NovelToon NovelToon

Cerita Kita

Kenangan abu

Kenangan abu

Di jalanan di dekat lapangan basket, angin bertiup rindang di bawah langit yang sedikit mendung.

 

Aku berlari menuju tempat tak tentu arah. Ingatan yang kulihat itu masih membayang, tak peduli berapa banyak hari sudah berlalu sejak saat itu.

 

Orang-orang menatapku, pandangan kasihan dan sedih yang juga seolah sempat mereka rasakan tidak berpengaruh apa pun padaku.

Air mataku tetap mengalir, aku tak bisa lagi menahannya. Tubuhku bergetar, mulutku pun tetap tak bisa diam, suaraku perlahan keluar dengan kata-kata yang menggambarkan kondisiku.

“Ravi, jangan tinggalin Adel Ravi ...” sambil menutup mataku dan terisak.

“Ravi kan udah janji kalau kita bakalan sama-sama, kenapa Ravi pergi? Ravi kan dah janji sama A-Adel, jangan tinggalin Adel sendiri Ravi," air mataku kian deras alirannya. "Ravi gak boleh pergi, jangan pergi Ravi ....”

 

Begitulah kalimat yang keluar dari mulutku, sesaat aku melepaskan tanganku yang menutup mata. Aku melihat ke sana, telapak tangan yang sempat menggenggam tangan Ravi yang sudah dingin.

 

Ingatan itu tetap menemaniku, seolah menyuruhku untuk jangan pernah melupakan keberadaan orang yang pernah tertinggal di hatiku.

Mereka memelukku, sekilas terlihat bahwa air mata juga turun membasahi pipi sosok yang mengasihaniku. Benar mereka adalah teman-temanku. Tapi itu tak mempengaruhiku, karena sekarang yang aku rasakan hanyalah abu yang terbuat dari hatiku, abu dari kenangan yang terukir bersama Ravi karena tidak akan pernah kembali.

 

Benar dia tidak akan kembali, tidak peduli berapa kali pun aku memanggil namanya dia tidak akan kembali. Dia tidak akan pernah kembali. Pelukan yang kuharapkan darinya tidak akan pernah terasa lagi.

 

Tangannya yang menghapus air mataku juga sudah tidak akan ada lagi. Semuanya sudah tidak ada lagi.

 

Benar dia sudah pergi, benar-benar pergi dari sisiku untuk selama-lamanya.

  

“Adel jangan gini. Ravi gak akan tenang lihat lo kayak gini, sadar Del! Lo gak boleh kayak begini,” begitulah perkataan yang keluar dari bibir Andin yang memelukku.

  

Dia juga menangis, tapi aku tak tahu apa yang dia tangiskan dan aku tidak peduli itu.

  

Dia mengusap punggung dan kepalaku, seolah berusaha menenangkanku. Tapi kalimatnya itu menusuk hatiku, karena kenyataannya aku tak bisa menerima semuanya.

 

"Kalian tidak akan bisa mengerti perasaanku," itulah kalimat yang spontan tertulis di benakku. Hanya di hatiku, karena aku sudah tak mampu lagi berkata-kata.

 

Sekilas terlihat di mataku pandangan orang-orang sekitar, aku pun sadar bahwa tidak seharusnya diriku menangis seperti ini.

  

Perlahan, kucoba menggerakkan kaki agar hatiku menjadi lebih baik. Mencoba pergi dari sana untuk menenangkan diri. Benar, diriku lebih tenang karena semuanya perlahan berubah gelap. Tak sadar bahwa aku ternyata pingsan karena tekanan batin dan juga kelelahan yang kurasakan.

  

Andin berteriak memanggil namaku yang pingsan dipelukannya. Ria yang juga berdiri bersama berusaha menolong untuk mengangkatku. Entah perasaanku, sekilas rasanya aku bisa mendengar dan merasakan sentuhan mereka. Tapi keduanya cukup kesusahan untuk menggendongku, sehingga beberapa teman yang juga melihat kejadian itu datang membantu.

