"Iya, iya Tante. Segera!"
Shasha menutup telepon dan memasukannya ke dalam tas sekolah. Dia bergegas menuju pasar tradisional yang dikenal becek dan bau.
Tante selaluuu begitu. Baru juga bubar sekolah, udah langsung titip dibeliin ini itu ke pasar. Pake bilang segera dan selalu pake uangku dulu.
Shasha menggerutu dalam hati. Bukannya apa-apa, selama ini Shasha hanya mengandalkan uang saku yang dikirim Zidan, kakaknya. Terlebih saat ini banyak sekali kebutuhan tambahan yang harus ia bayar di awal bulan. Sisanya hanya cukup untuk uang jajan sekolah beberapa minggu ke depan. Shasha tidak pernah berpikir untuk meminta uang tambahan karena sekarang Zidan sudah berkeluarga.
Meskipun hatinya menggerutu, tetapi tak pernah sekali pun Shasha menolak permintaan sang tante. Padahal, belakang ini tubuhnya terasa malas untuk melakukan banyak aktivitas.
Gadis itu tak ingin larut dalam keluhannya. Dia cepat berlari sambil mengingat-ingat pesanan yang harus dibeli. Setelah menyelesaikan belanjaan tersebut, ia segera pulang dan harus tiba di rumah dalam waktu tiga puluh menit. Demi menyelematkan sedikit uang yang seharusnya dia keluarkan untuk ongkos angkutan umum, dia lebih memilih pulang dengan berjalan kaki. Tentu saja dia harus melangkah lebih cepat supaya tidak terlambat tiba di rumah.
Entah karena berjalan terburu-buru atau memang kurang berhati-hati, tiba-tiba Shasha terjatuh dalam keadaan pingsan, tepat setelah sebuah sepeda menabraknya. Shasha ambruk dan belanjaannya pun berserakan di jalan.
Sang pengendara sepeda, memindahkan tubuh gadis SMA itu ke pinggir jalan. Dia memegang pergelangan tangan Shasha dan memeriksa sedikit luka di area sikut dan juga lutut yang tergores permukaan jalan beraspal.
Denyut nadinya lemah banget. Kayaknya kecapean.
Lelaki itu mengeluarkan kotak P3K dari dalam tas kerja. Karena dia seorang dokter, tentu saja benda seperti itu tidak asing baginya. Dia kibaskan minyak kayu putih di hidung Shasha supaya gadis itu cepat sadarkan diri dari pingsannya. Lalu, dia pegang lutut Shasha karena ingin membersihkan luka-lukanya, tetapi belum sempet ia lakukan, karena Shasha terlebih dulu sadar dari pingsannya. Spontan dia berteriak karena kaget sambil mengangkat tubuhnya sendiri meski sedikit terhuyung.
"Ehhh! Apa-apaan, nih?! Kenapa pegang-pegang?" teriaknya sambil menunjuk lelaki di hadapannya. "Jangan pikir bisa curi kesempatan, ya! Mentang-mentang jalanan lagi sepi." Sambil menatap sekeliling yang memang sepi sekali. Dia berdiri clingukan mencari keberadaan barang-barang miliknya.
"Heii! Itu luka kamu mau diobatin dulu, gak? Nanti bisa infeksi," seru sang dokter sambil menunjuk ke area tangan yang berdarah.
"Enggak usah!" tolaknya keras. Dia segera berjongkok memungut barang-barangnya. "Yang harus diselamatkan kan barang-barang belanjaan ini. Kalau enggak, habislah aku."
"Oh, My GOD! Ini rusak semua. Tante bisa murka nanti." Shasha bingung harus melakukan apa dengan barang-barang yang rusak itu. Dia bahkan melupakan luka di tangan dan kaki yang semakin lama, semakin terasa perih. Akhirnya, gadis itu kembali duduk di pinggir jalan sambil memberi tiupan di kulitnya yang tergores.
"Sudah saya bilang, saya mau mengobati lukamu dulu. Diamlah sebentar saja," ujar dokter muda sambil menarik tangan Shasha dengan paksa.
