NovelToon NovelToon

Kisah Awan, Hujan, Dan Matahari

I. Saat Hujan Bertemu Matahari

Cekrek!

Varsha tak henti-hentinya menggambil berbagai swafoto di tebing cantik tempatnya berdiri. Namun begitu dia hendak mengambil selfie berikutnya, ia malah jadi salah fokus dengan seseorang yang berdiri jauh di belakangnya. Varsha berbalik dan mengamati orang itu. Seorang pria. Berperawakan tegak dan tinggi. Dilihat dari jarak Varsha berdiri, sepertinya cukup tampan. Yah, mungkin setelan jasnya juga membantu meningkatkan ketampanan beberapa persen.

Pria misterius itu tiba-tiba berjalan selangkah mendekati pinggir tebing. Jangan bilang kalau pria itu mau...

...

...

“Maaf Kak, boleh minta tolong fotoin?” Tanya Varsha nyaris berteriak. Napasnya tersengal-sengal sehabis melakukan sprint barusan.

Pria itu terdiam sejenak dan akhirnya mengangguk sambil mengambil ponsel Varsha. Kemudian dia melangkah menjauhi tebing untuk mendapatkan sudut yang bagus. Melihat itu, Varsha diam-diam menarik napas lega. Pria itu akhirnya mendapat jarak yang baik dan bersiap mengambil foto. Ia mengulurkan tangannya ke atas membentuk angka satu…

Lalu berubah menjadi dua…

Varsha tersenyum lebar berpose dengan membuat simbol hati kecil dengan kedua tangannya di depan dadanya.

Tiga… cekrek!

JEDAR!!

Petir berbunyi keras disertai dengan hujan yang tiba-tiba turun dan lama-kelamaan semakin deras. Varsha pun mengambil ponselnya dari pria itu lalu mengucapkan terima kasih dan berlari menjauhi tebing mencari tempat berteduh.

Varsha tiba-tiba teringat sesuatu dan membalikkan badannya. Pria itu masih berdiri di dekat tebing dan tidak bergerak, membiarkan hujan membasahi sekujur tubuhnya. Varsha pun berbalik arah dan berlari mendekati pria itu.

Dalam hujan deras Varsha berteriak, “Ayo, cari tempat berteduh!”

Lalu tanpa banyak berpikir dia meraih tangan pria itu, menuntunnya untuk mengikutinya. Varsha sempat mengira pria itu akan melawan tapi ternyata tidak. Mereka berdua pun berlari bergandengan tangan menuju karavan tempat Varsha menginap.

***

Varsha menyodorkan handuk ke arah pria itu dan dia mengambilnya. Untung saja ada dua handuk yang disediakan karavan. Kalau tidak, Varsha harus mengorbankan salah satu bajunya untuk dijadikan handuk.

“Terima kasih.” Ucapnya pelan yang direspon dengan anggukan dari Varsha.

Varsha mengangguk lalu masuk kembali ke dalam karavan mengambil satu lagi kursi lipat dan meletakkannya di dekat pria itu.

“Karena kita jelas asing dengan satu sama lain dan kemungkinan ke depannya sepertinya juga begitu. Ditambah lagi hujan deras yang sepertinya masih lama akan berhenti….” Ucap Varsha memulai percakapan.

“Bagaimana…. jika berkenalan dengan nama samaran?” Lanjutnya ragu-ragu.

“Aku mulai ya. Namaku…hmmm… Rain.”

“Hai, namaku Rain.” Ucap Varsha sekali lagi.

Pria itu tersenyum tipis, “Karena hujan?” Tanyanya kemudian.

“Karena hujan.” Respon Varsha sambil mengangguk.

Dalam hati Varsha lega karena sepertinya idenya berhasil. Ditambah lagi senyum tipis pria itu juga lumayan manis. Kalau boleh jujur sesungguhnya Varsha tidak memilih ‘Rain’ sebagai nama samarannya karena sedang hujan, tapi memang 'Varsha' dalam Bahasa Sansekerta artinya hujan. Varsha tiba-tiba teringat bagaimana orangtuanya menjelaskan asal nama 'Varsha' padanya.

“Namamu?” Tanya Varsha cepat sebelum dia terenyuh lagi ke dalam memorinya.

Pria itu tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, “Sun.”

“Son? Anak laki-laki?” Tanya Varsha memastikan.

“Sun. Matahari.” Jawab pria itu.

“Karena kamu berharap segera ada matahari?” Canda Varsha yang dibalas dengan senyuman tipis lain dari Sun.

“Jadi, Sun, kenapa kamu berkunjung ke Tebing Purwa?” Tanya Varsha.

Sun tampak meremas pelan handuknya sebelum akhirnya menjawab, “Pelarian.”

“Rain sendiri?” Tanyanya balik.

“Sebenarnya tadi aku mau teriak-teriak melepas stres, tapi takut kamu kaget terus nyemplung ke jurang.”

Mendengar jawaban Varsha, Sun tertawa kecil panjang. Bahkan dia sampai meletakkan satu tangannya ke mulut berusaha untuk menahan tawanya. Varsha pun otomatis juga ikut tertawa, wajahnya menampakkan dua lesung pipit manis.

“Pelarian dari?” Varsha memberanikan diri bertanya lagi.

“Hmmm….” Sun terdiam. “Aku pun tidak yakin dari apa...” Sambungnya pelan.

Melihat ekspresi wajah Sun mengingatkan Varsha sewaktu ia kehilangan orangtuanya. Sedih, kesal, marah, sakit bercampur aduk menjadi satu dan dia tidak bisa mengungkapkannya sehingga ia hanya bisa diam dan menghilang…

“Semuanya akan baik-baik saja.”

Sun sudah sering mendengarkan kalimat itu diucapkan orang-orang di sekitarnya padanya. Namun entah mengapa kali ini kedengarannya berbeda. Sun tidak yakin apakah itu karena raut wajah gadis di sampingnya atau nada suaranya yang tercekat seolah dia pernah mengalami hal yang serupa dengannya. Seakan dia sudah berhasil melalui masa kelam itu dan bersungguh-sungguh dengan tiap perkataannya. Bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan Sun ingin mempercayai gadis itu.

“Apapun itu, Sun. Jangan menyerah.” Lanjut Rain.

Sun ingin mempercayai gadis itu.

...

...

“Kamu tidak akan menyesalinya.”

Sun sungguh ingin mempercayai gadis itu.

...

...

“Aku janji.”

Sun mempercayai gadis itu. Gadis bernama Rain. Sun tersenyum lebar dan mengangguk pelan.

***

Gruuuuk…

Tiba-tiba terdengar suara dari perutnya. Siang tadi Varsha memang belum makan karena ingin segera cepat-cepat sampai ke karavan. Begitu sampai ke karavan ia ingin cepat-cepat ke tebing. Alhasil, suara perutnya ini lah.

“Sun, mau makan mi?” Tawar Varsha dari dalam karavan.

“Boleh.” Sun akhirnya menjawab.

“Mau rasa apa, Sun? Ada kari ayam, ayam bawang, soto ayam…” Teriak Varsha.

“Apa aja.” Jawab Sun.

“Campur aja semua deh kalau gitu. Hehe. Laper ini.” Ucap Varsha sambil menuangkan ketiga mi ke dalam panci.

