...☕Cerita ini adalah fiksi belaka. Mohon maaf jika terjadi kesamaan nama tokoh dan tempat kejadian. Dimohon bijak dalam membaca, diresapi kata demi kata, agar tujuannya sampai pada hati pembaca☕...
Singapura,
Krek!
Bunyi pelatuk senapan siap tembak ditarik oleh tangan seorang pria. Dia sedang bersembunyi di ruangan terbuka dengan mengenakan pakaian serba hitam, sedang berada di atap gedung yang terpisah dengan kawanannya. Dia berdiam diri dalam posisi tengkurap. Tangannya memegang senapan jenis MKEK MPT-76.
Jenis senapan yang memiliki kaliber 7,62 milimeter. Dinilai se-efektif G-3, dapat diandalkan seperti AK-47, dan ringan seperti M16. Senapan ini memiliki jangkauan efektif, yaitu hingga mencapai 600 meter dan mampu membidik 600 putaran per menit dengan kecepatan moncong 800 per detik.
Dia terhubung dengan kawanannya menggunakan benda kecil di telinga mereka. Ericko Juanda, seorang agen rahasia yang sangat matang dalam hal bidik membidik. Dia bersama dua orang kawanannya, Rio dan Dilan. Mereka juga sama seperti Ericko, seorang agen.
Target mereka kali ini adalah membawa pulang seorang buronan kelas kakap yang terlibat kasus korupsi. Detik-detik menunggu target incaran mereka adalah hal membosankan bagi mereka.
"Dia datang!" seru Dilan yang berada di parkiran mobil sebuah hotel. Dilan memberitahukan para kawanannya.
"Meluncur." jawab Rio yang sudah menyamar menjadi petugas hotel. "Ada tiga orang pengawal. Dua orang bertubuh gempal di sebelah belakang dan kiri. Satu orang bertubuh gagah di sebelah kanan.
Ericko semakin tegang. Pesan dari atasannya adalah, bawa target tanpa lecet. Matanya sudah memicing siap menembak.
Dor!
Dada seorang pria yang tambun mengeluarkan darah dengan deras. Mereka semua waspada.
Dor!
Perut kanan pria lainnya terkena tembakan. Target hendak melarikan diri dengan pengawalnya yang tersisa satu orang.
Dor!
Timah panas itu melesat sempurna menembus kulit dahi pria ketiga.
Dilan dan Rio langsung melakukan tugasnya membawa target mereka. Memborgolnya lalu membawanya ke mobil.
Dilan berterima kasih pada pihak hotel. Berjanji akan membereskan berita yang mungkin saja dapat mengancam reputasi hotel.
Ericko membereskan alatnya. Mendapatkan telepon dari Ibunya. Dia tersenyum. Segera mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum, Nyonya ku, Sayang."
"Waalaikum salam. Pulang, Nak. Hari ini Kalena akan dimakamkan"
Tubuh Ericko menjadi kaku. Lidahnya kelu. Matanya tiba-tiba nampak sayu. Dia masih tidak mengerti maksud dari ucapan Ibunya. Dia hanya bisa berdiam. Memastikan kembali ucapan Ibunya.
"Pulang, Rick. Kalena hari ini ditemukan di kamar kontrakannya dalam gantung diri."
Darah Ericko tiba-tiba saja mendidih. Matanya sudah basah oleh curahan air mata di pipi.
"Ya, Bu. Ricko pulang."
Dalam perjalanan membawa target, Ericko lebih banyak bungkam. Menyimpan berbagai rasa karena perpisahan. Sungguh, banyak yang ingin ia utarakan. Namun, akan dia tahan. Hingga menemukan kejelasan.
Ericko menyerahkan semuanya kepada Rio dan Dilan. Dia langsung menuju rumah Kalena yang berada di Bandung. Kalena telah dimakamkan. Mamah Kalena menyambut Ericko dengan tangisan. Membuat hati Ericko semakin teriris miris.
Ericko menuju makam yang beberapa jam lalu menyandang sebagai mantan kekasih. Dia melihat makam itu dan tersenyum sedih.