 

Marvel pun mengulurkan tangannya dan membantu menggendongku sendirian. Andin membawa tas milikku dan mengikuti langkah kaki sang pemuda yang membawa diriku ke tepi lapangan basket yang tidak begitu ramai.

 

Sedangkan Ria berjalan terpisah dengan mereka, menuju kantin untuk membeli air minum.

  

Marvel membaringkan tubuhku di tempat duduk yang tersedia di pinggir lapangan. Bahkan Andin pun membuka jaketnya dan melipatnya sebagai bantal bagiku.

 

Ari yang sebelumnya bersama dengan Marvel datang memberikan minyak angin. Ia meminjamnya, dari teman-teman cewek lain setelah melihat aku pingsan. Marvel pun menerimanya, mengoleskannya di pelipisku.

 

Di sisi lain Andin meletakkan tasnya sebagai bantal di bawah kakiku, sebagai penolong agar aku cepat sadar. Benar saja, tak lama aku pun mulai tersadar.

Perlahan-lahan membuka mata yang terasa aneh kesannya. Aku berusaha bangun dan dibantu oleh Andin dengan hati-hati, mencoba duduk diiringi raut wajah yang tak sehat.

Tampak Ria tengah berlari menghampiri kami dengan napas terengah-engah sambil membawa sebotol air. Ia membuka tutupnya dan menyodorkannya padaku sehingga aku pun meminumnya perlahan sambil dibantu oleh Andin.

 

“Lo dah baikan Del?” tanya Andin membelai rambutku. Aku hanya menggangguk pelan, mataku bengkak karena menangis tadi.

 

Tak ada satu pun dari orang-orang yang hadir di sini mengungkit hal-hal tadi. Aku sekarang sudah terlihat lebih baik, walaupun itu hanya tampilan luar. Entah sekarang seperti apa perasaanku orang-orang hanya bisa menebaknya saja.

  

“Del, gimana kalau kita pulang aja?” tanya Ria memecah suasana diam itu. Aku tidak menjawabnya, kecuali menunduk dengan tatapan kosong.

  

Andin yang membelai rambutku pun mengiyakan ajakan Ria. “Iya kita pulang aja, kita anterin lo ya Del,” sahutnya sambil memakai jaketnya yang tadi jadi bantal dan mengambil tasnya.

 

Marvel dan Ari hanya menatap kami, “kalian pulang pake apa?” tanya Ari.

 

“Kita sewa GoCar aja, sekalian antar Adel,” sahut Andin.

“Terus dari rumah Adel nanti sewa GoCar ke rumah kalian lagi? Habisin banyak duit, mending kita antar aja,” balas Marvel sambil melirik jam tangannya.

“Iya, mending isiin bensin motor gue daripada sewa GoCar,” sambung Ari.

“Iya sih, tapi gratis aja lah. Masa lo suruh kita bayar padahal lo sendiri yang nawarin, pelit amat sih lo!” tukas Ria.

“Gak papa kan jika kita pulang diantar mereka Del?” tanya Andin. “Kita bakalan antar lo pulang sama-sama kok.”

“Hm,” balasku sambil mengangguk pelan.

 

“Ya udah, gue panggil si Kevin buat antar juga ya, tunggu di parkiran,” sahut Ari meninggalkan kami.

 

Kami pun berjalan menuju parkiran. Tasku masih dipegang Andin dan ia juga merangkulku. Tampak jika kondisiku sudah jauh lebih baik dari yang tadi.

 

Di tempat yang berbeda, Ari pun sedang berjalan menuju ke tempat Kevin di mana ia sedang nongkrong di kantin seperti biasanya.

 

“Woi Vin, asyik amat sih di sini,” teriak Ari sambil memukul pundaknya.

“Apaan!?” balasnya menoleh.

“Yuk antar si Adel pulang, itu cewek pingsan tadi!”

“Pingsan kenapa?!” tanya salah satu teman cewek perkumpulan Kevin.

“Insiden terakhir mungkin!” balas Ari.

“Sumpah! Kasihan gue sama si Adel, gak kebayang kalau gue yang di posisi begitu,” balas yang lain.

“Vin, lo anter dong! Nongkrong aja kerjanya,” sambung anak lainnya.

