NovelToon NovelToon

Istri Kedua Keluarga Diranta

Pagi Naya - satu.

Pagi hari di rumah sederhana, seorang wanita dengan pakaian piyama bangun tidurnya. Ia sibuk menyiapkan sarapan dan bekal untuk kerja.

“Naya, dimana celana yang kau pinjam semalam?”

Suara nyaring wanita muda lainnya terdengar berada di kamar. Wanita itu menanyakan barang miliknya yang kemarin dipinjam teman satu atapnya itu—Naya.

“Aku cuci.”

Jawaban Naya membuat wanita yang sedang repot bersiap-siap untuk segera berangkat kerja itu dengan cepat membuka pintu kamarnya. Kepalanya terlihat menyembul dari balik pintu untuk menyembunyikan bagian bawah yang belum tertutupi.

“Ah yang benar saja. Kau ini! Sudah ku bilang, jangan dicuci. Aku akan pakai itu untuk berangkat ke kantor!”

Seolah santai dengan perasaan yang tidak bersalah, Naya yang sudah selesai masak itu pun menikmati sarapannya dengan mata yang menatap lawan bicara di depan.

“Celananya kotor. Makanya aku cuci. Kau pakai saja celanaku sebagai gantinya.”

“Ya sudah.”

Temannya itu tanpa malu berjalan mendekat ke meja makan dengan bawahan transparan—hanya memakai pakaian dalaman. Ia memutuskan bergabung untuk sarapan bersama Naya.

“Aku sudah mengirim lamaran kerjamu ke perusahaan Diranta.”

Teman Naya itu berucap dengan bangga, seolah ia sudah membantu orang yang sudah sekarat—alias pengangguran.

“Yuni! Aku sudah bilang tidak tertarik bekerja di perusahaan tempatmu bekerja itu.”

“Kau ini! Membuang berlian dan memilih batu kerikil. Jika kau juga bekerja di tempatku. Tidak hanya posisimu yang bagus tapi upahmu juga banyak. Tidak seperti pekerjaan yang kau lakukan sekarang. Untuk menjadi relawan juga tak apa. Tapi ini, kau menjadikan pekerjaan mengajarmu itu yang utama.”

Yuni mengutarakan kalimat panjang ini juga tidak akan mempan, Naya yang berhati mulia seperti malaikat, tidak akan mengubah keputusannya. Bukan sembarang, Yuni dengan lancang mengirim lamaran untuk Naya bekerja di sebuah perusahaan besar karena Naya salah seorang wanita dengan lulusan S1 di universitas ternama dan mendapat gelar cumlaude, menyia-nyiakan gelar sarjananya dengan hanya menjadi seorang pengajar di pendidikan kanak-kanak? Tidak masuk akal. Naya seharusnya mendapatkan hasil jerih payahnya menjadi seorang wanita karir.

“Sudahlah. Ini pilihanku.”

Naya beranjak ke tempat pencucian piring.

Yuni mendengus. “Jika aku jadi kau. Aku akan naik pangkat dengan cepat di Diranta. Sayang sekali, aku ini hanya lulusan biasa dengan IPK pas-pasan. Lulus dengan tepat waktu saja, aku sudah bersyukur.”

Yuni mulai membuat kisahnya, seolah-olah ia adalah manusia yang paling menderita. Tapi memang iya, Naya memiliki jalan hidup yang beruntung menurut Yuni, walaupun tidak untuk hal materi. Temannya itu tidak hanya pintar, tapi juga cantik. Saat kuliah, awal-awal waktu ospek saja Naya sudah diincar oleh para laki-laki, apalagi Kakak Tingkatnya. Lagi-lagi Naya menyiakan itu, dari awal hingga tamat kuliah, Naya tidak pernah berpacaran. Naya menolak semua laki-laki yang ingin menjadikannya seorang kekasih.

“Kenapa melamun cemberut begitu? Kau ingin terlambat kerja? Susah naik pangkat karena tidak disiplin baru tahu.”

Naya sudah selesai membersihkan semua peralatan bekas masak dan sarapannya. Kemudian ia melihat Yuni masih diam walaupun sudah selesai sarapan.

“Ah! Dasar. Jangan mengingatkan aku seperti itu dong.” Yuni semakin memberangus kesal.

“Sudah sana. Cari celanaku di lemari.”