Varsha mengaduk mi setelah memasukkan semua bumbunya. Kemudian ia memasukkan dua telur ke dalam. Setelah penampilan mi-nya meyakinkan, Ia mengambil sendok dan mencicipi kuahnya.

‘Kebanyakan air…’ pikir Varsha.

Berhubung Varsha sudah memasukkan semua bumbunya, airnya tidak bisa dibuang. Ia pun membuka-buka lemari pantri berharap dapat menemukan bumbu-bumbu dapur dasar guna menolong masakannya. Dan benar saja sepertinya ada garam di dalam sebuah toples kecil di pojok lemari atas.

Varsha meraih toples kecil itu dan mengocok-ngocok isinya yang tinggal sedikit. Kalau dilihat dengan mata telanjang si sepertinya garam. Ia kemudian membuka tutup toples dan memiringkannya sedikit untuk memastikan apakah itu benar garam.

BRUK!!

Tiba-tiba pintu karavan terbuka. Menampakkan sesosok makhluk tampan di depan matanya. Rambutnya basah, di ujung-ujungnya masih ada tetesan air yang jatuh ke kemeja putihnya. Dan kemeja putihnya….

Varsha tanpa sadar menelan ludah. Kemeja putihnya tampak transparan menampakkan remang-remang lekuk tubuh pria di depannya yang sepertinya suka berolahraga. Varsha tahu kalau pria ini memang tampan dan berperawakan bagus tapi karena situasi yang mereka alami tadi ditambah lagi rasa canggung, dengan berdiri sedekat inilah dia baru menyadari kalau pria ini memang BENAR-BENAR tampan dan memang BENAR-BENAR berbadan bagus. Varsha merasa wajahnya memerah menundukkan kepalanya dan terbatuk.

“Maaf Rain, boleh pinjam kamar mandi?” Izin Sun dari balik pintu karavan.

“Boleh-boleh. Kamu jalan aja ke arah sana yang di pojok kiri.” Jawab Varsha masih sambil menunduk berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya.

“Thanks.”

Sun naik ke atas karavan dan membungkukkan tubuhnya sedikit saat melewati pintu kamar mandi. Sun terlihat seperti raksasa di dalam karavan pikir Varsha sebelum menengok kembali  ke masakannya dan terkejut. Semua garam di dalam toples sudah masuk ke dalam panci dan melebur menjadi satu dengan kuah sup.

Varsha mengaduk kembali mi-nya dan mencicipinya lagi. Paling tidak kalau keasinan bisa ditambah air kan. Namun yang Varsha rasakan justru bukannya keasinan melainkan rasa yang sangat enak dan pas sekali. Sempurna. Varsha menutup pancinya membiarkan semua bumbunya meresap sedikit lagi.

Varsha membawa ‘mi tiga rasa’-nya ke depan karavan dan meletakkannya di atas meja lipat. Tak lama, Sun bergabung dengannya membawa dua mangkuk dan dua set sendok-garpu. Varsha membuka tutup panci membuat kepulan uap di antara mereka berdua.

“Sudah lama sekali aku tidak makan mi.” Ucap Sun.

Varsha memasang ekspresi terkejut lalu meletakkan satu tangan di dadanya dan berkomentar “Anak horang kaya ya, Mas?”

Sun hanya tersenyum pendek dan mulai memasukkan mi ke dalam mangkuknya. Varsha pun melakukan hal yang sama. Baru di hadapan makananlah keduanya sadar mereka lapar. Dalam diam mereka melahap satu panci mi tanpa menyisakan apapun. Hujan pun berhenti dan langit berubah menjadi gelap.

“Biar aku yang cuci.” Ucap Sun menawarkan.

“Sudah seharusnya.” Canda Varsha yang dibalas dengan tawa kecil Sun sebelum dia masuk ke dalam karavan untuk mencuci piring.

Rasanya Varsha bisa sangat terbiasa dengan senyum tipis dan tawa kecil Sun. Mereka sangat membuat ketagihan. Varsha memandang langit malam dan mengaguminya. Mungkin karena habis hujan, belum banyak bintang yang bisa terlihat. Tiba-tiba terlintas sebuah ide di benak Varsha.

Sun keluar dari karavan setelah selesai mencuci piring tetapi tidak melihat Rain.

“Sun!”

Tiba-tiba terdengar suara Rain dari arah atasnya.

“Sun! Sini! Di atas!”

Rain terlihat sedang duduk di atas karavan dialasi alas tenda. Kemudian dia menunjuk tangga di sisi karavan mengisyaratkan Sun untuk naik. Sesampainya di atas dia disambut dengan senyum lebar Rain serta berbagai makanan ringan di sampingnya.

“Duduk sini, kita lihat bintang,” kata Rain.

Sehabis memasukkan satu marshmallow ke dalam mulutnya Rain berbaring menatap langit. Entah apa yang merasuki Sun pada saat itu, tapi dia juga memasukkan satu marshmallow ke mulutnya dan ikut Rain berbaring menatap langit di sebelahnya. Sun menertawakan dirinya sendiri di dalam hati,  padahal dia sangat tidak suka makanan manis tetapi mengapa hari ini rasa marshmallow yang dibawa gadis ini sangat enak. Terasa menghangatkan bahkan.

“Cita-citaku adalah menjadi penulis.” Ucap Rain tiba-tiba.

Sun menoleh ke arah Rain dan menatap gadis itu. Meski baru mengenalnya beberapa jam lalu, Sun merasa seolah sudah mengenalnya bertahun-tahun.

“Aku juga begitu beruntung telah mendapatkan beasiswa penuh untuk studi ke Australia demi mencapai cita-citaku itu.” Lanjutnya lagi.

Sun tersenyum ke arah Rain lalu mengepalkan tangannya dan meninju ke udara, “Semangat!” teriaknya.

Rain tertawa mendengar respon Sun dan segera menirunya, “Semangat!” teriak Rain lebih keras.

Sun sangat menikmati tawa renyah Rain. Apalagi jika kedua lesung pipit di kiri-kanan pipi gadis itu memutuskan untuk muncul, menjadikannya semakin manis.

“Kalau kamu?” Tanya Rain menatap Sun. Sisa senyum masih terhias di wajahnya.

Sun menghela napas panjang dan menatap langit. Memorinya terbuai ke kehangatan sebuah keluarga yang ia rindukan. Jika ada satu hal yang dia inginkan, yang benar-benar dia inginkan…

“Menjadi Ayah.”

“Kudoakan semoga kamu jadi ayah yang hebat.” Kata Varsha.

“Ku harap begitu.” Ujar Sun pelan, lebih mirip seperti gumaman.

Mereka pun terus bercengkerama hingga malam semakin larut. Tiba-tiba saja hujan turun kembali dan dengan cepatnya menjadi deras. Varsha dan Sun segera mengemasi sisa-sisa makanan ringan dan membungkusnya ke dalam alas tenda.

Sun turun lebih dahulu dari karavan sementara Varsha mengoper balutan makan ringan padanya dari atas. Terakhir, Sun mengangkat kedua tangannya dan membantu Varsha turun dari atap karavan. Ketika Varsha menuruni anak tangga, kakinya terpeleset namun dengan sigap Sun sudah di bawah menangkapnya. Varsha pun berakhir dalam pelukan Sun.

Varsha dan Sun saling menatap dalam hujan. Air dingin mengalir membasahi sekujur tubuh mereka berdua namun entah mengapa Varsha justru merasa suhu badannya memanas. Varsha merasakan tatapan Sun padanya semakin intens. Sun masih menopang tubuhnya karena kaki Varsha masih belum menyentuh lantai. Jantung Varsha berdebar keras dan pikirannya kabur.