"Ck, heran, kenapa bisa seperti ini?" Sang dokter mengamati luka Shasha satu per satu. Sementara gadis itu diam tanpa ekspresi. Dia hanya membayangkan reaksi tantenya saat tiba di rumah nanti. Tiba-tiba dia mengguncang kepalanya berulang-ulang karena merasa geram.
"Arrgghh! Ini semua gara-gara Anda! Bagaimana aku bisa pulang ke rumah?" bentaknya. Ingin rasanya Shasha memukul pria di depannya karena berpikir dialah penyebab kecelakaan ini.
"Heii ... tadi itu mana saya tahu kalau kamu mau nyebrang tiba-tiba. Seharusnya kamu tidak pingsan karena aku tidak benar-benar menabrakmu."
"Kamu kecapean kali, Dek. Kamu tidak pernah melewatkan sarapan pagimu, 'kan?" Pria muda ber-title dokter itu tengah menyelidik.
Shasha hanya diam, tak ingin menjawab apa pun. Lalu pria itu bertanya kembali masih sambil mengobati lukanya.
"Siapa namamu? Sekolah di mana?" tanyanya karena ia lihat, Shasha masih mengenakan seragam SMA. Masih belum mendapatkan jawaban dari gadis di hadapannya, dokter itu pun mendongak menatap wajah Shasha yang masih kesal. Sang dokter tersenyum kecil dan kembali mengobati lukanya.
"Panggil Sha aja." Tiba-tiba Shasha menjawab dengan malas.
Mata lelaki di depannya membeliak lalu menatap dengan keningnya yang berkerut. "Namamu Sha?" Seperti merasa aneh lalu pria itu menoleh ke dada Shasha, membuat gadis itu turut mengernyit seraya menarik tangan yang tengah diobati dan langsung menutup dada dengan kedua tangannya itu.
"Anda jangan kurang aja, ya! Dasar mesum!" ucapnya sambil memalingkan badan ke samping.
"Haaiiis, ini kan belum selesai. Tanganmu masih harus dikasih plester dulu," ujar dokter sambil menarik kembali tangan Shasha.
"Kamu itu kecil-kecil, kok suudzon, sih. Saya kan cuma lihat nametag yang ada di seragam kamu. Cuma mau memastikan aja nama kamu benar apa enggak."
"Menyebalkan sekali. Udah mesum, banyak tanya lagi," gumamnya Shasha. "Lihat baik-baik, nama saya Banafsha, abis itu lupain aja."
"Ba-bas ...?" Pria itu coba mengucapkan nama Shasha. Namun, tidak bisa.
"Bukan, Mas, bukan Ba-bas tapi Banafsha. Udah kubilang, lupain aja." Shasha semakin dibuat kesal.
"Ohh Bas--" Belum sempat menyelesaikan ucapannya namun Shasha kembali menyela.
"Banafsha, Mas, Ba-naf-sha." Shasha mengeja namanya dengan nada suara yang meninggi.
"Aahh, sudahlah. Namamu itu terlalu aneh, lidahku sampai belibet mengucapkannya." Entah kenapa dia sulit menyebut nama Lengkap Shasha.
"Lagian, siapa yang menyuruh Anda mengucapkannya? Lupain, jangan sampai kita bertemu lagi di masa mendatang. Aku gak mau kena sial gara-gara Anda," tukas Shasha dengan gayanya yang masa bodoh.
"Banana nama yang cocok buat kamu. Lebih enak diucapkan." Pria itu mengangguk pelan seperti sedang mendapat Ilham.
"Sshh ... terserah Anda ya, Mas, yang penting Anda sudah bisa lepasin tangan saya. Saya harus buru-buru pulang." Shasha menarik tangannya dan langsung berdiri. Tak lupa ia memungut tas dan kantong belanjaan lalu pergi.
"Banana!"
Langkah Shasha terhenti. Meski malas, ia tetap menoleh ke arah dokter yang memanggilnya dengan sebutan baru.
"Jangan mengganti namaku seenaknya! Anda pikir, Anda siapa?"
"Saya akan mengganti belanjaanmu yang rusak. Sebelum pulang ayo kita beli yang baru," tawar sang dokter muda sambil tersenyum.