Naya mengambil piring bekas sarapan milik Yuni dan mencucinya.

Yuni sudah masuk kembali ke kamar. Mencari celana milik Naya yang cocok untuk dipasangkan dengan atasannya. Melihat isi lemari Naya dengan pakaian yang lawas dan tidak ada yang menarik sama sekali membuat Yuni merasa hidup Naya ini sangat pelit untuk membeli pakaian baru saja. Walaupun begitu jika Naya memakai baju lawas miliknya ini tidak terlihat buruk. Mungkin lihat dulu orang yang memakainya secantik apa. Tapi benar, jika Naya ikut ajang Miss-Miss kecantikan di televisi itu, pasti Naya jadi juaranya kan? Sudah dikatakan kalau Naya tidak hanya cantik, dia juga pintar. Beruntung Yuni menjadi temannya dan tinggal bersama dengannya.

Yuni sudah berpakaian rapi dengan setelan yang biasa ia kenakan untuk ke kantor. Ia melihat Naya masih membersihkan meja makan. Jika dibandingkan dengan Yuni yang berangkat kerja jam 7 kurang, Naya lebih banyak waktu. Naya berangkat jam 8 biasanya.

Naya berbalik. “Sudah?”

Yuni mengangguk dan berjalan ke pintu, mengambil sepatu kerjanya di rak lalu ia kenakan.

Saat sudah menggapai gagang pintu, Yuni berbalik. “Oh ya. Kalau kau nanti pergi ke supermarket. Titip beras merah oke? Berat badanku mulai naik. Aku akan diet.” Setelah mengatakan itu, Yuni memberikan kecupan jauh untuk berpamitan.

Saatnya Naya yang bersiap untuk berangkat kerja. Ia masuk kamar dan melihat lemari yang belum ditutup dengan isi miliknya yang sudah tidak serapi semalam. Ia sudah membereskan lemari pakaiannya kemarin.

“Pasti terburu-buru,” Naya akan merapikan lemarinya dahulu lalu kemudian mandi.

Berbeda dengan Yuni yang sudah mandi lalu sarapan. Jika Naya, ia akan sarapan dulu karena Naya yang memasak, lebih tepatnya Yuni tidak pandai memasak. Satu keberuntungan lagi untuk Yuni yang tinggal bersama Naya. Kalau tidak, Yuni akan kerepotan sendiri dan ia akan menjalani hidup repot yang tidak sehat karena akan sering makan makanan cepat saji.

Setelah selesai merapikan isi lemarinya, Naya menyiapkan pakaian untuk kerja hari ini. Atasan kemeja wanita polos dengan v-neck tali dan celana hitam formalnya. Sudah sangat pas, sederhana namun elegan. Pakaian ini harga murah tapi kalau Naya yang memakainya pasti akan terlihat mahal seperti merek ternama.

Naya menghabiskan 30 menitnya untuk mandi dan memakai pakaian yang sudah ia siapkan. Ia mulai memoles wajahnya dengan make up sederhana. Kemudian menyisir rambut hitam sepanjang punggung dengan bawahnya yang bergelombang alami itu dengan tangan. Membubuhkan lip tint merah muda lagi, kemudian mengambil tas yang sudah berisi ponsel, dompet, beberapa make up—jika nanti luntur.

Setelah memastikan setiap tempat, seperti sudah mematikan kompor, kran air mandi maupun westafel, dan kunci semua jendela, kemudian ia keluar dan mengunci rumahnya. Meletakkan kunci itu di pot tanaman.

Naya berjalan ke tepi jalan raya menunggu busway datang. Beberapa menit kemudian, bus itu datang. Jarak TK tempat Naya mengajar tidak terlalu jauh, ia hanya menghabiskan 15 menit di perjalan.

Sampai di depan taman kanak-kanak—TK Dandelion—yang sudah ramai, terlihat banyak anak-anak yang bermain di perkarangan depan. Setelah turun dari busway, masuk melewati beberapa orang tua dan sedikit membungkuk untuk menyapa mereka.

Anak-anak itu beberapa menyambut berlari ke arah Naya.

“Selamat datang, Ibu Guru.”

Anak-anak serempak mengucapkan salam pada Naya.

Naya merangkul mereka yang berada di dekatnya dan menuntun untuk masuk ke kelas.

“Yuk masuk yuk.”