Tidak jelas siapa duluan yang memulai, tiba-tiba bibir Varsha dan Sun sudah saling bersentuhan. Aroma manis marshmallow masih terasa di mulut keduanya. Mereka bercumbu dalam hujan selama beberapa saat hingga Sun yang masih menggendong Varsha menuntunnya masuk ke dalam dan menutup pintu karavan.

***

Rrrrr…

Rrrrrr…

Sun terbangun dan duduk di pinggir kasur. Ia memijat pelan dahinya merasakan sakit kepala hebat. Sun sudah lama tidak pernah merasakan sensasi ini. Walau beberapa tahun lalu bisa dibilang dirinya sangatlah familier. Namun semenjak Bumi…

Sun berusaha untuk tidak terhanyut dalam pikirannya. Sambil mengernyit dan mengalahkan rasa pengarnya, Sun mencari sumber bunyi yang membangunkannya. Meraba-raba dalam gelap, akhirnya dia berhasil menemukan celananya yang tergeletak di lantai. Dia memeriksa saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Nama ‘Dewa’ terpampang pada layar.

“Halo.”

Tak lama setelah menerima telepon, Sun terdiam. Raut wajahnya tak bisa dibaca.

“Aku segera ke sana.” Jawab Sun singkat sebelum menutup telepon.

Sun bergegas memakai pakaiannya dan melesat keluar pintu. Namun tiba-tiba kakinya terasa tertahan, dia menolehkan pandangannya ke arah siluet seorang perempuan di tempat tidur. Kemudian Sun meraba-raba meja tampak sedang mencari sesuatu.

Setelah beberapa saat dia menemukan sebuah pamflet lalu merobek pinggiran yang kosong. Tangan Sun masuk ke dalam saku dalam jasnya dan mengeluarkan sebuah pena. Sun lalu menuliskan sesuatu di atas potongan kertas itu dan meninggalkan pena yang ia pakai di atasnya.

Mata Sun kembali lagi tertuju pada siluet Rain. Akhirnya dia berjalan ke arah perempuan yang masih terlelap itu dan duduk di pinggir kasur. Sun menggeser sehelai rambut yang jatuh di depan wajah Rain ke telinganya. Setelah memandangnya beberapa saat, Sun mendekatkan wajahnya ke wajah Rain, mengecup lembut dahinya, dan berbisik pelan di telinganya. Kemudian Sun pun pergi meninggalkan Rain.

***

***

Curcol Author:

Halo semuanya sebelumnya Author mau minta maaf yang sebesar-besarnya. Karena KAHM merupakan karya untuk dilombakan, makanya seringkali mengalami revisi atas saran editor. Untuk itu jika ada perbedaan cerita terutama pada bab-bab awal, Author mohon maaf sekali.

Ini merupakan versi revisi terbaru dan sudah Author potong panjangnya jadi setengah. Namun inti ceritanya tetap sama. Kalau kebetulan pembaca ingin mengecek versi lama yang panjang tolong tulis di kolom komentar saja ya. Nanti akan Author beri linknya. Sekali lagi Author mohon maaf. Terima kasih banyak sudah mampir dan membaca ;D

Jangan lupa love, komen, dan jempolnya, ya :)

Nuhun~

-Bawang

II. Lima Tahun Kemudian

Raut wajah Varsha tampak serius, tangannya dengan lihai mewarnai panel terakhir dari chapter komik online yang dia kerjakan. Kemudian dia memeriksa kembali setiap halamannya dari awal. Setelah puas dengan pekerjaannya, Varsha menyimpan fail, kemudian mengirimkannya pada bosnya. Tugas utamanya adalah memberi lining dan base color. Namun, jika bos komikusnya sudah dikejar deadline, bagian apa saja juga bisa Varsha kerjakan.

Tiga tahun lalu, teman SMA Varsa, Mario, menawarkan Varsha untuk bekerja menjadi asistennya. Kebetulan dia ingat gambar Varsha cukup bagus saat sekolah dulu. Varsha awalnya sempat ragu menerima pekerjaan ini, karena sudah lama sekali dia tidak menekuni hobi gambarnya lantaran sibuk. Namun karena butuh uang plus jam kerjanya juga cukup fleksibel, Varsha pun akhirnya menerima tawaran temannya. Dan kini, Ia pun sangat menikmati pekerjaannya itu.

Varsha melirik ke bagian kanan bawah komputernya, waktu menunjukkan jam 6:05. Ia lalu mengangkat kedua tangannya mencoba meregangkan seluruh ototnya yang kaku. Sudah dari tiga jam yang lalu dia duduk dan mewarnai komik online. Varsha kemudian berdiri dan berjalan menuju sebuah kamar.

“Tejaaaa…” Panggil Varsha dengan nada sayang sambil membuka pintu.

Varsha memasuki kamar dengan nuansa biru muda. Di dalamnya terdapat sebuah tempat tidur berukuran single yang sudah tertata rapi. Tepat di sampingnya ada sebuah meja belajar beserta kursinya sementara di salah satu sudutnya tampak sebuah lemari plastik kecil warna-warni dengan banyak stiker di setiap lacinya.

“Teja?” Panggil Varsha lebih keras sambil menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan.

“Teja?” Varsha keluar dari kamar tadi dan menuju ke ruangan lain masih sambil meneriakan nama itu.

“Mama?”

Tiba-tiba terdengar suara seorang anak laki-laki dari arah dapur. Varsha pun bergegas ke arah asal suara untuk menemui malaikat kecilnya. Si pemilik suara terlihat sedang berdiri di atas dingklik sambil melihat ke arah panci di atas kompor.

“Teja lagi apa, Sayang?” Varsha berjalan cepat mendekati Teja.

“Lagi masak telur rebus, Mama.” Jawab Teja.

Mendengar jawaban Teja, Varsha pun tersenyum. Setengah khawatir setengah kagum. Di atas meja dapur sudah ada tiga piring yang masing-masing berisi satu tangkup roti isi selai. Selain itu juga ada segelas kopi, teh, dan susu cokelat.

“Teja, Mama boleh minta tolong?" Tanya Varsha lembut pada buah hatinya dan Teja mengangguk.

“Teja boleh tolong bangunin Om Bayu? Biar nanti Mama yang siapin sisanya, oke?”

“Oke.” Jawab Teja yang kini turun dari dingkliknya.

“Oh, selamat pagi, Mama.” Teja berhenti sejenak dan memberikan Varsha pelukan.

“Selamat pagi, Sayang.” Jawab Varsha mengelus kepala buah hatinya sebelum dia meluncur ke kamar Om Bayu.

Tadi bukan kali pertama putra kecil Varsha melakukan hal seperti ini sehingga dia tidak terlalu terkejut dibuatnya. Meski umur Teja baru empat tahun, seringkali Varsha memergokinya melakukan sesuatu di luar kebiasaan anak seusianya. Baru beberapa hari lalu misalnya, Varsha melihat Teja mengutak-atik CPU rusak milik tetangga yang seharusnya dibetulkan Bayu dan bahkan berhasil memperbaikinya. Atau bagaimana Teja selalu meminta omnya, Bayu, untuk membawakan judul buku baru dari perpustakaan kampusnya.

