NovelToon NovelToon

MELAWAN DIMENSI JIN

Awal Mula

Di sebuah desa bernama Maceng hiduplah seorang pria bernama Sahib yang sudah berusia 32 tahun.

Dia tinggal bersama istrinya Rahmi di sebuah gubuk yang sangat sederhana.

Sahib dan Rahmi telah berumah tangga selama sepuluh tahun namun belum juga mendapatkan keturunan.

Pada suatu hari, Sahib yang bekerja sebagai kuli cangkul melewati jalan setapak menuju ladang Pak Amat.

Dia diberikan tugas oleh Pak Amat yang menjadi kepala desa Maceng untuk mencangkul di ladang milik Pak Amat yang berada jauh dari pedesaan.

Walaupun ladang itu melewati tempat yang terkenal angker, namun karena Pak Amat menawarkan upah yang tinggi, akhirnya Sahib bersedia bekerja di sana.

Sahib terlihat terus berjalan perlahan-lahan memasuki hutan yang sangat lebat.

Di hutan itulah masyarakat desa Maceng sering kesurupan, lagipula banyak sudah orang yang melihat penampakan makhluk gaib yang sangat mengerikan.

Dengan perlahan tapi pasti Sahib berjalan tanpa berani menoleh ke belakang.

Dia teringat mitos yang beredar di masyarakat bahwa barangsiapa yang menoleh ke belakang dan ada hantu yang sedang melihat nya, maka posisi kepala yang menoleh tidak akan bisa kembali seperti semula.

Tiba-tiba ada suara pergerakan di belakang Sahib namun dia tetap tidak berani menoleh, bulu kuduk Sahib sudah berdiri semua karena ketakutan.

Tiba-tiba, lewat lah seekor Kalong (Kelelawar besar) di atas kepala nya yang merasa kaget dan ketakutan.

Kembali dia teringat perkataan orang tuanya dulu,

"Kelelawar, Kalong, Ular, Burung hantu pertanda setan atau jin".

Mengingat hal itu, Sahib seperti ingin kembali ke rumah, namun karena persediaan beras sudah habis, maka dia mengerahkan seluruh tekad untuk terus berjalan ke ladang (kebun) yang berjarak 500 meter dari rumah Pak Amat.

Sahib melewati hutan yang sangat lebat, di sebelah kanan nya terdapat kuburan jaman yang juga dijuluki tempat paling angker di desa Maceng.

Sahib mengeraskan hatinya dan kini dia berjalan sambil membaca ayat-ayat Alquran.

Dulunya Sahib adalah seorang juara mengaji di kampung, namun karena dia kurang suka mengajar anak-anak, maka dia memilih menjadi kuli cangkul.

Setelah melewati kuburan lama, Sahib akhirnya tiba di ladang yang luasnya beberapa hektar, namun Pak Amat hanya menyuruhnya mencangkul beberapa puluh meter untuk lapak menanam jahe merah yang saat itu sedang mahal harganya.

Sesampainya di situ, dia segera mencangkul tanah lahan milik Pak Amat, hari pun masih pagi sekali saat Sahib sudah menyelesaikan satu petak tanah.

.---***---. .---***---. .---***---.

Beberapa orang terlihat sedang mengerumuni pagar rumah yang sangat mewah, ternyata pemilik rumah terbesar di desa Maceng kini sedang bertengkar hebat.

Makanya warga yang sangat ingin tahu urusan ribut-ribut di rumah Pak Darmawan itu kini bertambah banyak di luar pagar seperti orang yang sedang mengantri sembako.

Di kerumunan orang-orang yang berdiri di pagar, terdapat Rahmi istrinya Sahib yang baru pulang dari pasar. Dia pun tertegun mendengar pertengkaran antara Pak Darmawan dan istrinya.

"Kau pikir aku mau hal ini terjadi, dulu kau pun setuju bahkan kau yang memaksa aku untuk berbuat hal itu",

seru Pak Darmawan dengan sangat emosi.

