NovelToon NovelToon

MELUKIS SENJA

Bab 1. Saat Terakhir

Assalamualaikum,

Selamat datang di karya ke 4. Disarankan membaca dulu 3 judul novel di bawah ini :

SANG PENGASUH

EMPAT SEKAWAN LOVE STORY

MENGAPA CINTA

Agar dapat benang merah sebab para tokoh saling berkaitan.

Last, jangan lupa tinggalkan jejak Like, hadiah, and vote, ya. Happy reading 🤗

...🌻🌻🌻🌻...

Jakarta

Sunyi sepi.

Berbagai alat terpasang di tubuh pasien yang terbujur tak berdaya di atas bed. Semua alat begitu halus bekerja tanpa menyuarakan kebisingan. Seolah mendukung kesyahduan yang tercipta ketika seorang wanita cantik larut dalam lantunan ayat suci Al Qur'an di samping ranjang pasien. Wajah lelah kentara tak dapat disembunyikan. Lipatan dan garis hitam di bawah mata menghiasi wajah putih yang kini memucat menandakan ia kurang tidur.

Dia adalah Cut Mutiara Rahma. Lebih akrab dengan sebutan Rahma. Kini ia duduk menggenggam tangan orang yang tak berdaya itu. Yang tak lain adalah suaminya, Johan Al Malik.

"Abang...buka matamu sebentar saja."

"Aku rindu tatapan mesramu."

"Abang nggak boleh pergi..."

"Bagaimana dengan aku dan Dika...."

"Kumohon....bangun Abang..."

Bibirnya bergetar. Sekuat tenaga Rahma menahan rasa yang menyesak di dada agar tidak tumpah menjadi isakan pilu. Sebab ia sudah terlalu sering menangis saat sendiri setelah dokter memvonis penyakit yang diderita Malik. Dan tadi pagi dokter memberikan kabar terkini jika kondisi Malik semakin menurun.

"Abang...bangun," Rahma mendekatkan wajahnya ke telinga Malik sambil berbisik lirih. "Dika kangen ayahnya. Apalagi aku..."

Rahma terus mengajak Malik bercengkrama. Sebab ia bisa merasakan jika suaminya itu meresponnya. Terasa dari genggaman tangan yang menguat. Bahkan ia pun melihat sudut mata yang terpejam rapat itu terdapat genangan air. Ini hari ke tiga Malik dalam kondisi tidak sadarkan diri, tak lagi mengerang sebab menahan sakit yang menyerang kepala. Malik seolah sedang tertidur lelap dengan tarikan nafas teratur.

Bagaimana tidak iba dan sedih melihat kondisi Malik saat ini. Berbagai alat penopang kehidupan memenuhi tubuh. Keluarga terdekat hanya bisa menyaksikan dari balik kaca sebab hanya satu orang yang diperbolehkan menemani di dalam. Doa tak pernah putus dipanjatkan oleh orang-orang yang mengasihi Malik.

Semua bermula sejak 1 tahun yang lalu...

"Abang mimisan?" Rahma mengernyit heran begitu menoleh ke arah Malik yang tengah menyetir. Ada darah menetes pelan dari hidung sebelah kiri tanpa disadari suaminya itu.

"Masa sih." Malik malah tak yakin sambil tetap menerima uluran selembar tisu dari Rahma.

Kejadian mimisan berulang 2 hari kemudian saat Malik tengah mengajak bermain Mahardika (Dika), anak semata wayang. Bahkan darahnya sampai menetes ke lantai. Kali ini muncul mimisan dari kedua lubang hidungnya. Respon Malik masih santai, toh tidak ada rasa sakit yang ditimbulkannya.

Namun sebulan kemudian Malik mengeluh sakit tenggorokan dan sering pusing tiba-tiba. Diagnosis dokter umum adalah radang tenggorokan. Rahma pun lebih menjaga asupan makanan untuk sang suami dengan memperbanyak menu sayuran dan menghindari gorengan. Sakit yang hilang timbul di bulan berikutnya membuat Rahma memaksa Malik untuk mengunjungi dokter spesialis THT. Apalagi ditambah adanya benjolan di leher yang tak terlihat namun terasa saat diraba.