Shasha berpikir sejenak. Awalnya dia ingin menolak, tetapi akhirnya dia setuju demi menyelamatkan diri dari kemarahan sang tante gara-gara pulang telat dengan belanjaan yang rusak. Kalau ia beli yang baru setidaknya hanya akan dimarahi karena terlambat pulang saja.
"Baiklah," jawab Shasha.
"Naik sepedaku, ya!" Dokter menunjuk jok di belakangnya.
Dengan terpaksa Shasha menuruti perkataan pria yang baru dikenalnya itu.
"Gowes sepeda itu sehat untuk kesehatan," ucap dokter sambil mengayuh sepeda kesayangannya.
"Gak nanya," jawab Shasha ketus.
"Aku cuma punya sepeda saja. Kamu gak malu kan, naik sepedaku?"
"Mau naik sepeda, kek, naik delman, kek. Yang penting anda ganti belanjaanku."
"Aku pikir masih untung yang nabrak kamu cuma sepeda, bukan delman."
"Boro-boro untung! Ini sial namanya."
"Setidaknya, pemilik sepeda lebih tampan dibanding kusir delman."
"Ish! Anda mengidap syndrom PD akut, ya?" Sambil bergidik. "Di mata ABG seperti saya, orang tampan itu gak tua seperti Anda, Mas."
Tiba-tiba sepeda berhenti dengan rem mendadak membuat Shasha kaget dan menghentikan ucapannya.
"Mas ...?!" teriak Shasha kesal karena tubuhnya harus bersentuhan dengan punggung sang dokter. Shasha mencubit pinggang pria itu lalu turun dari sepedanya. "Anda sengaja, ya, berhenti mendadak?"
"Maaf, ada kucing lewat di depanku tadi," jawab dokter sambil terkekeh.
BERSAMBUNG ....
#Makasih buat like dan komennya, gaiss. Jangan lupa klik favorit, ya. ❤️ 😘😘#
Mohon maaf, ini karya pertama saya. Tulisan masih berantakan dan belum sempat revisi 🙏
Shasha tiba di depan rumah. Dia tau akan mendapat omelan dari tante Mira karena terlambat membawa belanjaannya. Sebelum dia membuka pintu, terlebih dahulu ia tarik napas dalam-dalam lalu dibukalah pintu dan ternyata tantenya sudah berdiri menunggu. Shasha hanya menundukkan kepalanya di hadapan tante Mira.
"Kelayapan kemana dulu kamu jam segini baru pulang?" Tanya tante Mira seraya mengambil belanjaan dari tangan Shasha dengan kasar.
"Maaf, Tante. Ta-tadi ... ada kecelakaan kecil di jalan."
"Ngeless aja kamu, kebiasaan," ujar tantenya sambil melayangkan tatapan laser.
"Sudahlah biarkan tante ngomel dulu sepuasnya," batin Shasha pasrah. Dia hanya perlu diam dan mendengarkan saja. Setelah itu dia bisa masuk ke kamar dan beristirahat.
****
"Di kamar rumah Shasha yang ia tinggali sendiri, letaknya bersebelahan dengan rumah tante Mira. Ia merebahkan badannya di tempat tidur. Belakangan, dia selalu merasa cepat sekali lelah dan sering pusing-pusing. Melihat luka-luka di tangan dan kakinyanya, ini memang bukan karena tertabrak sepeda, tapi karena kaget, pingsan lalu terjatuh.
"Ya, mungkin pria itu benar. Aku memang terlalu sering melewatkan sarapan jadi badanku lemah, apalagi di bawah terik matahari yang sangat panas aku selalu pusing lalu pingsan. Ah, sudahlah sebaiknya aku membersihkan diri dan solat ashar dulu," batinnya sambil pergi ke kamar mandi.
...🌼🌼🌼...
Pagi-pagi sebelum berangkat sekolah.