Disambut lagi oleh istrinya dan menurut yang di dengar oleh Rahmi, pertengkaran itu terjadi karena Pak Darmawan dan istrinya saling menyalahkan atas sesuatu yang akan menimpa anak semata wayang mereka.

Memang sudah bukan rahasia lagi bahwa Pak Darmawan dikenal warga sekitar kaya raya akibat membuat perjanjian dengan Jin.

Sudah banyak Ustadz yang mencoba menasehatinya namun yang ada Ustad yang berani malah akan mendapat celaka.

"ibu-ibu, saya permisi dulu ya, saya duluan",

ucap Rahmi tak lama kemudian.

Dengan cepat Rahmi melangkahkan kaki menuju ke gubuk milik nya.

Sesampainya Rahmi di gubuk, segera terdengar suara suaminya dari dalam yang agak kasar,

"sudah pulang bu, cepat buatkan aku makanan"

Rahmi yang memang memiliki pengetahuan tentang Jin sedikit-sedikit mulai merasa aneh.

Suaminya tidak pernah pulang sebelum siang dan lagipula tidak pernah suaranya terdengar kasar.

dia tidak menjawab apa-apa. segera dia berjalan ke arah suara tadi dan benar saja, duduk sosok suaminya di meja kayu sederhana dalam keadaan seperti orang kesurupan.

Rahmi yang merasa khawatir segera masuk ke dalam mengambil wudhu dan beberapa saat kemudian dia telah memegang sebuah Al-Qur'an di tangannya.

Dengan perlahan dibawanya ke tempat sosok suaminya tadi,

"Pak, jam segini kita biasanya membaca Alquran, ayo Pak kita baca sama-sama"

Melihat Rahmi membawa Alquran, sosok Sahib tadi segera bangun dan bergegas menuju kamar mandi.

Karena kamar mandi mereka berada di dapur, jadi dari ruang tengah bisa langsung melihat pintu kamar mandi,

Rahmi yang mulai merasa itu adalah suaminya mungkin sedang kerasukan setan segera menghampiri kamar mandi.

Namun Rahmi sangat kaget ketika dia menolak pintu kamar mandi, ternyata didalam nya tidak ada siapa-siapa, jangankan suaminya, sosok lain pun tidak terlihat di sana.

Segera Rahmi keluar dan duduk di depan pelataran rumahnya lalu dia pun bergumam,

"masak sih siang-siang gini ada hantu".

Rahmi yang merasa seluruh bulunya telah berdiri, tak berani lagi masuk ke rumah dan kini dia duduk di sana hingga sore hari dan menanti suaminya yang asli pulang.

.---***---. .---***---. .---***---.

Sahib terus mencangkul di ladang Pak Amat hingga pukul 5 sore, setelah istirahat pada jam satu siang untuk memakan bekal makanannya dan shalat dhuhur dia segera melanjutkan kerja nya hari itu.

Sebelum pulang ke rumahnya, dia shalat asar di situ dan kembalilah dia pada pukul lima sore tepat.

Ketika Sahib melewati komplek pemakaman lama, dia melihat sosok seorang gadis yang sangat cantik sekali berdiri di samping jalan dan menegurnya.

Dia hanya tersenyum kepada gadis itu dan tidak menjawab pertanyaan si gadis.

Tak lama kemudian, Sahib pun memasuki hutan lebat di mana dia bertemu dengan Kalong besar tadi pagi.

bulu tengkuknya meremang saat akan melewati sebatang pohon besar,

tiba-tiba, Sahib merasa tubuhnya sangat berat dan tidak sanggup melanjutkan perjalanan, lantas dia pun duduk di akar pohon Angsana besar tersebut karena merasa tubuhnya berat dan rasa kantuk yang sangat pun melanda.

Saat Sahib berada diantara ngantuk dan setengah sadar,

muncullah sesosok wujud yang sangat mengerikan, bayangan besar berwarna hitam kemerahan berbentuk campuran Manusia dan Kelelawar yang sedang mengepakkan sayapnya dan bertanduk seperti iblis.

Bayangan itu berkata kepada Sahib,

"apa keinginanmu begitu besar untuk memiliki seorang anak?"