Rangkaian pemeriksaan di sebuah klinik bonafid dilakukan dalam beberapa kali pertemuan. Diawali pemeriksaan fisik dengan tanya jawab riwayat kesehatan. Dilanjut dengan pemeriksaan nasofaringoskopi dan biopsi. Pemeriksaan lanjutan dengan CT scan dan MRI sampai pada satu kesimpulan. Dokter tampak berat hati menyampaikan kabar.

"Mohon maaf saya harus sampaikan, Pak Malik menderita kanker nasofaring."

"Sudah stadium 3."

"Kanker sudah menyebar ke kelenjar getah bening di kedua sisi leher,ke tulang, dan ke rongga sinus terdekat."

Kabar yang membuat Rahma shock dan menangis. Namun tidak dengan Malik yang tampak tenang dan tegar. Malah berbalik menghibur Rahma. Semua sudah kehendak Tuhan, ujarnya.

Disiplin pengobatan dilakukan dengan menjadwalkan kemoterapi dan imunoterapi. Ikhtiar yang tanpa henti itu harus menelan pil pahit sebab 4 bulan yang lalu dokter menyatakan jika kanker telah meningkat naik ke stadium 4. Sebab sel kanker telah merambat menyerang otak dan mata.

"Tenang. Kita bawa Malik berobat ke Singapura!"

Ia hanya mengangguk pasrah saran Nico kala itu. Disaat prosedur pemberangkatan yang disiapkan selama seminggu rampung, kondisi Malik ngedrop sehingga tidak memungkinkan untuk menaiki pesawat. Keputusan keluarga akhirnya tetap melanjutkan pengobatan di Jakarta.

Tit tit tit tit.

Suara monitor dengan garis yang bergerak cepat membuat Rahma terhenyak dari pikiran yang berkelana menelusuri kilas balik. Dua perawat yang siaga di ruang monitoring bergegas datang dan mengecek kondisi Malik.

"Bu Rahma mohon mundur dulu ya!"

Ia menurut mundur ke belakang dengan jantung berdegup kencang melihat Malik membuka mata dengan nafas kencang. Entah siapa yang memangil, sebab kini dokter yang intens merawat pun sudah masuk ke dalam ruangan diiringi ayah Badru.

"Siapa yang akan menuntun Pak Malik?" Dokter menatap bergantian ke arahnya dan Ayah. "Waktunya tidak lama lagi."

"Maa-maksudnya apa?" Rahma tampak diselimuti kepanikan. "Jangan dilepas!" teriaknya sambil menahan tangan salah satu perawat yang akan melepaskan alat-alat yang menempel di tubuh Malik. Namun tubuhnya terlampau lemah sehingga ia kalah kala seseorang memeluk tubuhnya dari belakang.

"Ikhlaskan Rahma...ikhlaskan..." Rahma mendengar suara Suci yang berkata dsngan menahan tangis. Ia merasa ruangan kini dipenuhi banyak orang. Lantai yang ia pijak seakan bergoyang dan pandangannya mulai mengabur begitu mendengar ayahnya mengucap syahadat. "Asyhadu alla....ilaha...illalah..."

Rahma masih mendengar suara-suara panik memanggil namanya. Sebelum semuanya menjadi gelap dan pekat serta tubuhnya terhempas, melayang cepat memasuki lorong gelap dan berhenti di pendar cahaya yang lamat-lamat melebar dan terang benderang.

"Aku dimana..."

Pandangannya menyapu sekeliling. Sejauh mata memandang hanyalah hamparan rumput hijau tanpa tepi dengan naungan langit biru berhiaskan asap putih. Ia mendengar gemericik air yang ternyata berasal dari sisi kirinya. Sebuah sungai kecil dengan airnya yang jernih tampak memantulkan gambar dirinya. Suasana sejuk dan menentramkan.

"Bang Malik..." senyum merekah tampak di bibir Rahma begitu melihat sosok pria tegap berpakaian serba putih keluar dari balik pohon angsana.

