini. Oleh karena itu, keluarga ini membencinya. Devita hanya dicukupi finansialnya namun untuk kasih sayang, tidak.

Devita menghela nafas, dia berdiri membawa piring kotor miliknya untuk dia cuci sendiri. Setelah selesai, diapun segera pamit untuk pergi ke sekolah, SMA Alhena.

...-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-...

Devita memasuki kelasnya dengan langkah riang, dia menghampiri tempat dimana seorang laki-laki berseragam tidak rapi tengah menelungkupkan kepalanya.

"Pagi, Anggasta!" Sapa Devita dengan riang. Devita membuka tasnya, lalu mengeluarkan dua plastik roti coklat yang kemudian dia serahkan kepada Anggasta. Anggasta Aligra Hendrawan, orang yang disukai Devita sejak SMP. Cowok urakan dengan segala tingkah kenakanalannya, namun pesonanya yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Anggasta mendongak malas menatap Devita, "Nggak usah repot-repot bawain gue makanan mulu, percuma, kagak bakal gue makan!" Anggasta membuang roti coklat itu ke sembarang arah.

Devita menghela nafas panjang, dia tersenyum kemudian, "Yaudah kalo nggak mau, nggak usah dibuang juga. Kagak baik buang-buang makanan, Ngga," Devita memungut roti yang dibuang oleh Anggasta.

"Anggasta! Lo jahat banget sih jadi cowok! Kalo emang nggak mau yaudah jangan dibuang!" Ayana, sahabat Devita menggebrak meja Anggasta begitu keras, hingga membuat beberapa teman sekelasnya yang sudah datang menoleh untuk melihat kehebohan itu.

Anggasta tersenyum miring, "Bukan salah gue dong! Salah temen lo yang suka caper sama gue, betul nggak guys!" Anggasta meminta pendapat teman sekelasnya.

"BETUL!"

"Si gendut aja tuh yang suka caper, udah tau ditolak, masih aja ngebet!"

"Tauk tuh, murahan banget!"

"Diem lo semua!" Ayana Risti, sahabat Devita yang selalu membelanya, menganggap kehadirannya.

Devita berdiri di sebelah Ayana, "Udah-udah, Ay. Kagak usah diladenin. Gue udah biasa kali! Kuylah kita duduk, bentar lagi bel masuk." Devita lantas menyeret lengan Ayana ke tempat mereka duduk.

Sesampainya di tempat duduk, Ayana menatap tajam Devita, "Dev, ini terakhir kalinya lo ngasih sesuatu sama Anggasta, percuma! Dia bakal nolak terus! Mending lo kasih ke gue aja." Ayana menaik-naikkan sebelah alisnya.

Devita tertawa, "Yeuh! Itu mah mau lo!"

Ayana ikut tertawa, "Nah gitu dong ketawa! Lo tuh cakep kalo ketawa. Eh, Dev, nanti pulang sekolah, mampir perpustakaan dulu yak! Gue mau minjem novel soalnya."

Devita mengangguk, dia kemudian membuka kemasan roti coklat yang tadi dibuang Anggasta, kemudian memakannya, "Emang ada novel terbaru di perpustakaan?"

Ayana mengangguk dengan antusias, "Ho'oh ada! Lo tau nggak, cewek murid sekolah sebelah yang namanya Aysa Listeria?"

Devita menggeleng dengan mulutnya yang sibuk mengunyah roti coklat, "Nggak. Siapa tuh?"

Ayana ikut memakan roti coklatnya, "Aysa Listeria, dia itu most wanted di SMA Alioth yang kecelakaan satu bulan lalu di tol Cipularang itu loh!"

"Terus-terus!" Devita dengan mulut penuh menyimak antusias cerita Ayana.

"Singkat cerita, dia bangun dari koma lima bulan. Dia terus jadi penulis best seller anjir! Keren nggak tuh! Novelnya yang paling terkenal itu judulnya Hiraeth. Tadi, waktu mau masuk kelas, gue dapet info kalo di perpustakaan ada novel Hiraeth. Gue penasaran ama isi ceritanya, kok bisa sampe best seller."

Devita mengangguk-angguk, "Gue jadi penasaran juga. Oke deh, nanti abis pulang sekolah ye?"

"WOI WOI!"

Tiba-tiba ketua kelas datang sembari membawa selembar kertas di tangannya. Leo, si ketua kelas berdiri di depan kelas. Semua atensi kelas Sebelas IPA satu tertuju padanya, termasuk Devita juga Ayana.

"Berhubung acara classmeeting dimulai besok, hari ini guru-guru ngasih waktu buat kita bentuk Tim buat ikut lomba yang bakal diadain. Tanpa gue tunjuk, silahkan kalian ikut sendiri, lomba apa yang kalian minati. Jangan malu-maluin kelas dengan nggak ikut lomba."

Setelah Leo menjelaskan apa saja lomba-lombanya, beberapa murid sudah mengajukan diri untuk ikut lomba.

"Oke, makasih buat yang udah berpartisipasi. Buat yang nggak ikut lomba, kalian bisa jadi tim supporter buat kelas kita. SEMANGAT!!"

"SEMANGAT!!"

Meskipun Devita tinggal di kelas yang tak menganggapnya, namun dia tetap senang menjadi bagian tim supporter untuk kelasnya. Devita sengaja tidak ikut lomba, dia hanya tidak ingin membuat kelasnya malu karena dirinya. Bukan rahasia umum lagi bila Devita adalah anak hubungan gelap. Bahkan tak sedikit teman-temannya menghinanya 'Anak pelakor'.

Lamunan Devita buyar saat Ayana menyenggol lengannya, "Apaan?"

"Ke perpus sekarang aja kuy! Mumpung jamkos, lagian kita juga nggak ikut lomba. Percuma kita di kelas cuma dianggep setan." Ajak Ayana.

Kalau dipikir-pikir, Ayana satu nasib dengannya. Bedanya Ayana adalah murid beasiswa dari orang kurang mampu. SMA Alhena adalah SMA Swasta di Jakarta, dimana isinya adalah anak-anak orang kaya.

