NovelToon NovelToon

Wife Or Nanny?

1

Seorang anak kecil berlarian dengan gaun indahnya melewati banyak orang yang sedang sibuk berbelanja di sebuah supermarket.

Bug!

Tubuh mungil itu jatuh karena menabrak seorang wanita muda, atau mungkin terlihat masih muda yang sedang antri di depan kasir.

"Huh?"

Matanya menangkap sosok anak kecil di lantai dengan alis menyatu. Terlihat sedikit terkejut dan juga bingung. Namun detik berikutnya ia tersenyum dan berjongkok. Membantu anak itu berdiri.

"Siapa namamu? di mana ibumu?"

Gadis kecil itu tidak menjawab, ia hanya menatap wanita itu dengan matanya yang jernih.

"Hei ... apa ada yang sakit?"

Anak itu menggeleng pelan sebelum memeluk erat leher wanita itu. Hal itu membuat ia jatuh terduduk karena tidak siap. Wanita itu hendak melepaskan tangan anak itu namun urung ketika mendengar isakan kecil.

"Hik hik ... ma ... mama ... mama...!"

"Hei, ayo bangun dan cari mamamu, oke?"

Gelengan kuat wanita itu dapatkan. Ia menghembuskan nafasnya pelan sambil berusaha bangkit dan akhirnya menggendong anak itu. Ia menyingkir dari antrian dan menarik troli belanjanya agar tak mengganggu antrian. Mencari tempat cukup tenang untuk bicara dengan anak itu.

"Siapa namamu?"

Wanita itu masih menggendong si gadis kecil sambil menghapus air matanya.

"Catrin mama ... "

Kening wanita itu mengernyit dalam ketika ia mendengar panggilan untuknya. Dengan terpaksa ia tersenyum dan mengelus surai halus itu.

"Catrin ... tante bukan mamamu, oke? jadi katakan dimana mamamu? kesini dengan siapa?"

"Mama ... jadi mama catrin ya, tante?"

Sekali lagi wanita itu memaksakan senyumnya. Ia lelah sekali sepulang dari tempat kerjanya dan benar-benar butuh istirahat. Namun ia harus menghadapi anak kecil yang tersesat dan memanggilnya mama.

"Catrin ... ayo ke pusat informasi. Mungkin mama dan papamu ada di sana,"

"Papa bekerja dan mama pergi! Catrin lari dari nenek untuk mencari mama baru! Cat tidak akan ke sana! Cat ikut mama baru!"

Maka serta merta Catrin memeluk leher wanita itu lagi hingga jilbab wanita itu tertarik sedikit ke belakang. Ya, wanita itu adalah seorang yang menutup auratnya dengan sempurna.

"Cat!!"

Teriakan nyaring seorang wanita paruh baya mengalihkan atensi keduanya. Catrin yang mengenali suara itu semakin memeluk erat leher wanita berhijab saat langkah kaki itu semakin mendekat.

"Anda siapa? apa nenek anak ini?" tanya wanita itu.

Ia tidak bisa melihat dengan leluasa karena rambut keriting lebat catrin. Hanya dari sudut matanya ia melihat wanit Itu dengan dua pria berjas hitam dibelakangnya.

"Catrin ... ayo pulang. Nenek minta maaf, oke? Ayo temui papa, hmm?"

"Gak mau! Cat mau sama mama baru!"

Kernyitan di kening wanita paruh baya itu terbentuk sesaat sebelum memahami saat ia menatap wanita yang menggendongnya.

"Tentu ... tentu sayang. Ke tempat papa sama mama."

Kali ini wanita itu yang melebarkan matanya. Catrin yang terlihat senang menatap neneknya meminta kepastian.

"Janji bawa mama!"

"Hmm ... tentu saja."

"Ah ... maaf, saya sungguh tidak paham apa yang terjadi. Tapi ... bisakah anda mengambil segera cucu anda?" potong wanita itu setengah hati saat ia menangkap wajah sendu gadis kecil di gendongannya. Anak itu sudah mencebik dan siap menangis.