Malik semakin mendekat dengan wajah berhias senyum. Rahma memandangnya dengan takjub sebab wajah suaminya itu begitu bercahaya dan semakin tampan. Beda dengan 3 bulan terakhir dimana tubuh Malik makin kurus karena tak lagi bisa makan dengan benar sebab tenggorokanya sangat sakit.

Ia menurut saja kala Malik menggenggam tangannya. Membawanya pergi menyusuri tepi sungai menuju sebuah gazebo yang menghadap sebuah danau. Belum pernah ia melihat tempat seindah ini. Beautiful place.

"Abang, kita dimana?" Rahma yang kini tidur telentang di kasur yang sangat empuk, menatap Malik yang tidur miring menghadapnya dengan satu tangan menopang kepala.

"Ini tempat tinggalku sekarang."

"Mulai hari ini semua rasa sakit sudah hilang."

"Aku bisa tidur nyenyak."

Rahma menikmati belaian lembut tangan Malik di kepalanya. Aneh, padahal sebelumnya tubuhnya teramat lelah sebab menunggui Malik tiap hari, siang dan malam. Kini lelah itu menguap entah kemana berganti dengan rasa ringan melingkupi tubuh.

"Jadi kita akan tinggal disini?" Mata Rahma tampak berbinar cerah.

"Bukan kita, tapi aku."

"Bunda pulang ya, Dika nangis nyariin kamu..."

"Bilang sama Dika, ayah sayang Dika, sangat sayang..."

Rahma menggeleng dengan kuat. "Kalau aku gak boleh disini, ayo kita pulang sama-sama ke rumah kita."

Malik tak menjawab. Hanya bibirnya yang melengkungkan senyum manis.

"I love you, sayang."

Rahma merasakan kedamaian hati begitu bibir Malik mengecup keningnya, dalam dan lama. Tak diduga, kasur empuk yang ditidurinya perlahan melebar hingga terbelah memisahkan dirinya dan Malik menjadi berjarak. Sekuat tenaga tangannya menggapai-gapai lalu memanggil nama suaminya itu yang mulai menjauh. Namun suaranya begitu berat dan tertahan di kerongkongan. Bahkan badannya memanas saking berusaha mengerahkan tenaga agar bisa berteriak kencang.

"Abang...."

"Abaaaang..."

"Jangan pergi, Bang. Hiks..." Rahma terisak dengan rasa badan yang remuk redam. Ia sama sekali tak bisa bangun untuk sekadar mengejar Malik yang kian jauh, berubah menjadi titik dan tak lagi terlihat.

"Rahma, sadar nak. Istigfar...."

Rahma membuka matanya usai mendengar suara Uma memanggil namanya berulang-ulang. Aroma kayu putih terasa hangat dan segar memenuhi hidung begitu menarik nafas. Perlahan ia mengerjapkan mata dan menatap langit-langit kamar dengan lampu neon yang membuat keningnya mengkerut sebab silau.

Bukankah ini di kamarku?

Rahma sejenak mengumpulkan nyawa sebab belum bisa memahami peristiwa yang telah dialaminya. Rasa hatinya bagaikan sedang menaiki roller coaster sebab baru saja mengalami sedih dan bahagia dalam satu waktu. Dan kini hatinya merasa sesak dan perih. Ia mengedarkan pandangannya kepada orang-orang yang tengah mengerumuninya dengan wajah sembab. Ada Uma, Suci, Salma, dan Umi.

Suara orang-orang mengaji terdengar jelas memenuhi indera pendengarannya.

اِنَّ اَصْحٰبَ الْجَـنَّةِ الْيَوْمَ فِيْ شُغُلٍ فٰكِهُوْنَ ۚ 

inna ash-haabal-jannatil-yauma fii syughuling faakihuun

"Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka)."

(QS. Ya-Sin 36: Ayat 55)

هُمْ وَاَ زْوَا جُهُمْ فِيْ ظِلٰلٍ عَلَى الْاَ رَآئِكِ مُتَّكِــئُوْنَ

hum wa azwaajuhum fii zhilaalin 'alal-arooo`iki muttaki`uun

"Mereka dan pasangan-pasangannya berada dalam tempat yang teduh, bersandar di atas dipan-dipan."