Devita mengangguk setuju, "Yoklah! Udah nggak sabar nih! Kita kudu cepet, takutnya novel Hiraeth udah dipinjem orang lain."

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

Devita berlarian menuju perpustakaan, sebelumnya dia berpisah dengan Ayana untuk pergi ke kantin membeli minum dan cemilan terlebih dahulu. Devita suka membaca bila ditemani cemilan dan minuman, membuatnya semakin betah membaca.

Perpustakaan SMA Alhena berada di sebelah kanan gedung IPA, tepatnya di lantai tiga. Saat hendak naik di lantai tiga, tak sengaja dia menabrak seorang siswi berambut coklat sepunggung.

Bruk

"Aduh, maaf ya? Gue nggak sengaja, serius deh!" Devita turut membantu siswi itu bangun dan memeriksa tubuh siswi itu, apakah ada yang terluka atau tidak.

"A-aku nggak apa-apa, kamu nggak perlu khawatir." Siswi itu menatap Devita dengan senyuman tulus yang terpatri. Devita terpaku dengan senyuman itu. Sebelumnya tidak ada yang pernah memberikan senyuman setulus itu selain Ayana.

"Seriusan? Gue nggak enak udah nabrak lo." Devita meringis. Salahkan tubuhnya yang terlalu besar, hingga bisa menabrak orang sembarangan.

"Aku nggak apa-apa kok, serius! Kamu nggak sengaja, aku tahu." Siswi itu menyunggingkan senyumannya.

Devita memandang siswi di depannya, "Lo bukan anak sekolah sini, kan? Lo murid sebelah, betewe mau kemana? Siapa tau gue bisa anter," Devita baru sadar, siswi di depannya adalah murid SMA Alioth. SMA swasta terbaik setelah Alhena di Jakarta.

Bukannya menjawab, siswi itu malah menatap Devita dengan tatapan mata yang sulit diartikan. Tatapan yang menyiratkan rasa rindu, mungkin? Itulah yang dilihat Devita.

"Matamu mirip seseorang ..." gumam siswi itu pelan.

Devita tidak mengerti, dia menggaruk pipinya yang tak gatal, "Lo ngomong apaan tadi?"

Siswi itu menggeleng, "Bukan apa-apa. Senang bertemu dengan kamu. Aku harap kamu bahagia .... Karena perasaan yang sama mengantarkan pada dua takdir menjadi satu. Aku permisi dulu ..."

Devita mengerjapkan matanya karena tidak paham dengan ucapan siswi di depannya. Dia hanya mengangguk saja sebagai balasan atas pamitnya siswi itu. Namun sebelum benar-benar berbalik dan pergi, Devita melihat name tag siswi itu. Seketika matanya membulat lebar.

"DIA AYSA LISTERIA? SERIUS?" Pekik Devita dengan heboh. Dia menepuk kedua pipinya berulang kali untuk memastikan apakah dia sedang bermimpi atau tidak.

"Ini bukan mimpi ..." Devita masih memandang arah perginya Aysa, "WOILAH! INI NGGAK MIMPI COK!"

Plak

"ADAW!" Devita mengusap kepalanya yang terkena timpukan botol air mineral yang masih berisi. Devita mengambil botol itu, meremasnya dengan kuat saking emosinya.

"SIAPA YANG BERANINYA NIMPUK GU-" Devita tidak jadi mengamuk kala tahu siapa yang melemparnya, "Ehehehe .... Kak Elgra ngapain disini?"

Elgradion Veraldo Hendrawan, kakak dari Anggasta. Lelaki dingin dan tak suka diganggu.

"Lo-" Elgra menunjuk tepat didepan wajah Devita, "berisik." Lanjutnya, setelah mengatakan itu, Elgra menaiki tangga menuju lantai tiga, satu tujuan dengan Devita.

Devita mengusap dadanya merasa lega. Biasanya Elgra akan memaki habis-habisan bagi orang yang mengganggunya.

Beruntung Devita tidak jadi mengumpatinya, mungkin bisa saja dia akan dimaki habis-habisan oleh Elgra. Tidak sang kakak, tidak sang adik, keduanya sama-sama menyeramkan.

Namun tidak bisa dipungkiri, dia tetap menyukai Anggasta, meskipun dia tahu bahwa akan selalu ada penolakan untuknya. Devita tahu, dia tak sepenting itu menjadi bagian kisah hidup Anggasta, begitupula keluarganya. Devita hanyalah bayangan semu.

'Jadilah benalu, Devita! Dengan begitu kamu tahu bagaimana rasanya dibenci. Saya nggak mau tahu, kamu harus menjadi bagian keluarga Galang, ayahmu.'

Devita tersenyum kecut, mengingat sepotong memori semasa kecilnya. Dimana ibu kandungnya sendiri menyuruhnya untuk menjadi benalu. Mengajarkannya untuk menjadi orang yang dibenci. Lagi-lagi Devita harus menelan pil pahit kehidupan yang tiada berkesudahan.

...•───────•°•❀•°•───────•...

Terimakasih sudah membaca.

Ini cerita kedua saya, mohon dukungannya ya:)

Saya menerima kritik dan saran.

Chapter 2: Jangan Kehilangan Harapan

...╭┉┉┅┄┄┈•◦ೋ•◦❥•◦ೋ...

...         Selamat Membaca...

...•◦ೋ•◦❥•◦ೋ•┈┄┄┅┉┉╯...

Tak terasa tiga hari berlalu begitu cepat. Malam ini adalah puncak acara classmeeting, yaitu acara promnight sebagai acara penutupan classmeeting. Disaat semua orang sibuk berkeliling mengerumuni panggung, dimana band sekolahnya tengah tampil, berbeda dengan kedua gadis yang duduk bersebelahan.

"Menurut lo, nasibnya Sirena kasian nggak sih? Sampe dihukum mati begitu, ngeri njir!"

Devita menghabiskan cilor dimulutnya terlebih dahulu sebelum menjawab Ayana yang juga tengah memakan cilor bersamanya, "Kasian lah! Tapi namanya juga sistem monarki kerajaan, apa-apa ya hukumannya hukuman mati, dipenggal kepalanya mah udah biasa."