"Mama tidak mau ikut?" tanyanya dengan serak.

Astagfirullah anak ini kenapa aneh banget sih?

"Cat ... tante harus pulang, sekarang sama nenek ya?"

Catrin bukannya menjawab malah kembali memeluk erat enggan lepas. Menjadikan wanita itu tampak frustasi.

Berbeda dengan wanita yang lebih muda, wanita paruh baya itu tampak santai dan malah terlihat senang.

"Maaf, siapa namamu?"

Wanita itu melirik sesaat sebelum menjawab.

"Jihan, anda bisa panggil saja begitu."

"Hmm ... begini Jihan ... Catrin merindukan sosok ibunya. Jadi ... tolong maklumi. Bisakah ... aku minta tolong padamu mengantar Catrin ke papanya? tentu denganku juga," kata wanita itu.

"Bu ... maaf, tapi saya ... "

"Tolong ... kali ini saja ... "

Maka Jihan hanya tersenyum kecil sebagai jawaban. Meski ia lelah luar biasa, namun ia tidak bisa menolak permintaan wanita tua di hadapannya. Belum lagi Catrin yang tidak ingin lepas darinya.

.

Di dalam kantor pemilik gedung, mereka sedang duduk di sofa tamu dengan Catrin yang masih dalam gendongan Jihan.

"Cat ... come to papa!"

Catrin hanya mendengus dan menggeleng brutal.

"No papa! i want with mom!"

"She is not your mom, jangan jadi merepotkan dan segera ke sini," ucap papanya dengan intonasi yang cukup membuat siapapun bergidik.

Tampaknya nada itu berhasil mempengaruhi anaknya, dengan pelan Catrin melepaskan pelukannya dan beranjak turun. Kaki kecilnya perlahan melangkah ke pangkuan papanya dengan bibir mencebik lucu.

"Kalau begitu saya permisi," ucap Jihan spontan.

Ia sudah akan bangkit sebelum tangisan Catrin memecah keheningan dan memekakkan telinga. Sanggup membuat ketiga orang dewasa disana gelagapan.

"Bisakah kamu tinggal sebentar lagi?"

Laki-laki dengan paras rupawan dan tubuh tegap proporsional itu menatapnya dengan mata tajamnya. Mampu menjadikan Jihan sedikit tertunduk pada karisma kekuasaan. Namun ada satu ego yang membutnya tetap berani untuk menolak.

"Saya butuh istirahat,"

"Bukan masalah, kamu bisa istirahat di kamar pribadi saya dengan catrin."

Maka Jihan terdiam dengan sorot mata kebingungan. Laki-laki di depannya masih mengelus punggung anaknya yang masih menangis.

"Hanya sampai Catrin tertidur," pinta nenek Catrin, yang tak lain ibu laki-laki di hadapannya.

Maka Jihan hanya mampu menghembuskan nafas pasrah. Berdiri dan mengambil Catrin yang langsung diam di pelukannya. Cukup bingung dengan anak yang ia gendong ini, bagaimana bisa baru pertama bertemu langsung memnggilnya mama dan menginginkannya seperti mamanya.

Jihan masuk ke dalam kamar yang ditunjukkan sekretaris sang penguasa bersama Catrin. Saat pintu tertutup, semua tampak menarik nafas lelah kecuali satu orang. Diam-diam menyunggingkan senyum penuh arti.

"Chris ... "

"Ya, mom?"

"Namanya Jihan, segera mama akan cari identitasnya. Catrin sangat menyukainya, ibu pikir dia cocok menggantikan mamanya,"

Maka Chris memgangkat sebelah alisnya apatis. Jelas sekali wajahnya menunjukkan penolakan keras akan usulan mamanya.

"Sulit sekali mencari orang yang disukai anakmu! ada kesempatan bagus kenapa tidak di ambil? ingat kan?! ibu hanya mengizinkan kamu menikahi wanita yang disukai Catrin!"

Chris menatap ibunya datar.

"Terserah mom, hanya jangan paksa aku menyukainya. She's not my type."