Menyuruh anak-anak yang lainnya yang masih bermain untuk masuk juga.

2021©IKKD

Wanita Paruh Baya - dua.

Selesai mengajar di TK. Naya berencana pergi ke supermarket untuk membeli kebutuhan dan juga titipan Yuni. Ia berangkat naik busway lagi karena hanya transportasi itu yang memadai.

Beberapa menit di perjalanan, akhirnya busway sampai di depan supermarket yang ramai. Setelah membayar ongkos, ia pun turun dan berjalan masuk ke supermarket itu.

Seperti supermarket pada umumnya yang selalu ramai pengunjung, apalagi siang hari begini.

Naya berjalan ke rak-rak sayuran kemudian ke bumbu-bumbu, memilah beberapa bumbu yang sudah habis di rumah. Memasukkan pilihan barangnya ke troli dan mencentang yang sudah masuk ke troli.

Selesai dengan itu, Naya ke kasir untuk membayar. Ia membuang napas kasar saat melihat antrian yang panjang di ketiga kasir tersebut. Harus sabar.

Setelah menghabiskan kurang lebih 30 menit untuk mengantri, saatnya Naya yang mendapat giliran. Total belanjaan tidak terlalu boros karena beberapa barang Naya mengambil diskonan. Ini hal lumrah untuk orang sederhana yang hidup mandiri.

Selesai urusan transaksi, Naya keluar supermarket dan kembali naik busway menuju rumah.

Di perjalanan pulang, ia seperti melupakan sesuatu. Tapi apa?

Sepertinya ia harus kembali ke TK dulu untuk mengecek. Takut-takut hal penting yang tertinggal. Jalur pulang memang melewati TK, jadi tidak sulit untuk balik arah atau ganti busway.

Naya turun tepat di depan TK. Terlihat halaman masih ada beberapa anak-anak yang masih bermain. Mungkin menunggu jemputan.

Naya masuk ke ruangnya dan mengecek meja. Tidak ada hal apapun. Lalu ke ruang kelas, tempat ia mengajar tadi. Juga tidak ada hal apapun. Lalu kenapa ia harus kembali ke sini. Kadang Naya memang harus mengecek kembali hal-hal yang mengganjal.

Naya berjalan keluar, karena menunggu busway ia duduk di taman depan TK yang teduh.

Saat duduk menikmati hembusan angin tipis, matanya menangkap sosok wanita paruh baya. Pasalnya wanita itu tidak asing bagi Naya karena Naya sering sekali melihat wanita itu berdiri persis di depan TK. Setiap Naya pulang pasti wanita itu ada di sana. Beberapa kali Naya bertanya pada orang tua murid tidak ada yang tahu wanita itu. Apakah wanita itu memiliki cucu yang bersekolah di TK—tempat Naya mengajar atau beliau adalah wali salah satu murid? Naya tidak tahu.

Dengan inisiatif Naya berjalan menghampiri wanita itu dan mencoba mengobrol. "Selamat siang, Ibu." Naya berucap ramah sambil tersenyum.

Wanita itu nampak terkejut sedikit lalu mengangguk, tanpa menjawab sapaan Naya.

"Apakah Ibu di sini menunggu seseorang?" Naya bertanya langsung ke intinya saja.

"Tidak." Wanita itu menjawab singkat.

Naya menjadi tidak tahu harus bagaimana. Naya mengambil botol minum tersegel yang ia beli tadi di supermarket. "Saya perhatikan Ibu sudah terlalu lama berdiri di sini. Bagaimana kalau Ibu berbincang dengan saya di kursi?" Naya menawari wanita itu untuk berteduh di tempat duduk.

Wanita itu menggeleng, beliau masih memperhatikan ke arah yang sama—dimana anak-anak yang masih asik bermain dan tertawa. Mengikuti arah pandang beliau Naya mulai bertanya lagi, "apa anak itu cucu Ibu?"

"Bukan."

Naya menangkap sekilas ekspresi beliau yang sedih karena pertanyaan Naya barusan.

Jika bukan, lalu untuk apa beliau di sini?

"Anda yang mengajar di sini kan?" Setelah beberapa saat terdiam, wanita itu bertanya pada Naya.

Naya mengangguk, "iya. Saya mengajar di sini."