"Aku tahu. Semua yang bernyawa akan kembali pada-Nya. Tugasku hanya mengikhlaskanmu. Tugasmu adalah bahagia disana. Agar hancurnya aku, bukan hal yang sia-sia"
Ericko tersenyum. Bangkit dari posisi jongkoknya. Menghapus air matanya. Meninggalkan segalanya tentang Kalena.
*****
Jakarta, dua hari sebelum ditemukan mayat
18. 45 WIB
Kring ... kring ... kring!
Tangan kiri Kalena mengangkat gagang telepon yang berdering dari mejanya. Terdengar suara seorang lelaki dari balik gagang telepon itu. Suaranya sangat khas dan berat. Kalena sudah hapal dengan pemilik suara itu.
Namanya Kalena, seorang sekretaris di salah satu perusahaan swasta milik Malik Grup. Masih terpaku di depan layar komputer dengan sinar biru. Mempercepat jemarinya untuk membelai tombol huruf pada keyboard komputer itu. Atasannya meminta laporan hasil kinerja karyawan. Atasannya memberikan waktu hingga pukul tujuh malam.
Ponselnya berdering. Tanda panggilan masuk dari seseorang. Kalena menoleh cepat pada ponselnya. Tersenyum dan menggeser tombol hijau pada layar ponselnya.
"Halo, Sayang," sapanya penuh mesra setelah tahu siapa yang menelpon. Senyum mengembang penuh di bibirnya. Rasa kerinduan itu teramat membuncah untuknya.
"Halo juga, Sayangku. Masih kerja?" tanya seorang pria dari ujung telepon itu.
Dia adalah Ericko Juanda. Pacar dari Kalena. Seorang agen terlatih dan rahasia. Bekerja untuk negara. Mereka sedang terpisah jarak, waktu, dan raga. Ericko sedang dalam misi bersama kawanannya. Namun, Kalena tidak mengetahuinya. Yang Kalena tahu, ialah, Ericko seorang pegawai kantoran biasa seperti dirinya.
"Sebentar lagi selesai, kok. Sekalian menyerahkan laporan. Kamu lagi apa, Sayangku?"
Ericko mulai bercerita. Mulai menceritakan kepalsuan dan kebohongannya. Dia belum sanggup mengungkapkan jati dirinya pada Kalena. Takut jika Kalena meninggalkannya. Dia lebih memilih untuk menyembunyikan kenyataan yang ada. Hingga dia benar-benar siap mengungkapkan siapa dirinya.
Hingga akhirnya, Kalena selesai mengerjakan pekerjaannya. Dia melirik jam dinding yang terpasang estetik di dinding sebelah kanan ruangannya. Dia harus mengakhiri panggilan telepon itu.
"Sering-sering telepon dong, Sayang," protes Kalena pada Ericko.
"Iya, nanti kalau ada waktu. Nanti pulangnya hati-hati, ya. Selamat malam, Sayang," pamit Ericko.
"Selamat malam juga, Sayang." Kalena menekan tombol akhiri panggilan.
Panggilan telepon itu pun berakhir. Kalena merapikan meja kerjanya. Bersiap membawa laporan itu kepada pimpinan perusahaannya, Zamroni Malik. Seorang pimpinan perusahaan, yaitu Malik Grup yang bergerak di bidang pangan dan properti. Perusahaan Zamroni sangat terkenal di Jakarta, masuk jajaran sepuluh orang terkaya di Jakarta.
Kalena mengetuk pintu ruangan atasannya dengan hati-hati. Menunggu jawaban dari dalam sana.
"Masuk," suara berat dari lelaki separuh baya itu terdengar sampai ke luar ruangan. Kalena membuka pintu. Melangkah masuk ke dalam ruangan.
Kalena menyerahkan laporan yang ada di tangannya. Zamroni memeriksanya. Lalu membubuhkan tanda tangan di bagian bawah laporan itu. "Len, Saya masih ada janji dengan Pak Alex. Nanti kalau dia datang, langsung suruh masuk ruangan Saya," terang Zamroni.
Alex Sanjaya, seorang pengusaha yang menggeluti bidang yang sama dengan Zamroni. Mereka sering melakukan pertemuan, entah itu hanya sekedar berkumpul, ataupun untuk membahas kerjasama.