Ibunya mengangkat bahu acuh dan segera beranjak dari sana. Meninggalkan Chris dengan segala ide gila untuk memikat wanita di dalam sana agar mau menjadi ibu dari anaknya.

Satu hal yang selama ini selalu tidak bisa ia tolak. Sedingin dan sekejam - kejamnyanya seorang Christoper August Mc, ia tidak pernah bisa menolak permintaan sang ibu tercinta.

2

Jihan sedang menatap langit-langit kamarnya. Sedang menyesali keputusannya akan bujukan sang duda tampan penuh karisma. Bukan apa-apa, ia sama sekali tidak mengenal mereka dengan baik. Christoper, yang baru saja di ketahui namanya itu bukan tipe nya sama sekali. Namun tidak dipungkiri ada letupan kecil di perutnya saat pria itu menatapnya.

Sebelum pulang Jihan berbicara dengan Chris. Dari pembicaraan itu ia baru tahu kalau nasib pernikahan mereka sama-sama berakhir dengan perceraian.

"Kamu tidak makan, Jihan?"

Ibunya muncul di depan pintu kamarnya yang terbuka bersama putra semata wayangnya. Melihat putranya, Jihan tersenyum dan bangkit.

"Kapan pulang? kok tidak mengabari ibu?"

Jihan memeluk anaknya sesaat sebelum merangkulnya keluar. Menyusul sang nenek yang sudah menuju meja makan.

"Azam ikut om Edo sekalian. Raka kan juga pulang."

Azam adalah putranya, berumur 10 tahun dan baru memasuki pondok pesantren di daerah mereka. Azam yang cerdas dan ia cepat masuk sekolah menjadikan ia cepat lulus sekolah dasar.

"Bu ... Azam besok di jemput ayah ya? tadi sudah telfon."

Jihan hanya mengangguk tampa menoleh. Mereka sedang makan. Hal biasa Azam sering berpindah antara rumahnya dan ayahnya. Hanya Jihan selalu tidak suka membahas lebih jauh jika Azam mulai menceritakan ia dan ayahnya.

.

Paginya, Azam sudah di jemput. Ibunya yang mengantar Azam ke depan pintu karena Jihan terlalu malas melihat mantan suaminya. Hal yang biasa terjadi, Azam juga sudah mengerti dan tidak banyak memprotes.

Namun belum selesai pintu tertutup seutuhnya sebuah mobil mewah masuk ke pekarangan dan berhenti. Ibu Jihan mengernyit bingung. Pasalnya mobil dan orang yang keluar terlihat asing.

"Selamat pagi, nyonya?"

Ibu Jihan mengangguk sambil tersenyum.

"Maaf mengganggu pagi-pagi ... apa ini__"

"Mama dimana? Kata Nenek mama disini!"

Catrin keluar dari mobil. Menatap neneknya dan ibu Jihan bergantian. Ya, yang datang adalah Catrin dan neneknya. Sejak bangun tidur pagi ia sudah mencari Jihan dan ingin bertemu.

"Mama?"

Kerutan di kening ibu Jihan makin bertambah. Menatap tidak mengerti anak kecil yang saat ini celingukan di depannya. Agaknya ia berusaha mengintip ke dalam rumah.

Maka, ketika mata dengan kilau jernih itu membesar dengan pancaran bahagia, ia tahu siapa yang ia cari saat anaknya keluar hendak berangkat kerja.

"Mama!"

Catrin berlari dan memeluk pinggang Jihan dengan tangan kecilnya. Membuat netra hitam itu membulat. Sesaat ia tampak bingung dengan kehadiran dua orang yang sama sekali tidak di harapkan ini.

"Maaf, Jihan ... saya tidak tega melihat Catrin menangis, dia mencarimu sejak tadi malam. Jadi ... "

Nenek Catrin tidak melanjutkan perkatannya. Ia tampak enggan karena Jihan menunjukkan senyum masam.

"Kenapa dia memanggilmu mama? kamu punya anak lain? kamu diam-diam __"

"Ibu ... tidak seperti itu, Catrin bukan anak Jihan. Jihan juga tidak tahu kenapa ia manggil jihan mama."