"Aku harus sempatkan sarapan dulu sebelum berangkat. Hari ini ada ulangan biologi, semoga aku ingat semua pelajaran yang ku hafal semalaman. Belakangan nilaiku anjlok semua, hampir frustasi rasanya karena sekarang aku menjadi sangat sulit untuk mengingat & sering kehilangan konsentrasi dalam belajar. Entahlah, aku tidak tahu apa yang sudah terjadi dengan diriku hingga menjadi sebodoh ini." Berulang kali Shasha memukul kepalanya sendiri.
Untuk menempuh perjalanan ke sekolah hanya butuh 15 menit dari rumah, sengaja brangkat sepagi mungkin supaya bisa berjalan dengan santai tapi tetap saja baru setengah perjalanan udah ngos-ngosan. Untunglah, Sita berhenti tepat di depannya jadi Shasha bisa nebeng di motor Sahabatnya itu.
"Senangnya kamu datang tepat waktu,Ta."
"Kenapa? kamu kangen aku ya, Sha? Tapi maaf sayang, aku sudah punya pacar," selorohnya sambil terkekeh.
"Ya gak apa-apa, aku bisa rebut kamu dari pacar kamu kok, hahahaha." Mereka tertawa dan saling bercanda.
Sita adalah satu satunya sahabat yang dimiliki oleh Shasha, karena sejak orang tua Shasha meninggal akibat kecelakaan 5 th yang lalu, Shasha menjadi sangat pendiam, hanya dengan Sita dan kakak laki-lakinya--Zidan, dia akan sedikit terbuka untuk bicara, tapi Zidan sudah menikah dua tahun yang lalu dan menetap di Bekasi karena pindah tugas ke sana. Jadi sekarang, Shasha terpaksa tinggal sendiri di rumah peninggalan orang tuanya di Bandung. Rumah yang bersebelahan dengan rumah alm. kakeknya yang kini ditempati oleh tante Mira dan anaknya--Rena.
*****
Dua sahabat pergi ke kantin di sela waktu istirahatnya. Sita melihat ada tempelan plester di tangan dan kaki Shasha yang menjadi pusat perhatiannya sejak bertemu tadi pagi.
"Sha, sikut tangan sama lututmu kok banyak plesternya? Itu kenapa, sih?"
"Oh ini ...." Shasha menatap kembali bekas luka-lukanya. "Kemren abis jatuh," jawabnya dengan datar.
"Sha ... Sha." Sita menggelengkan kepalanya pelan. "Kamu tuh masih aja kaya anak kecil. Sembrono dan sedikit ceroboh, jadinya dikit-dikit jatuh dikit-dikit jatuh, belum lagi suka nabrak orang kalau lagi jalan, mending ya kalo yang di tabrak itu cogan (cowok ganteng) ckckck," ucap Sita sambil membayangkan kebiasaan Shasha.
Deg!
Tiba-tiba saja Shasha kaget karena teringat laki-laki tampan yang menabraknya. Itu membuat Shasha keselek minuman dan hampir nyembur kemana-mana. Untungnya masih ketahan hanya saja, matanya masih membulat tak kunjung berkedip. Dia coba mengingat wajah laki-laki itu. Namun, seperti biasa, ingatannya langsung kabur. "Jangan-jangan Sita tahu kejadian kemarin," batinnya.
"Kenapa Sha?" tanya Sita.
"Ahh ... gak apa-apa, hehe." jawabnya sambil cengengesan.
"Oh ya, tar pulang sekolah main ke rumahku yuk," ajak Sita.
"Aku gak bisa deh kayaknya. Sekarang aku butuh istirahat di rumah."
"Kamu kenapa, kamu sakit Sha?" tanya Sita khawatir.
"Ah, gak apa-apa sih cuma suka sedikit pusing aja belakangan ini. Memangnya nanti kalau aku pingsan di jalan kamu mau gendong aku sampe rumah? Enggak, 'kan?"
"Ishh ... serius, Sha! kalo kamu sakit aku anter ke dokter tar pulang sekolah."
"Diihh ... so perhatian. Aku gak apa-apa kok tenang aja." Shasha kembali menyeruput minuman dari sedotan. "Aku mau lgsung pulang ke rumah, karena aku butuh waktu untuk belajar. Kamu tahu sendiri 'kan belakangan ini nilai ulanganku kaya gimana? Makin lama semakin terjun bebas. Ck," jelas Shasha sambil berdecak.
