NovelToon NovelToon

Sebuah Ikatan Hati

Awal Kisah

"Na, duluan ya!" Pamit seorang gadis dengan kaos biru muda ketika berada di tempat parkir sebuah kampus.

"Oh iya Dam, hati-hati!" Sahut gadis di sampingnya yang masih membenarkan helmnya.

Gadis berkaos biru pun lantas melajukan motornya meninggalkan dia yang masih membenarkan helmnya. Saat hendak menyalakan motor, ponsel gadis itu berbunyi, tanda panggilan masuk. Ia segera meraih benda kotak pipih miliknya yang sudah retak layar depannya itu. Ia selipkan ponselnya di dalam helm untuk menjawab telfon.

"Assalamu'alaikum. Iya Pakdhe?"

"....."

"Uti jatuh di kamar mandi? Nggeh Pakdhe, Naina segera ke rumah sakit."

Tut, tut, tut. Panggilan pun langsung terputus.

Gadis itu segera menyalakan motor kesayangannya yang selalu menemaninya kemana saja. Motor milik ayah tercintanya yang telah tiada sepuluh tahun lalu. Motor jadul yang kata orang joknya mendul-mendul dan sudah dipenuh tambalan di sana-sini. Gadis itu langsung menyalakan motornya dan menuju rumah sakit di sore yang cukup terik itu.

Dia Naina Andini. Seorang gadis yatim piatu yang baik nan ceria. Ia hidup bersama neneknya setelah kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan yang telah direncanakan oleh kakak dari ayahnya, alias pamannya sendiri. Dia iri dengan kesuksesan ayah Naina dan berniat menguasai seluruh kekayaannya.

Naina yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun, belum faham tentang hal seperti itu. Ia hanya tahu bahwa kedua orang tuanya telah meninggal. Dan dari sanalah kehidupan pahitnya dimulai.

Naina yang semula hidup berkecukupan karena sang ayah yang memiliki beberapa kios penjual ayam segar yang tersebar di tiga pasar tradisional laku keras, tiba-tiba ia harus hidup sangat sederhana dengan sang nenek dari pihak ibu. Semua usaha sang ayah diambil alih oleh kakak ayahnya sendiri. Naina hanya diberikan sebuah rumah yang sampai kini masih ia tinggali bersama sang nenek. Neneknya yang selama ini mencukupi kebutuhan hidup mereka dengan bekerja sebagai ART di rumah tetangganya.

"Uti gimana Pakdhe?" Tanya Naina dengan nafas yang tak beraturan karena berlari dari tempat parkir rumah sakit ke ruang IGD.

"Masih ditangani dokter. Kamu sabar ya Na!" Ucap seorang laki-laki yang tak lain adalah majikan dari nenek Naina.

Hampir satu jam Naina menunggu. Ia kini ditemani oleh Sekar. Seorang 'kupu-kupu malam' yang nyawanya pernah ditolong Naina lima tahun yang lalu. Dan sejak saat itu, mereka berhubungan baik. Sekar pun sudah seperti ibu bagi Naina. Majikan dari nenek Naina sudah pulang karena ada urusan.

"Anda wali pasien nenek yang jatuh di kamar mandi?" Tanya seorang laki-laki dengan jas putih yang masih mengenakan masker medis.

"Iya, saya cucunya. Bagaimana kondisi nenek saya?" Tanya Naina panik seraya berdiri dari duduknya.

"Mari ikut saya!" Pinta sang dokter. Naina pun mengikuti langkah dokter itu ditemani oleh Sekar.

"Apa anda tahu nenek anda punya penyakit ginjal?" Tanya dokter itu setelah mereka duduk berhadapan terhalang meja.

"Ginjal? Tidak dokter. Nenek saya jarang mengeluh sakit apapun." Jawab Naina jujur.

"Nenek anda harus segera dioperasi. Salah satu ginjalnya sudah rusak dan harus diangkat, jika tidak, akan sangat membahayakan nyawanya."

Deg. "Operasi Ginjal?"

Naina berkonsultasi dengan dokter cukup lama. Ia kini terduduk lemas di salah satu kursi yang ada di koridor rumah sakit. Ia terngiang ucapan sang dokter. Air mata pun telah membasahi pipi mulusnya.

"Naina harus gimana Bu'? Naina tidak mau Uti pergi." Ratap Naina sambil menunduk dalam.

"Sabar Na, kita pikirkan dengan tenang!" Ucap Sekar sambil mengangkat wajah Naina. Melepaskan kacamata tebal yang menempel di hidung Naina dan mengusap air matanya.

"Sebentar Na, Ibu terima telepon dulu!" Sekar sedikit menjauh dari Naina. Tak lama ia kembali ke samping Naina.

"Bu Sekar ada tabungan kan? Naina pinjam ya Bu' untuk biaya operasi!" Pinta Naina tanpa basa-basi.

"Ada Na, tapi nggak sampai 200juta Na." Jujur Sekar.

"Lalu Naina harus bagaimana Bu'?"

"Nanti Ibu bantu carikan ya! Ibu sekarang harus pergi, Romo minta dicarikan perawan istimewa malam ini." Jujur Sekar.

Naina hanya mengangguk. Ia faham, jika sudah menyangkut 'Romo', sang Mucikari, Sekar tak bisa banyak membantah.