Kemudian wanita itu berjalan ke arah kursi di dekat pohon dan duduk di sana. Tangan beliau melambai mengajak Naya untuk mendekat dan menepuk kursi di samping, menyuruh Naya duduk.

Naya menuruti dan duduk di sana.

"Nama anda siapa?"

Naya menengok menatap wajah wanita paruh baya itu, beliau cantik. "Nama saya Kanaya. Ibu bisa memanggil saya Naya saja."

"Naya. Saya Dona." Ujar wanita itu memberi tahu namanya pada Naya.

"Ibu Dona, saya sering melihat Ibu berdiri di sana." Naya menunjuk tempat wanita tadi berdiri.

"Iya. Saya suka anak kecil. Jadi saya sering melihat dan menonton mereka bermain."

Naya mengangguk sebagai respon. Walaupun ia belum paham tujuan beliau sering datang ke sini sendirian. Naya tidak pernah melihat beliau bersama orang.

"Ibu Dona sendiri datang ke sini?"

"Iya. Anak saya sibuk. Kadang dia suka menghabiskan harinya penuh di kantor."

Naya mengangguk lagi. Jadi beliau melampiaskan rasa rindu terhadap anaknya yang jarang pulang. Naya sedikit paham jika masalahnya seperti itu. Pasti beliau sangat merindukan anaknya.

"Begitu..."

Naya melihat botol di tangannya dan memberikan botol air minum yang ia pegang pada beliau. "Jika Ibu ingin minum. Silahkan."

Dona menerima botol minum yang sudah di buka tutupnya oleh Naya. Beliau meminumnya sedikit.

"Anda masih lajang?"

Pertanyaan ini memang sedikit tidak nyaman untuk Naya, tapi Naya tetap menjawabnya. "Iya. Saya belum niat untuk berhubungan."

"Umur?"

Naya mengernyitkan alis. "22 tahun."

Memang masih muda jadi tidak terlalu masalah untuk berhubungan serius pun nanti-nanti saja masih bisa. Apalagi Naya termasuk baru lulus kuliah.

Dona menghela napas. "Ya sudah. Saya pamit dulu."

Beliau bangkit dari kursi dan berjalan. Naya mengejar beliau, "Ibu rumahnya dimana? Saya antar ya?"

"Tidak perlu." Wanita itu mengayunkan tangan—menolak.

Naya berhenti, menatap wanita itu yang berjalan lurus. Masih menunggu wanita itu walaupun sudah jauh, tapi kemudian Naya melihat ada seorang pria setelan jas rapi yang berjalan mendekat ke arah wanita itu dan membungkuk memberi hormat. Naya jadi ingin tahu siapa sebenarnya Ibu Dona itu.

Naya berjalan berbalik setelah melihat wanita itu ada yang menjemput. Naya kembali berjalan ke sisi jalan depan TK, bus menuju rumahnya sudah berhenti berada di sana. Ia masuk dan duduk di dekat jendela.

Sampai di rumah. Ia meletakkan barang belanjaannya di meja dapur lalu ia menuju ke kamar mengganti pakaiannya menjadi setelan rumahan—atasan tanpa lengan dan bawahan celana pendek sepaha.

Naya kembali ke dapur menata serta mengisi kembali isi kulkas dan bumbu-bumbu dapur. Setelah selesai dengan kegiatan tersebut Naya merebahkan tubuhnya ke sofa, bersantai.

Di siang hari begini, setelah pulang bekerja. Biasanya Naya hanya bermalas-malasan—seperti membaca buku atau novel yang belum selesai ia baca. Jika ia lapar maka ia akan memasak satu porsi makanan untuknya sendiri dan jika malam tiba ia akan memasak untuk dua porsi orang, yang satu untuk dirinya dan satunya untuk Yuni. Yuni pulang sangat larut malam jadi ia kadang makan masakan Naya yang sudah dingin sendirian karena Naya sudah tidur lebih dulu.

2021©IKKD

...****************...

Perhatian!! : cerita ini termasuk dalam alur lambat. Jadi bisa saja menyebabkan kebosanan.

Interview - tiga.

Pagi ini Naya melakukan aktivitas yang sama, dengan setelan bangun tidurnya Naya sedang menikmati sarapan. Sebelum Yuni bergabung dan kembali berdebat masalah hal kemarin—lamaran pekerjaan yang diajukan Yuni ke kantornya. Bedanya sekarang, Naya diterima di sana.