(QS. Ya-Sin 36: Ayat 56)

لَهُمْ فِيْهَا فَا كِهَةٌ وَّلَهُمْ مَّا يَدَّعُوْنَ ۚ 

lahum fiihaa faakihatuw wa lahum maa yadda'uun

"Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa saja yang mereka inginkan."

(QS. Ya-Sin 36: Ayat 57)

سَلٰمٌ ۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ

salaam, qoulam mir robbir rohiim

"(Kepada mereka dikatakan), Salam, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang."

(QS. Ya-Sin 36: Ayat 58)

وَا مْتَا زُوا الْيَوْمَ اَيُّهَا الْمُجْرِمُوْنَ

wamtaazul-yauma ayyuhal-mujrimuun

"Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, wahai orang-orang yang berdosa!"

(QS. Ya-Sin 36: Ayat 59)

* Via Al-Qur'an Indonesia http://quran-id.com

Bab 2. Mizyan Abdillah

Nusa Dua, Bali.

Tari Kecak menjadi pembuka acara sore grand opening The Latansa Resort yang digelar outdoor dengan view pantai yang indah. Dihadiri para tamu penting seperti artis ibukota, pejabat daerah setempat, tokoh masyarakat, relasi, serta tamu yang menginap di hari pertama pembukaan yang berhak mendapatkan diskon promo 60%.

Mizyan Abdillah, pria keturunan Jawa Jerman tampil gagah dalam balutan pakaian adat Bali mendampingi owner resor yang merupakan seorang pengusaha sukses batubara asal Balikpapan, Kalimantan Timur. Ia dipaksa oleh sang boss untuk tetap tinggal di Bali sampai seremonial peresmian resor selesai.

Meski duduk di meja VVIP, ditengah keriaan orang-orang yang antusias menyaksikan slideshow keseluruhan bangunan resor dari luar sampai dalam, dari berbagai sudut, sangat detail tanpa kecuali, namun hatinya sedang berada di tempat lain. Satu kota yang ia rindukan sebab 6 bulan lamanya nomaden ke berbagai kota di dalam dan luar negeri.

Bandung. Ya, itulah kota yang ia rindukan saat ini. Ia sangat merindukan Abah dan Umi yang menjadi orangtua angkatnya, merindukan suasana pesantren yang menyejukkan hatinya. Kangen kodpar dengan Satya sang sahabat sekaligus partner bisnisnya, juga kangen terhadap kawan-kawan baik plus somplak, Arya and the gank. Pokoknya, rasa rindu yang teramat sangat dengan kota Bandung sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ia bahkan ingin terbang saat ini juga.

"Mas Mizyan." Sebuah colekan di lengan diiringi sapaan, membuat pikiran Mizyan yang berkelana kembali pada porosnya.

"Ya?!" Mizyan menatap Fahmi dengan kening mengkerut.

"Siap-siap ya. Nanti boss akan memanggil Mas ke atas (panggung)."

Mizyan baru sadar jika Gionino Kemal, yang biasa ia sapa Bang Kemal sudah tidak ada di tempat duduknya. Tampak si boss berusia 45 tahun itu sedang berjalan menuju tengah panggung, menerima uluran mic yang diberikan MC.

"Saya?! tanyanya tidak yakin. "Mau ngapain?"

Fahmi yang merupakan sekretaris Bang Kemal hanya mengangkat bahu. Fokus keduanya kini mengarah ke panggung sebab sang owner mulai memberikan sambutan.

"Terakhir, saya mau memperkenalkan sosok bertangan dingin yang berhasil membuat saya bangga dengan berbagai hasil karyanya yang selalu amazing termasuk resor ini. Saya perkenalkan sang arsitek The Latansa Resort yang indah ini. The one and only, Mizyan Abdillah...."

Diiringi tepuk tangan para tamu, Mizyan melangkah penuh percaya diri menuju panggung. Ia tidak menyangka Bang Kemal akan mempromosikannya di hadapan tamu penting. Benar-benar marketing ulung. Sebuah iklan gratis untuk menarik job. Dan ia harus berterima kasih pada sosok boss yang royal itu.