"Cari dimana lagi udah sore gini?" Gerutu Sekar.

"Naina. Naina mau Bu'." Ucap Naina setelah mendengar ucapan Sekar.

"Mau apa Na?" Tanya Sekar bingung.

"Naina mau ikut Ibu malam ini. Berapa yang bisa Naina dapat Bu' jika Naina menjual keperawanan Naina?" Ucap Naina getir.

"Kamu jangan gila Na!" Bentak Sekar dengan sangat keras.

"Naina butuh uang Bu'. Naina nggak mau kalau sampai Uti kenapa-napa." Tangis Naina kembali pecah.

"Tapi bukan dengan cara itu Na, Ibu nggak rela!" Sekar langsung memeluk tubuh Naina. Ia ikut menangis karena bisa merasakan kesedihan Naina.

"Lalu Naina harus cari uang kemana Bu'? Dokter bilang harus segera, dan 200juta itu nggak sedikit Bu'."

"Nanti Ibu bantu cari."

"Ibu sudah biayain kuliah Naina, dan itu nggak sedikit Bu'. Naina nggak mau merepotkan Ibu terus."

"Sudah tenangkan pikiranmu. Kamu jaga Uti ya, Ibu harus pergi! Kalau ada apa-apa telepon Ibu!" Ucap Sekar.

Naina hanya mengangguk. Sekar pun segera meninggalkan Naina dengan wajah yang tak kalah sembab dari Naina.

Naina berkutat dengan pikirannya. Ia benar-benar tak punya ide untuk mendapatkan uang sebanyak itu dalam dua hari. Lama ia berpikir, hingga kumandang adzan maghrib menelusup ke telinganya. Naina lalu beranjak dari duduknya dan berjalan gontai ke mushola rumah sakit. Ia ingin meminta pada Sang Kuasa agar segera diberi jalan keluar.

Pukul delapan malam, dan disinilah Naina sekarang. Di sebuah ruangan yang tak begitu besar dengan penerangan yang minim. Ia sedang berdiri dihadapan seorang laki-laki paruh baya. Meski umurnya sudah memasuki kepala enam, tapi masih terlihat tampan dan gagah.

"Kamu yakin mau melakukannya? Kamu terlihat tidak meyakinkan." Tanya laki-laki itu.

"Saya, saya yakin Tuan. Saya benar-benar butuh uang." Jawab Naina dengan wajah tertunduk.

"Panggilkan Intan kemari!" Perintah laki-laki itu pada pengawalnya.

Dia Romo. Ia memilih panggilan itu untuk dirinya sendiri di kelab malam miliknya, kelab tempat Sekar bekerja. Naina nekat mendatangi kelab malam tempat bekerja Sekar tanpa sepengetahuannya. Ia langsung mencari sang Mucikari.

"Lumayan Romo, boleh juga penampilannya. Tinggal dipoles sedikit saja sudah sangat menggoda. Tapi, sepertinya aku pernah lihat kamu. Tapi dimana?" Ucap seorang wanita dengan pakaian yang,,, entahlah apa namanya. Tapi yang jelas kurang bahan disana-sini.

"Baiklah. Poles dia, dan bawa ke Rose Gold Hotel lantai 7! Sebelum jam sembilan, dia harus sudah siap disana." Perintah Romo.

"Siap Romo!" Intan segera mengajak Naina meninggalakan ruangan itu. Mereka keluar dari kelab malam dengan di awasi oleh Romo.

"Naina? Na! Naina, Naina!" Panggil Sekar ketika ia melihat Naina masuk ke dalam mobil pengawal Romo bersama Intan.

Sekar berlari sekencangnya mengejar Naina sebelum pergi. Ia dicegat oleh Romo.

"Romo, Naina mau dibawa kemana?" Tanya Sekar panik karena mobil sudah melaju membawa Naina.

"Siapa dia?"

"Dia penolongku dan sudah kuanggap seperti putriku."

"Dia bilang butuh uang, dan dia mau menjual keperawanannya."

"Apa? Romo, tolong hentikan mereka! Saya akan carikan gadis lain segera! Tolong hentikan mereka! Hanya Romo yang bisa!" Sekar bersimpuh di hadapan Romo dengan linangan air mata. Ia sungguh tak rela jika Naina kehilangan keperawanannya untuk seorang hidung belang.

"Saya akan lakukan apapun untuk Romo, tapi tolong hentikan mereka!" Mohon Sekar lagi.

"Bangunlah, jangan seperti ini!" Romo membantu Sekar untuk berdiri.

Romo sebenarnya menaruh hati pada Sekar. Dia sering memberikan bonus untuk Sekar. Bahkan, rumah yang ditinggali Sekar saat ini, adalah pemberian Romo. Meski Sekar selalu menolak, Romo tak pernah lelah dengan hal itu. Ia hanya ingin memberikan perhatian lebih pada 'kupu-kupu malam' yang menjadi primadona di kelab malam miliknya.

"Aku tak bisa menarik ucapanku pada tamu. Jika kamu bisa menghentikannya sebelum dia bertemu dengan tamu, aku yang akan berbicara dan mengganti rugi pada tamu kita." Ucap Romo tulus karena tak tega melihat Sekar begitu bersedih.