"Bisa saya jelaskan di dalam saja?" kata nenek Catrin.

Maka, Jihan yang terpaksa menunda membuka tokonya dan duduk dengan Catrin di pangkuannya.

Diam saja saat ibu dari ayah anak di pangkuannya bercerita. Memasang wajah datar tampak tak tertarik. Ayahnya yang juga ikut dalam percakapan terlihat antusias. Hal itulah yang membuat Jihan bersikap sedikit dingin. Ayahnya, adalah tipe penyuka uang dan bermulut besar. Berbeda dengan ibunya yang memiliki prinsip sepertinya.

Jihan memang tumbuh di keluarga kurang agama, namun sejak ia bercerai dan hijrah. Saat itulah ia berubah dari Jihan yang bar bar menjadi lebih tenang dan beretika. Ia menikah muda dan di umurnya yang ke tiga puluh, ia sudah memiliki putra berumur 10 tahun.

.

Jihan tidak bisa menghindar. Terpaksa menutup tokonya demi menuruti keinginan anak di pangkuannya menuju TK nya. Hal itu tidak lepas dari dorongan orang tuanya yang tampaknya senang dengan identitas Catrin.

Nenek Catrin sudah pulang, ia yang kini menemani Catrin bersama sang ayah yang tampak kaku. Tampaknya ini adalah kali pertama ia ke sekolah anaknya. TK Catrin memang sedang mengadakan acara bertema orang tua.

Chris melirik Jihan yang tampak tertekan keadaan. Jelas ia tahu wanita di sampingnya tidak nyaman sama sekali. Namun dirinya juga tidak punya pilihan. Sang ibu memintanya mendekatinya.

"Setelah ini selesai bisa ikut ke kantorku? kita makan siang setelah aku menyelesaikan beberapa pekerjaan?"

Jihan melirik dari sudut matanya. Tampak menimbang - nimbang.

"Apa saya punya pilihan?"

"Huh?" kali ini Chris yang tampak bingung. Namun saat mengikuti arah pandang Jihan, ia paham.

"Maaf, jika Catrin menyusahkanmu. Sejujurnya aku sangat terkejut dia sangat menyukaimu. Catrin bukan jenis anak yang gampang menyukai seseorang. Kamu ... pasti memiliki sesuatu yang membuatnya seperti itu." Itu adalah kalimat terpanjang dalam sejarah hidupnya omong-omong.

Ringan dan terdengar bersahabat, membuat Jihan tergelak tampa suara. Jihan sedikit menunduk di tempat mereka duduk. Terdiam cukup lama.

"Saya rasa anak anda hanya merindukan ibunya. Sebaiknya ajak ia sesekali menemui ibu kandungnya."

Chris diam cukup lama, membuat Jihan melirik dari sudut matanya. Ya, Jihan sebenarnya hanya memancing saja. Ingin tahu apakah yang diceritakan ibu laki-laki di sebelahnya ini berbeda dari sudut pandangnya.

Cukup lama, Jihan tidak mendapat jawaban. Chris bahkan tidak bicara lagi sampai acara selesai dan anaknya berlari ke arahnya. Maka, Jihan jadi merasa bersalah.

Apakah aku menyinggungnya?

"Papa! ayo ke taman bermain!"

"Tidak, papa banyak pekerjaan,"

Catrin merengut, ia berontak dari gendongan papanya. Turun dan segera memeluk Jihan. Menenggelamkan wajahnya pada pinggang Jihan.

"Cat gadis baik, benar? lain kali saat papa ada waktu luang ya?"

Catrin mengangkat kepalanya. Matanya sudah berkaca-kaca. Ia menoleh pada papanya sesaat sebelum mengangguk dan minta digendong oleh Jihan. Memeluk lehernya erat dengan wajah cemberut lucu.

"Main ke kantor papa! Mama ikut dengan Cat, oke?!"

Catrin tahu itu bukan permintaan, namun lebih ke nada memerintah. Membuat ia menghela nafas. Cukup lelah menghadapi sikap manja dan keras anak ini.