“Iya bawel, gak lihat gue lagi mau pergi,” Kevin pun beranjak meninggalkan teman-temannya itu. Keduanya pun berjalan menuju parkiran.

“Kan cuma anter si Adel, kenapa gak lo aja?”

“Ada si Andin ama Ria juga, kurang satu ojek lagi,” tukas Ari.

“Lah! Si Andin bukannya ada cowoknya?! Kena tonjok kita!”

“Gak tau lah! Bacot aja lo dari tadi!” Ari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mereka pun akhirnya sampai di parkiran.

“Akhirnya datang juga, lama amat sih!” teriak Andin.

“Din! Cowok lo mana?” tanya Kevin.

“Dia gak masuk, nanti gue jelasin ke dia, dah lah langsung aja anter kita pulang!”

“Anter si Adel dulu kan?” tanya Marvel sambil mereka semua menoleh padaku.

“Gak usah, sendiri aja yang anter gue, yang lain pulang aja gak apa-apa,” sejujurnya aku tidak ingin tambah merepotkan mereka.

“Gak apa-apa, biar kita anter aja,” balas Ari.

“Gak usah, tolong gak usah, sendiri aja,” balasku. Aku sudah lelah dan tidak ingin menyusahkan mereka karena gara-gara aku mereka juga ikutan pulang.

 

“Ya udah, gue aja yang anter lo Del,” balas Kevin sambil memakai helm. Ia menghidupkan motornya, aku pun mendekat dan berbonceng padanya.

 

“Ya udah kita duluan ya,” sahut Kevin pada semuanya. Aku yang di belakangnya hanya menunduk diam, tak ingin melihat ke arah mana pun juga. Saat ini yang kuinginkan hanyalah pulang.

  

Semuanya akan bermula dari sini ....

 

Namaku Adel, Adelia Morva Agustina. Ini adalah kisahku, ceritaku yang akan menjadi pengalaman tidak terlupakan bagiku.

Aku berbagi cerita, sebagai pelajaran tentang apa artinya keberadaan seseorang, seseorang yang mungkin saja sempat jadi sosok berharga, entah siapa pun itu bagiku. Setidaknya yang lain harus bersyukur karena masih sempat menjalani kebersamaan dengan orang-orang yang pernah melintasi hidup kalian.

Semoga kenangan-kenangan ini tidak menjadi abu dan tertiup angin yang bernama kehidupan.

Debutku

Namaku Adelia Morva Agustina, biasa dipanggil Adel.

Sekarang adalah debut pertama untuk masuk SMA setelah MOS yang menyebalkan.

Potongan rambutku Bob dan berwarna sedikit coklat. Itu warna asli lho!

Kalau kulitku jangan ditanya lagi, warnanya Belti alias belang tiga. Padahal aku aslinya kuning langsat. Eh, tapi entah kenapa sekarang jadinya leher, betis, kaki hitam. Kalau lengan sama wajah sih coklat, yang kuning langsat ya bagian yang gak disebut saja. Hehehehe.

Karena ini debut pertama di SMA, aku bersiap sebaik-baiknya. Baju baru sudah disetrika dengan parfum loundry wangi cetar membahana. Rambut beraroma shampo di iklan-iklan, badan pun sudah bermandikan hand and body lotion, deodorant sudah terpasang, jadi apalagi yang kurang?!

 

Benar! Sekarang yang kurang adalah duit jajan, aku pun melangkah keluar kamar dan meminta uang pada papaku.

"Pa! Minta duit!"

"Rp15.000,00 cukup? Kamu kan diantar jemput, lagi pula kamu palingan juga cepat pulangnya," sahut si papa sambil mengeluarkan uang dari dompet.

 "Masa iya Rp15.000,00, bisa dapat apaan nanti?" celotehku dengan sikap manja yang menggelikan mata.

 

"Gak bersyukur kamu! Coba cari duit sendiri, Rp5000,00 belum tentu dapat kamu!" sambung si mama yang meletakkan teh dan roti di meja makan.