"Siapa tamu kita? Aku akan melobinya!" Tanya Sekar sedikit semangat.

"Dia tamu baru dari luar kota. Dan dia membayar mahal untuk permintaannya."

"Apa?"

"Aku sendiri tak tahu siapa identitas aslinya. Tapi setahuku, dia masih muda."

"Kemana Naina akan dibawa Romo?"

"Rose Gold Hotel."

Sekar kebingungan. Ia tak tahu harus bagaimana akan melobi pada orang yang asing baginya. Tapi ia bergegas pergi meninggalkan Romo, dengan harapan bisa menyelamatkan Naina dari tamu asing itu.

"Maafkan aku Sekar, aku tak bisa kehilangan bisnisku jika aku tak membiarkan dia pergi sekarang juga." Gumam Romo setelah melihat Sekar berlalu dari hadapannya.

BRUK. Sekar menabrak seorang gadis cantik tepat di pintu depan kelab. Dia terlihat seusia dengan Naina, namun sangat modis dan anggun.

"Dimana pemilik kelab ini?" Tanya gadis itu.

"Dia ada di dalam. Roy, antar nona ini ke ruangan Romo!" Pinta Sekar pada salah satu penjaga di pintu depan.

"Aku mau, kau yang mengantarku!" Bentak gadis itu.

"Saya ada urusan penting Nona. Saya harus segera pergi! Maaf,," Sekar melangkahkan kakinya meninggalkan wanita itu.

Belum sempat satu langkah Sekar berjalan, tangannya dicekal oleh seorang laki-laki yang berdiri di belakang wanita itu.

"Turuti permintaannya!" Ucap seorang pria dengan perawakan tegap berseragam hitam rapi.

Sekar tak punya pilihan. Ia akhirnya menuruti permintaan gadis itu. Ia mengantar gadis itu ke ruangan Romo bersama seorang pengawalnya. Setelah sampai, Sekar bergegas pergi untuk menolong Naina.

Seperginya Sekar dari ruangan Romo, gadis itu langsung menyatakan tujuannya setelah memperkenalkan diri.

"Apa kau bisa menjamin bisnisku aman jika aku menuruti permintaanmu?" Tantang Romo.

"Aku jamin! Dan ini bonus untukmu!" Gadis itu menyodorkan sebuah cek bernilai fantastis di meja yang menghalangi dirinya dan Romo.

"Aku tak butuh banyak uang. Aku hanya butuh bisnisku berjalan lancar." Romo menyodorkan kembali cek itu.

"Baiklah! Kita sepakat!" Gadis itu mengulurkan tangannya untuk menjabat Romo sebagai tanda persetujuan. Romo pun menyambutnya.

Romo segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Gadis itu menunggu Romo selesai menelepon. Setelah tujuannya terpenuhi, ia segera meninggalkan kelab.

Setelah gadis itu pergi, asisten pribadi Romo datang dengan tergesa-gesa. Ia segera membisikkan sesuatu di telinga Romo.

"Maaf Tuan, ada yang minta gadis perawan lagi."

Romo terlihat berfikir keras. Ia lalu tersenyum kecil. Bayangan Sekar ketika memohon padanya tadi kembali mengusik. Tapi ia berusaha tak mengindahkannya. Ia kembali mengambil ponselnya, lalu menelepon pengawalnya lagi.

Di sisi lain,

"Ya Tuhan, selamatkan Naina! Tunggu Ibu Na, Ibu akan menyelamatkanmu!" Gumam Sekar di sepanjang jalan.

Kehilangan

Malam semakin bergulir. Rembulan pun makin menampakkan senyum tipisnya menemani jutaan bintang yang semakin riuh saling berkedip satu sama lain.

Di sebuah hotel bintang lima yang begitu megah, dua orang wanita dengan jaket coat hitam dan masker berjalan memasuki pintu masuk lobi. Naina dan Intan, berjalan dengan langkah yang tak tentu.

"Mbak Intan," Panggil Naina saat mereka telah memasuki lift.

"Kenapa Na?"

"Mbak nggak pernah masuk angin apa pakai baju kurang bahan gitu? Bolong lagi punggungnya. Nggak takut apa Mbak dikira sundel bolong?" Celetuk Naina.

"Kamu ini Na! Masih bisa ngelawak juga? Kamu nggak pernah tanya apa sama Mbak Sekar? Lagian mana ada sundel bolong dandan cantik dan modis kayak gini Na? Yang ada, orang-orang pada ngejar itu sundel bolong kalau modelannya kayak begini."

"Naina tidak pernah melihat Ibu' pakai baju kayak gitu." Jujur Naina.

Ting. Lift berhenti tepat di lantai tujuh gedung. Intan dan Naina pun berjalan keluar.

"Mbaaakk,," Naina menghentikan langkahnya dan menarik lengan Intan dengan wajah ketakutan.

"Kenapa? Tadi aja di lift bisa ngelawak, kenapa sekarang takut gitu? Jadi enggak? Ibu kamu juga udah nelepon aku dari tadi. Dia pasti tahu kamu dibawa kesini." Intan mencoba menenangkan Naina.

"Ibu tahu Naina kesini?"

"Tahu kayaknya. Tadi aku sempat dengar dia manggil kamu waktu kita berangkat dari kelab."