"Iya bener Sha. Ada apa sebenarnya? Aku heran kok bisa anjlok gitu banget nilai kamu?"
"Iya makanya, Ta! aku harus lebih rajin belajar di rumah."
"Ok kalau begitu, semangat ya, Sha. Jangan berkecil hati." Sita menyemangatinya dan Shasha mengangguk sambil tersenyum tipis.
****
Setelah menempuh perjalanan pulang dari sekolah menuju ke rumah, Sha terpaku di depan rumahnya sendiri. Dia membulatkan matanya. Lagi-lagi dia merasa kaget. Pandangan matanya tertuju pada sebuah papan nama yang tiba-tiba muncul di sana. Seingatnya tadi pagi dia tidak melihat benda itu. Entah apa yang terjadi selama dia pergi sekolah, dan apa maksud dari papan nama itu? Di sana tertulis sebuah nama,
'dr. LUTHFIE FAHMI' dan di bawah nama itu tertulis seperti jadwal praktek umum, lengkap dengan nomor telepon tertera di sana. Tidak sampai di situ, ketika ia masuk ke dalam rumah, dilihatnya ada beberapa orang tengah menata barang-barang dan entah milik siapa barang-barang sebanyak ini tiba-tiba memenuhi rumahnya? "Mungkinkah mereka salah masuk ke rumahku?" tanya Shahsa dalam hatinya.
"Tunggu! Kalian sedang apa di rumahku? Siapa yang menyuruh kalian melakukan ini?"
"Maaf, neng ... kami hanya menjalankan tugas. Ini semua barang-barang pak dokter, dia yang menyuruh kami, hanya itu saja," jawab salah satu pekerja itu.
"Pak dokter? Pa dokter siapa maksudnya? Coba cek kembali alamat rumahnya, siapa tahu salah. Ini rumah saya, bukan rumah Pak Dokter yang kalian maksud. Kalian tidak boleh melakukan ini."
"Ahh, ya ampuun ... ada-ada saja mereka ini. Harusnya kan lebih teliti sebelum melakukan sesuatu," batin Shasha sambil mengembuskan napas kesalnya.
"Maaf, Neng, ini alamatnya sudah benar, kok." Seorang sopir menunjukkan sebuah kertas kecil bertuliskan alamat yang sama persis dengan alamat rumah Shasha.
BERSAMBUNG...
#Jangan lupa like👍, komen + fav❤️, rate ⭐ bintang 5, Thanks 😘😘#
Sambil mengerutkan keningnya, Shasha berulang-ulang membaca kertas bertuliskan alamat di sana. Bingung, kenapa bisa terjadi seperti ini. Rumahnya kini penuh dengan barang-barang milik seseorang yang entah di mana keberadaannya.
Tiba-tiba seorang pria tiba di sana. Dia muncul dari balik pintu utama.
"Mang, tolong semuanya langsung dirapikan, ya," perintahnya pada sopir dan pekerja yang dia bawa. Dia masuk untuk mengecek barang-barang miliknya.
"Loh, anda ini siapa? Main masuk ke rumah orang, meletakkan barang-barang seenaknya." Shasha menghampirinya sambil berkacak pinggang.
"Saya sudah menyewa rumah ini, apa ada masalah?" ucapnya sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Namun, semakin dekat dia semakin bersikap aneh. sambil memicingkan matanya dia menatap Shasha seakan-akan sedang mengingat sesuatu. Tak sampai di situ, karena dia terlalu tinggi lalu dia bungkukkan badannya untuk mensejajarkan bahunya dengan bahu gadis kecil di hadapannya. Dengan tangan tetap berada di saku celana samping kiri & kanannya, kepala mendongak bergerak mengitari wajah Shasha. Menatap sambil membulatkan matanya. Sementara Shasha merasa sedikit ketakutan, dia terlihat menjauhkan wajahnya menghindari gerakan kepala pria yang berada di depannya.