Sahib menjawab antara sadar dan tidak.

"ya, aku sangat ingin mempunyai seorang putra".

"kalau begitu ikutilah jalanku, aku akan kabulkan permohonan mu dan memberi engkau seorang putra"

"maaf, aku hanya meminta dan memohon kepada Allah, hanya Dia yang mampu memberi apapun keinginanku, kau siapa, apa kau tidak takut kepada Allah Tuhanku dan Pemilik mu?" Sahib berkata.

Tak lama kemudian Sahib kembali terbangun dan sayup-sayup dia mendengar suara di kejauhan.

"tunggu saja, aku akan terus menyesatkan mu hingga sampai ke anak cucumu".

Akhirnya Sahib yang melihat hari hampir gelap gulita terfikir didalam benak nya, jika dia keluar dari hutan, maka keburu waktu magrib habis, namun jika dia tak keluar, dia takut akan di datangi lagi oleh sosok yang di anggapnya setan itu.

Dengan menetapkan hatinya, Sahib berkata lantang,

"La haula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil 'adlim".

Lalu dia segera mengambil wudhu di parit besar yang ada di tengah hutan belantara itu, selesai shalat dengan perlengkapan shalat yang selalu dibawanya, dia pun melangkah kan kaki untuk pulang ke rumah dalam kegelapan malam yang hanya di terangi oleh cahaya bintang gemintang.

BERSAMBUNG

Kelahiran Fatih

Sesampainya di rumah, Sahib melihat Rahmi sedang duduk menunggunya,

"assalamualaikum buk", seru Sahib lembut

"wa alaikum salam Pak, kenapa lama pulangnya Pak?"

"tadi ada masalah di jalan buk, nanti aku ceritakan, sekarang mari kita masuk dulu"

Rahmi pun masuk ke dalam di samping suami yang sangat dicintainya.

Sesampainya mereka didalam, Sahib segera menceritakan hal aneh yang terjadi pada dirinya saat dia ditawarkan oleh sesosok makhluk untuk mempunyai anak dan dia menolaknya,

mendengar cerita suaminya yang telah pulang malam itu Rahmi pun berkata,

"aku tadi juga mengalami hal aneh, siang tadi sekitar jam 11 pas aku pulang dari pasar, aku lihat kamu duduk di ruang tengah minta makanan dan bicara dengan nada kasar kepadaku"

"aku gak pulang tadi siang buk", potong Sahib seketika.

"makanya aku bilang aneh pak, lalu buru-buru aku ke dalam mengambil Al-Qur'an dan mengajak dia ngaji, lalu segera dia masuk ke kamar mandi, begitu ku lihat, tidak ada siapa-siapa di kamar mandi"

lanjut Rahmi menceritakan dengan bulu kuduk merinding, dia pun melanjutkan,

"dari tadi siang aku gak berani masuk kedalam, shalat dhuhur, asar dan magrib pun di rumah buk Sari di sebelah".

Setelah menghela nafas panjang, akhirnya Sahib berkata,

"itu adalah cobaan buat kita bu, yang penting, apapun keadaan kita, kita tetap berserah diri sepenuhnya kepada Allah".

"ibu sudah makan?" tanya sang suami

"kita gak ada apa-apa Pak, tadi ibu ke pasar cuma beli ubi, sebentar ibu rebus dulu ya Pak"

jawab Rahmi lalu bangun menuju ke dapur merebus ubi tanah yang tadi di belinya.

Singkatnya, setelah makan malam yang sangat sederhana, Sahib dan Rahmi segera berwudhu dan melakukan shalat isya berjamaah,

selesai sholat, Sahib berdoa sangat panjang yang di aminkan oleh sang istri tercinta.

Tak lama kemudian, setelah mengunci semua pintu dan jendela, Rahmi segera memenuhi ajakan suaminya yang ingin melepaskan kerinduan di malam itu, jam telah menunjukkan pukul 9 lewat 10, Rahmi yang berdandan seadanya langsung menuju ke kamar dan segera dia merebahkan dirinya dalam pelukan sang suami.