"Duh, masih nunggu Pak Alex lagi. Sudah jam 7 malam," batin Kalena dalam hati.
"Baik, Pak," jawab Kalena singkat.
Tak lama, tamu yang ditunggu pun datang. Kalena langsung mempersilahkan Alex masuk ke dalam ruangan Zamroni. Kalena hanya bisa menunggu. Begitulah pekerjaannya, dia baru bisa pulang setelah atasannya pulang jika sedang berada di kantor.
Detik beralih menjadi menit, menit berubah menjadi jam, satu jam menuju dua jam. Kedua lelaki paruh baya itu masih saja belum keluar dari ruangannya. Kalena mulai gusar, dia memberanikan dirinya untuk masuk dan meminta izin pulang.
Dia mengetuk pintu ruangan Zamroni. Tak ada sahutan. Dia mencoba mengetuknya kembali. Masih saja tak ada sahutan. Kalena memberanikan diri masuk ke ruangan itu. Keadaan di dalam ruangan itu tidak seperti yang diharapkan Kalena.
Ternyata Zamroni dan Alex tengah berdiskusi serius. Namun, Kalena juga mencium bau alkohol disana. Selain berdiskusi, Zamroni dan Alex ternyata sedang pesta minuman keras. Kalena mendengar isi pembicaraan mereka.
Dengan jelas setiap kata yang keluar dari mulut Alex dan Zamroni terekam dengan sangat baik oleh telinga dan otak Kalena.
"Apakah akan mengganggu pencalonanku nantinya?" tanya Zamroni. Alex meyakinkan sahabatnya bahwa rencana mereka akan aman.
Zamroni tersenyum licik dan mengangguk setuju. Ya, begitulah dua orang pengusaha itu. Mereka memang seorang sahabat karib. Lingkaran pertemanan mereka yang toxic membuat Zamroni selalu mengikuti ide gila dari Alex Sanjaya. Mereka belum mengetahui keberadaan Kalena yang telah mendengarkan pembicaraan mereka.
Kalena hendak menyelinap keluar. Namun sayang, Zamroni mengetahui keberadaannya.
.
.
.
Hai hai hai
Assalamualaikum readers kesayangan hi-hi-hi. Othor come back. Gimana? Cukup tegang gak? Atau kurang? hi-hi-hi
Ini karya terbaru othor ya. Nantikan terus kisahnya.
Like
Vote
Komen
Tip
...☕Cerita ini adalah fiksi belaka. Mohon maaf jika terjadi kesamaan nama tokoh dan tempat kejadian. Dimohon bijak dalam membaca, diresapi kata demi kata, agar tujuannya sampai pada hati pembaca☕...
"Sedang apa kamu disana, Len?" tanya Zamroni yang mengetahui keberadaan Kalena di ruangannya.
Salah tempat dan salah waktu. Hal yang sedang Kalena alami saat ini. Tiba-tiba tubuhnya menjadi beku dan kaku. Bak patung yang diserang oleh badai salju. Dingin dan membeku. Ingin segera berlari tapi tak memiliki daya untuk hal itu.
Keringat dingin mulai menyembul keluar dari pori-pori di dahinya. Bibirnya kelu tak dapat mengucapkan satu patah kata pun. Kakinya gemetaran menopang beban tubuhnya. Dia mencoba kembali ke alam sadarnya, bahwa ada pertanyaan yang harus segera dijawabnya.
"Sedang apa kamu disana, Len? Apa kamu menguping pembicaraan kami?" tanya Zamroni lagi.
"Eee ... anu ..." jawab Kalena tergugup.
Alex menoleh padanya. Tersenyum penuh arti ke arah Kalena. Tapi, bagi Kalena senyuman Alex adalah senyuman membunuh. Entah mengapa Kalena merasa takut setiap kali Alex tersenyum seperti itu. Tersenyum tapi tidak tulus, hanya sebuah bentuk kepalsuan.
"Ada apa, Len? Apakah ada sesuatu yang urgent? Ada sesuatu yang harus kamu sampaikan kepada atasanmu?" kini Alex ikut mencecar pertanyaan untuk Kalena.