"Orang aneh! Apa dia yang mereka panggil dokter? Dia pasti dokter yang paling aneh di dunia ini. Datang membawa tas kerja lengkap dengan jas putihny yang rapi, tapi sayang, gak matching dengan celana pendek dan sendal jepit merk Sw*low-nya itu, Dan kenapa matanya tak berhenti menatap, membuatku takut setengah mati."
Sebenarnya selain menjadi seorang dokter, pria tampan bernama Luthfie ini dikenal cuek pada gadis yang terlalu mencari perhatian di depannya, akan tetapi sebagai dokter dia cukup baik dan ramah apa lagi terhadap anak kecil. Hanya saja, memang gaya dan tingkahnya sedikit aneh dan eksentrik.
"Cukup! apa yang anda lakukan, kenapa menatap saya sprti itu?" tanya Shasha.
Setelah lama menatap akhirnya sang dokter menjentikan jarinya di depan wajah Shasha yang ketakutan.
"Hhooiii ... Banana!? Hahahaha,"
ucap sang dokter sambil tertawa girang seakan-akan sedang mendapatkan undian berhadiah.
"A-anda yang kemarin menabrak saya?" Shasha hanya ingat dia satu-satunya orang yang memanggil dengan sebutan Banana, meskipun mereka baru bertemu kemarin, tapi Shasha bisa lupa begitu saja kejadiannya.
"Kita sudah pernah bertemu kemarin. Aku gak percaya bisa secepat itu kamu lupa? Dasar anak kecil," ujar sang dokter sambil mengangkat wajahnya.
"Saya luruskan lagi, ya, nama saya bukan Banana tapi Banafsha."
"Hmm, no no no ... Banana," ucapnya sambil menggelengkan kepala. Alih-alih memperbaiki dia bahkan mengucapkannya dengan jelas sambil mengusap ujung kepala Shasha lalu tersenyum seraya menaikan kedua alisnya, seperti yang sering dia lakukan pada pasiennya yang masih kanak-kanak. Tiba-tiba saja dia merasa gemas dengan tubuh Shasha yang kecil.
"Dihhh, suka-suka anda sajalah itu tidak penting. By the way, yang ingin saya tanyakan kenapa anda bisa ada di rumah saya, apa anda tidak salah masuk rumah orang hah?"
"Saya rasa saya tidak salah, saya benar-benar sudah menyewa rumah ini, bukan kah ini rumah ibu Mira?"
"Apa?! Tante Mira!" Shasha langsung menjatuhkan tubuhnya yang lemas di sofa.
"Jadi ... tanpa sepengetahuanku, tante sudah menyewakan rumah ini. Ya ampun, tante tega sekali," gumam Shasha.
Sambil memiringkan kepalanya, dokter itu menatap Shasha yang kebingungan, tak lama kemudian Shasha bangun dan lari menuju rumah sebelah tempat tante Mira dan anaknya--tinggal.
"Tante! tante ...! tante dimana?" Shasha mencari-cari di setiap sudut ruangan. Namun, sepertinya sang tante belum berani menampakkan batang hidungnya di depan Shasha.
"Sha, ada apa? Apa yang terjadi?" Rena--anak satu-satunya dari tante Mira, keluar dari kamarnya.
"Kak Rena pasti tau dimana tante Mira? tolong panggil dia aku ingin bicara."
"Sejak pagi ibu belum pulang Sha, ga tau kemana bahkan ibu menutup warung nasi seharian ini, kamu kenapa sih?"
"Kak, malem ini aku boleh tidur bareng kak Rena ga?"
"Duhhh ... gimana ya, Sha? Aku ga biasa berbagi kamar dengan orang lain. Masalahnya, kamarku sempit Sha."
"Sudah ku duga, aku akan mendapat jawaban seperti itu," batin Shasha.
"Ok fine. Maaf ya Kak, Sha udah lancang. Buatlah Kaka senyaman mungkin." Shasha berlalu dari hadapan Rena, sementara dia masih bingung, apa yang harus dia lakukan sekarang? Ia lari ke atap. Untuk sementara, ia bisa duduk disana sambil berfikir.
Next 👉
#jangan lupa like + fav, rate 5 and vote sebanyak banyak nya, thanks 😘😘#
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!