Malam itu tiba-tiba hujan pun mengguyur deras, Sahib yang berada di tempat tidur dengan sang istri mulai melakukan pencangkulan dengan ritme pelan.

Tak lama kemudian, mereka pun larut dalam kemesraan bercocok tanam hingga pukul 2 pagi dini hari, dan akhirnya mereka berdua tertidur pulas.

.---***---. .---***---. .---***---.

Beberapa bulan kemudian, terlihat Rahmi yang kini telah hamil 4 bulan.

Dia sedang menjaga warung kecil di depan rumahnya.

sekitar dua bulan yang lalu, Sahib dan Rahmi kedatangan tamu yang tidak lain adalah adik kandung Sahib bernama Rahma yang baru pulang dari Pesantren di daerah Jogja.

Rahma telah lama tinggal di Pesantren hingga dia menjadi dewan guru dan memegang kunci koperasi di Pesantren tersebut.

Kini Rahma berencana tinggal di desa Maceng bersama Abang dan kakak iparnya yang begitu baik padanya.

Berkat keuntungan koperasi yang di kelolanya di Pesantren, maka Pesantren memberikan keuntungan 30 persen kepada Rahma selama dia mengelola Koperasi.

Dengan uang 90 juta yang di kantongi nya, Rahma membeli perlengkapan rumah untuk mereka pakai bersama dan membangun Saung balai pengajian serta membuka sebuah kedai kelontong di depan rumah Sahib.

Selama adiknya pulang dari Pesantren, Sahib tampak mulai meningkat hidupnya secara perlahan-lahan, Rahmi pun terlihat sangat bahagia dengan kehadiran adik perempuan suaminya tersebut.

Terlebih calon anak mereka yang berusia 4 bulan dalam kandungan yang menjadi pelengkap kebahagiaan mereka.

Beberapa saat kemudian, ada tiga orang ibu-ibu yang datang untuk berbelanja,

"assalamualaikum bu Rahmi".

"wa alaikum salam ibu-ibu, singgah buk",

"ya bu Rahmi, sayurnya segar-segar ya bu,

saya mau yang ini dua ikat, tomat nya dua ons aja ya buk"

"ya bu, sebentar bu saya siapkan"

seorang ibu-ibu yang datang bertanya,

"oya bu Rahmi, dek Rahma mana ya?"

"Rahma ada bu, sedang mengajar anak-anak di saung belakang rumah".

"pesan bu Hajjah, besok, ba'da Jum'at pengajian ibu-ibu jadi diadakan di Surau dekat rumah bu Hajjah, tolong sampaikan ke Rahma ya buk".

"baik bu", Rahmi menjawab.

Setelah selesai ibu-ibu itu berbelanja, Rahmi segera menutup pintu warungnya,

ibu-ibu bertanya,

"kenapa di tutup bu"

"o ini cuma nutupin pintunya aja bu, sudah mau masuk waktu shalat dhuhur sebentar lagi bu".

jawab Rahmi yang lalu masuk ke rumahnya.

Sementara ibu-ibu itu sambil jalan pulang ke rumah, tak henti-hentinya membicarakan kebaikan keluarga Pak Sahib.

Tak lama kemudian, Sahib pun telah sampai ke rumah, setelah mengucap salam dan masuk, istrinya segera menyambutnya dengan menyuguhkan teh sambil bertanya bagaimana usahanya hari ini,

Sahib yang kini menjadi pengusaha jual beli hasil panen kecil-kecilan berkata,

"alhamdulilah bu, berkat doa kalian, akhirnya mobil Pick Up Pak Amat yang kita cicil tahun lalu sudah lunas bu, dan masih tersisa keuntungan hari ini buat keperluan sehari-hari".

Begitulah kehidupan Sahib, Rahmi dan adik nya yang kini menjadi seorang Ustadzah di kampung Maceng.

Lima bulan kemudian, Rahmi pun melahirkan seorang putra di Puskesmas desa Maceng yang langsung di azankan oleh Sahib sendiri.