Ayana bergidik ngeri, "Tapi ngeri juga ya cuy! Kalo dipikir-pikir, gue seketika pengen jadi sahabat buat Sirena."

"Kenapa pengen?"

"Sirena itu kesepian, dia nggak pernah dapet kasih sayang dari ayahnya, sementang anak selir yang nggak Raja cintai. Tapi kan Raja juga yang buat Sirena bisa ada, giliran udah ada aja disia-siain!" Ayana mendengus.

Devita termenung sejenak, sekilas kisah hidup Sirena mirip dengannya. Sirena Stylanie Asthropel, sang tokoh antagonis di novel Hiraeth. Sirena yang selalu melakukan segala cara agar dianggap oleh Raja juga putra mahkota kekaisaran, Elephas. Lelaki yang dicintai Sirena itu ternyata mencintai Kakak Sirena yang bernama Putri Nervilia Aragoana, anak ketiga dari ratu Amanita. Sirena semakin marah tatkala Raja mendukung hubungan keduanya dengan membuat pesta pertunangan dihari ulang tahunnya yang ke delapan belas tahun.

Devita merasakan rasa sakit yang dirasakan Sirena, gadis itu hanya ingin mengejar kebahagiaannya meskipun caranya salah. Untuk menggagalkan pertunangan itu, Sirena bahkan rela pergi ke tempat dimana Raja iblis berada sambil menyeret sang Kakak. Putri Nervilia ditumbalkan oleh Sirena kepada Raja Iblis. Di dunia Vulcan, tempat dimana Sirena berada, bersekutu dengan iblis adalah hal yang tak termaafkan dan perbuatan terkutuk. Namun sebelum sempat Sirena menumbalkan Putri Nervilia, putra mahkota Elephas datang menyelamatkannya dibantu Efarish Sirakusa. Efarish adalah sebutan untuk orang yang mendapat anugerah dewa. Akhirnya Sirena dijatuhi hukuman mati sebagai hukumannya.

"Gue malah pengen jadi Sirena, ngerubah jalan hidupnya yang suram. Bukannya setiap orang berhak bahagia, ya?" Devita meminta persetujuan pada Ayana.

Ayana mengangguk setuju, "Semua orang berhak bahagia. Tuhan ngasih kehidupan dilengkapi masalah juga kebahagiaan. Begitu juga lo, Devita." Ayana menatap sedih sahabatnya, "Gue tahu berat jadi lo. Tapi gue harap lo kuat, ya? Gue bakal selalu ada nemenin lo. Gue bakal jadi sahabat yang baik dan pengertian entah di kehidupan ini ataupun di kehidupan selanjutnya."

Devita meneteskan air matanya karena terharu, "Hua! Lo buat gue mewek aja si, Ay! Gue sayang lo, Ayana!!!" Devita memeluk erat Ayana, Ayana pun membalas pelukan Devita.

"Eh-eh! Udah dulu pelukannya, gue kebelet pipis," Ayana langsung berlari tunggang langgang setelah Devita melepas pelukannya.

Baru saja Devita ingin memakan cilornya yang tinggal sedikit, dia terkejut dengan kehadiran kakak tirinya, Vanessa.

"Ada apa, Kak?" Devita memandang Vanessa yang memandangnya dengan tatapan remeh sembari bersidekap dada.

"Gue mau lo hari ini buat gue seneng, Devita. Kalau lo nggak mau, gue bakal aduin ke ayah kalau lo udah jahatin gue. Alhasil lo pasti diusir dari rumah deh!" Vanessa memainkan kuku jarinya sambil menyeringai.

Selalu seperti ini, Devita pernah melawan Vanessa, namun dia kalah. Devita pernah diusir satu kali dari rumah, dia pun memilih pulang ke rumah ibunya, namun tetap saja, dia juga berakhir diusir. Devita masih membutuhkan tempat tinggal untuk membuat masa depan cerah, meskipun tanpa kasih sayang dari orangtuanya.

"Kali ini apalagi? Kayaknya idup lo nggak pernah tenang kalau nggak liat gue menderita," Devita berdiri tepat dihadapan Vanessa, "Gue harap ini yang terakhir kalinya. Sekalipun gue diem, bukan berarti gue kalah."

"Heh gendut! Sadar diri dong! Sampai kapanpun lo nggak akan menang dari gue!" Vanessa menunjuk Devita tepat didepan wajahnya, "Sekarang ikut gue!" Vanessa menyeretnya menuju kerumunan dimana orang-orang berada yaitu di pinggir panggung.

Vanessa melepas cekalan tangannya dari tangan Devita, lalu mengelapnya ke seragamnya seolah Devita adalah barang kotor.

"Lo ... Pergi ke atas panggung. Bilang, kalau lo ..." Perasaan Devita seketika tidak enak, "bilang kalau lo suka sama Anggasta. Tunggu balesan Anggasta, jangan sampai lo turun duluan sebelum Anggasta bales perasaan lo!"

Devita menatap Vanessa tidak percaya, Vanessa seniat itu untuk mempermalukannya untuk yang kesekian kalinya, "Lo keterlaluan, Kak! Gue nggak mau!"

Vanessa berbisik di telinga Devita, "Lo nggak mau? Lakuin sekarang atau gue hancurin masa depan lo! Dengan sekali tendang, lo bukan siapa-siapa. Inget posisi, Devita gendut!"

Devita menegang. Vanessa memegang kartu As miliknya. Jika dia diusir dari rumah, otomatis, ayahnya berhenti membiayainya untuk sekolah tinggi dan meraih cita-citanya. Devita tak bisa membiarkan itu. Dengan langkah yang dipaksakan, Devita naik ke atas panggung, merebut mikrofon yang dipegang oleh MC.

Devita menatap semua orang yang juga tengah menatapnya bertanya-tanya. Devita bukanlah bagian dari pengisi acara, lantas sedang apa dia diatas panggung? Seperti itulah yang orang pikirkan. Devita mencoba menarik napas panjang untuk menetralkan rasa gugupnya.