"Ss ... saya ingin ... "
"Apa kamu mendengar apa yang kami diskusikan, Len?" tanya Zamroni memotong ucapan Kalena.
Kalena kembali didera rasa gugup yang teramat sangat. Bagaikan demam panggung saat ia akan tampil. Alex memberi tatapan tajam kepada Zamroni. Memberikan kode agar Zamroni bisa menjaga mulutnya. Jangan sampai rahasia mereka semakin diketahui oleh Kalena.
"Pulang lah Len, terlalu larut jika kamu menunggu kami. Saya dan bos mu masih ingin berlama-lama disini," terang Alex seakan tahu apa yang ingin Kalena sampaikan.
Tanpa pikir panjang, Kalena langsung balik badan dan keluar dri ruangan itu. Dia menuju meja kerjanya dan langsung meraih botol minumnya dengan tangan gemetaran. Dia meminum dengan cepat air di dalam botol itu. Seperti orang yang telah menyelesaikan lomba marathon.
Kalena terburu-buru untuk mengambil tasnya. Hingga isinya tumpah ke bawah meja. Seseorang berjalan mendekatinya membuatnya semakin cepat mengambil barang-barangnya yang terjatuh.
"Len!" paggil perempuan itu.
Kalena tercekat dan segera mendongak. Lalu menghembuskan napas keras.
"Kenapa, sih?" tanya perempuan itu lagi.
"Nggak papa, lo bikin kaget gue! Ada apa Ris?" tanya Kalena pada Riris teman sekantornya itu.
"Ini gue mau nyerahin laporan buat besok. Kan besok gue izin," terang Riris.
Kalena langsung menerima map berisi laporan itu. Menyimpannya di laci meja dan.segera menarik tangan Riris untuk keluar dari kantor. Mereka menuju parkiran mobil.
"Pulang bareng gue aja, ya?" pinta Kalena. Membuat Riris mengerutkan dahinya.
"Kenapa?"
"Nggak papa, ya?"
"Oke, deh. Tumpangan gratis nggal boleh ditolak!" seru Riris.
Mereka pulang bersama dalam satu mobil. Kalena diliputi kebimbangan yang luar biasa. Dia takut karena mendengar rencana Zamroni dan juga Alex. Akhirnya karena tak tahan, Kalena meminta saran pada Riris.
Kalena meminta saran, bagaimana jika dia resign dari kantor? Riris menanyakan alasannya keluar dari pekerjaan yang telah digelutinya selama kurang lebih empat tahun itu. Dulu, Kalena memang butuh pekerjaan karena harus membiayayi adiknya yang terkena gagal ginjal.
Tapi, adiknya sudah meninggal. Kebutuhan hidup keluarganya juga tak seberat dahulu. Dia beralasan ingin mencari pengalaman baru karena sudah bosan menjadi sekretaris. Riris menyerahkan kembali keputusan itu pada Kalena.
*****
Kalena mencoba menghibungi Ericko untuk meminta pertimbangan atas keputusannya. Namun sayang, Ericko tak bisa dihubungi. Akhirnya malam itu, dengan berbekal kenekatan Kalena menulis surat pengunduran dirinya.
Tak ada lagi yang bisa mengubah keputusannya. Empat tahun menjadi sekretaris Zamroni bukanlah hal yang mudah dan menyenangkan. Peringaian Zamroni adalah buruk di matanya. Hanya sedikit orang yang tahu tentang hal itu. Dan dirinya adalah salah satu orang terpilih untuk mengetahuinya.
Sedang di kantor, Zamroni sudah tidak nyaman lagi membicarakan urusannya dengan Alex. Dirinya gusar dan takut kalau nanti Kalena akan membeberkan rencana mereka.
"Bagaimana kalau dia macam-macam, Lex?" tanya Zamroni.
Alex memutar gelasnya yang berisi minuman beralkohol itu, "Tenanglah kawan, dia tak akan berani membeberkannya!"
"Bagaimana dengan pencalonanku nantinya, Lex? Aku tetap gusar. Aku takut rencana kita porak poranda,"
"Hmm ... lakukanlah sesuatu jika memang dia mulai mengancam rencana kita, Zam. Sudahlah, kita cukupkan saja ngobrol kita. Pulanglah dan tenangkan dirimu. Istrimu pasti senang menyambutmu."