Varsha menyiapkan meja makan dan mengupas telur rebus untuk Teja. Tak lama, Bayu dan Teja muncul dan bergabung duduk dengannya. Bayu masih dengan mata setengah mengantuk meraih segelas kopi untuk diminum sementara Teja meneguk susu cokelatnya.

Varsha tersenyum dalam hati melihat kedua anak laki-laki dalam hidupnya yang tiba-tiba saja sudah tumbuh besar di hadapannya tanpa dia sadari. Padahal rasanya baru kemarin, Bayu, adiknya, masih memakai seragam SMP dan Teja, buah hatinya, baru belajar berjalan. Kini yang satu sedang kuliah jurusan IT dan yang satu lagi seorang murid TK.

Teja berdiskusi dengan Bayu tentang buku IT yang dia baca semalam. Varsha memakan roti isi selainya sambil mendengarkan mereka berdua meskipun ia tidak mengerti sebagian besar pembicaraannya. Tiba-tiba ponsel Varsha berbunyi. Ia pun langsung mengeceknya. Di layar tertulis pengingat untuk membayar internet. Karena pekerjaan Varsha yang butuh mengunggah dan mengunduh data besar fail komik online, ia pun berlangganan internet secara bulanan. Ditambah lagi kebutuhan internet Bayu juga cukup besar sebagai seorang mahasiswa.

Varsha kemudian langsung online untuk membayar tagihan internetnya. Namun begitu dia memasukkan nomor pelanggan, tidak ada keterangan tunggakan tagihan. Varsha mengklik beberapa link dan mengecek bahwa tagihannya sudah dilunasi beberapa hari lalu. Varsha pun melirik ke arah Bayu.

“Bayu, kamu sudah bayar internet rumah?” Tanya Varsha pada adiknya.

Bayu yang tampak sedang kewalahan menjawab pertanyaan Teja menoleh ke arahnya. Merespon dengan deham panjang lalu melirik Teja cepat. Teja mengunyah telur rebusnya sambil mengangguk kecil. Bayu pun kembali menoleh ke arah Varsha.

“Iya, Mba.” Jawab Bayu lalu menyeruput kopi panasnya.

“Bayu, kan Mba sudah bilang, masalah bayar-membayar biar Mba saja yang urus.” Ucap Varsha menatap lembut ke arahnya. “Kamu fokus aja ke kuliah kamu, ya?”

“Iya, Mba.” Respon Bayu. “Kebetulan saja kemarin lagi ada orderan banyak untuk memperbaiki barang-barang.”

“Bulan lalu kamu juga bilang begitu. Bulan sebelumnya dan sebelum sebelumnya juga.”

“Yah memang lagi ada uang lebih aja, Mba. Kalau udah habis, nanti Mba boleh bayar, hehe.”

Varsha tersenyum kecil, “Terima kasih ya Yu, sudah bantu-bantu.”

“Sama-sama, Mba.” Jawab Bayu sambil diam-diam melakukan tos pelan dengan Teja di bawah meja makan.

Setelah selesai sarapan bersama, Bayu membereskan meja dan membawa semua piring kotor ke dapur untuk dicuci. Kebetulan satu-satunya kelas hari ini di-cancel, sehingga jadwal kuliahnya kosong. Varsha memasukkan bekal Teja ke dalam tas, sementara putranya mengenakan kaos kaki dan sepatu di teras.

Setiap hari, Varsha selalu mengantarkan putra kecilnya ke TK sebelum dia pergi bekerja. Jarak TK Teja juga dekat dari rumah, hanya perlu berjalan kaki sekitar 15 menit. Setelahnya, dia akan naik angkot satu kali untuk bekerja paruh waktu di mini market.

Selain bekerja sebagai asisten komikus, Varsha juga bekerja di mini market dari hari senin hingga jumat dan bekerja di kafe milik sahabatnya, Tessa, setiap sabtu. Dia juga menerima pesanan makanan secara online dan mengikuti kuliah malam kelas karyawan tiap beberapa hari dalam seminggu. Tetapi sesibuk apapun Varsha, dia selalu menyediakan waktu untuk Teja. Karena itulah dia mengosongkan hari minggu khusus untuk dihabiskan bersama buah hatinya.

“Yuk Ma, kita pergi.” Ucap Teja menggandeng tangan Varsha sehabis memakai sepatu dan mengenakan jaketnya.

Dalam perjalanan menuju TK, Varsha dan Bayu biasanya mengobrol. Apa saja bisa mereka bicarakan, dari topik receh sampai berat. Meski Varsha sudah sering mendengarkan putranya berbicara fasih mengenai topik yang tidak biasa dibicarakan oleh anak seusianya, dia masih saja takjub dibuatnya.

“…Nah proses refraksi cahaya itulah yang membuat warna pelangi bisa berurutan dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.” Ucap Teja dengan suara imutnya menjelaskan bagaimana warna pelangi terbentuk pada mamanya.

“Pintar sekali anak Mama.” Puji Varsha tersenyum lebar sambil mengusap kepala Teja.

“Iya dong. Kan Teja anak Mama.” Kata Teja tidak mau kalah memuji mamanya.

“Betul sekali.” Respon Varsha tertawa kecil. “Karena Teja, Tejanya siapa?”

“Tejanya Mama.” Jawab Teja mantap lalu ikut tertawa.

Tanpa terasa mereka berdua pun tiba di TK. Di sana, para guru sudah menanti para siswa-siswinya di depan gerbang. Teja mengecup tangan mamanya dan memeluknya erat. Varsha tahu dia hanya akan berpisah dengan putranya selama beberapa jam, namun setiap kali rasanya selalu begitu berat.

“Nanti Om Bayu akan jemput Teja, ya?” Teja mengangguk menjawab mamanya. “Baik-baik di sekolah ya, Nak.” Lanjut Varsha lagi.

“Oke Mama. Teja sayaaaang sekali sama Mama.”

“Mama juga sayaaaang sekali sama Teja.”

Teja melepaskan pelukannya dan berjalan menyapa para guru. Kemudian melambaikan tangan ke arah Varsha lalu berlari masuk ke dalam menghampiri teman-temannya. Varsha pun membalas melambaikan tangan. Tiba-tiba seorang guru menghampiri Varsha dan mengajaknya bicara, Miss Leti, wali kelas Teja.

“Selamat pagi Mama Teja.” Ucap Miss Leti memulai permbicaraan.

Varsha tahu benar apa yang wali kelas Teja akan bahas. Beberapa hari sebelumnya Miss Leti memberi tahu Varsha bahwa Teja memiliki IQ di atas 200 dan setelah di tes lebih lanjut bahkan bisa mengikuti pelajaran minimal setingkat SMA bahkan universitas. Sekolah pun ingin menawarkan beasiswa penuh pada Teja jika ia tertarik mengikuti jalur itu.

Varsha menarik napas panjang. Tanpa diberi tahu siapapun, Varsha tahu kalau putranya jenius. Sejak umur dua tahun, Teja sudah mahir matematika dan berbahasa inggris bahkan sampai bisa mengajari anak-anak tetangga yang duduk di bangku SD.

Hanya saja dia masih belum siap untuk itu. Belum siap jika Teja menjalani kehidupannya sendiri semuda ini. Varsha masih ingin menghabiskan waktu yang banyak bersama Teja. Dengan kesibukan dirinya setiap hari saja, waktunya sudah sangat sempit untuk Teja. Apalagi jika mereka berdua sama-sama sibuk…

“Maaf Miss Leti. Boleh beri waktu untuk saya dan Teja pikirkan lagi mengenai masalah itu?” Kata Tessa cepat sebelum Miss Leti bahkan sempat mulai menanyakan.