"Ya sudah, Rp20.000,00 gak pakai tawar," lalu papa menyodorkan uang itu padaku dan dengan sigap aku mengambilnya.

"Yaah mendinglah daripada Rp15.000,00," lirihku. Selesai sarapan papa akan mengantarku ke sekolah dengan mobil.

"Bukannya sok amat ya kalau pake mobil, biasa juga pake motor," ocehku seolah tak bersyukur.

"Kapan lagi kamu naik mobil ke sekolah? Besok-besok belum tentu bisa," sahut papaku sambil mengambil tasnya.

Walau penampilannya standar, papaku berprofesi sebagai guru Kimia di SMA mana?! Rahasia! Sedangkan ibuku bekerja sebagai agen travel dan ketua koperasi daerah. Aku juga memiliki kakak perempuan yang masih SMA kelas 3. Sayangnya dia memilih tinggal di rumah nenek, karena dia cucu kesayangan di sana.

 

Kami bertiga pun menempuh perjalanan ke lokasi masing-masing dalam satu mobil.

Aku orang kedua yang turun dari mobil setelah mama, selesai berpamitan aku pun memasuki gerbang sekolah. Sebagai murid baru tentu saja aku gugup, sehingga melirik kian kemari untuk menguntit orang yang kukenal.

 

Untungnya benar-benar ada orang dikenal sedang berjalan di belakangku.

"Woi!" teriak si Andin sambil memukul bahuku.

Aku mengenal Andin sejak kelas 2 SMP karena dia murid pindahan di kelasku dulu. Sayangnya kami beda kelas sekarang karena si Andin di kelas 10-3 dan aku 10-2.

 

Selesai upacara kami masuk kelas masing masing. Untungnya aku dapat kursi di sudut paling belakang, jadi paling tidak bisa menyontek atau tiduran. Dan terlebih bersyukur lagi juga bisa makan-makan. Memang gak benar aku sebagai murid ya.

 

Aku melirik ke semua sisi, memandang wajah dan style para murid sekelasku. Mana tahu ada yang tampan jadi bisa siapkan seribu satu cara untuk mengincarnya. Dasar, padahal baru bau kencur akunya dan ternyata ....

 

Selesai berkenalan di kelas layaknya basa-basi padahal sudah saling kenal pas MOS, kami belajar dengan santai. Namanya juga hari pertama.

Aku pun langsung mendapat teman bernama Ria dan dia duduk di depanku, kayaknya ini anak juga tipe gak benar. Baru masuk sudah baca komik, kayaknya komik cinta-cinta kalau lihat covernya.

 

Aku sekali lagi menoleh ke sekeliling kelas, sekali lagi mengintai wajah dan style para murid. Lalu tampaklah tujuan mataku tersangkut pada lima anak cowok mencolok dan enam anak cewek bikin merem melek.

Anak cowoknya bernama siapa saja? Penasaran?

Pertama Rio, kulitnya di tengah-tengah kuning coklat, hidung kecil namun alis tebal dan tinggi dariku.

Kedua Roma, kulit hitam manis, tapi hidung mancung, bulu mata lentik dan setinggiku.

Ketiga Davi, kulit putih hidung pesek, rambut undercut tapi cebol dariku.

Keempat Ari, kulit kuning langsat, tapi alisnya kayak cewek cetak rapi, tangannya lentik cantik, tapi juga cebol dariku. Kalau lihat tangannya tipe-tipe anak manja kata ibu-ibu tetangga.

Kelima Iqbal, rambut pendek tapi kayaknya keriting mie kalau panjang. Tapi jangan salah-salah hidungnya mancung, tinggi 5 cm dariku, kulit juga belang tiga, sama dong kita! Hehehehe mana tahu jodoh, iya kan?

Kalau anak cewek sih standarnya sama kayak aku, mimpi akunya kali ya.

Tiga anak cewek wajahnya agak putih berbeda sekali dengan punggung tangannya jadi terlihat lebih mencolok, rasanya gak perlu kusebutkan namanya, sebab privasi.

Sedangkan si Ria juga mencolok bodinya aduhai sekali. Tapi rambutnya panjang sepinggang kayak artis shampo siapalah namanya.