"Oke, bantu aku melakukannya kalau aku mengalami kesulitan!"
"Iya, tenang saja. Oh ya bagaimana kabar, Fennita?"
Zamroni tertawa saat Alex menanyakan kabar putri semata wayangnya itu. Bahkan dia sendiri tidak tahu bagaimana keadaan putrinya.
"Kenapa? Masih niat untuk menjodohkan Fennita dengan Dion?"
"Tentu saja, dua perusahaan besar akan bersatu menjadi satu? Bukankan itu akan menjadikan terobosan yang luar biasa?"
Zamroni mengangguk setuju, "Baiklah, kalau begitu. Kita atur nanti bagaimana baiknya"
Akhirnya mereka berpisah pulang ke rumah masing-masing.
*****
Pagi hari seperti biasa, Kalena pergi ke kantor untuk bekerja. Menjalankan rutinitasnya sebagai sekretaris di perusahaan Malik Group. Seperti biasa, Kalena akan menyiapkan laporan yang akan diserahkannya pada Zamroni.
Zamroni datang lebih awal. Dia menyapa Kalena dengan sumringah. Entah apa yang membuatnya bahagia. Kalena langsung mengikutinya.
"Kopi saya mana, Len?" tanyanya. Membuat Kalena bingung dan baru menyadari bahwa belum ada secangkir kopi hitam kesukaan bosnya itu.
"Oh, mungkin baru dibuatkan OB pak, coba nanti saya konfirmasi lagi," tutur Kalena. Membuat Zamroni mengangguk.
"Terus kenapa laporannya hanya kamu peluk, begitu? Atau kamu mau saya peluk?" ucapnya tanpa ada tedeng aling-aling. Membuat Kalena bergidik ngeri.
Kalena cepat-cepat meletakkan laporan yang dibawanya di atas meja kerja Zamroni. Lalu mulai membacakan jadwal Zamroni untuk satu hari itu. Selesai menbacakan agenda rutin itu, Kalena meletakkan amplop putih panjang di depan Zamroni. Membuat bosnya mengerutkan dahi.
"Saya ingin mengundurkan diri dari perusahaan ini, Pak," ungkapnya tenang.
Zamroni terdiam sesaat dan akhirnya mengangguk. Kalena segera keluar dari ruangan bosnya kerika urusannya selesai. Segera menghubungi OB agar kopi aegera diantarkan ke ruangan bos besar.
Kalena tetap melakukan tugasnya dengan baik. Dia menunggu saat jam kerja selesai. Dia dipanggil bagian keuangan untuk menerima pesangonnya. Dia bertemu dengan Riris dan mengungkapkan kekhawatirannya akan keputusannya.
"Katanya izin!" sapa Kalena
"Nggak jadi, acaranya batal," terang Riris
Setelah selesai bercengkrama sebentar dengan Riris, Kalena langsung pulang menuju kontrakannya dengan hati lega. Tapi juga diliputi was-was. Saat turun dari mobil dan hendak membuka pintu, tiba-tiba saja dirinya merasa ada yang berdiri di belakangnya.
Grep!
Seseorang membekapnya dengan kain yang sudah diolesi obat bius. Membuat tubuhnya tiba-tiba saja mengantuk dan ringan. Dan akhirnya dia pingsan.
.
.
.
Like
Vote
Komen
Tip
...☕Cerita ini adalah fiksi belaka. Mohon maaf jika terjadi kesamaan nama tokoh dan tempat kejadian. Dimohon bijak dalam membaca, diresapi kata demi kata, agar tujuannya sampai pada hati pembaca☕...
ERICKO POV
Aku mendengar kabar yang sangat memilukan hatiku. Dia, yang kucinta, pergi meninggalkanku. Dijemput oleh maut. Tanpa bisa menyatukan rindu yang seharusnya bertaut.