"Mbak, Naina takut!"

"Tapi kita udah sampai sini Na! Aku juga sebenarnya nggak tega nglepasin kamu. Sedikit banyak, aku juga tahu kamu dari cerita Mbak Sekar."

"Tapi Mbak,,"

Naina begitu dilema dengan keputusannya. Ia sungguh takut untuk melakukan hal nekat itu, tapi ia juga ingin sang nenek yang berada di ICU itu sembuh.

"Sekarang terserah kamu! Aku juga udah jelasin banyak tadi ke kamu." Ucap Intan halus.

Intan pun sebenarnya tak tega membiarkan Naina merelakan mahkotanya untuk seorang hidung belang yang bahkan belum pernah ia temui. Intan yang juga seorang 'kupu-kupu malam', sudah sangat hafal dengan semua tamu yang biasa datang ke kelab.

Tapi tidak untuk tamu khusus ini. Romo bahkan hanya mengatakan beberapa hal yang tak begitu spesifik tentang orang itu. Intan hanya tahu, ia seorang cassanova, tapi sangat rapi dalam bermain. Hingga orang-orang di sekitarnya tak banyak yang tahu tentang kebiasaan buruknya.

"Do'ain Naina ya Mbak, biar berhasil!" Celetuk Naina ditengah ketakutannya.

"Berhasil apanya? Berhasil dibobol? Aneh kamu ini!" Gerutu Intan.

"Terus gimana dong Mbak?" Sahut Naina dengan polosnya.

"Sebentar, ada telepon dari Romo!"

Intan pun segera menerima panggilan dari Romo. Naina menunggu dengan harap-harap cemas.

"Ayo, kamu udah ditunggu!" Ucap Intan setelah panggilan selesai.

Naina akhirnya berjalan dengan pasrah mengikuti Intan. Tak lama, empat orang pengawal berada di depan pintu sebuah kamar. Dua pengawal milik Romo yang tak asing bagi Intan.

"Biarkan saya yang mengurusnya, Mbak Intan bisa pergi dulu!" Ucap salah satu pengawal Romo.

"Baiklah!" Sahut Intan singkat.

"Aku pergi dulu ya Na! Dua orang ini pengawal Romo. Kamu inget dan paham kan apa yang aku bilang tadi? Jangan lupa, kacamata kuda kamu ini nanti dilepas!"

"Tapi Mbak, Naina nggak bisa lihat jelas tanpa kacamata?" Rengek Naina.

"Yaudah, nanti kamu bilang aja sama orangnya, semoga dia ngerti!" Pesan Intan sambil mengusap-usap lengan Naina. Naina mengangguk lemas.

"Yaudah, Mbak pergi ya!" Intan pun segera berjalan meninggalkan Naina bersama empat pengawal itu.

Setelah Intan memasuki lift, dua pengawal meminta Naina memasuki sebuah kamar dan nenunggu tamunya di dalam. Naina pun menurutinya dengan perasaan tak karuan.

"Ya Allah, begini ternyata kamar hotel mewah itu." Celetuk Naina seraya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan wajah kagum.

Lima belas menit kemudian, seseorang memasuki kamar. Naina segera beringsut mencari tempat sembunyi. Ia sungguh sangat ketakutan. Ia tak tahu seperti apa orang itu. Ia bersembunyi di balik sofa yang tadi ia duduki. Ia berjongkok sembari menutupi kepala dengan kedua tangannya. Membenamkan wajahnya diantara dua lututnya.

"Kemana dia?" Suara seorang laki-laki yang lembut namun tegas terdengar menggema di seluruh ruangan.

Tanpa Naina sadari, bagian bawah coat-nya terjuntai di lantai hingga terlihat oleh sang laki-laki. Ia berjalan menghampiri Naina. Hati Naina semakin ketakutan, tubuhnya gemetar dan keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Suara langkah kaki itu semakin dekat.

"Berdiri!" Bentak laki-laki itu di belakang Naina

"Aaaa,," Naina tersentak kaget dan spontan berdiri. Hingga tanpa sengaja tangannya menyangkut kacamata miliknya dan menjatuhkannya ke lantai.

"Kacamataku?" Naina kebingungan. Ia hendak berjongkok kembali untuk mencari kacamatanya, tapi ditahan oleh laki-laki itu.

"Aku tak suka ada yang mengganggu permainanku nanti, meskipun hanya kacamata!"

"Tapi saya tidak bisa melihat dengan jelas tanpa kacamata Tuan!" Jujur gadis pemilik kacamata silinder lima itu.

Laki-laki itu membalikkan badan Naina. Wajah Naina tertunduk dalam dan gemetar. Dia menarik dagu Naina, memperhatikan Naina dari atas hingga bawah. Naina pun mencoba mengamati laki-laki di hadapannya, tapi tanpa kacamatanya, ia tak bisa melihatnya dengan jelas. Hanya bayangan yang kabur.

"Sepertinya ini memang yang pertama untukmu." Ucap laki-laki itu santai seraya melepaskan jasnya.

Naina hanya mengangguk. "Kenapa kamu melakukan ini? Kamu terlihat ketakutan."

"Saya, saya butuh uang untuk biaya operasi nenek saya, secepatnya." Jujur Naina dengan wajah kembali tertunduk.