"Jadi bintang shampo lain? Hehehehe! Kalau aku sih yesss!" Mungkin begitu ekspresi si Ria sambil memegang komiknya kalau lagi syuting.

Nah kalau anak cewek yang dua lagi itu rambutnya sama-sama ikal sebahu. Wajahnya agak mirip, bedanya satu kulit hitam manis yang satu lagi coklat, komposisi lainnya sih sama persis. Ya iyalah persis, namanya juga kembar Rere Riri. Si Rere kopi si Riri susu, jadinya kopi susu.

 

Tentu saja yang lain tidak masuk hitungan. Akunya memang tidak peduli dan tidak mau menyebutkan, karena waktu pun sudah menunjukkan saatnya istirahat. Aku lalu mengajak Ria untuk bertamasya ria ke kelas Andin.

Ternyata Andinnya gak ada, lalu aku pun bertanya kepada anak kelas Andin di manakah dia berada.

 

Salah satu anak cowok di kelas itu pun memberitahuku kalau Andin di UKS karena dia mimisan.

Siapa sangka, jika anak cowok yang menjawab pertanyaanku itu adalah cowok yang akan meninggalkan lubang besar di hatiku. Lubang besar di beberapa tahun yang akan datang. Lubang besar yang tidak bisa aku tutup bahkan dengan keberadaan siapa pun untuk menggantikannya.

 

Aku dan Ria melangkah ke UKS untuk menemui Andin. Tidak peduli bagaimanapun kondisinya, aku ingin memperkenalkan Ria padanya.

Setibanya di UKS, Andin terciduk sedang mengupil, sayangnya di zamanku hp tidak secanggih sekarang. Kelihatan banget kebohonganku, yang benar saja! Sudah zaman layar sentuh loh, sudah mewah kalau di eraku itu.

Eraku? Kayak berada di zaman purba beda rasa saja ocehanku. Mari lurus ke topik utama teman-teman!

Sayangnya kami berdua tidak membawa hp yang aku sombongkan itu, karena tertinggal di dalam tas. Kalau tidak, pasti sudah bisa dibayangkan seperti apa wajah si Andin terpasang sebagai meme.

"Ndin!" teriakku mengacaukan kenikmatannya. "Fokus amat ya?!" aku dan Ria tertawa melihat tingkahnya.

"Apaan sih, ini karena darah beku di hidung tau gak?!" ocehnya untuk menutupi perbuatannya.

"Alasan! Oh ya, aku mau kenalin teman baruku si Ria, Ria Magdalena."

Andin pun mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Tapi Ria kelihatan ragu-ragu dan tertawa.

"Yang bener aja Ndin, ini tangan gak steril," tukasku padanya.

"Yang kanan ini steril. Nih lihat-lihat, gak percaya amat sih," balas Andin tak mau kalah sambil menempelkan tangannya ke pipi.

"Issshhh, jorok!" sahutku sambil diselingi tawa. Hari itu berlalu begitu saja tanpa adanya kejadian menarik yang terjadi.

 

Begitu bel pulang berbunyi, aku langsung menuju gerbang sekolah, karena ojek suruhan mama pasti sudah datang menjemput setelah aku kabari tadi.

Dulu, terkadang setiap pulang sekolah aku tidak langsung ke rumah melainkan ke tempat kerja mamaku. Tapi karena lokasinya lebih dekat dengan sekolahku yang sekarang jadi gak makan waktu lama buatku ke sana. Sehingga nanti sore kami bisa pulang sama-sama ke rumah.

 

Menyontek

 

Hari ini aku akan pergi ke sekolah dengan bawa motor sendiri. Begitu selesai meminta uang pada papa dan berpamitan, aku pun langsung berangkat.

 

Aku mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Begitu sampai di sekolah, tanpa basa-basi aku pun memarkirkannya di parkiran depan karena aku lumayan cepat datang dari murid-murid yang lain.

 Di perjalanan ke kelas aku berpapasan dengan si kembar kopi susu, kami pun berjalan bersama.

 

“Del, wajahmu mulus, pake bedak apa?” tanya Rere padaku.