Aku masih tidak percaya. Kukira Ibuku sedang bercanda. Memberitahukan bahwa Kalena, wanita yang aku cinta. Pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Tubuhku lemas. Ingin aku menunjukkan kelemahanku. Tapi, aku sadar, bahwa sekarang aku dalam misi. Ingin aku menumpahkan air mataku. Berteriak dan berbagi kesedihan dengan banyaknya mega. Namun, sekali lagi aku tersadar, aku sedang dalam misi.
"Pulang, Nak" kata Ibuku dengan suara sendu. Jika itu adalah panggilan video atau video call, aku pastikan bisa melihat air matanya yang sudah mengalir deras bak hujan di bulan Januari.
Aku tak sanggup untuk menjawabnya. Kupilih mematikan sambungan telpon itu. Pikiran kembali kufokuskan pada target incaranku. Memastikan bahwa teman-temanku berhasil membekuknya. Lalu membereskan permasalahan yang kami buat.
Aku membereskan senapanku dengan hati yang kacau. Segera berlari menuruni atap gedung dan bergabung bersama Dilan dan Rio. Kami langsung menuju Indonesia. Kembali pulang untuk serah terima target incaran.
Di dalam mobil, aku hanya diam. Menundukkan kepala. Mempersiapkan hati dan mental jika benar mengetahui keadaannya.
"Len, kamu marah sama aku? Kamu marah karena aku tidak sering bersamamu atau pun memberi kabar padamu? Sungguh, Sayang. Ini tidak lucu," kataku dalam hati.
Dilan memperhatikanku. Dia bertanya padaku. Tentang apa yang menjadi kegundahan hatiku.
"Are You okay, Brother?" tanya Dilan.
Aku menggeleng singkat. "Ibu telepon. Memberitahukan Kalena meninggal." jawabku sambil menatap mata Dilan.
Mata Dilan membelalak lebar. Lalu dia tertawa. "Ha-ha-ha. Gak lucu sumpah!"
"Gue gak lagi main ludruk ataupun ngelenong. Gue serius. Dan Ibu tidak akan pernah main-main dengan berita kematian."
Jawabanku berhasil membungkam ucapan Dilan. Dia merangkul pundakku. Lalu mencoba menenangkanku.
Perjalanan kulalui dengan lebih banyak diam dan berdzikir pada Allah SWT. Aku tunaikan sholat dalam pesawat yang mengangkut kami agar hatiku tenang. Mil per mil kami lewati. Semakin banyak jarak yang kami lalui, semakin dekat pula kami akan tiba di Jakarta.
Jujur, aku tidak siap. Aku tidak siap mengetahui kenyataan yang ada nantinya. Bagaimana jika aku benar-benar tidak menemukan Kalena? Bagaimana dengan rasa rinduku yang belum benar-benar tersampaikan secara langsung padanya?
Aku telah gagal. Gagal melindungi orang yang sangat berarti dalam kehidupanku selain Ibuku. Pesawat telah terparkir dengan apiknya di bandara. Aku menyerahkan semuanya pada Rio dan Dilan. Aku ingin segera memastikan sesuatu.
Para awak media yang selalu setia dengan kabar berita telah berjajar sempurna. Menyorotkan kameranya pada sasaran utama mereka. Aku langsung mengambil jalan lain. Itu pun dengan bantuan pilot pesawat itu.
Setelah keluar dari bandara, aku langsung mencari taksi untuk mengantarkanku menuju sebuah alamat. Di dalam taksi aku melamun. Membayangkan kehadirannya. Wanita yang selama tiga tahun terakhir ini mengisi relung hatiku.
Dia duduk disampingku. Sambil menyandarkan kepalanya dan menggenggam tanganku.
"Apa kabar?" tanyaku singkat.
Dia hanya diam. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir tipisnya. Aku merasakan genggamannya menjadi dingin. Aku menoleh ke arah jendela mobil. Ternyata hujan telah menyirami kota metropolitan itu. Bau tanah tercium semerbak hingga ke hidungku. Aku tersenyum dan menoleh.
Namun, aku baru tersadar. Ternyata aku hanya melamun. Supir taksi memberitahukanku bahwa aku telah sampai pada tempat tujuan. Aku mengeluarkan uang untuk membayar taksi itu. Turun dan melihat kontrakan Kalena sudah dipasang police line.