“Tentu saja Mama Teja.” Jawab Miss Leti tersenyum.

Varsha pamit dan memberi salam kepada Miss Leti dan guru lainnya. Kemudian ia berjalan meninggalkan TK menuju tempat pemberhentian angkot ke mini market tempatnya bekerja.

***

“Pak Surya ini daftar gamers yang akan dikirimkan undangan untuk closed beta test.”

Surya mengambil beberapa berkas dari tangan asistennya. Kemudian dengan cermat ia membaca halaman demi halaman, memeriksanya satu per satu dengan teliti. Setelah beberapa saat, matanya tertuju pada beberapa nama gamers. Surya merasa cukup asing dengan nama-nama tersebut sehingga dia mengecek lagi dengan asistennya.

“Ada beberapa nama gamers baru di sini?” tanya Surya.

“Iya Pak. Beberapa anggota di tim mengusulkan nama-nama baru tersebut setelah melihat performa mereka dalam menguji game-game sebelumnya.”

“Oke.” Surya mengangguk lalu menandatangani berkas tersebut dan memberikannya kembali pada asistennya. “Langsung segera diproses.”

“Baik Pak.”

Surya meletakkan satu tangannya di bawah dagu sambil kembali lagi membaca laporan mengenai game yang akan perusahaannya luncurkan. Mungkin sudah berpuluh-puluh kali Surya membaca laporan tersebut, namun dia masih juga membacanya dengan saksama. Surya adalah seorang perfeksionis dan sebagai CEO Akasa Game sudah merupakan tanggung jawabnya untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik.

Akasa Game masih bisa dibilang cukup baru di dunia per-game-an. Selama empat tahun berdiri, Akasa Game sudah merilis 20 game. Namun game yang paling populer dan membuat nama Akasa Game kini melejit dan diakui jajaran atas perusahaan game lainnya adalah ‘Dark Rainbow Forest: The Beginning’ yang dirilis satu setengah tahun lalu sebagai game komputer dan konsol.  Karena banyaknya permintaan dari penggemar, Surya pun mengembangkan versi mobile-nya, yang baru malam ini akan dirilis beta version-nya.

Meski Akasa Game baru merintis, namanya bukannya tidak dikenal sama sekali. Akasa Game merupakan bagian dari Akasa Group, perusahaan bisnis raksasa milik keluarga Abhiyoga yang bergerak di banyak bidang. Dari mulai makanan sampai perumahan, dari elektronik hingga perhotelan.

Surya merupakan konglomerat generasi ke-3 dari keluarganya. Kakek Surya merupakan pendiri Akasa Group namun Ayah Suryalah yang melebarkan sayap Akasa Group sampai ke jenjang berikutnya. Untuk itulah sudah menjadi rahasia umum bahwa Surya yang akan menjadi Abhiyoga selanjutnya memimpin Akasa Group.

Namun demikian, bukannya Surya mendapatkan titel itu dengan mudahnya. Semua Abhiyoga harus mulai bekerja dari bawah lalu perlahan naik ke atas. Kecepatan mereka melakukannya tentu bergantung dari performa masing-masing dan Surya berkembang dengan pesat. Sepeninggalan Ayahnya, Surya mendirikan Akasa Game dan merintisnya dari nol. Dan terbukti hanya dalam beberapa tahun saja, dia berhasil dipandang menjadi salah satu Game Developer yang memiliki puluhan juta player.

“Nervous, Sur?”

Surya menoleh ke arah sumber suara. Di hadapannya sudah berdiri sepupunya, Dewa, yang juga merupakan CEO dari Akasa Food. Dari seluruh keluarga besarnya, Dewa merupakan sepupu yang paling dekat dengannya. Karena jarak usia keduanya yang tidak jauh, mereka sering bermain bersama sejak kecil. Dewa dua tahun lebih tua daripada Surya dan karena dia merupakan anak satu-satunya, ia sering menganggap Surya sudah seperti adik kandungnya sendiri. Terlebih selepas kepergian Bumi, kakak Surya.

“Always.” Jawab Surya sambil memutar-mutar sebuah cincin di jari manis kirinya.

***

“Om Bayu hampir sakit jantung tadi pagi. Nyaris ketahuan sama Mamamu.”

Bayu mengelus-elus dada dengan satu tangannya sementara tangan yang lain menggandeng Teja. Ia baru saja menjemput keponakan kecilnya dari TK dan sekarang mereka berdua sedang berjalan pulang.

“Iya Om. Teja juga.” Ucap Teja ikut mengelus dada meniru ulah omnya.

Sesungguhnya Teja dan Bayu menyimpan sebuah rahasia dari Varsha. Sebenarnya bukan rahasia yang buruk-buruk amat. Hanya saja keduanya takut dimarahi oleh Varsha jika sampai ketahuan.

Kurang lebih dua tahun lalu, Bayu mendapat pekerjaan sebagai game tester untuk sebuah mobile game. Teja yang sering menghabiskan waktu bersama omnya pun akhirnya ikut mempelajari game tersebut bahkan turut memberikan masukan-masukan. Pada proyek berikutnya, akhirnya Bayu iseng-iseng menawarkan Teja untuk ikut sebagai game tester. Dan dimulailah duo om dan keponakannya sebagai game tester.

Namun karena jadwal kuliah dan tugas-tugas Bayu yang semakin padat, akhirnya tinggal Teja yang masih menggeluti dunia game tester. Uang yang Teja hasilkan pun sebagian besar ia masukkan ke dalam tabungan yang pernah dibuatkan mamanya dulu untuknya. Sementara sebagian yang lain adalah untuk membantu mamanya, seperti membayar tagihan internet beberapa hari lalu.

Bayu dan Teja tahu kalau Varsha sangat menyayangi mereka. Mereka tahu benar bagaimana Varsha bekerja keras menghasilkan uang untuk keduanya. Berusaha membuat kebutuhan mereka selalu terpenuhi, tanpa mereka harus turun tangan membantunya. Namun justru karena itu juga, Bayu dan Teja ingin membantu Varsha walau hanya sedikit. Akhirnya duo om dan keponakan ini pun merahasiakan hal itu dari Varsha.

“Akhirnya sampai juga, Teja. Huff panas.” Ucap Bayu sambil menyeka keringat di dahinya.

“Iya Om Bayu. Panaaaaas.” Teja mengangguk setuju. Ia gigit kerah jaket di dekat lehernya sementara satu tangannya lagi membuka ritsleting.

Bayu memutar kunci rumah, tiba-tiba ada bunyi notifikasi dari ponsel Bayu. Bayu pun merogoh saku celananya dan mengecek ponselnya. Tiba-tiba dia tampak bersemangat.

“Teja, ada email untukmu. Untuk ‘LittleCloudy’ lebih tepatnya.” Ujar Bayu tersenyum ke arah keponakan kecilnya.

“Hm?”

“Teja dapat undangan closed beta test mobile game untuk game favoritmu!!” Senyum Bayu semakin lebar.

“DRF!” Teriak Bayu dan Teja bersamaan.

“Dark Rainbow Forest: The Beginning!!” Teriak Teja sambil melompat-lompat kecil penuh semangat.