“Bedak bayi, tapi yang wangi strawberry,” jawabku seadanya.

“Masa iya, sekarang udah gak jaman bedak bayi yang serius dong Del!”

“Lah aku serius kok!” sambil menggosok wajahku dan membuat bedak yang mempercantik wajahku pun memudar.

“Minggir! lelet amat!” teriak si Davi cebol pada kami bertiga.

“Apaan sih! Sabar dong! Jadi cowok ngalah lah!" ocehku.

“Ngalah?! Mimpi! Huh!” balas Davi sambil menoleh sombong masuk ke kelas mendahului kami.

“Iiihhhh dasar cebol!” umpat Rere pelan.

 

Dalam hatiku, “dasar cebol! Muka oke, sikap enggak banget ....”

Lalu sekilas aku menatap ke pintu masuk kelas si Andin dan ternyata, cowok kemarin yang memberi info padaku itu juga berdiri di depan pintu bersama temannya.

Ia juga melihatku. Sekilas kami saling bertatapan dan pandangan pertama awal aku berjumpa pun berlantunan merdu dalam bayangan kita. Sayang sekali, tapi aku pun langsung masuk tanpa mengindahkan tatapan normal begitu.

 

*******

Pelajaran pertama pagi itu yaitu matematika dimulai. Setelah selesai belajar, kami lalu diberi tugas latihan dan si guru pergi keluar meninggalkan kelas entah ke mana.

 

Jujur saja, otakku berkabut kalau belajar matematika. Jadi pilihan terbaik adalah menunggu sambil mengintai siapa yang terlihat cerdas dan mencontoh tugasnya.

 

Ria yang duduk di depanku menunduk sambil mengerjakan tugas dengan rajin.

"Aha! Ini kesempatan emas bagiku untuk menyontek padanya," teriak batinku senang.

Tanpa basa-basi aku pun langsung berdiri mendekatinya dan ternyata! Semua tak sesuai bayanganku ....

Jeengg! Jeenggg! Jeng! Jreeeenggggg ...!

Ternyata dia tidak bikin tugas melainkan membuat gambar. Aku benar-benar bingung dengan ulahnya. Dia ke sekolah untuk apa?! Kalau begini mending tidur di rumah, tapi harus kuakui gambar buatannya lumayan bagus.

“Ria! Kamu menggambar? Emang tugas kamu dah siap?!” tanyaku sambil mengagetkannya.

“Aku gak ngerti, mau gimana lagi,” jawabnya polos tanpa dosa sambil tetap menggambar.

Dalam hatiku, “haduh ... Apes banget nasib dapat teman otaknya dodol!”

Padahal aku sendiri juga sama dodolnya kayak dia. Tapi entah kenapa aku gak sadar, mungkin karena itulah kami jadi serasi sekali kalau berteman.

Aku pun melirik ke kiri dan kanan. Perlahan berjalan mendekati si kembar Riri, “Ri kamu ngerti bikinnya?” tanyaku penasaran.

“Lumayan, tapi ada juga yang gak ngerti."

“Kasih tau caranya dong, aku ambil buku dulu ya," tukasku. Padahal dalam hatiku sudah berbunga-bunga bisa menyontek kerja keras otak orang.

Aku pun menghasut si otak dodol, “Ria, si Riri udah ada yang selesai tuh, mau bikin sama-sama? Daripada nanti guru datang tapi tugas kita masih kosong.”

Padahal niatku mengajaknya agar kalaupun ketahuan dan diledek anak lain gak masalah, toh kita sama-sama melakukannya.

 

“Iya, ayo!” mukanya tampak senang sentosa.

Kami berdua pun melangkah menuju meja Riri. Riri pun sedikit kesusahan diakibatkan ulah kami yang menyampah ke tempatnya. Bagaimanapun juga, itu terjadi karena kami berdua sama-sama meletakkan buku di atas meja Riri sehingga membuatnya repot.

Padahal di kelas Andin dan juga sebagian kelas lain duduknya berdua-dua, tapi kenapa di kelasku hanya sendiri-sendiri saja?