"Kau sangat beruntung. Apa salahnya jika kau terima saja pekerjaan ini," ujar Yuni meminta pada Naya.

"Tidak." Naya menolak.

Naya mendorong mangkok yang berisi sup hangat ke dekat Yuni. "Pereda perut."

"Pereda perut apanya? Sekarang aku jadi pusing hanya karena memikirkanmu." Yuni memijat keningnya.

"Bagaimana tidak pusing? Kau tadi malam pulang dalam keadaan mabuk."

Tengah malam tadi, tepat pukul 12. Seseorang mengetuk pintu sangat keras. Biasanya jika Yuni langsung masuk saja karena membawa salinan kunci. Sampai mengganggu tidur Naya, untung Naya tidak pulas.

"Ah iya. Itu karena perayaan kerja keras kami berhasil, jadi perusahaan mengadakan pesta. Itu sangat seru, sayang sekali kau tidak merasakannya juga,"

"Karena itu, aku mohon padamu. Kau sudah diterima, jadi kau sudah termasuk dalam pegawai Diranta." Lanjut Yuni.

"Aku mohon..." Yuni menyatukan kedua telapak tangannya memohon pada Naya.

"Direktur tahu aku yang sudah mengajukan lamaran itu, jika kau tidak datang. Habislah aku," melas Yuni.

"Tidak. Itu kau yang lancang. Kenapa aku yang harus menanggungnya?"

"Ah kau ini! Keras kepala sekali," Yuni berdiri dari duduknya dan berjalan ke kursi Naya. Mendekap kepala Naya dan menguncinya di lengan. "Terima saja."

"Akh. Lepas..." Naya mencoba melepas tangan Yuni seperti sedang mencoba mencekiknya.

"Tidak mau. Terima dulu, katakan 'ya'. Baru aku akan lepaskan." Yuni masih bersikeras sampai Naya menyetujui untuk bekerja di perusahaan yang sama dengannya.

"Tidak akan..." Naya juga masih pada pendiriannya.

"Baiklah. Kita akan seperti ini terus beberapa jam kedepan. Aku tidak bisa berangkat bekerja dan kau juga tidak bisa pergi kemana-mana." Yuni mengancam.

"Kenapa kau sangat bersikeras memasukkan ku ke sana?" Naya bertanya dengan nada yang tertahan.

"Ini juga demi kebaikanmu," ucap Yuni.

"Lepaskan aku dulu," pinta Naya.

"Tidak akan. Katakan kau menyetujuinya, maka akan aku lepaskan," ujar Yuni.

Naya menepuk lengan Yuni untuk tanda minta lepas. "Kau ingin membunuhku? Lepaskan."

Yuni melonggarkan sedikit jepitannya, tapi tetap mengunci leher Naya. "Katakan 'ya'."

Sudah berjalan beberapa menit, keduanya masih tetap pada keinginan mereka. Ini menyebabkan waktu mereka terbuang. Naya berpikir untuk mengatakannya dulu, masalah ia akan datang untuk diwawancarai nanti saja.

"Ya."

Yuni langsung melepaskan jepitannya. "Kau sudah berjanji. Tidak boleh ingkar," ujar Yuni memperingati.

"Kapan interviewnya?" tanya Naya kemudian.

"Hari ini." Yuni menjawab santai.

"Kau gila?!" Naya terkejut.

"Memang hari ini. Kan sudah kubilang kemarin saat aku mengajukan lamaran itu, direktur langsung mengatakannya padaku. Kau diwawancarai hari ini." Yuni mengatakan sesuai apa yang terjadi.

Yuni pun terkejut kemarin. Saat dirinya mengajukan lamaran milik Naya—yang sebenarnya ia yang tulis—pada direktur timnya. Tidak disangka setelah direktur itu mengecek CV milik Naya. Langsung mengatakan, lamaran itu diterima.

"Maka dari kau mandi sekarang."

"Tunggu. Aku belum menyiapkan apapun."

"Jawab saja apa yang direktur tanyakan."

Yuni menggandeng lengan Naya, menariknya ke kamar untuk mandi. Kemudian ia bersiap-siap dengan setelan kerja.

Beberapa menit berikutnya, Naya juga sudah selesai dengan pakaian yang baru dibelikan oleh Yuni. Kemarin sebelum acara minum-minum Yuni mampir ke store ternama dan membelikan setelan terbaru untuk Naya. Sudah dikatakan bukan jika semua pakaian Naya itu sudah lama. Sebagai teman yang pengertian tentu ia membelikannya.