"BERDIRINYA GUE DISINI, SEBELUMNYA MAAF MENGGANGGU." Ada jeda sejenak, semua orang diam menunggunya melanjutkan ucapannya, "ANGGASTA, GUE SUKA SAMA LO! BENER-BENER SUKA!"

Semua orang sontak memekik kaget, bahkan tak sedikit ada yang mencemoohnya karena terlalu percaya diri. Sedangkan Anggasta, laki-laki yang baru saja ditembak oleh Devita, kini berjalan naik ke atas panggung yang sama. Lelaki itu berdiri di depan Devita dan membelakangi para penonton.

"GUE MAU JAWABANNYA, ANGGASTA." ucap Devita masih menggunakan mikrofon.

Anggasta meminta mikrofon lain pada panitia, setelah mendapatkannya, Anggasta berbicara, "LO ... BENER-BENER NGGAK TAHU DIRI, YA?"

Suara Anggasta begitu menyeramkan sekarang, semua orang yang semula ramai menyoraki kini terdiam, menantikan kalimat penolakan pedas dari lelaki itu.

"LO BUKAN TIPE GUE, DEVITA. PUNYA KACA NGGAK LO DI RUMAH? LO ... SAMA SEKALI NGGAK PANTES SAMA GUE!"

Mata Devita berkaca-kaca, tapi dia mencoba untuk tidak menangis, pantang baginya menangis dihadapan umum.

Anggasta menyeringai, "JADI, LO UDAH TAHU JAWABANNYA BUKAN?" Setelahnya Anggasta menyerahkan mikrofon itu pada panitia lalu melenggang pergi meninggalkan Devita yang mematung di atas panggung sendirian.

"HUUUUU!!! NGACA DONG NGACA! ANAK PELAKOR MACEM LO EMANG PANTES DAPAT KARMA!"

"HUUU!!"

Hati Devita benar-benar sakit. Sesaat matanya menatap Vanessa yang menyeringai dipelukan Anggasta.

PLUK

PLUK

Devita tak ubahnya seperti sampah sekarang. Acara promnight dimeriahkan olehnya yang rela menjadi bahan hinaan. Dia dilempari dengan sampah plastik berisi air yang membuatnya kotor dan basah oleh orang-orang. Karena sudah tidak kuat menahan tangisnya, Devita turun dari panggung, namun naasnya dia tersandung.

Tawa membahana setiap orang masuk di indra pendengaranya. Tawa yang puas melihat dia menderita. Devita bangkit dan lanjut berlari menuju rooftop. Dia tak mempedulikan rasa sakit di kakinya akibat terkilir, yang dia inginkan saat ini adalah ketenangan. Devita bahkan tak mempedulikan Elgra yang dia tabrak. Yang terpenting dia harus ke rooftop untuk menangis.

...-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-...

Langit malam yang cerah dan penuh bintang yang bersinar kelap-kelip sangat tidak cocok dengan kondisi Devita saat ini. Devita berharap, malam ini hujan deras, agar dia bisa menangis tanpa malu karena sang malam tidak akan melihatnya menangis. Hujan selalu bisa menghapus air matanya.

"ARGHH!!! GUE CAPEK!" Devita berteriak sekuat tenaga.

"KENAPA HARUS SELALU GUE? KENAPA? Gue ... Capek diginiin terus hiks ..." Devita terduduk lemah di lantai kotor rooftop. Memukul dadanya berulang kali karena rasa sesak dan sakit begitu memenuhi rongga dadanya. Devita menangis sejadi-jadinya.

"Hiks ... Gue nggak tahu lagi harus dengan apa ngehadapin manusia biadab macem mereka! Gue bener-bener capek hiks ..." Perlahan tangis Devita mereda. Devita bersandar di dinding pembatas dibelakangnya. Dia mendongak menatap bulan yang bersinar cerah. Senyum tipis muncul di bibir Devita.

"Kalau gue mati, nggak papa kali ya? Gue udah capek bang-" Devita menghentikan ucapannya kala melihat cahaya mirip pelangi turun dari atas langit.

Devita berdiri menatap hal itu tak percaya, dia mengusap-usap matanya berulang kali kalau-kalau dia tengah halusinasi.

BRAK

Devita terkejut, karena tiba-tiba saja tembok di samping pintu rooftop berlubang setelah terkena sinar mirip pelangi tadi. Devita berlari mendekati lubang itu. Tak lama muncul sebuah cermin kuno yang dikelilingi sinar biru.

Dari kaca cerminnya tiba-tiba muncul gambar seorang gadis berambut pirang. Hanya sebentar, tak lama kaca cermin itu berperan seperti televisi yang menayangkan sosok gadis berambut pirang tadi tengah berdiri menggandeng seorang perempuan berambut hitam yang nampak ketakutan.

"Sirena, adikku ... Hiks ... Apa yang ingin kau lakukan padaku? Ayo kita kembali pulang!"

Devita terkejut, jadi gadis berambut pirang itu adalah Sirena. Devita menutup mulutnya saking tak percaya. Dia kemudian lanjut menonton apa yang tengah dia lihat. Yang dia lihat ini seperti scene dimana Sirena menumbalkan Putri Nervilia.

"Tidak akan! Kakak! Kau tidak bisa bertunangan dengan Elephas! Elephas hanya untukku! Untukku!" Sirena berbicara dengan nada membentak.

"Hiks ... Sirena, aku takut ... Apa yang ingin kau lakukan hiks ... Lepaskan aku, Sirena! Lepaskan aku!" Putri Nervilia memberontak dari cekalan Sirena.

Sirena tertawa melihat raut wajah ketakutan Putri Nervilia, "Lihatlah dirimu, kakak! Kau menyedihkan! Lantas kenapa Elephas memilihmu?" Sirena kemudian menangis, "Aku iri dengan Kakak hiks ... Semua yang aku inginkan bisa dengan mudah Kakak dapatkan. Kasih sayang ... Juga orang yang kucintai ... Hiks ..."

Sirena kemudian memejamkan matanya sambil memegang liontin berbentuk bulan dan bintang pemberian ibundanya. Sinar biru bercampur hitam muncul mengelilingi tubuh Sirena. Melihat itu semakin membuat Putri Nervilia ketakutan.