"Alasan klasik. Cih!" Gerutu laki-laki itu.

Naina hanya diam. Dan tanpa Naina sadari, laki-laki itu sudah melepaskan kemeja dan celana panjangnya. Andai Naina bisa melihat dengan jelas, ia akan bisa melihat dada bidang dan barisan roti sobek ditubuh sang lelaki. Ia tiba-tiba menarik tangan Naina dan membawanya ke pangkuannya.

"Berapa yang kamu butuhkan?" Ucap laki-laki itu dengan nada lebih lembut seraya membelai pipi Naina.

Naina sedikit menggeliat risih. "Saya butuh 200juta untuk operasi ginjal nenek saya."

"Baiklah! Aku akan memberimu 500juta jika kamu bisa memuaskanku malam ini."

"Tapii,,"

"Kenapa? Kau belum berpengalaman? Aku akan membimbingmu." Ucap laki-laki itu seraya membuka kancing coat Naina.

"Siapa namamu?"

"Nandini. Apa saya boleh tahu nama Tuan?"

"Just call me Mr. D."

"Tunggu Mr. D." Ucap Naina saat laki-laki itu akan melepaskan coat-nya.

Naina mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Laki-laki itu mengamati Naina yang meraba-raba jaketnya.

"Apa kamu benar-benar tak bisa melihat tanpa kacamata?"

Naina mengangguk. Ia juga telah berhasil mengambil sesuatu di sakunya. Laki-laki itu mengamati apa yang ada di tangan Naina, lalu menyeringai.

"Baiklah! Kamu memudahkanku. Minum itu dan segera kita mulai!" Ucap Mr. D dengan ringan.

Naina mematuhi perintahnya. Ia meminum sesuatu yang tadi diberikan Intan, dan sesuai petunjuk dari Intan. Apalagi kalau bukan obat perangsang. Mr. D menyunggingkan seringainya. Intan sudah mencampurkan obat perangsang dengan air untuk Naina. Ia memasukkannya dalam sebuah botol.

"Cantik juga gadis ini. Sayang sekali jika kau menjadi gadis malam seperti ini." Batin Mr. D sembari melihat Naina meminum obatnya.

"Cukup! Kau akan pingsan jika meminumnya terlalu banyak." Ucap Mr. D yang paham kondisi Naina yang tak bisa melihat jelas tanpa kacamata.

Naina pun berhenti meminumnya. Ia lantas meraba meja dan meletakkannya. Ia menundukkan pandangannya.

"Apa orang tuamu tahu kau melakukan ini?" Tanya Mr. D sembari menunggu obat itu bereaksi pada tubuh Naina.

"Saya yatim piatu Tuan, dan sekarang hanya tinggal dengan nenek saya." Jujur Naina.

"Begitu rupanya."

Mereka mengobrol sejenak. Tangan sang Cassanova pun mulai dengan lihainya melepas jaket Naina tanpa Naina sadari. Bibir sang Cassanova menyeringai ketika melihat dua benda kenyal menyembul dan menantangnya dibalik tube dress hitam Naina. Ia pun mulai membuka resleting tube dress yang Naina kenakan. Tubuh Naina tereskpos sempurna dihadapan Mr. D yang sedari tadi masih memangku Naina.

Gairah mereka mulai tersulut. Naina yang sudah berada dibawah pengaruh obat, mulai merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan gejolak pada tubuhnya.

Dan saat itulah, sang Cassanova mulai mencium bibir tipis Naina dengan lembut. Naina yang belum pernah melakukan hal seperti itu, masih diam terpaku sembari menahan gejolak hasrat yang mulai menguasai tubuhnya.

"Buka mulutmu! Lakukan seperti yang aku lakukan!" Bisik Mr. D dengan lembut.

Naina pun menuruti permintaan Mr. D. Ia mulai membuka mulutnya dan membalas ciuman sang Cassanova yang telah mahir melakukannya. Tangan Naina pun mulai mengalung di leher laki-laki yang memangkunya. Entah dari mana ia belajar itu.

Sang Cassanova mulai melancarkan aksinya. Ia mulai melepaskan pakaian Naina yang masih menempel ditubuhnya. Dan dengan cepat membopong Naina ke ranjang double king size yang ada di kamar itu.

Sang Cassanova pun melepaskan sisa pakaian yang masih ia kenakan. Dan langsung memulai pergulatan mereka di atas ranjang itu.

Setelah foreplay yang cukup menantang, dengan sebuah jeritan dari bibir Naina, akhirnya sang Cassanova berhasil membobol gawang sempit Naina yang belum pernah tersentuh lelaki manapun dengan beberapa kali hentakan. Dan darah pun menodai sprei yang menjadi alas mereka bergulat saat ini. Dan itu juga menjadi bukti bahwa Naina benar-benar masih perawan dan kini ia telah kehilangan hal itu.

Naina yang polos, akhirnya bisa mengimbangi permainan sang Cassanova yang sudah sangat ahli karena pengaruh obat.

Bagaikan sepasang pengantin baru, mereka melakukannya lebih dari satu kali. Entah berapa kali mereka melakukannya hingga Naina kelelahan dan akhirnya mereka tertidur bersama.