Semuanya masih menjadi misteri.

“Kalian berdua tugasnya masih kosong?! Terus dari tadi ngapain aja?!” tanya Riri terheran-heran.

“Menggambar,” jawab Ria jujur.

“Ya ampun sudah SMA otak kok kosong gini isinya?! Ya udah lah, menyontek aja padaku.” Riri pun menggeser tangannya agar kami bisa melihat dan mencontoh dengan mudah.

 

Memang langka teman yang begini, aku dan Ria pun menyontek semua tugas Riri sambil berdiri. Tapi ada juga beberapa soal yang kosong karena Riri tidak mengerti materinya, jadi pilihan terbaik adalah ke tempat Rere untuk menyonteknya bersama-sama.

Aku pun menoleh ke tempat duduk Rere, tapi posisinya ia sedang berbalik ke belakang.

Dibelakang Rere ada Davi si cebol, singkatnya dia cowok paling mini ukurannya di dalam kelas. Sepertinya Rere menyontek tugas Davi. Akan tetapi mereka terlihat damai berdua, mungkin saja Davi menyukainya. Kami bertiga pun menghampiri kediaman Rere dan Davi cebol.

"Sudah isi semua nih!” sela Riri sambil mencoba duduk di pangkuan Rere.

“Berat Ri, berdiri aja kalau mau menyontek,” tukas Rere instan.

Davi yang sibuk menulis pun mengangkat kepalanya dan menoleh pada tamu tak diundang seperti kami bertiga yang berdiri di sampingnya.

“Apa? Mau menyontek, iya? Enak banget ya?” oceh Davi cebol dengan tatapan meledek. Sumpah, raut wajahnya kayak minta ditonjok tau gak.

“Apaan sih, lo pelit amat! Mana ada yang mau sama lo kalau macam begini jadi manusia!" oceh Ria.

"Ya ampun Ria, padahal kita datang karena memang butuh otak si cebol yang kelihatan cemerlang, tapi mulut manismu mengacaukannya," gerutu hatiku.

 

“Mau menyontek gak tahu di untung lagi, aduh cewek zaman sekarang, ya ampun.” Ia pun geleng-geleng kepala. Tapi Ria tidak mempedulikannya dan tetap menyontek tugas Davi. Aku dan Riri juga mengikuti langkahnya.

Ria memang gak tahu diri, sudah mengoceh tapi masih saja tetap menyontek. Untung Davi gak melarang kami, tapi ia kerjanya cuma menulis lalu melirik, menggeleng dan menulis lagi melihat tingkah kami.

Padahal itu bukan hal besar, karena berbagi otak yang pintar pada otak pemalas adalah sedekah. Itu sih prinsip utama bagi sebagian murid mungkin dan aku adalah salah satu suporternya.

Setelah selesai menyontek kami kembali ke tempat masing-masing. Sampai jam pelajaran pertama habis, gurunya masih belum kembali. Entah di mana dirinya berada. Tak lama sekitar 5 menit jam pelajaran hampir berakhir, guru pun datang dan menyuruh kami mengumpulkan tugas ke depan di mejanya.

 

Ia juga memberikan pr. Ya ampun, matematika itu benar-benar enggak banget buatku.

Pelajaran pertama selesai dan berganti ke pelajaran kedua Sains.

 

Di pelajaran kedua ini kami disuruh kerja kelompok dan satu kelompok terdiri dari lima orang. Di kelasku cuma ada 30 murid, jadi pas ya kalau dibuat enam kelompok. Kelompok terdiri dari barisan depan ke belakang. Itu berarti aku sekelompok dengan Ria.

Tiga orang tambahan yang lain adalah cowok. Aneh banget gak sih kalau cowok duduk di bangku satu, dua, tiga, sedangkan cewek di bangku empat dan lima?!

Ternyata cowok yang bergabung di kelompokku adalah Ari, Iqbal dan Roy.

Wah ... itu dua orang adalah cowok yang bikin pandanganku tersungkur padanya. Sudah bisa dibayangkan seperti apa hatiku dikelilingi cowok-cowok yang mencuci mata.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!