"Mama akan ikut, nanti kita makan siang bersama."

Itu bukan Jihan, melainkan Chris. Sontak panggilan mama dari mulut laki-laki itu mampu membuat wajah Jihan memanas. Maka dengan enggan ia menunduk dan melangkah duluan menuju mobil.

.

Perlahan tapi pasti, Chris menunjukkan ketertarikan pada Jihan. Meskipun mereka tidak pernah pergi berdua karena Jihan yang menjaga dirinya akan larangan agama. Namun Chris menggunakan Catrin sebagai perantara. Bahkan mereka tidak berkomunikasi lewat ponsel jika tidak perlu.

Chris dan Jihan sering bertemu di toko baju milik Jihan saat mengantar Catrin, terkadang ke rumah orang tuanya. Membuat orang tua Jihan menaruh harapan lebih.

Terlebih rumor dari akun-akun gosip membuat berita menyebar dengan cepat akan hubungan mereka. Karena Chris adalah duda panas incaran para gadis. Kaya, tampan dan terkenal berkarisma juga dingin. Siapa yang tidak akan terpesona?

Perusahaan Chris juga bukan level bawah. Ia masuk dalam jajaran pengusaha muda yang berada diurutan nomor satu se Indonesia dan ke dua se Asia. Di daratan eropa bahkan nama dan perusahaannya sangat di perhitungkan.

Maka, dengan dorongan orang tua dan Catrin yang semakin menempel padanya, Jihan akhirnya menerima lamaran Chris yang bahkan langsung menghebohkan halaman lini media.

Sayangnya, bagi banyak kalangan latar belakang Jihan yang bukan siapa-siapa banyak mendapat komentar negatif. Terutama bagi penggemar Chris.

"Jangan kawatir, mereka tidak akan bisa menyentuhmu."

Itu adalah kalimat penenang dari Chris saat Jihan tidak sengaja membaca komentar dari artikel yang ia baca. Mereka sedang berada di butik untuk memilih gaun pengantin.

"Tidak apa, aku tidak peduli juga. Hanya merasa lucu saat orang-orang terus membicarakan hal yang mereka bahkan tidak tahu apapun," jawab Jihan santai.

Mereka diam cukup lama sebelum pegawai butik meminta Jihan masuk ke ruang ganti. Jihan sebenarnya berangkat bersama ibu Chris namun sedang keluar menerima telepon. Jihan tentu saja tidak akan mau jika hanya berdua dengan Chris disaat mereka belum menikah. Kepribadian dan ketaatan itu adalah poin lain yang membuat ibu Chris lebih menyukainya.

3

Acara pernikahan berjalan lancar. Tidak terlalu banyak orang yang di undang dan tidak adanya hiburan berlebihan. Semua itu jelas permintaan Jihan.

Meski terkesan sederhana, setiap sudut acara tetap menjadi bahan pembicaraan. Hal itu karena mewahnya apa yang ada di dalam dan apa yang di sajikan. Tentu saja ini karena ibu Chris yang mengatur.

Saat ini, kedua pengantin sudah berada di kamar utama rumah Chris. Azam juga sudah memiliki kamarnya, namun tentu saja tidak di isi karena ia langsung kembali ke pesantren.

"Ingin mandi? aku akan siapkan air."

Chris menoleh sesaat sebelum menghadap lemari dan melepas jas dan dasinya. Mengambil baju kaus biasa dan celana berbahan satin.

"Tidak perlu, kamu istirahat saja."

Maka setelah berkata demikian Chris masuk ke dalam kamar mandi. Hanya beberapa menit ia keluar. Tidak berbicara sama sekali dan keluar dari kamar begitu saja.

Tentu saja menghasilkan kerutan di kening Jihan. Sejak di perjalanan pulang, Jihan sudah merasakan atmosfir berbeda dari suaminya itu. Tidak berbicara sama sekali juga senyum yang biasa di berikan padanya hilang begitu saja.

Apa aku melakukan kesalahan?