Di sisi lain, Sekar kini sedang berurusan dengan pihak keamanan hotel karena telah membuat kegaduhan di dalam hotel. Ia memaksa masuk ke salah satu kamar di lantai tujuh. Ia mendapat informasi itu dari Intan.

Sekar sudah dihalangi oleh beberapa pengawal Romo, tapi ia tetap memaksa masuk dan membuat keributan. Akhirnya pihak keamanan hotel mengamankannya. Ia dibawa ke kantor polisi dan ditahan disana.

"Maafkan Ibu Naina! Ibu tak bisa menjagamu, hiks, hiks. Ibu terlambat nak!" Rintih Sekar ketika berada di dalam tahanan sementara.

Hingga pagi pun menjelang. Di dalam kamar hotel, sang Cassanova terbangun lebih dulu. Ia menatap wajah cantik Naina yang masih terlelap di sampingnya.

"Aku tak akan melupakanmu!" Cup. Sang Cassanova mengecup bibir Naina lembut.

Sang Cassanova segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia lalu berpakaian dan tak lupa menuliskan sebuah cek sesuai janjinya untuk Naina. Ia menyelipkan cek itu dalam saku jaket Naina. Ia pun megambil kacamata Naina yang terjatuh dan meletakkannya di atas meja bersama ponselnya. Ia lalu pergi keluar kamar meninggalkan Naina yang masih tetap terlelap.

Saat sampai di depan kamar, sang Cassanova bertemu dengan seseorang. Mereka sama-sama 'Pemain Ahli'.

"Hai De, kamu ngapain di sini?" Sapa sang Cassanova.

"Sialan! Dia ngapain di sini? Kalau sampai aku ketahuan merawanin adiknya, tamat riwayatku!"

"Kamu juga ngapain di sini?" Sahut laki-laki yang juga baru keluar dari kamar yang berhadapan dengan kamar sang Cassanova sembari menutupi kepanikannya.

"Kita sepertinya sama." Sahut Mr. D santai.

"Hhahaha,," Tawa dari dua cassanova pun membahana di sepanjang lorong yang ada di lantai tujuh.

Mereka akhirnya berjalan bersama untuk turun dan meninggalkan hotel.

Seperginya Mr. D, Naina mulai bangun. Ia merasakan tubuhnya hancur remuk redam tak karuan. Sakit disana sini. Ia mencari keberadaan sang Cassanova, tapi tak menemukannya ketika ia memanggil-manggilnya. Air matanya mulai menggenang ketika melihat bercak darah di sprei dibawahnya.

Ponsel Naina berdering. Ia berusaha turun dari ranjang perlahan dengan menarik selimut, dan meraba-raba untuk menemukan sumber suara. Ia menemukan yang ia cari tepat diatas meja. Ponsel dan kacamata.

"Iya Bu'. Ibu dimana?" Tanya Naina ketika panggilan telah tersambung.

"Kamu dimana Na? Masih di hotel?"

"Iya bu', dikamar 778."

"Yaudah, tunggu Ibu! Ibu kesana sekarang!"

Panggilan pun langsung terputus. Naina perlahan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia pun mulai menangis tersedu-sedu di kamar mandi. Ia sebenarnya sungguh tak rela menjual tubuhnya. Tapi demi kesembuhan sang nenek, ia berusaha bertahan menahan sakit hati dan fisiknya saat ini.

"Aku harus segera ke rumah sakit! Agar Uti segera dioperasi." Gumam Naina setelah puas menumpahkan tangisnya. Ia harus kuat, demi orang yang selama ini telah merawat dan menjaganya setelah kedua orang tuanya tiada.

Kenyataan Pahit

Jalanan mulai ramai dengan hiruk pikuk deru kendaraan bermotor. Mobil dan motor saling memacu mesinnya untuk menuju tujuan masing-masing.

Disebuah mobil sedan mewah, seorang laki-laki tengah sibuk memeriksa beberapa laporan perusahaannya. Ia sedang menuju bandara untuk kembali ke ibukota. Tiba-tiba, konsentrasinya buyar tatkala sekelebat bayangan muncul dibenaknya.

"Ah, kenapa aku memikirkannya?" Gumam laki-laki itu, yang tak lain adalah sang Cassanova yang telah menghabiskan malamnya bersama Naina.

"Ternyata rasanya beda jika bermain dengan yang masih perawan." Batinnya agar sang asisten pribadi dan sopir tak mendengar ucapannya.

Untuk mengalihkan lamunannya, ia mengambil ponsel yang ada di saku celananya. Tanpa sengaja ada sesuatu yang ikut keluar dari sakunya.

"Apa ini?" Ia mengambil sebuah bungkusan plastik kecil yang keluar dari sakunya.

"Astaga! Apa aku semalam tidak memakai pengaman? Ceroboh kau D!" Rutuknya pada diri sendiri.

"Aku terlalu terpesona padanya semalam. Semoga Nandini tak hamil karena kecerobohanku." Do'anya dalam hati.

Tak ada manusia yang sempurna. Pasti ada saja kesalahan dan keluputannya. Meski hidupnya nyaris sempurna, tapi pasti ada hal yang menjadi kekurangannya.