"HAI PENGUASA CANOPUS! AKU MEMBAWA GADIS MUDA PADAMU, DIA ADALAH PUTRI NERVILIA, PUTRI KETIGA DARI KERAJAAN WILLAMETTE, CALON PERMAISURI PUTRA MAHKOTA KEKAISARAN ALHENA. AKU MEMBERIKANNYA PADAMU!"

"SIRENA! BERSEKUTU DENGAN IBLIS ADALAH HAL TERLARANG! KAU AKAN DIHUKUM BERAT KARENA INI!"

Devita menatap cermin itu yang sama persis seperti scene yang ada dinovel, dimana Putra Mahkota Elephas datang bersama Efarish Sirakusa untuk menyelamatkan Putri Nervilia.

Lalu cermin itu beralih di scene dimana Sirena meringkuk di penjara bawah tanah dengan kondisi yang tidak baik-baik saja. Gaun birunya sudah lusuh penuh noda darah dan terlihat compang-camping.

'Sirena putriku ... Semesta ini indah bila kau membuka matamu lebar. Langitmu cerah bila kau tatap sembari tersenyum. Namun semesta tak abadi, sesaat untuk ditempati. Perlu kau ingat putriku, bahwa kehidupanmu seperti lingkungan yang kau tempati. Ada kesejukan, badai, kepedihan serta akhir.

Sirena, kelak kau akan mengerti mengapa jalan takdir tak selalu memihak kepadamu. Satu hal yang perlu kau tahu, harapan adalah sesuatu yang lebih dari sekedar keajaiban jalan dalam keputusasaan yang menghampirimu.'

"Harapan? Haruskah aku membuat harapan?" Suara halus itu begitu lirih saat berucap. Pesan ibunya mengalun merdu di kepalanya.

Harapan? Devita bertanya-tanya dalam hati, sudah sering dia membuat harapan dan hanya berakhir menyedihkan. Entah kenapa suara halus milik ibunda Sirena juga bisa didengar olehnya. Seakan-akan dia adalah Sirena.

'Selalu ada kesempatan bila kau ingin, jangan pernah kehilangan harapan!' 

Sirena, gadis itu menatap liontin yang dia pegang. Permata biru saphire yang berada di tengah bintang itu menyala terang.

'Akan selalu ada kematian di setiap kehidupan. Jangan pernah takut.'

"Kau benar. Namun bila diijinkan, aku ingin menyambung hidup. Menjadi lebih baik dan belajar memahami keadaan." Sirena terdiam, gadis itu kini memikirkan hukuman yang akan dia terima besok pagi. Hukuman mati yang tak bisa dia hindari. Hukuman atas perbuatannya yang ingin mencelakai kakaknya, Nervilia Aragoana, calon Putri Mahkota dari Kekaisaran Alhena.

'Namun bila garis waktu, garis takdir, dan kuasa sudah tepat pada sasaran. Ingin berusaha sekuat apapun, semua akan terjadi. Jangan menyerah, jangan menyesal. Semua selalu indah sesuai rencana takdir Tuhan.' 

Sirena memejamkan matanya tatkala sinar yang ditimbulkan oleh kalung miliknya bersinar begitu terang.

Devita terkejut kala melihat sinar itu juga ikut menembus cermin. Angin kencang tiba-tiba menerpa Devita, sedangkan Devita sendiri tengah menghalangi matanya yang silau akibat sinar biru itu. Angin yang menerpa semakin kencang, ditambah dengan sinar biru itu menyinari dirinya.

PRANG

"ARGHH ...."

Cermin itu pecah berkeping-keping dan membuat tubuh Devita terhempas jauh ke belakang hingga membuat Devita terjatuh dari rooftop ke lantai bawah.

Brugh

Devita merasakan remuk disekujur tubuhnya. Matanya mulai memburam akibat sinar biru yang tak hilang-hilang. Rasa sakit di kepalanya membuatnya mengerang.

Hingga akhirnya Devita tak sadarkan diri. Namun sebelum kegelapan benar-benar menguasainya. Devita mendengar sebuah suara halus yang bergumam di telinganya

'Perasaan yang sama akan mengantarkan pada dua takdir yang menjadi satu'

...•───────•°•❀•°•───────•...

Terimakasih sudah membaca.

Ini cerita kedua saya, mohon dukungannya ya:)

Saya menerima kritik dan saran.  Apakah cerita ini menarik?

Chapter 3: Bebas dari Hukuman Mati

...╭┉┉┅┄┄┈•◦ೋ•◦❥•◦ೋ...

...         Selamat Membaca...

...•◦ೋ•◦❥•◦ೋ•┈┄┄┅┉┉╯...

Sayup-sayup Devita mendengar suara orang yang menangis dan memanggil nama seseorang. Devita mencoba membuka matanya perlahan.

"T-tuan P-putri ... Hiks ..."

Devita berhasil membuka matanya, yang pertama kali dia lihat adalah seorang gadis muda berambut cokelat dengan keadaan kacau tengah menangisinya.

"Tuan P-putri? A-anda sudah b-bangun?"

Tuan Putri? Tuan Putri siapa? Devita hanyalah manusia biasa, bukan orang bangsawan kerajaan yang bisa dipanggil Tuan Putri.

Devita pun bangun untuk duduk. Kepalanya terasa sakit sekali. Namun, dia tersadar kalau ada yang tidak beres. Saat melihat sekitarnya, Devita terkesiap.

"I-ini dimana?" Devita semakin terkejut kala mendengar suaranya yang terdengar merdu juga menggunakan bahasa yang sama sekali tidak dia mengerti.

"YA AMPUN! BAHASA APA YANG AKU GUNAKAN? INI DIMANA? MASIH DI BUMI KAN?" Devita memekik kencang sembari menatap sekelilingnya. Devita semakin kalut kala dia menyadari dia berada di penjara yang mirip dengan kartun yang dia tonton.

"T-tuan P-putri ... Anda baik-baik saja?" Gadis muda itu nampak panik sambil memegang kedua pundak Devita.

"PUTRI SIAPA YANG KAU MAKSUD HAH? AKU INI DEVITA! BUKAN TUAN PUTRI! DAN- ASTAGA! APA YANG TERJADI?" Devita mengangkat kedua tangannya, membolak-balik.