Anak itu di beri nama Muhammad Fatih karena semenjak ibunya mengandung dia, pintu rezeki dan kebahagiaan seperti terbuka dengan lapang untuk keluarga mereka.

.---***---. .---***---. .---***---.

Di desa Meadat, terdapat seorang dukun yang sakti mandraguna.

Desa itu terletak paling ujung di antara beberapa desa yang ada di kota tersebut, dari ujung terdapat desa Meadat, desa Pamam, desa Paden, desa Maceng, desa Almer, desa Langla dan desa Gamba yang terletak di pinggir jalan arah ke kota.

Dukun yang telah tersohor ke beberapa desa itu biasa di panggil Mbah Marlan, dia merupakan dukun yang memang selalu di cari orang-orang yang ingin kekayaan, anak, dan lain hal sebagainya.

Seperti Pak Darmawan yang tinggal di desa Maceng, dia juga mengambil ajian kekayaan pada Mbah Marlan.

Di setiap desa, terdapat orang yang datang berobat ke Mbah Marlan,

anehnya, apapun persyaratan yang di berikan oleh Mbah Marlan, semua yang datang tentu akan menyanggupinya walaupun pada akhirnya mereka akan menyesal.

Sore itu, Mbah Marlan sedang menyiapkan sesajen untuk para jin, setan dan iblis sesembahannya.

Dia menyiapkan satu telenan (talam) besar penuh makanan yang sedap-sedap.

Mulai dari ayam hitam panggang yang sampai kaki dan darahnya pun hitam, ada pulut ketan yang sudah di masak, air bunga 7 rupa, kemenyan bakar, kue sekitar 7 macam telah tersedia di atas sebuah nampan besar yang kemudian di letakkan dalam kamar pribadinya.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara-suara aneh di dalam kamar tersebut.

Jika ada orang yang terbuka mata batinnya, maka dia pasti bisa menyaksikan makhluk-makhluk yang mengerikan sedang memakan sari makanan yang di siapkan Mbah Marlan.

Dari jin yang lebih kecil dari semut hingga makhluk yang lebih besar dari gajah sekalipun telah berkumpul dengan bentuk rupa yang sangat menakutkan.

Mbah Marlan hidup sendiri di rumah itu, sebenarnya dia mempunyai seorang istri dan seorang putri.

Namun saat dia mulai berguru kepada Ki Tapa Rawut, istri dan putrinya pergi dari rumah setelah dia menjatuhkan talak 3 kepada istrinya yang bernama Nyi Dayang.

Hingga sekarang, dia tidak tau kemana perginya mantan istri yang membawa putri semata wayangnya itu.

BERSAMBUNG

Kejadian Aneh

Kini Mbah Marlan hidup sendiri tanpa ada satupun sanak keluarga yang mendampinginya.

Perasaan senang kadang timbul di hatinya, namun perasaan bahagia sering dia tanyakan kepada hatinya,

mengapa setelah keinginan nya terpenuhi, dia tetap tidak merasa Bahagia?

Jawaban nya adalah karena kebahagiaan itu tidak akan hadir tanpa kita rasakan.

Faktor pendukung hadirnya rasa itu mesti sinkron antara senang dan bahagia.

Jika rasa senang yang dianggap bahagia itu hanya rasa senang saja, maka tidak akan timbul kedamaian seperti seorang yang senang membunuh, setelah melakukan hal itu, maka dia hanya mendapatkan kesenangan semu sesaat.

Namun lain halnya jika faktor penunjang seperti seseorang yang senang melakukan ibadah dan kebaikan, maka di samping kesenangan yang hadir di hatinya, ada pula rasa damai, aman dan tenteram yang menghiasi dirinya.

Maka saat seperti itu lah seseorang bisa dikatakan bahagia.

Seperti seekor kucing yang senang memakan ikan yang dicurinya, namun tak ada ketenangan pada nya, bahkan suara gemerincing sedikit saja sudah mengejutkan si kucing nakal dan akan membuatnya lari menabrak apa saja yang ada.