Sang Cassanova, Mr. D. Ia awalnya hanya laki-laki biasa yang tak mengenal 'dunia gelap' itu. Hingga akhirnya, ketika empat tahun lalu ia dicampakkan oleh cinta pertamanya dan dicap 'cemen', karena tak berani melakukan hubungan *** dengan kekasihnya. Ia tertantang untuk membalas ucapan sang mantan kekasihnya.

Terlebih, ia sedang menyelesaikan studi S1 dan S2 di luar negeri. Yang notabene, kehidupannya lebih bebas dan liar daripada di negeri ini. Ia yang memang memiliki otak cerdas, ia hampir menyelesaikan S1-nya di usia dua puluh tahun, di salah satu kampus ternama di Jerman, tempat asal sang ayah. Dan saat itulah ia memulainya. Dan akhirnya, berlanjut hingga kini.

Karena pesonanya, saat kembali ke negeri ini dua tahun lalu, banyak wanita yang rela menawarkan diri padanya. Hanya untuk menjadi kekasihnya atau bahkan istrinya. Ia akan menerimanya dengan syarat, jika wanita itu mau memuaskannya di ranjang. Namun, hubungannya hanya akan bertahan sebentar, paling lama tiga hari. Karena semuanya sudah tak perawan lagi.

Apa bedanya dengan pelac*r?

Itu anggapan sang Cassanova ketika ia mendapati para wanita itu sudah tak perawan. Ia pun akhinya tak ingin jatuh cinta atau menjalin hubungan serius pada wanita. Apalagi untuk menikah, ia tak pernah terpikirkan sedikitpun. Ia lebih memilih berkutat dengan pekerjaannya, membantu sang ayah mengurusi perusahaannya yang makin hari makin berkembang pesat.

Harta memang tak menjamin kebahagiaan. Sang Cassanova telah membuktikannya. Meski ia hidup dilimpahi banyak kelebihan, tapi ia belum merasakan apa itu kebahagiaan yang hakiki.

Wajah yang tampan, dengan mata biru yang indah. Tubuh yang tinggi dan tegap, sangat proporsional. Otak yang sangat cerdas. Harta yang berlimpah. Dan kini, ia mulai menjadi seorang pebisnis yang menjadi ancaman besar para pebisnis lain. Kurang apa coba?

Cinta. Ia belum bisa merasakan lagi cinta yang tulus. Cinta yang mampu meruntuhkan tembok besar yang ia buat demi membalaskan dendam pada sang mantan cinta pertamanya. Tembok yang menghalangi hatinya merasakan kasih sayang seorang wanita seutuhnya. Adakah yang bisa meruntuhkan tembok itu? Biar waktu yang menjawab.

...****************...

Di hotel.

"Maafkan Ibu Na! Ibu nggak bisa jaga kamu." Ucap Sekar dengan airmata yang mengalir deras sembari memeluk tubuh Naina.

"Sudah Bu'. Ini sudah menjadi keputusan Naina. Naina harus bisa membalas kebaikan Uti yang udah merawat Naina selama ini." Ucap Naina berusaha menahan air matanya.

Naina sebenarnya juga sangat sedih karena ia kehilangan mahkota berharganya. Hatinya sakit bak teriris pisau tajam. Tapi ia kembali menguatkan hatinya bahwa ini untuk menyelamatkan nyawa orang yang telah merawatnya. Ia pun harus bisa menerima, jika nanti suatu saat, keputusannya ini akan membuat masa depannya lebih suram.

"Ibu, Naina boleh minta tolong?" Ucap Naina berusaha menutupi kegetirannya.

"Iya Na."

"Tolong cairkan cek ini di bank. Naina akan langsung ke rumah sakit untuk mengurus administrasi Uti. Ibu nanti bisa menyusul ke rumah sakit kan?"

"Iya Na, Ibu akan cairkan. Nanti kamu tunggu Ibu di rumah sakit ya!" Sekar menerima selembar kertas yang Naina temukan di saku jaketnya tadi.

"Ini dari tamu Na?" Ucap Sekar terkejut ketika membaca nominal uang yang ada di cek.

"Iya Bu'. Sudah Bu', nanti saja kita bicara banyak, Naina harus segera ke rumah sakit."

Naina telah memakai baju yang dibawakan Sekar. Ia segera berdiri dengan seluruh sakit di badannya. Langkahnya terlihat aneh karena sakit setelah permainannya semalam. Sekar pun segera mengikuti langkah Naina. Mereka segera keluar kamar dan meninggalkan hotel. Sekar mengantar Naina ke rumah sakit lebih dulu, barulah ia ke bank untuk mencairkan ceknya.

"Utii,, Utii,, Utii,, bertahanlah! Naina sudah dapat uangnya Tii. Utii harus bertahan!" Gumam Naina panik karena melihat sang nenek yang tengah ditangani oleh beberapa petugas medis.

Naina terduduk lemas menyaksikan sang nenek kondisinya memburuk. Para petugas jaga ICU berusaha maksimal menstabilkan kondisi nenek Naina.

Hampir tiga puluh menit mereka menangani sang nenek. Naina pun tak henti berdo'a untuk sang nenek agar bisa bertahan. Tapi takdir berkata lain. Nenek Naina tak bisa bertahan.

Kondisi tubuh yang sudah renta, serta penyakit yang sudah parah, membuat kondisinya semakin parah meski hanya terjatuh tak begitu keras.