'Nggak mungkin! Ini bukan badan gue! Badan gue itu gendut dan item! Lha ini? KOK BISA PUTIH JUGA LANGSING BEGINI?'

Devita menatap gadis muda itu dengan wajah panik, "JELASKAN! JELASKAN APA YANG TERJADI? INI DIMANA? DAN S-SIAPA AKU?" Devita kalang kabut. Dia benar-benar terkejut dengan ini semua.

"T-tuan P-putri tidak ingat? T-tuan P-putri adalah Putri Sirena Stylanie Asthropel, anak dari mendiang selir Agalia Xi Asthropel dengan Raja Monachus Virgatus Gal Willamette. Tuan Putri berada disini, di penjara bawah tanah Kekaisaran Alhena karena kesalahan Tuan Putri, yaitu hendak menumbalkan Putri Nervilia kepada iblis Canopus." Jelas gadis muda itu dengan raut bingung juga khawatir bercampur menjadi satu.

Devita mencoba mencerna penjelasan gadis muda itu. Kata gadis itu, dia adalah Sirena? Akalnya tak bisa menyangkal hal konyol dan ajaib ini benar-benar terjadi. Devita masuk ke dalam dunia Sirena dan masuk ke dalam raga Sirena sendiri. Lantas apa yang harus dia lakukan sekarang? Di dalam novel itu jelas sekali bahwa Sirena akan dihukum mati, maka tamat sudah riwayatnya karena dia sekarang masuk ke raga Sirena setelah Sirena melakukan tindak kejahatannya itu.

'Gue harus apa? Novel isekai yang sering gue baca nggak yang kaya gue alamin sekarang. Biasanya mereka masuk ke dalam raga antagonis saat kejahatan antagonis belum dilakukan dan bisa menghindar dari takdir kematian, singkatnya mengubah alur cerita. Lha gue? Apa yang perlu gue ubah dari alur cerita ini?'

"T-tuan P-putri? Anda baik-baik saja? T-tolong jangan membuat saya semakin khawatir hiks ..." Gadis muda itu kembali menangis yang mampu menyadarkan Devita dari lamunannya.

Devita memandang gadis muda itu lamat-lamat, tak lama Devita merasakan kepalanya serasa dihantam oleh batu. Rasa sakitnya sama seperti saat dia terjatuh dari rooftop. Sekelebat ingatan milik Sirena berdatangan memaksa untuk Devita mengingatnya. Jngatan-ingatan itu hanya berisi wajah-wajah orang yang pernah ditemuinya.

"TUAN PUTRI! APA YANG TERJADI?" Gadis muda itu mengguncang tubuh Sirena dengan nada khawatir, "HEI KALIAN! TOLONG PANGGILKAN FARMOS UNTUK PUTRI SIRENA!" Gadis muda itu berteriak meminta tolong kepada para legion yang berjaga. **(Farmos \= dokter/tabib)

"Halah! Paling juga dia sedang melakukan drama murahan! Putri murahan seperti dia pasti melakukan segala cara agar terbebas dari hukumannya." Maki salah satu legion itu. **(Legion \= Prajurit/pengawal)

Devita membuka matanya kembali setelah rasa sakit yang menghantam kepalanya itu menghilang. Devita menatap gadis muda didepannya yang semakin pucat akibat mengkhawatirkan dirinya.

"A-apa kau Norma Ascella?"

Gadis muda itu mengangguk masih dengan tangisnya, "T-tuan P-putri kenapa? Jangan membuat s-saya semakin takut hiks ..."

Norma Ascella, salah satu Luster Sirena yang begitu peduli pada Sirena. Ada satu lagi Luster Sirena, yaitu Aysun Maia, sayang sekali gadis berambut hitam itu sudah meninggal dua bulan lalu karena melindunginya.  **(Luster \= Dayang/pelayan)

Devita memejamkan matanya sembari memijit pelipisnya. Sekarang, dia hidup di raga Sirena, maka sudah pasti ke depannya dia akan memerankan dirinya sebagai Sirena Stylanie Asthropel, anak selir yang terasing. Tetapi sebelum itu, dia harus terbebas dahulu dari hukuman ini sebisa mungkin.

"T-tuan P-putri hiks ... S-saya takut hiks ..." Norma meringkuk memeluk tubuhnya sendiri. Devita membuka matanya, lalu melihat Norma yang memang terlihat takut.

Devita menghela nafas panjang, dia sudah memutuskan. Dia akan bertahan hidup di dunia ini dan mencari alasan mengapa dia bisa masuk ke dalam tubuh Sirena. Devita merangkak lebih dekat ke arah Norma, kemudian memeluk lusternya itu.

"Aku akan berjuang untuk hidup kita. Kau percaya padaku, bukan? Ambang kematian di depan mata, namun harapan hidup masih ada. Kau harus percaya, Norma ..." Bisik Devita kepada Norma.

"Terimakasih karena selalu bersamaku, meskipun kau tahu, nyawamu adalah taruhannya."

Norma melepas pelukannya lalu menatap mata Tuan Putri yang selama ini dia layani, setelahnya dia menunduk. Tidak sopan terlalu lama memandang orang yang harus dia layani, "K-karena saya tahu, Tuan Putri adalah orang baik. Meskipun saya tahu, nyawa saya terancam, namun saya tidak bisa untuk tidak melindungi Tuan Putri. Sama seperti Aysun Maia yang rela mati untuk Tuan Putri, saya pun rela mati untuk Tuan Putri."

"Bukankah kau baru saja mengatakan takut?" Devita memandang Norma dalam. Ada yang aneh, bukankah tadi Norma mengatakan bahwa dia takut, tapi kenapa dia rela mati untuknya? Ralat, maksudnya untuk Sirena.

Norma menggenggam tangan Sirena dengan erat, kemudian mendongak, "Saya berani mengambil resiko. Bersama melayani Tuan Putri adalah tanggung jawab besar. Tuan Putri adalah sosok yang hebat di mata saya. Tuan Putri berani mengambil resiko untuk keinginan Tuan Putri." Norma melepas genggaman tangannya. Matanya tak luput mengamati Sirena yang masih terlihat cantik meskipun ada bekas luka di wajahnya.