Namun jika kucing itu memakan ikan pemberian tuannya, walaupun suara petir menyambar dengan sangat besar, maka sang kucing pun tak akan bergeming sedikitpun dari tempatnya,

Dia akan dengan tenang memakan ikan itu sampai habis ke tulang-tulang nya.

Begitu pula apa yang di lakukan Mbah Marlan,

dia senang melakukan hal yang demikian, namun tak akan pernah tenang karena hati kecilnya tau bahwa itu menyalahi Kudrat Tuhan Yang Maha Esa.

Namun untuk mundur pun sudah tidak mungkin lagi.

Mbah Marlan yang sudah menutup pintu kamar nya segera pergi ke belakang rumah untuk mengambil bangkai kucing hitam yang beberapa waktu lalu di kuburkan nya.

Tak lama setelah dia mengambil bagian-bagian yang penting dari bangkai tersebut,

di depan rumahnya ada suara seorang wanita paruh baya yang sedang memanggil tuan rumah.

Dengan segera Mbah Marlan membuka pintu dan menyuruh wanita yang bernama Ningsih itu masuk dan duduk di sofa.

Setelah menutup pintu dan ikut duduk di depan wanita tersebut,

Mbah Marlan memperhatikan bu Ningsih yang berusia 38 tahun itu dengan seksama dari bawah ke atas.

Dia melihat seorang wanita yang memiliki kaki yang putih bersih dengan paha ketat yang di balut rok berwarna ungu muda,

bu Ningsih juga memiliki pantat yang bahenol dengan postur badan yang sintal berisi, rambutnya lurus dan wangi terurai ke punggung melewati bahunya.

Dia mempunyai wajah yang cantik, cukup awet untuk wanita seusianya dengan alis seperti terlukis dan bulu mata lentik, hidung sedikit mancung dan bibirnya yang menggairahkan membuat Mbah Marlan tak bisa berkata-kata.

Sebenarnya Mbah Marlan adalah seorang pria yang tampan, namun karena terlihat sedikit dekil dengan rambut acak-acakan dan kulit kumal,

ketampanan nya seperti tersembunyi. Namun jika di perhatikan baik-baik, akan tampaklah daya tarik pada Mbah Marlan.

"bagaimana Mbah, obat yang saya pesan kemarin dulu untuk membuat suami betah di rumah?"

Ningsih yang merasa sedikit malu di perhatikan begitu segera bertanya.

"ooo, obat itu sudah ku buatkan, nih nanti kau ambil sedikit dan kau campur ke dalam masakan mu dan berikan kepada suamimu"

ucap Mbah Marlan seraya memberikan bungkusan bangkai kucing hitam tadi yang telah di tumbuk hancur.

lantas Mbah Marlan kembali berkata,

"nanti selepas magrib kau harus datang ke sini sendirian saja untuk melakukan ritual terakhir dan bermalam di sini bersamaku, barulah proses seperti yang kau inginkan akan tercapai".

"baiklah Mbah", ucap bu Ningsih yang lalu pamit pulang.

Selesai mandi, Mbah Marlan segera menyiapkan kamar nya dengan rapi, dia membakar wangi-wangian yang di campur kemenyan putih dan hitam di sudut-sudut ruangan.

Tak lupa dia menaburkan bunga di atas tempat tidur yang telah di semprotkan minyak wangi pas azan magrib berkumandang.

Namun tidak heran, orang seperti Mbah Marlan tidak pernah lagi melakukan shalat Magrib semenjak dia ikut gurunya Ki Tapa Rawut.

Beberapa waktu kemudian, datang lah bu Ningsih dari belakang dengan mengendap-endap mengetuk pintu,

sebenarnya, jika Ningsih datang lewat pintu depan pun takkan ada orang yang curiga kepada Mbah Marlan karena memang rumahnya terletak agak jauh dari pemukiman penduduk.

Setelah membuka pintu, Mbah Marlan segera mempersilahkan bu Ningsih masuk dan menyuruhnya duduk di ruang tengah.

Saat ditanya apakah Ningsih sudah makan malam, dia menjawab bahwa dia belum sempat makan karena terburu buru.