"Bang, aku gak ikutan dinner. Mau pulang ke Bandung udah pesan tiket." Mizyan menolak ajakan bang Kemal saat acara berakhir kala sunset.

"Gak ada penolakan. Kau harus dinner bareng Abang!"

"Tapi bang..."

"Ah, kau ini. Di Bandung ada siapa? Belum punya pacar juga. Apalagi anak bini...."

Fahmi yang turut berjalan bersisian mengikuti langkah bang Kemal yang cepat menuju ruang kantor tampak mengulum senyum. "Boss gak bisa dilawan," ujarnya berbisik di telinga Mizyan.

Mizyan menarik nafas berat dan menghembuskannya dengan kasar. Gagal sudah penerbangannya malam ini. Satu jam lagi pesawatnya take off, namun ia masih berada di Nusa Dua menemani boss Kemal makan malam.

"Bule, kau beneran pengen pulang ke Bandung malam ini?" Kemal menatap Mizyan yang tengah menyesap kopi. Bule adalah panggilan kesayangan Kemal untuk Mizyan saking akrabnya dan sudah dianggapnya adik. Sebab wajah dengan hidung mancung dan bibir tipis itu kentara jika ia seorang blasteran.

Mizyan menggeleng. "Udah gak sempet, Bang. Besok aja."

Kemal memasukkan potongan hot apple pie ke dalam mulutnya sebagai hidangan penutup. Matanya tajam menatap Mizyan yang beberapa kali tertangkap gerak gelisah mengusap tengkuk. "Apa yang membuat kau betah tinggal di Bandung?"

****

Bandung

Dan Mizyan tersenyum dengan wajah sumringah begitu keluar dari bandara Husein Sastranegara di saat jam menunjukkan hampir tengah malam. Ia menuju taksi yang standby di parkiran yang akan membawanya pulang ke apartemen. Tak peduli dinginnya udara malam yang menusuk kulit. Ditambah jalanan aspal yang basah sebab tiba-tiba turun hujan rintik-rintik.

"Banyak kenangan pahit manis di Bandung. Mulai menginjakkan kaki di sana sebagai gelandangan. Dan menjadi saksi aku yang terlahir kembali sebagai 'manusia baru'."

Jawabannya membuat Kemal memberikan sebuah kejutan. Ia diantar pulang ke Bandung menggunakan pesawat jet pribadi. Beberapa kali ia mengucapkan terima kasih dan memeluk boss yang royal itu sebab sangat bahagia.

Mizyan menjatuhkan tubuhnya di ranjang usai membersihkan diri. Tercium aroma wangi softener dari seprai dan selimut sebagai tanda baru diganti. Ia memang tidak khawatir meski meninggalkan apartemen berlama-lama. Ada orang yang dipercayai untuk membersihkan tempat tinggalnya itu. Rasa lelah dan penat membuatnya cepat terbang ke alam mimpi.

Hanya sempat minum segelas air putih, Mizyan bergegas pergi meninggalkan apartemen usai sholat subuh. Kalau saja tak memasang alatm di ponselnya, bisa jadi ia akan kebablasan bangun siang.

Ia ingin mengejar kajian ahad pagi yang dimulai jam 6 pagi dan biasanya diisi oleh abah. Jarak dari apartemen ke pesantren kisaran 12 km ditempuh hanya dalam waktu singkat sebab jalanan pagi masih lengang dan ia menyetir dengan kecepatan tinggi.

Pintu gerbang pesantren terbuka lebar dengan kendaraan roda dua dan roda empat yang berjalan pelan memasuki area parkir. Mobil sport merah yang ia tunggangi tampak mencolok dan mulai menjadi pusat perhatian terutama para akhwat yang tampak senyum-senyum sambil berbisik-bisik dengan rekannya. Mereka sudah mengenal siapa pemilik mobil itu sebab Mizyan begitu populer seantero pesantren. Apalagi kalau bukan karena penampilan fisiknya dan gelar mualaf yang disandangnya.

"A Iyan...."

"Hore Aa Iyan datang. Alhamdulillah ya Alloh!"