***

 

Curcol Author:

Sigh... Seandainya Author bisa sekece Varsha dalam multitasking.... ngelirik ratusan pekerjaan yang tergeletak di pojokan berkerak dan berjamur tak tersentuh

Uwuwuwu, kenalin si anak jenius, Teja! Ada yang tahu arti Teja itu apa? 👀👀

Jangan lupa love, komen, dan jempolnya ya men-temen XD

Nuhun~

- Bawang

 

 

III. Matahari Melirik Awan

Aroma hujan masih bisa kuhirup di udara, segar dan menenangkan. Membuatku nyaman. Serangan manis dari marshmallow tadi juga masih terasa di mulutku. Namun entah mengapa, sangat menghangatkan.

Langit begitu gelap. Hanya ada sedikit bintang yang terlihat. Aku menolehkan kepalaku ke arah Rain yang juga sedang berbaring di atas karavan. Parasnya tidak begitu jelas, tapi aku tahu dia sangat indah.

“Hari ini ulang tahunku.” Tiba-tiba kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku pun sempat bingung kenapa aku mengatakannya.

Rain pun terduduk dan menatap diriku. “Serius?” tanyanya yang direspon dengan anggukan pelan dariku. “Hmm… boleh pinjam hapemu?” tanyanya lagi.

Aku meraba saku celanaku lalu memberikan ponselku pada Rain. Rain sepertinya tak menyangka kalau ponselku tidak menggunakan kata sandi. Setelah menggeser layar beberapa kali akhirnya dia menemukan apa yang dia cari. Rain kemudian tampak sesekali menatapku, lalu memalingkan kembali wajahnya ke layar ponsel. Dia melakukan itu beberapa kali, hingga aku menjadi penasaran.

“Selesai.” Kata Rain akhirnya.

“Happy Birthday, Sun!” Ucap Rain lagi, tersenyum lebar sambil menyerahkan kembali ponselku.

Aku mengambil ponselku dan melihat di layarnya sudah ada sebuah gambar. Pada gambar itu terlihat versi kartun diriku sedang tersenyum. Ekspresi yang rasanya sudah lama sekali tidak aku lihat. Kemudian di bawahnya terdapat sebuah tulisan.

‘You know 🌧 + ☀️ = 🌈 right? So Keep SMILING!’

“Suka kadonya?”

“It’s the best. Thank you.”

Aku tidak berbohong. Itu adalah hadiah terbaik yang kuterima di ulang tahunku yang ke-23 ini. Aku menatap gambar itu lagi selama beberapa saat sampai akhirnya kumatikan layar ponselku dan kumasukkan kembali ke saku celana…

***

Surya membuka kedua matanya. Sudah beberapa kali dia mendapat mimpi itu. Surya mendesah panjang. Tiga bulan sudah dia tidak mendapatkan mimpi baru tentang Rain. Hanya memori sama yang berulang-ulang bergilir dimainkan dalam mimpinya. Surya mengusap cincin emas putih berukir pada jari manisnya. Kini sudah menjadi kebiasaannya menyentuh cincin itu dikala hatinya merasa tidak tenang.

Setelah gagal mencoba untuk tidur lagi, akhirnya Surya pun bangun dan menuju ke ruang kerjanya. Ia membuka kunci sebuah laci dan mengeluarkan jurnal hitam dari dalamnya. Kemudian ia baca lembar demi lembarnya, ekspresinya tak bisa ditafsirkan.

Surya menatap jam mejanya, waktu menunjukkan pukul 3:35 pagi. Ia menghela napas panjang lagi lalu meletakkan jurnal hitam itu kembali ke dalam laci dan menguncinya. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia putuskan untuk mandi air hangat dan pergi ke kantor.

Surya memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang telah disediakan khusus untuk dirinya. Akasa Tower terdiri dari 59 lantai dan Akasa Game Studio berada di lantai 41 sampai 51. Surya masuk ke elevator dan menekan tombol ke lantai 51 tempat di mana ruangannya berada.

“Pagi, Bos.”

“Pagi, Bos.”

“Pagi, Pak Surya.”

“Selamat pagi, Pak Surya.”

Akasa Game Studio sungguh tidak mengenal jam. Matahari belum juga terbit, namun masih banyak karyawan yang tampak bekerja, atau lebih tepatnya belum pulang-pulang. Waktu kerja ideal yang Surya sarankan untuk pegawainya adalah jam 9:00-17:00. Namun ia juga tidak keberatan jika mereka bekerja di luar jam itu asalkan memenuhi kuota 7 jam bekerja dan 1 jam istirahat.

Lagipula sebagai pengembang game, mereka kebanyakan bekerja lembur, belum lagi inspirasi yang sering muncul di saat tak terduga. Jadi jam tetap sungguh tidak bisa bekerja di sini. Tentunya dengan catatan, apabila ada rapat mereka harus menghadirinya dengan tepat waktu, jam berapapun itu.

Surya memasuki ruangannya dan duduk di kursi kerjanya. Sebuah hiasan bingkai kaca mempercantik satu sudut mejanya. Di dalamnya terdapat gambar yang sama persis seperti di dalam mimpinya tadi. Gambar versi kartun dirinya dan sebuah kalimat penyemangat. Jika bukan karena gambar tersebut tersimpan pada ponselnya, ia mungkin juga mempercayai bahwa itu semua hanyalah khayalannya semata.

Ia kemudian menyalakan laptop dan mengecek surel yang masuk. Sudah ada beberapa surel baru yang harus ia baca. Surya mengklik salah satu yang diteruskan asistennya. Biasanya Surya akan mendapatkan laporan menyeluruh yang sudah dirangkum dari semua data yang disajikan game tester-nya tiap akhir bulan. Namun Surya yang perfeksionis selalu harus membaca laporan ‘mentah’ yang belum disadur.

Baru ada satu game tester yang melaporkan hasil beta version untuk mobil game DRF. Bisa dimaklumi karena baru dua hari lalu Akasa Game mengirimkan tautan pengunduhan game-nya pada para penguji. Dengan sedikit keraguan, Surya mengklik surel tersebut. Surel atas nama LittleCloudy.

Nama gamer itu masih terasa asing bagi Surya. Namun karena tim pengembang merekomendasikan dia, Surya pun mempercayai kemampuannya. Tapi menyelesaikan laporan game serumit DRF dalam 48 jam? Dia masih tidak begitu yakin. Surya mulai membaca laporan dari LittleCloudy. Halaman satu, halaman dua, halaman sepuluh…

Mata Surya membesar lalu berkedip kemudian membesar dan berkedip lagi. Dia masih tidak percaya bahwa laporan sedetail ini bisa diselesaikan dalam waktu dua hari. Bukan hanya masalah dalam game, kemungkinan penyebab dan cara menanganinya pun turut dituliskan oleh game tester ini. Siapapun yang membacanya mungkin akan mengira bahwa laporan ini merupakan hasil pengamatan berbulan-bulan.

Surya tersenyum puas. LittleCloudy adalah seorang jenius. Tidak heran timnya mengajukan namanya dalam pengujian mobile game DRF. Dia begitu andal dalam pekerjaannya. Surya biasanya akan menunggu beberapa saat sebelum merekrut seseorang, mengamati terlebih dahulu bagaimana kinerja mereka. Namun kali ini instingnya mengatakan ia harus merekrut orang ini secepatnya.