Tidak ingin berpikir berlebihan, Jihan juga mengganti baju dan segera tidur. Selang beberapa menit berganti, ia tidak bisa memejamkan matanya. Maka ia bangkit dan berjalan keluar setelah sebelumnya memakai jilbab.

Sudah cukup larut. Jihan melirik kamar yang berada di sebelah kamar mereka. Lampunya menyala dan itu membuat Jihan kebingungan.

Seingatnya, ibu Chris mengatakan kamar Catrin dan dirinya ada di lantai dua. Di lantai tiga hanya kamar mereka yang di huni. Selebihnya hanya kamar kosong untuk tamu. Maka, dengan keberanian berlebih Jihan menemukan jawaban atas rasa penasarannya.

Ketika ia membuka pintu yang tidak terkunci, Jihan melihat suaminya tertidur di sana. Ia tertegun beberapa saat. Muncul banyak pertanyaan di hatinya.

Mungkin ketiduran di sana

Hanya itu yang otaknya ingin pikirkan. Jihan berjalan mundur dan kembali menutup pintu. Tampa menyadari kedua onik tajam itu terbuka. Menatap pintu kamar yang tertutup dengan dingin sebelum kembali menutup matanya.

.

Pagi hari Jihan sudah berkutat di dapur bersama para pelayan rumah. Catrin duduk manis di kursinya. Matanya berbinar mengikuti semua gerakan Jihan.

"Mama kenapa repot sekali, biarkan para pelayan saja." celotehnya sedari tadi.

Jihan hanya tersenyum. Ketika sang nenek bergabung dan mengelus kepalanya. Ia semakin melebarkan senyumnya.

"Cat benar Ji ... biarkan pelayan saja dan duduklah di sini."

Jihan tidak bisa menolak, ia akhirnya duduk. Merapikan rambut Catrin saat Chris turun dan bergabung dengan mereka.

"Morning mom, Catrin ... kenapa tidak memakai seragam?"

"Cat tidak ingin sekolah papa! Ini pertama kali mama di rumah. Libur ya? hmm?"

Chris berdecak malas melihat kelakuan anaknya. Sarapan sudah di sajikan dan dia memulainya dalam diam.

Hal ini tentu saja biasa bagi ibu dan anaknya. Hal yang tidak terlalu aneh juga bagi Jihan. Hanya saja yang menjadi pertanyaan besarnya sejak kedatangan suaminya di meja makan, adalah ia tidak di sapa sama sekali. Seolah ia adalah makhluk tak kasat mata.

Mungkin ia masih canggung.

Ya, Jihan masih berpikiran positif. Karena dia juga sebenarnya masih sangat canggung. Terutama dengan perbedaan besar antara rumah ini dengan rumah orang tuanya.

Jihan dan Catrin masuk ke dalam kamar bermain Catrin di rumah ini. Sementara Chris sudah berjalan keluar sebelum suara ibunya memanggil.

"Ya, mom?"

"Jangan terlalu dingin pada Jihan. Tolong ... perlakukan ia dengan baik."

"Mom ... aku sudah melakukan keinginanmu. Tidak ada sandiwara mulai sekarang. Sorry mom, see you at night."

"Tapi Chris ... perlakuanmu terlalu cepat dan kentara__"

"Mom please ... cukup, oke?"

Maka ibunya hanya bisa menghela nafas. Ia kembali masuk ke dalam. Berharap Jihan bisa berbesar hati menerima perlakuan anaknya. Karena sejak awal ia bisa melihat kalau Jihan sudah memiliki rasa pada Chris. Karena itu ia menerima lamarannya. Tentu saja, rasa itu terpupuk dari semua perhatian. Lalu jika perhatian itu lenyap, akankah rasa itu tetap ada?

.

Jihan di minta sang mertua mendatangi kantor suaminya. Membawa kotak bekal dengan alasan untuk mendekatkan diri. Jihan tidak keberatan, dengan Catrin di samping kanannya, mereka sampai di depan meja sekretaris.

"Maaf, pak Chris sedang ada tamu bu, nona Cat"

"Kami akan tunggu di sana saja, ayo Cat ... "

Ajak Jihan.