Seorang pemuda berumur 22 tahun bertubuh gemuk, menghampiri Mizyan yang baru keluar dari mobilnya dengan memakai setelan celana panjang krem dan baju koko putih membungkus tubuh atletisnya. Membuat sebagian jamaah pengajian tak tahan untuk tidak meliriknya kala ia berjalan menuju masjid.

"Sehat, Do?!" Mizyan menepuk bahu pemuda bernama Dado yang dengan girang mencium tangannya. Dialah orang yang Mizyan percaya merawat apartemennya dikala pergi. Ia pun punya tempat tinggal di paviliun komplek pesantren pemberian Abah yang juga dipercayakan kepada Dado untuk merawat dan membersihkannya.

"Alhamdulillah, Aa. Dado mah sehat dan tambah gendut hihihi..."

Mizyan tersenyum lalu mengacak rambut pemuda dengan kemampuan otak minimalis itu. Anak yang dibawa Abah di terminal bis 12 tahun lalu sedang menangis sebab ditinggalkan oleh bapaknya begitu saja. Meski 10 tahun menimba ilmu di pesantren, tak banyak pelajaran yang bisa diserapnya. Semakin banyak menghafal malah membuat pusing kepala dan muntah-muntah. Satu kelebihan dari sosok Dado adalah ia jujur. Sehingga Mizyan meminta izin kepada abah untuk menjadikan Dado asistennya.

"Aa nanti abis kajian ke kamar ya!"

"Mau ngapain?" Mizyan yang baru duduk sila dibarisan paling depan menatap Dado yang duduk di sisinya dengan kening mengkerut.

"Seuer nu ngirim (banyak yang ngirim) kado. Ti (dari) Nurul, Sri, Putri, Yu...."

"Sshh, mau mulai." Mizyan menghentikan Dado yang tengah mengabsen nama-nama pemberi hadiah dengan jari. Sebab ustad Ahmad yang ia panggil Abah, yang telah menjadi orangtua angkatnya, kini sudah duduk di kursi menghadap jemaah pengajian dimana ikhwan berada di lantai dasar dan akhwat berada di lantai 2.

Bab 3. Duka Cita

Suasana hening menyelimuti acara sarapan pagi bersama ustad Ahmad dan juga istrinya Umi Hani serta anak pertama beliau bernama Fahri. Mizyan tak berani membuka percakapan saking takzimnya terhadap dua orang bersahaja yang telah menganggapnya sebagai anak angkat. Abah, panggilannya untuk ustad Ahmad, paling senang acara makan sambil duduk lesehan. Beralaskan karpet yang empuk, tampak hidangan ala sunda tersaji di tengah-tengah. Tutug oncom, goreng ikan nilem, mendoan, ditambah sambal lalab serta kerupuk menjadi sajian yang nikmat usai acara kajian .

"Bagaimana pekerjaannya, nak Mizyan?" Abah menyusut permukaan bibirnya dengan tisu usai meneguk teh hangat dengan piring yang telah licin tanpa sisa.

"Alhamdulillah, Bah. Lancar." Mizyan turut mengakhiri acara makan dengan berucap hamdalah. Sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan menu sederhana namun sangat nikmat itu. Selama 6 bulan nomaden ia selalu makan di restoran dan lebih banyak dijamu oleh kliennya.

"Solatnya bagaimana lancar juga? Nggak pernah bolong?"

"Nggak pernah bolong, Bah. Tapi kadang shalatnya akhir hehe..." Mizyan tertawa sumbang sebab merasa. Di saat sedang bekerja bersama klien ia masih menunda-nunda melaksanakan ibadah wajib itu.

"Shalat adalah perkara pertama yang akan dimintai pertanggung jawaban kelak, maka jangan jadikan shalat sebagai hal terakhir yang kamu pikirkan."

"Maafkan saya, Bah." Mizyan menundukkan kepalanya. Merasa malu mendapat teguran halus dari Abah.

"Belajar dan terus belajar menggali fadilah shalat. Bisa bertanya pada kakakmu." ustad Ahmad menunjuk Fahri dengan dagunya yang duduk di samping Mizyan.