Ia pun segera mengambil ponsel dan menteks asistennya.

Hubungi LittleCloudy segera setelah kamu membaca pesan ini.

Dan rekrut dia ke Akasa Game.

***

Ding!

Teja mengambil ponsel barunya yang dikirimkan oleh Akasa Game untuk para game tester. Bunyi tadi merupakan nada notifikasi yang ia atur jika ada surel baru yang masuk. Dan benar saja sudah ada surel dari Akasa Game. Mungkin ada upgrade baru?

Kepada LittleCloudy,

Kami dari Akasa Game merasa sangat puas dengan laporan dan kinerja yang Anda hasilkan. Performa Anda sangat luar biasa dan profesional dalam menjalankan semua tugas yang kami berikan.

Untuk itu Akasa Game ingin mengundang Anda menjadi bagian dari keluarga kami. Kami harapkan kedatangan Anda dengan segera ke Akasa Game Studio yang beralamat di Akasa Tower lt. 41-51.

Terima kasih.

Hormat kami,

Tim Akasa Game

Teja meletakkan satu tangannya di dagu. Ia sedang menimbang respon macam apa yang harus ia berikan pada surel itu. Di satu sisi ia merasa senang perusahaan game favoritnya memuji hasil kerjanya, namun di sisi lain dia juga tidak mau identitas aslinya diketahui. Akhirnya Teja pun membalas.

Kepada Akasa Game,

Saya merasa sangat terhormat dan senang mendengar bahwa Akasa Game sangat puas dengan laporan yang saya kerjakan. Namun mohon maaf, saya hanya tertarik untuk bekerja sebagai game tester secara online.

Saya harap Akasa Game dapat mengerti dan masih ingin terus melanjutkan kerjasama ke depannya sebagai Game Developer dan game tester.

Hormat saya,

LittleCloudy

Teja pun kembali lagi berkutat serius dengan game-nya. Sesekali dia menuliskan beberapa kalimat pada buku catatan kecil di sebelahnya. Begitu fokusnya Teja hingga dia tak menyadari Varsha yang sudah masuk ke dalam rumah dan berdiri di sampingnya.

“Lagi apa, Sayang?”

Mendengar suara mamanya Teja tersentak kaget. Kemudian langsung memeluk erat Mamanya. Hari ini dia hanya sempat bertemu dengan mamanya di pagi hari sehingga dia sangat merindukannya.

“Teja kangen sama Mama.”

“Mama juga kangeeeen banget sama Teja.” Ucap Varsha sambil mengelus kepala buah hatinya.

“Teja sudah makan, Nak?”

“Sudah Mama.” Jawab Teja masih sambil memeluk mamanya.

“Pintar. Kalau begitu Mama mandi dulu nanti baru Teja cerita bagaimana hari ini ya?”

“Oke Mama.” Jawab Teja menganggukan kepala masih tak rela melepaskan mamanya.

Varsha tersenyum ke arah putra kecilnya lalu mengecup dahinya sebelum akhirnya berjalan ke kamar mandi.

Selesai Varsha mandi, Teja langsung menceritakan bagaimana dia menghabiskan harinya. Dimulai dari saat dia bersekolah di TK, lalu waktu dia membantu Eyangnya berjualan asinan, sampai ke game terbaru yang sedang dia mainkan. Hanya satu yang ia tinggalkan, bahwa ia bermain bukan hanya sebagai penggemar melainkan juga sebagai game tester...

“Mama ingat DRF?”

“Dark Rainbow Forrest? Game komputer yang Teja suka itu?”

“Iya, sekarang pengembangnya mengeluarkan versi mobile-nya.”

“Ooh.”

Walau awalnya sempat khawatir, Varsha tidak pernah membatasi waktu bermain Teja. Karena ternyata sebelum diatur pun putranya sudah mengerti sendiri kapan waktunya bermain dan kapan waktunya belajar. Untuk itu Varsha sangat bersyukur telah dianugerahi Tuhan putranya yang luar biasa ini.

“Jadi Teja tadi memainkan itu?” Tanya Varsha yang dijawab dengan anggukan dari Teja.

“Mama mau lihat?”

“Boleh.”

Teja pun memainkan game itu sementara Varsha menontonnya. Varsha sempat memperhatikan ponsel asing yang dipegang Teja. Namun karena Bayu sering diminta temannya untuk memperbaiki ataupun menaikkan spec ponsel rekan-rekannya, Varsha tidak merasa aneh. Sehabis Bayu mengutak-atik ponsel mereka, Teja-lah yang ia minta untuk mengetes ketahanannnya, biasa dengan menonton video atau bermain game. Jadi jika ada ponsel asing di tangan Teja, itu bukanlah hal yang tidak biasa.

“Bagus ya gamenya.” Puji Varsha. “Boleh Mama mengecek pekerjaan Mama yang lain? Mama tetap akan duduk di dekat Teja, kok.” Tambahnya lagi.

“Oke Mama.” Jawab Teja menunjukkan senyum manisnya.

Varsha mengambil laptop dan menyalakannya. Kemudian dia mengecek toko onlinenya. Selain menjadi asisten komikus, pekerja paruh waktu di mini market, dan barista, Varsha juga membuka bisnis makanan online berjualan asinan menggunakan sistem Pre Order. Keuntungan yang didapat, ia bagi dengan Pakde dan Budenya.

Terakhir Varsha cek tadi sore, sudah ada 15 pesanan yang masuk. Sekarang sudah bertambah 7 lagi, jadi total ada 22 pesanan. Varsha kemudian mengecek dan membaca selebaran-selebaran promo online yang ditawarkan berbagai supermarket dan market place. Keningnya berkerut menimbang dan menghitung cepat semua harga di kepalanya.

“Besok sore, habis Mama bekerja, Teja mau temani Mama ke supermarket?”

Namun putra kecilnya tidak memberi jawaban. Ia tertidur sambil memegang ponsel di kedua tangannya. Varsha tersenyum melihat Teja yang seringkali bertingkah layaknya orang dewasa, namun kini tertidur pulas di meja makan seperti anak normal seusianya.

Ding!

Ponsel di tangan Teja berbunyi, namun buah hati kecilnya masih tidak bergeming. Varsha pun berusaha dengan hati-hati mengambil ponsel itu dari tangan Teja. Namun tanpa sengaja, ia malah membuka surel yang baru saja masuk. Dan akhirnya membacanya.

Kepada LittleCloudy,

Saya Surya, CEO dari Akasa Game. Saya mendapat kabar bahwa Anda hanya berminat untuk bekerja sebagai game tester kami secara online.

Saya sungguh mencoba berusaha untuk mengerti posisi Anda namun saya sangat menyayangkan keputusan tersebut. Kemampuan Anda dalam menganalisa setiap detail di dalam game sangat rinci dan akurat.

Pada setiap masalah yang Anda temukan dalam game, Anda cari semua kemungkinan penyebabnya dan tak hanya itu, Anda bahkan juga menyediakan solusinya. Solusi yang bahkan tidak terpikirkan secepat itu oleh tim kami.

Jadi begini saja, bagaimana kalau kita bertemu di tengah-tengah. Saya tidak akan memaksa Anda untuk bergabung dengan Akasa Game, tapi saya tetap ingin berdiskusi dengan Anda secara langsung. Anggap saja sebagai pertemuan sesama pecinta game DRF. Saya mengharapkan kabar baik dari Anda.