Naina menangis sekencangnya di samping tubuh dingin neneknya.

"Uti, jangan pergi Tii! Naina sudah dapat uangnya untuk operasi. Uti harus bangun. Uti harus bertahan. Uti jangan tinggalin Naina sendirian Tii,,"

"Dokter, tolong selamatkan nenek saya! Dia tak boleh meninggal! Saya sudah dapat biaya untuk operasinya, jadi tolong selamatkan dia. Jangan biarkan dia pergi Dokter!" Mohon Naina sembari bersimpuh di hadapan seorang laki-laki dengan jas putih dan masker medis menutupi wajahnya.

"Maafkan kami Mbak! Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Sabarlah Mbak, ikhlaskan kepergiannya!" Ucap dokter itu mencoba menguatkan Naina.

"Enggak, Uti nggak boleh ninggalin Naina! Naina nanti sama siapa Tii kalau Utii pergi?? Hiks, hiks,," Naina semakin tersedu karena ia harus menerima kenyataan bahwa sang nenek sudah benar-benar tak bisa menemaninya lagi.

Sekar tiba dengan nafas yang sedikit tak beraturan. Ia sangat terkejut tatkala melihat tubuh nenek Naina sudah tak dipasangi alat apapun. Dan Naina menangis di sampingnya tak karuan sembari memeluk tubuh neneknya. Ia segera menghampiri gadis malang itu. Merengkuhnya dalam pelukan yang dalam dan berusaha menenangkannya.

"Utii! Utii! Utii Bu',," Ucap Naina di sela tangisnya yang belum mereda.

Sekar berusaha menenangkan Naina. Setelah Naina tenang, ia mengurusi segala administrasi rumah sakit. Lalu mengantar Naina pulang bersama dengan datangnya jenazah nenek Naina ke rumah.

Para warga terkejut dengan berita meninggalnya nenek Naina. Mereka mulai berdatangan mendatangi rumah Naina untuk membantu.

"Itu kan wanita malam di kelab yang biasa kita datangi. Kenapa dia bisa sama Naina? Atau jangan-jangan, Naina selama ini juga kerja sama dia?" Bisik salah seorang laki-laki tetangga Naina.

"Wah, diam-diam menghanyutkan ya Naina itu. Wajahnya aja polos, tingkahnya ternyata liar." Jawab laki-laki lain.

Gosip menyebar cepat karena kehadiran Sekar. Bahkan mereka sudah bisa menerka bahwa Naina sudah tak lagi perawan. Sekar dan Naina memilih diam. Mereka masih terlalu lelah untuk menanggapi gosip yang beredar.

"Aku tadi pagi juga lihat mereka keluar dari hotel tempatku kerja." Ucap seorang wanita berusia tiga puluhan yang memang bekerja sebagai cleaning servis di hotel.

Hati Naina terasa sangat sakit. Meski gosip itu ada benarnya, bahwa ia kini sudah tak lagi perawan, tapi bukankah itu sangat kejam. Ia masih sangat terpukul dengan kepergian neneknya, dan kini ia juga harus mendengar gunjingan beberapa warga tentang dirinya.

Sekar yang faham kondisi Naina, ia selalu berada disamping Naina untuk menguatkannya. Ia dan Naina tak mempedulikan pandangan orang-orang yang mulai terlihat jijik pada mereka.

Setelah pemakaman, Sekar menginap dulu di rumah Naina. Ia tak ingin meninggalkan Naina sendirian dengan kondisi seperti itu.

"Kenapa takdir kejam padaku Bu'? Aku sudah merelakan harta berhargaku demi Uti, tapi bahkan kini dia juga telah pergi. Aku kehilangan semuanya. Bahkan para tetangga pun tahu Naina sudah tak perawan. Naina harus bagaimana lagi Bu'?"

Naina meratap pilu dipelukan Sekar. Ia benar-benar tak pernah menyangka, jika dalam satu hari saja, hidupnya hancur berantakan. Ia kehilangan hal-hal berharga dalam hidupnya. Bahkan ia pun harus menerima cemooh dan hinaan dari orang-orang karena tindakan nekatnya.

Sekar menasehati Naina sembari menenangkannya. Ia memilih tidak berangkat bekerja demi menemani Naina di rumah. Ia tak ingin Naina pendek akal karena terlalu tertekan dengan keadaan.

"Kamu mau makan apa Na? Kita beli aja ya!" Sekar tak tega melihat Naina terus diam terpaku tak makan apapun sejak pagi.

Naina hanya menggeleng pelan. Ia benar-benar tak berselera untuk makan. Ia seakan tak peduli lagi dengan tubuhnya yang mulai lemas. Pikirannya sungguh kacau dan kalut. Ia tak punya lagi semangat menjalani hidup.

Sekar pun memesan makanan secara online. Ia benar-benar takut meninggalkan Naina sendiri. Tak lama, makanan pesanannya telah tiba. Ia memindahkan makanannya ke piring.

"Hidupku hancur." Batin Naina pilu.

Naina duduk termenung di atas kasurnya. Ia melirik sebuah gunting kecil yang ada di atas meja kamar yang ada di sebelah kasurnya. Tangannya mulai mengulur.

"Utii, tunggu Naina!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!