Naya bercermin melihat penampilan barunya, dengan atasan kemeja tali dan bawahan celana hitam formal. "Tapi..."

"Kau bisa menggantinya dengan gaji pertama kerja," ucap Yuni sambil memoles bibirnya dengan lipstik.

"Ayo. Kenapa kau malah berdiam diri di depan cermin begitu. Hari pertama bekerja harus tepat waktu. Itu menunjukkan bahwa dirimu disiplin." Yuni membawa Naya ke depan meja rias. Ia membantu mendadani Naya.

"Baiklah," ucap Naya kemudian pasrah.

...----------------...

Naya menunggu di panggil, saat ini ia berada di ruang resepsionis. Sedangkan Yuni sudah masuk ke ruangannya untuk bekerja.

Tiba-tiba perasaan jadi gugup. Ini memang pertama kalinya Naya diwawancara kerja. Semoga wawancara berjalan lancar.

"Kau di sini?" Suara langkah wanita mendekat dengan anggun.

Naya menengok, ia terkejut—tidak menyangka akan bertemu dengan wanita yang kemarin mengobrol dengannya. Naya berdiri dan menyapa, "Ibu Dona."

Wanita itu adalan Dona.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Dona.

"Aku dipanggil interview," jawab Naya.

"Kau akan bekerja di sini?" tanya Dona dengan wajah sumringah.

"Iya... Sebenarnya teman saya yang mengajukan," jawab Naya tersenyum kikuk.

Wanita itu tampak lebih anggun saat ini. Entah karena Naya melihat seperti itu. Naya tersenyum saat wanita itu menatapnya lembut

"Permisi—Ah," seorang wanita yang Naya ketahui adalah penjaga resepsionis itu sedikit terkejut saat mengetahui ada Dona yang sedang berbicara dengannya.

Naya menengok ke Dona. Dona tersenyum saat Naya menangkapnya seperti melakukan sesuatu.

"Nona Kanaya, silahkan ikut dengan saya." Resepsionis wanita itu membungkuk dan berjalan duluan.

Naya mengikuti resepsionis wanita di belakangnya setelah berpamitan dengan Dona. Naya mengikuti langkah wanita itu.

Tadi jika Naya tidak salah lihat, Dona memberi tanda pada wanita resepsionis itu. Apa wanita ini kenal dengan Dona?

"Maaf, apa anda tahu Ibu Dona?" tanya Naya akhirnya.

"Beliau—biasanya beliau datang." Resepsionis itu terlihat menyembunyikan sesuatu.

"Oh..." Hanya itu respon dari Naya.

Sepertinya memang begitu, Dona sering pergi kemana pun sendiri. Tadi ia juga tidak melihat beliau bersama dengan seseorang.

Naya sampai di lantai 30, resepsionis itu mengetuk pintu kaca buram dan masuk, Naya masih mengikutinya dari belakang.

"Direktur. Nona Kanaya sudah datang,"

Terlihat seseorang dibalik kursi besar itu memutar menghadap dua wanita di ruangan besar ini.

Pria yang Naya kira usianya masih muda sekitar 29-30an tahun.

Resepsionis itu meninggalkan ruangan direktur setelah pria itu mengizinkan keluar dan tinggallah Naya dengan direktur ini.

Direktur itu berdiri dan berjalan ke sofa. "Silahkan duduk."

Naya duduk bersebrangan dengan direktur.

"Kanaya Wulandari."

"Iya."

Pria itu membuka lembaran kertas pertama dan matanya bergulir membaca barisan sampai bawah. Kemudian pria itu menatap matanya.

Naya menangkap manik hitam milik pria itu.

"Tidak perlu wawancara apapun." Pria itu meletakkan lembaran kertas di meja. "Anda bisa langsung bekerja detik ini juga." Pria itu tersenyum.

"Ya?" Naya bingung.

Pria itu mengulurkan tangannya dan Naya menerima, menjabat tangan pria itu.

"Selamat bekerja. Anda sudah menjadi bagian dari Diranta."

Kemudian pria itu melanjutkan, "perkenalkan saya adalah direktur tim marketing, Stev Diranta."

2021©IKKD

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!