"T-tuan P-putri ... Hari esok adalah hari peradilan untuk Tuan Putri begitupula saya." Devita ingat, di dunia Sirena, bila sang tuan melakukan kesalahan, maka pelayannya pun ikut terkena imbas, "Meskipun Tuan Putri tidak berhasil menyelamatkan saya, setidaknya Tuan Putri harus berhasil menyelamatkan nyawa Tuan Putri sendiri. Tuan Putri ... Saya tahu anda tersiksa selama ini. Maka dari itu saya selalu mendoakan agar kebahagiaan selalu menyertai anda." Norma tersenyum tulus.

Devita terhenyak dengan ucapan Norma. Dirinya yang sekarang sebagai Sirena merasakan perasaan haru. Tidak banyak seorang pelayan yang benar-benar peduli pada majikannya.

'Lo pasti selamat, Norma.' Devita meyakinkan dirinya.

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

Kenyataannya, harapan tak selalu membuahkan keajaiban. Ekspektasi yang terlalu tinggi memang sangat membahayakan kesehatan hati manusia. Itulah yang dirasakan Devita sekarang. Melihat tubuh tak bernyawa Norma Ascella didepannya membuatnya lemas bukan main. Matanya berkaca-kaca mengingat perbincangan terakhir mereka tadi malam. Devita sangat yakin bahwa dia akan berhasil menyelamatkan nyawa Norma. Sayang, dia tak bisa.

Tepat saat pagi hari menyingsing, sel penjara di buka oleh dua orang legion. Mereka menyeret Norma atas perintah Kaisar Helarctor Malayanus Xa Alhena. Tidak dia sangka senyum yang dilayangkan Norma padanya sebelum diseret keluar sel adalah senyum tulus terakhir dari Norma Ascella.

'****! Apa yang harus gue lakuin biar gue tetep hidup? Gue belum mau mati! Argh!! Gue bingung, gue frustasi, gue stress!'

Matahari di atas ubun-ubun kepala, pertanda hari sudah siang. Waktu dimana peradilan untuknya akan dimulai. Devita yang sekarang menjadi Sirena kini ditonton oleh banyaknya orang yang akan menyaksikan bagaimana dia akan merenggut nyawa. Devita sekarang berada di tengah alun-alun peradilan. Duduk merunduk dengan keadaan tangan terikat ke belakang. Dibelakangnya terdapat dua algojo yang siap membunuhnya kapan saja sesuai perintah Kaisar.

Devita mendongakkan kepalanya, menatap orang-orang yang berada di tribun khusus bangsawan. Disana ada ayahnya, yaitu Raja Monachus yang sama sekali tak keberatan atas hukuman yang akan diterima oleh putrinya.

...(*Alun-alun Peradilan Kekaisar*an Alhena)...

'BAPAK SIALAN ANDA! ANAK SENDIRI MAU MATI BUKANNYA DIBELAIN MALAH DIEM-DIEM BAE!' 

Amarah menyelimuti diri Devita sekarang. Terlebih saat melihat Elephas yang duduk berdampingan dengan Putri Nervilia yang menatapnya iba membuatnya semakin merasa marah. Devita merasa dunia terlalu tidak adil padanya. Dia baru saja merasakan hidup kedua, meskipun dia tak tahu betul bagaimana kondisi raganya sendiri, tapi sekarang dia harus mati. Dia hanya ingin merasakan kebahagiaan yang tak pernah dia dapatkan, bukan akhir tragis.

"TUAN PUTRI SIRENA STYLANIE ASTHROPEL, ATAS KESALAHANMU YANG HENDAK MENUMBALKAN CALON PUTRI MAHKOTA KEKAISARAN ALHENA, DENGAN BERSEKUTU DENGAN IBLIS BENUA CANOPUS, MAKA DENGAN INI, AKU MEMBERIMU HUKUMAN MATI ADALAH HUKUMAN YANG TEPAT!"

GONG GONG GONG

Gong besar yang berada di sebelah kiri alun-alun dibunyikan sebagai tanda bahwa eksekusi akan segera dimulai.

"SAYA TIDAK MAU MATI!"

Devita memutuskan, dia harus berjuang untuk sehirup udara hari ini yang akan dia hirup. Raga Sirena yang sekarang adalah dirinya, Devita. Maka jelas sekali hukuman mati hanya berlaku untuk Sirena, bukan untuknya.

"BEBASKAN AKU DARI HUKUMAN SIALAN INI! BEBASKAN AKU!"

'Gue ingin hidup ... Gue ingin bahagia ...' Harapan kecil muncul dibenak Devita yang paling dalam. Dia berjanji akan membuat raga Sirena ini bahagia dengan caranya sendiri sampai dia bisa menemukan cara kembali ke raganya.

"TEBAS KEPALANYA SEKARANG!"

'ANJIM! SIAPAPUN TOLONG GUE WOI!'

Tanpa disadari oleh Devita, kalung milik Sirena yang tengah dia pakai kini memendarkan cahaya biru bercampur putih tiga kali. Tepat saat algojo melayangkan pedangnya untuk menebas kepala Devita, langit yang semula cerah tiba-tiba menggelap, segelap malam. Petir menyambar-nyambar bercampur angin kencang yang memporak-porandakan benda yang ada di alun-alun peradilan.

Devita menyaksikan itu semua dengan mulut ternganga lebar.

'Buset! Apa iya harapan gue dikabulin Tuhan? Apa ini bentuk pertolongan dari-Nya?'

"Putri Sirena! Hentikan ini semua! Kau harus menghentikannya!"

Saking fokusnya menatap langit yang terdapat gumpalan awan hitam, Devita baru sadar bila didepannya ada seorang lelaki yang sangat Devita kenal. Efarish Sirakusa Kartago. Lelaki yang mendapat anugerah dari Dewa Sirius, yang disegani di penjuru Kekaisaran Alhena.

"Mengapa aku harus menghentikannya? Kalau aku mati, maka kalian pun harus mati juga, bukan?"