"Jangan anggap shalat hanya penggugur kewajiban, karena kita akan terburu-buru mengerjakannya."

"Bila kita anggap shalat hanya sebuah kewajiban, maka kita tak akan menikmati hadirnya Allah saat kita mengerjakannya."

"Lakukan shalat dengan benar dan ikhlas, maka akan membuat hati bahagia, jiwa damai, dan menghilangkah kegelisahan hidup."

Sebenarnya Mizyan masih betah mendengarkan nasehat ustad Ahmad yang disampaikan dalam suasana kekeluargaan itu. Namun asisten sang ustad datang membawa kabar jika sekarang waktunya berangkat ke bandara. Ustad Ahmad harus berangkat ke Pekanbaru untuk kegiatan safari dakwah selama seminggu di sana.

Mizyan mengantarkan Abah dan Umi yang berangkat ditemani 2 asisten sampai depan mobil.

"Maafin kami ya nak, harus pergi. Padahal kamu baru datang, umi juga masih kangen." Umi menepuk-nepuk lengan Mizyan dengan sorot mata penuh sayang seorang ibu. "Mau tinggal lama kan di Bandung?"

Mizyan mengangguk. "InsyaAllah Umi. Saya juga mau tinggal di sini (pesantren) mau lanjutin ngaji."

"Alhamdulillah." Umi tersenyum senang. "Jangan sungkan. Anggap rumah sendiri ya. Kalau perlu bantuan apa aja, kamu bisa minta tolong santri."

"Tapi ingat santriwan. Bukan santriwati!"

Mizyan tertawa mendapat todongan telunjuk Umi yang seolah mengancamnya. Ia pun melambaikan tangan kala mobil mulai melaju.

"A Iyan, hayu!"

Mizyan menoleh ke asal suara yang memanggilnya. Rupanya Dado dari tadi setia menunggu di teras. Keningnya mengkerut melihat Dado dengan isyarat tangan menunjuk ke arah paviliun.

"Kang, saya tinggal dulu ya." Mizyan pamit kepada Fahri yang sedang berbicara dengan salah seorang pengurus yayasan. Yang kemudian dibalas anggukkan oleh Fahri.

Dengan semangat 45, Dado membuka pintu ruang paviliun. Mizyan menyaksikan banyaknya tumpukan kado berbagai ukuran tersimpan memenuhi salah satu kursi.

Kayak kado ulang tahun aja.

Mizyan geleng-geleng kepala. Selama setahun tinggal di pesantren, kehadirannya telah mencuri perhatian para gadis. Baik santriwati maupun jemaah pengajian dari luar pesantren. Bahkan proposal taaruf menumpuk di sudut meja kerjanya. Hanya dibaca sekilas bahkan sebagian belum dibuka. Entahlah, sejak ditolaknya lamaran oleh Rade, ia merasa belum siap memiliki hubungan spesial dengan wanita apalagi rencana menikah. Masih jauh.

****

Mizyan memarkirkan mobilnya di halaman sebuah rumah berlantai 2 tepat di samping mobil SUV berwarna hitam. Bersaman dengan ia keluar dari mobil, sepasang suami istri keluar pula dari dalam rumah dengan berpakaian serba hitam.

"Assalamualaikum." Mizyan berseru dengan penuh keriaan sebab bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang dirindukannya.

"Waalaikumsalam."

Satya dan Rade sang pemilik rumah, menjawab dengan kompak diiringi senyum lebar melihat siapa tamu yang datang.

Mizyan dan Satya saling berpelukan dan tertawa sebab merasa senang bisa bertemu lagi. Selama ini mereka hanya melakukan komunikasi lewat telepon dalam membahas pekerjaan.

"Keponakanku mana, De? Kangen nih." Mizyan beralih menatap Rade yang tengah senyum-senyum menyaksikan interaksinya dengan Satya.

"Di dalam kak, sama mbak. Kita ngumpet-ngumpet nih keluarnya. Kalau tau bisa nangis pengen ikut." Rade menoleh ke arah pintu yang tertutup.