Sekretaris pria itu tampak menatap sendu pada Jihan. Entah apa yang ada di pikirannya.

"Mama, kenapa papa lama sekali?"

"Sabar Cat ... papa tidak boleh di ganggu dulu."

Usai ia berkata begitu, pintu terbuka. Chris keluar bersama dua orang wanita yang tampaknya rekan bisnis. Nyaris melewati mereka begitu saja jika Catrin tidak berteriak memanggilnya.

Chris menatap anaknya sesaat sebelum melirik Jihan dan bawaannya. Wajahnya datar tampa ekspresi. Menghasilkan nyeri halus di hati Jihan.

"Kenapa di sini, Cat? Papa harus pergi."

"Ingin makan siang dengan papa!"

Chris memijit pangkal hidungnya frustasi. Akhirnya dia menatap pada mata Jihan, untuk pertama kalinya usai pernikahan.

"Bawa dia pulang."

Hanya tiga kata itu sebelum ia berlalu bersama rekan bisnisnya. Sekretarisnya mengikutinya dengan terburu-buru. Tampak tidak enak hati saat meminta izin duluan pada Jihan.

Jihan terdiam menatap anak tirinya yang sudah berkaca-kaca. Air mata itu nyaris tumpah sebelum ia memeluknya.

"Cat ... kita pulang."

Sama dinginnya, nada suara Jihan sama dinginnya dengan sang suami. Tampa kalimat bujukan ia hanya menggenggam tangan kecil Catrin pergi dari sana.

Catrin tentu saja merasa takut, ia belum pernah melihat ekspresi itu di wajah cantik ibu tirinya. Menjadikan ia menahan isakan yang akan keluar. Ia malah menggenggam erat tangan mamanya. Jihan berhenti dan menatapnya, seolah paham anak kecil di sampingnya sedang takut. Catrin bahkan hanya menunduk.

"Kita makan bekalnya di taman kota saja ya?"

Mendengar nada bujukan itu, Catrin mendongak. Mendapati senyum Jihan untuknya. Sontak ia ikut tersenyum dan mengangguk semangat.

Jihan hanya menahannya. Rasa nyeri yang semakin banyak. Juga pertanyaan demi pertanyaan yang terus muncul di hatinya.

.

Sudah larut malam, Jihan tidak bisa tidur. Chris belum pulang. Bahkan selama tiga malam sebelumnya, hal yang sama terjadi. Chris selalu pulang saat ia sudah tertidur. Saat Jihan bangun di waktu subuh, ia mendapati Chris tidur di kamar sebelah. Miris tentu saja. Hatinya bergejolak, hanya untuk saat ini ia masih menahannya. Tidak bertanya bukan karena takut, hanya Jihan tidak ingin apa yang ada di kepalanya adalah kenyataan.

Deru suara mobil dan pagar yang dibuka membuat Jihan bangkit dari berbaringnya. Ia keluar menuju balkon dan menatap ke bawah.

Dia pulang

Untuk sesaat Jihan menatap wajah dingin itu saat keluar dari mobil, berjalan menuju pintu rumah dan menghilang terhalang atap.

Jihan masuk kembali, membuka pintu kamarnya dan menunggu Chris naik.

"Baru pulang?"

Langkah Chris terhenti di ujung tangga, sesaat menatap Jihan dengan wajah tampa ekspresi sebelum membuang pandangannya ke arah lain.

"Sudah makan? ingin makanan di__"

"Tidak perlu," potong Chris.

Pintu kamar sebelah tertutup setelah Chris masuk. Meninggalnya mematung dengan kedua tangan mengepal.

"Apa ini?" gumamnya.

"Apa aku bagimu?" lirih Jihan.

Ia kembali masuk ke dalam, tampa menyadari ibu mertuanya berdiri di tengah tangga. Agaknya mendengar percakapan singkat mereka.

Maaf Ji ... mama hanya terlalu menyayangi cucu mama

Sorot mata sang mertua juga datar dan dingin. Ia kembali turun setelah mendengar pintu kamar utama tertutup.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!