Devita bisa melihat raut wajah menyeramkan milik Sirakusa yang siap membunuhnya kapan saja. Tatapan mata lelaki itu sarat akan kebencian yang nyata padanya, "Kau melakukan kesalahan besar."

"Dimanapun aku berada, akan selalu ada kesalahan yang dilimpahkan padaku. Tapi tak apa, aku sudah biasa." Sahut Devita santai meskipun dia sendiri takut bila dia akan mati akibat badai yang sedang terjadi sekarang.

"Kau ..." Sirakusa kehilangan kata-kata saking kesalnya, "Kau ... Membangkitkan Raja iblis Canopus, Putri Sirena! Dan kau harus menghentikan ini semua!"

"Mari membuat kesepakatan. Aku akan menghentikan badai ini, tapi kau harus membuatku tetap hidup dengan membebaskan aku dari hukuman mati ini." Devita kini sudah berdiri tepat dihadapan Sirakusa.

Sirakusa menggeram marah, perempuan didepannya benar-benar licik. Sirakusa mengeluarkan sihir putih dari tangannya. Sihir itu dia arahkan ke atas langit.

Devita semakin terkagum-kagum melihat sesuatu yang ajaib yang ada di depan matanya, 'Gila! Gue bener-bener bisa lihat hal yang menakjubkan gini di depan mata gue sendiri! KERENNNN!'

BRUGH

Sirakusa terpental kuat ke belakang hingga sampai di tribun para bangsawan kerajaan juga kekaisaran. Sirakusa tak cukup kuat untuk membuat benteng pertahanan akibat bangkitanya Raja iblis Canopus. Hal ini tentu akan menimbulkan bencana dan kekacauan di seluruh benua.

"Sirakusa! Pertanda apa ini?" Kaisar Helarctor bertanya dengan nada cemas.

Sirakusa mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya. Netra merahnya menatap ke arah Sirena yang tak lain adalah Devita yang masih setia menatap langit dengan pandangan berbinar.

Sirakusa menunjuk Sirena, "Sirena, Tuan Putri yang satu itu adalah sang pembangkit. Raja iblis Canopus yang tertidur kini sudah bangun dan mulai menunjukkan keberadaannya."

"APA? BAGAIMANA BISA? ANAK ITU ... BAGAIMANA BISA DIA ADALAH SANG PEMBANGKIT?" Raja Monachus, ayah Sirena begitu terkejut dengan ucapan Sirakusa.

"Simbol mawar hitam di lengan kirinya, aku melihatnya yang tiba-tiba saja muncul." Jelas Sirakusa.

"Lantas, harus bagaimana? Aku tak bisa membiarkan rakyatku berada disituasi yang mencekam seperti ini. Kau harus mencari cara!" Kaisar Helarctor begitu frustasi saat melihat beberapa rakyatnya yang berlarian untuk menyelamatkan diri.

"Bukan hanya rakyatmu, Kaisar. Tetapi seluruh benua juga terkena dampaknya sekarang. Hanya satu cara yang bisa kita lakukan." Sirakusa kini menatap Kaisar Helarctor dan Raja Monachus bergantian, "Membiarkan Putri Sirena hidup, lalu menemukan Zifgrid, sang pengendali."

"Aku setuju! Tolong bebaskan adikku dari hukuman mati ini." Putri Nervilia yang sedari tadi diam kini ikut berbicara.

"Nervilia, apa kau tidak takut bila adikmu itu melakukan kejahatan yang bisa membahayakanmu lagi?" Elephas mencoba membujuk Nervilia agar menyeseli ucapannya.

"Aku tahu sebab adikku melakukan hal itu. Aku memaafkannya." Nervilia menatap tegas mata Elephas.

Melihat perdebatan kecil di tengah badai membuat sang Kaisar harus segera membuat keputusan. Maka dengan berat hati Kaisar Helarctor mengangguk ke arah Sirakusa, "Ya, aku bebaskan dia dari hukuman mati ini. Cepatlah! Suruh dia menghentikan badai mengerikan ini!" Perintah Kaisar. Seandainya di tribun  bangsawan tidak ada sihir pelindung, sudah pasti mereka akan tewas akibat badai ini.

Sirakusa melompat dengan kekuatan sihirnya hingga dengan cepat dia kembali berdiri dihadapan Sirena, "Kau bebas. Segeralah hentikan badai ini!"

Devita menatap Sirakusa yang tiba-tiba muncul dihadapannya, 'Menghentikannya? Gue kudu ngapain? Gue aja nggak tau caranya, gue kan bukan Boboiboy angin!'

Devita berdehem, "Y-ya, aku tak pernah mengingkari ucapanku.'  Devita mencoba memejamkan matanya, berharap agar badai ini mereda.

'Badai oh badai ... Kau harus berhenti ... Jangan membuat kekacauan!'

Devita tak mendengar suara apapun lagi setelahnya. Devita membuka matanya, "ASTAGADRAGON!" Devita begitu terkejut kala melihat badai yang sudah berhenti.

Seluruh rakyat yang semula berlindung dibawah perlindungan Avior, kini menatap ke sekeliling dengan pandangan bertanya-tanya.

"Badai tiba-tiba berhenti! Pertanda apa badai tadi?"

"Ini mengerikan!"

GONG GONG GONG

Bunyi gong yang kembali dibunyikan membuat fokus seluruh rakyat yang menonton kini terpusat pada sang Kaisar yang berdiri tegap.

Melihat badai yang sudah mereda, Kaisar Helarctor menepati ucapannya, "AKU SEBAGAI KAISAR DARI KEKAISARAN ALHENA, DENGAN INI MENYATAKAN BAHWA HUKUMAN PUTRI SIRENA DIHAPUS!"

Harapan kecilnya terkabul. Devita berhasil menghentikan kematian tragis seorang Sirena. Setitik air mata muncul di mata Devita sebelum akhirnya Devita terjatuh tak sadarkan diri.

...•───────•°•❀•°•───────•...

Terimakasih sudah membaca.

Ini cerita kedua saya, mohon dukungannya ya:)

Saya menerima kritik dan saran.  Apakah cerita ini menarik?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!