Hormat saya,

Surya K. Abhiyoga, CEO Akasa Game

Seusai membaca surel itu Varsha menatap putranya lagi. Apakah putranya menyimpan sesuatu darinya. Tak lama, dia menghela napas panjang. Lalu menggendong buah hatinya menuju tempat tidur. Masalah surel itu bisa menunggu besok.

***

Teja duduk di dalam keranjang yang didorong Varsha. Di sekelilingnya sudah penuh dengan bahan-bahan untuk membuat asinan. Kebetulan hari ini ada promo diskon besar-besaran untuk sayur dan buah-buahan di supermarket AF sehingga Varsha akhirnya memilih untuk berbelanja di sini.

“Teja, marshmallow?”

Teja langsung mengangguk cepat. Teja sebenarnya bukan penyuka makanan manis kecuali susu cokelat dan marshmallow. Bagaimana putra kecilnya yang tidak suka makan manis menyukai marshmallow yang sangat manis itu masih menjadi misteri bagi Varsha.

Varsha memasukkan beberapa bungkus marshmallow ke dalam keranjang lalu mendorongnya menuju kasir. Di masing-masing kasir sudah penuh sekali dengan antrian panjang. Tidak mengherankan, karena dimana ada diskon besar disitulah para pemburu diskon berjamur.

Varsha pun memilih salah satu jalur kasir dan mulai mengantri. Masing-masing keranjang pembeli terisi penuh sehingga memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk melayani satu pelanggan. Varsha menyandarkan sikutnya ke pegangan keranjang dan memangku wajahnya dengan kedua tangannya sambil menatap Teja.

“Teja, tahu apa itu game tester?”

“Tahu Mama.” Jawab Teja.

“Apa sih game tester?” Tanya Varsha lagi.

“Game tester atau Quality Assurance Tester adalah orang yang menguji game sebelum atau sesudah gamenya dirilis.”

“Ooh…” Varsha mengangguk-angguk.

“Maaf Mama…” Ucap Teja tiba-tiba.

“Maaf kenapa, Sayang?”

“Teja tahu Mama sudah baca email dari Akasa Game untuk Teja. Makanya Mama menanyakan tentang game tester pada Teja, kan?” Kata Teja sambil menundukkan kepalanya.

Awalnya Varsha masih agak ragu karena surel tersebut bisa saja untuk Bayu adiknya. Namun Varsha tahu, Teja tidak bisa berbohong padanya. Jadi tinggal dikorek sedikit saja, putra kecilnya pasti akan memberitahukannya semua.

Varsha menghela napas panjang sebelum bertanya lagi, “Kenapa Teja tidak cerita sama Mama Teja bekerja jadi game tester?”

“Maaf Mama… Teja tahu Mama tidak ingin Teja dan Om Bayu merasa terbebani tapi… Tapi Teja juga mau membantu Mama… Meski hanya sedikit… Dan Teja kebetulan mendapatkan kesempatan itu.. Jadi.. Jadi Teja ambil… Mama marah ya sama Teja?”

Varsha tersenyum pada Teja. Ada rasa ngilu di ulu hatinya melihat ekspresi sedih putra kecilnya itu. Ia pun mengelus kepala putranya.

“Mama cuma enggak mau Teja bohong sama Mama. Mama berharap enggak ada rahasia di antara Teja dan Mama lagi, oke?” Ucap Varsha yang dijawab dengan anggukan mantap oleh Teja.

“Kalau soal marah, mungkin sedikit?” Ledek Varsha yang membuahkan senyum kecil dari Teja.

“Tapi, Teja suka enggak jadi game tester?”

Teja tampak berpikir sejenak, sama sekali tidak menyangka pertanyaan itu akan terlontar dari mamanya. Tak lama, dia pun menganggukkan kepalanya.

“Tapi. Teja akan segera berhenti jadi game tester, Mama.”

“Kenapa?”

“Mama juga sudah baca emailnya, kan? Mereka ingin bertemu Teja. Jadi Teja akan berhenti.”

Seketika sebuah memori bermain di benak Varsha. Saat itu usia Teja masih tiga tahun. Varsha sebenarnya tidak terlalu tahu detail cerita lengkapnya karena dia mendengarnya dari Pakliknya.

Intinya yang Varsha tahu. Bagus, putra Pakliknya, membawa Teja berjalan-jalan di suatu kampus. Lalu Teja dituduh mengaku-ngaku telah mengerjakan soal sulit yang bahkan tidak bisa dipecahkan oleh dosen di sana. Tidak ada satu pun yang percaya bahwa anak seusia dirinya mampu mengerjakan soal yang begitu rumit. Meskipun Teja sudah berusaha membuktikannya pun, tidak ada yang menghiraukannya.

Varsha pernah menanyakan hal itu pada Teja, tapi putranya tidak mau menceritakannya dan hanya bilang bahwa dia tidak apa-apa. Tapi Varsha tahu semenjak saat itu seperti ada luka membekas di hati Teja. Ia selalu berusaha menahan kejeniusan dirinya di depan orang dewasa yang asing.

“Mama, sebentar lagi kita sampai kasir.”

Panggilan Teja membuyarkan lamunan Varsha. Antrian mereka akhirnya maju ke depan.  Setelah mengantri setengah jam lebih, mereka pun akhirnya selesai berbelanja.

***

Pada malam hari, saat Teja sudah tidur, Varsha memanggil Bayu. Bayu pun akhirnya mengaku dan bercerita panjang lebar tentang dunia game tester yang digeluti oleh dia dan keponakan kecilnya. Bagaimana Teja menikmati pekerjaan itu, dan bagaimana ia juga membantu membayar tagihan. Pokoknya Bayu ceritakan semuanya tanpa ada sedikit pun detail yang ketinggalan.

Setelah Bayu selesai, Varsha pun akhirnya mengecek surel-surel dari Akasa Game untuk Teja. Dimulai dari undangan closed beta test mobile game yang ia pertama kali dapatkan sampai ke surel-surel terbaru dari CEO Akasa Game yang belum ia buka. Varsha membacanya satu per satu.

Ia bisa merasakan semangat putranya di setiap kalimat yang ia tuliskan pada laporan yang Teja kirimkan ke Akasa Game. Putranya benar-benar sangat menyukai bidang ini. Varsha akhirnya membuka surel dari CEO Akasa Game. Tampaknya pria itu sudah menuliskan sekitar lima surel baru selain dari yang semalam Varsha tidak sengaja baca.

Melihat dari seluruh surel yang CEO itu tuliskan, jelas sekali orang itu sangat mengagumi putra Varsha. Dia selalu memuji dan mengapresiasi buah hatinya di setiap suratnya. Tapi akankah semua sifatnya berubah jika ia tahu orang yang dipujanya adalah bocah berusia empat tahun?

Varsha mengulum bibirnya, menampakkan dua lesung pipit manis di pipinya. Ia sempat merasa ragu namun begitu dia ingat bagaimana putranya dengan begitu bersemangat bergelut di dunia tersebut, tangannya pun mulai menekan layar pada ponsel.

Kepada CEO Akasa Game,

Mari kita bertemu.

Hormat saya,

Wali LittleCloudy

***

Curcol Author:

Cie mantan terindah sebentar lagi mau ketemuan hiihihiihuehehueheehiks

Jangan lupa love, komen, dan jempolnya ya men-temen xD

Nuhun~

- Bawang

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!