Beberapa anggota kepolisian berjaga di tempat kejadian perkara. Ada juga intel yang sedang memeriksa sesuatu di dalam. Aku mengenalnya. Dia adalah temanku. Tubuhnya gempal dan tingginya aekitar 175 sentimeter. Ada sedikit brewok di sekitar dagunya. Dia memelukku. Mengucapkan bela sungkawa atas kematian Kalena.
"Apa ada yang janggal?" tanyaku tak sabar. Dia mengangguk. Dia menceritakan padaku.
"Pulang lah ke Bandung. Jenazah Kalena sudah dikebumikan. Meskipun terlambat, tapi aku yakin, Kalena masih menunggu kedatanganmu. Aku berjanji padamu, akan mengungkap tragedi ini." katanya meyakinkanku.
"Tolong tinggalkan aku sendiri. Aku ingin merasakan kehadirannya" pintaku. Dia mengangguk dan segera meninggalkanku sendirian.
Aku berjalan mengitari kontrakan yang hanya memiliki satu kamar tidur itu. Menyentuh barang milik Kalena yang ia simpan rapi. Aku tak kuasa lagi membendungnya. Aku tak bisa menahan air mataku dalam benteng pelupuk mataku. Aku menemukan foto kami. Foto yang dibingkainya dengan sungguh cantik nan estetik.
Dia tersenyum tulus ke arahku. Aku tak kuasa. Tubuhku mendadak lemas. Lututku tak mampu menopang berar tubuhku. Aku bersimpuh dan menangis.
"Len, aku datang, Sayang. Kenapa kamu malah pergi? Hiks ... hu-hu-hu. Maaf ... maafkan aku yang tak bisa melindungimu."
Aku menghapus air mataku setelah beberapa saat menumpahkannya. Aku pamit pada temanku. Aku bertolak ke Bandung. Menyambangi orang tua Kalena.
Sungguh, pilu rasanya melihat kedua orang tua Kalena mencoba tegar dihadapanku.
"Ikhlaskan dia ya Rick, semuanya telah jelas tertulis di Lauh Mahfudz" kata lelaki yang berumur separuh baya itu. Ubannya telah terlihat dimana-mana.
"Maafkan Erick tidak bisa menjaganya, Pah"
"Bukan salahmu, Nak. Temui lah dia. A' Zidan akan mengantarkanmu kesana"
Aku mengangguk menuruti keinginan orang tua Kalena. Bergegas menuju makam yang tak jauh dari rumah. Aku berjalan beriringan dengan A' Zidan, Kakak lelaki dari Kalena.
"Rick, kalau Kalena punya salah sama kamu, tolong dimaafkan ya? Agar jalannya lapang"
Aku mengangguk. Tak mau banyak bicara. Aku takut, ketika nanti aku bicara, rasa sedihku akan muncul dan membuat semuanya semakin terpukul.
Kami telah sampai di makam Kalena. Aku duduk dan menaburkan bunga. Menyiram makam yang masih basah itu dengan air mawar yang dibawa oleh A' Zidan. Aku membaca do'a untuknya. Memohonkan ampunan baginya. Dan mencoba untuk mengikhlaskannya.
A' Zidan membiarkanku duduk termenung sendirian. Aku mengusap-usap nisan itu. Sedikit memperbaiki posisi dudukku dan mulai bercerita padanya.
"Kangen ya? Sama! Aku lebih kangen sama kamu. Fotonya aku ambil ya? Iya, foto yang ada di kontrakan kamu. Aku senang kamu tertawa lepas seperti itu. Len, kenapa? Kenapa kamu pergi tanpa pamit padaku? Bagaimana aku nanti? Apakah aku sanggup kehilangau? Kamu salah! Jawabannya adalah aku tak akan pernah sanggup. Ada hal yang harus kamu ketahui. Tapi, mengapa aku kalah cepat darimu? Kamu mengabarkan kepergianmu terlalu cepat sayang."
Aku menumpahkan perasaanku. Batu nisan itu hanya diam membisu. Menjadi saksi akan hadirnya rasa pilu dan sendu. Yang berkolaborasi menjadi satu, menciptakan suatu rindu.
.
.
.
Like
Vote
Komen
Tip
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!