Maka dengan sigap Mbah Marlan membuka penutup hidangan di atas meja tepat didepan bu Ningsih.

Lalu mereka berdua makan,

dari obrolannya malam ini, Ningsih melihat Mbah Marlan kelihatan berbeda, kata-katanya tidak sedingin dua pertemuan yang lalu, malam ini Mbah Marlan terlihat sedikit lebih ramah dan gaya bicaranya pun lepas.

Selesai makan, Ningsih merasakan sakit di bahunya, mungkin karena masuk angin,

agar acara malam ini tidak berantakan, Mbah Marlan segera mendekati Ningsih yang kini duduk di kursi sofa, tiba-tiba Mbah Marlan memegang bahu Ningsih dengan lembut dan mulai memijitnya perlahan,

Ningsih awalnya merasa malu, namun karena keenakan, dia pun membiarkan dirinya di pijat oleh Mbah Marlan.

Beberapa kali Ningsih sendawa dan badannya pun berangsur-angsur terasa enakan.

Setelah selesai memijat Ningsih, Mbah Marlan segera bertanya,

"apa kau siap melakukan ritual terakhir?"

Ningsih yang menunduk menganggukkan kepalanya.

Tak lama kemudian, Ningsih di bawa oleh Mbah Marlan ke kamar mandi dimana sudah siap air bunga tujuh rupa di sana.

Terdapat sebuah bangku dari rotan di depan ember air besar berisi bunga, dengan perlahan-lahan, Mbah Marlan mulai membuka baju Ningsih lalu saat Ningsih dalam keadaan tidak ada satupun benang di tubuhnya,

Mbah Marlan mulai menyiram air bunga tersebut ke kepala Ningsih sambil menggosoknya dengan lembut.

Ningsih yang memang merasakan berbagai perasaan campur aduk, hanya memejamkan mata dan membiarkan air yang wangi itu serta tangan kekar Mbah Marlan menggosok sekujur tubuhnya.

Setelah selesai, langsung saja Ningsih memakai handuk di tubuhnya dan Mbah Marlan pun menuntunnya ke kamar yang telah di siapkan magrib tadi.

Sesampainya mereka berdua di atas pembaringan, Mbah Marlan segera menanggalkan pakaian dan ikut rebahan di samping Ningsih yang kini telah dilucuti handuknya.

Terlihat lah sepasang manusia yang rebah telentang di atas pembaringan berdampingan dalam keadaan tiada benang di tubuhnya.

Sekitar lima belas menit mereka berdua hanya rebahan saja tanpa kegiatan apapun, yang terdengar hanyalah bunyi kecil mantra-mantra yang keluar dari mulut Mbah Marlan.

Setelah itu barulah Mbah Marlan mulai melakukan pembukaan bercocok tanam di sana, Ningsih yang sudah di balut perasaan keinginan yang telah lama tidak di dapatnya dari sang suami, kini bereaksi dengan beringas.

Akhirnya sepanjang malam, mereka berdua bercocok tanam sampai belasan kali.

Saat malam berganti subuh, Mbah Marlan berkata,

"seluruh proses ritual telah kau laksanakan, sekarang pulang lah dan lihat bagaimana reaksi suamimu".

Ningsih kembali mengenakan pakaiannya tanpa memakai dalaman karena sebagai syarat, daleman nya harus di tinggal dan tidak boleh di pakai lagi sampai kapanpun.

Setelah itu, bu Ningsih segera pulang ke rumahnya dan kembali hidup dengan harmonis bersama suaminya.

Begitulah kehidupan sebagian manusia, mereka mau melakukan hal-hal yang terlarang hanya untuk memuaskan keinginannya.

Padahal Allah telah menjelaskan semuanya dan menurunkan ke dunia ini berupa ilmu pengetahuan agama.

Namun memang sudah menjadi sifat manusia untuk mengambil jalan pintas, walaupun akhirnya mereka akan celaka, namun rela mereka terima kecelakaan tersebut hanya demi tercapainya hajat mereka yang sifatnya sementara.

BERSAMBUNG

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!