"Oh, kalian mau pergi ya?" Mizyan baru sadar jika pasangan di depannya itu memakai warna baju yang sama dengan Rade menyampirkan tas di bahu.

Satya mengangguk. "Kita mau takziah. Tadinya mau ke rumahnya tapi sekarang sudah siap-siap pemakaman. Jadi mau langsung ke TPU."

"Siapa yang meninggal?"

Bertiga mereka menaiki mobil yang sama menuju TPU (Tempat Pemakaman Umum). Mizyan memilih ikut sebab kenal dengan Nico sebagai partner Satya dalam bisnis properti.

Mobil masih melaju pelan menyusuri jalanan komplek perumahan dengan unit limited edition itu. Mizyan sempat menoleh ke arah rumah Nico yang tampak sepi tanpa ada kendaraan terparkir di luar.

"Meninggal karena apa, Sat?" Mizyan yang memilih ikut takziah yang duduk sendiri di baris kedua mulai bertanya sebab penasaran. Ia tidak kenal dengan sahabatnya Nico yang meninggal itu. Hanya kenal dengan Nico nya saja.

"Sakit. Kanker nasofaring."

"Anaknya satu, laki-laki seumuran Nana. Kasihan udah jadi yatim..."

Mizyan mengangguk-ngangguk mendengar penjelasan Satya. Mendadak atmosfer dalam mobil diselimuti rasa duka. Ketiganya terdiam dengan masing-masing pikiran berkelana membayangkan jika kematian memang tak mengenal batas usia. Membayangkan pula kedukaan istri almarhum yang ditinggalkan.

Suasana pagi menjelang siang di komplek pemakaman sudah dipenuhi orang-orang yang mengantar dan melepaskan almarhum Johan Al Malik menuju peristirahatan terakhir. Deretan makan tampak tertata apik, seragam berumput hijau dengan hiasan nisan di bagian kepala. Mizyan, Satya dan Rade berdiri berbaur di barisan orang-orang yang menyaksikan pengurugan tanah yang memenuhi liang lahat.

Mungkin itu istrinya.

Pandangan Mizyan tertuju pada punggung seorang wanita berpakaian serba putih yang berjongkok di depan pusara sambil menaburkan bunga mawar. Tampak dua orang wanita di kiri dan kanannya mengusap-ngusap punggung wanita itu seolah mentransfer dukungan agar sabar dan tabah.

Mizyan menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan. Suasana duka begitu kental terasa dan ia pun ikut terhanyut terbawa suasana. Apalagi saat terdengar isakan kecil dari pemilik punggung seorang wanita berpakain serba putih itu yang kini luruh terduduk di tanah kala ustad memimpin doa. Hatinya ikut perih.

"Anaknya satu, laki-laki seumuran Nana. Kasihan udah jadi yatim..."

Ucapan Satya terngiang kembali kala Mizyan mengusap wajah usai mengaminkan doa sang ustad.

"Saya turut berduka cita. Semoga almarhum mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah."

"Yang sabar dan kuat, bro." Mizyan menyalami dan memberi pelukan kepada Nico yang tampak raut kesedihan mendalam meski matanya ditutupi kacamata hitam.

"Aamiin. Makasih buat kedatangannya."

Satya pun melakukan hal yang sama mengucapkan bela sungkawa. Tampak pula Rade menghampiri sekumpulan wanita dan menyalami semuanya.

Orang-orang berangsur meninggalkan komplek pemakaman dan menyisakan beberapa orang yang merupakan keluarga terdekat almarhum Malik.

"Kita pulang!" Colekan dibahunya membuat Mizyan menoleh. Ia melihat Satya dan Rade berjalan terlebih dulu meninggalkan dirinya yang masih berdiri mematung menyaksikan pemandangan keluarga yang mengelilingi pusara, terdengar mulai melantunkan doa.

"Yan!"

Panggilan Satya membuat Mizyan tersadar dari keterpakuannya. Ia membalikkan badan, berjalan cepat menanggalkan kedukaan yang telah menyelimuti hati. Sebelum keluar dari gapura, ia menatap untuk terakhir kalinya ke arah gundukan tanah merah dengan sekumpulan orangnya yang masih melantunkan doa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!