NovelToon NovelToon

Mengandung Bayi Titipan

Dua Masalah

"Ibu terlilit hutang bank keliling."

Begitulah kata-kata yang keluar dari bibir sang ibu, ketika tadi Putri menelpon ke kampung.

Saat ini dirinya bekerja sebagai seorang kasir di sebuah minimarket di Jakarta. Ia tak melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan karena tak memiliki cukup uang.

Sementara ia memiliki empat orang adik. Kedua orang tuanya tak ada yang ikut program KB, padahal ekonomi keluarga morat-marit.

Praktis biaya kehidupan orang tua dan adik-adiknya kini ditanggung semua oleh Putri.

Sebab budaya di negri ini adalah asal mencetak anak. Biaya kehidupan akan diserahkan kepada anak pertama.

Biasanya si anak pertama akan dituntut untuk bekerja dan mengirimkan sejumlah uang setiap bulan. Begitupula yang terjadi dengan Putri.

Gajinya yang masih di bawah UMR atau upah minim regional, terpaksa harus dibagi dua guna kelangsungan hidup keluarganya.

Ayah tiri Putri kerjanya tidak jelas. Kadang mengojek, kadang membantu di ladang orang, kadang menjadi kuli bangunan. Kadang juga hanya sekedar makan tidur dan tak melakukan apa-apa.

Ditambah lagi ia memiliki kebiasaan berjudi. Sedang ayah kandung Putri tak tau dimana rimbanya. Putri tak pernah mencari tau dan tak pernah juga mau tau.

Saat ini dirinya hanya sibuk bekerja, dan ditambah memikirkan hutang ibunya yang baru saja dikabarkan.

"Mbak, ini salah loh ya. Yang bener kalau jadi kasir. Saya nggak beli ini loh tadi."

Seorang pelanggan atau customer marah kepada dirinya. Karena Putri mengambil salah satu produk diskon yang ada di meja kasir, kemudian memasukkan itu ke dalam daftar belanjaan sang customer. Ia benar-benar tidak sengaja karena sedang bengong.

"Oh iya, maaf bu." ujar Putri.

"Saya benar-benar nggak sengaja." lanjutnya lagi.

Kemudian customer itu lanjut marah-marah. Padahal semua masih bisa di selesaikan baik-baik. Akibatnya Putri jadi ditegur oleh supervisor.

***

Di lain tempat, masih di kawasan ibu kota. Tepatnya di dalam sebuah rumah sakit.

"Bayi tabungnya berhasil. Tapi mungkin ibu Dira tidak bisa mengandung bayi itu. Sebab rahim ibu sangat-sangat lemah."

Dira Nathania menunduk dalam dan air matanya tumpah. Sementara sang suami Adnan Prawira mencoba menguatkannya.

"Aku bener-bener nggak berguna ya mas." Isaknya dalam tangis.

"Jangan ngomong gitu, sayang. Kita udah berhasil menjalankan program ini." Adnan mencoba menghibur Dira.

"Ya percuma aja kalau anaknya nggak bisa aku kandung. Gimana janinnya bisa berubah jadi manusia dan dilahirkan, kalau ibunya aja lemah kayak aku." ucap Dira lagi.

"Kita bisa pinjam rahim orang, bu." ujar sang dokter.

Dira mengangkat kepala lalu menatap sang suami dan beralih menatap sang dokter.

"Maksud dokter?" tanya nya kemudian.

"Calon bayi yang sudah berhasil kita proses, bisa berkembang di rahim orang lain. Kita pinjam rahimnya saja, anaknya nanti tetap anak kalian." Dokter itu menjelaskan.

Dira lalu teringat beberapa artis di luar negri yang melakukan prosedur ibu pengganti seperti itu, karena satu dan lain hal.

"Tapi saya pengen mengandung sendiri anak saya dok." ucap Dira dengan penuh emosional.

"Saya mengerti perasaan ibu. Tapi ini satu-satunya cara kalau ibu mau memiliki anak. Itu nggak akan merubah dia jadi anak perempuan itu koq, bu. Cuma menumpang berkembang saja di dalam rahimnya." ujar sang dokter.

Maka Dira pun diam. Sebab sudah dua belas tahun terakhir ia dan sang suami telah mengusahakan untuk memiliki anak.

Banyak proses dan pengobatan yang telah jalani, namun baru kali ini berhasil. Tetapi kendala saat ini bayi itu tak bisa berkembang di dalam rahimnya sendiri.

Ia sangat sedih dan seolah terpukul untuk kesekian kalinya. Ia benar-benar ingin merasakan seperti apa rasanya mengandung.

Mengalami perubahan bentuk tubuh, serta mual di pagi hari. Ia ingin perutnya membuncit dan melakukan maternity shoot seperti wanita hamil pada umumnya.

Ia ingin disayang sekaligus diperhatikan oleh Edward saat ia sedang hamil. Turut serta merasakan bagaimana rasanya ngidam dan sensasi ketika bayi mulai bergerak, serta menendang-nendang di dalam rahim.

Dira ingin sekali menjadi ibu seutuhnya. Merasakan kontraksi, berjuang dalam melahirkan anak dan ingin menyusui serta mengasuh dengan baik.

Ia ingin antara dirinya dan sang anak nanti memiliki hubungan emosional yang erat.

Tetapi bagaimana bisa memiliki semua itu. Bagaimana mempunyai ikatan batin yang kuat dengan si anak. Sedangkan anak itu saja di kandung oleh wanita lain.

Orang-orang di luar negri mungkin biasa melakukan hal tersebut dengan santai. Mereka juga tak masalah berasal dari rahim yang mana anak mereka. Tetapi bagi Dira semua itu sangat berarti dan ingin ia rasakan.

Dira berharap masih ada keajaiban, yang bisa menolongnya untuk bisa mengandung buah hatinya sendiri. Tanpa perlu ia meminta bantuan orang lain.

***

"Jangan Dira!"

Salah satu sahabat baik Dira semasa SMA berkata padanya. Hal itu terjadi ketika Dira sengaja curhat, dan mengatakan jika dokter memberi saran kepadanya untuk memakai jasa ibu pengganti.

"Ntar ikatan emosionalnya nggak ada. Karena walaupun anak itu adalah anak lo dan mas Adnan. Tapi kan yang hamil di ibu pengganti itu. Dia yang akan keluar ASI akibat kehamilan itu. Dia juga yang bakal menyusui anak kalian. Otomatis ikatan batinnya akan lebih kuat ke dia." ucap temanya itu panjang lebar.

Dira terdiam, sebab itu telah ada dalam pikirannya bahkan sejak dokter memberi saran. Tapi mau bagaimana jika ada akhirnya nanti tetap tidak bisa.

"Gue akan coba usahakan dulu. Gue mau berobat alternatif juga, siapa tau rahim gue bisa kuat dan subur. Supaya gue bisa mengandung anak itu." ucap Dira.

"Iya, pokoknya lo berjuang dulu deh." ujar temannya itu lagi.

"Masalah ibu pengganti mah, tempatkan itu ke rencana paling belakang." Imbuhnya.

"Iya, gue bakalan kayak gitu koq." jawab Dira.

Lalu mereka terlibat obrolan yang panjang lebar. Topiknya tentu saja tak jauh dari permasalahan yang tengah dihadapi oleh Dira saat ini.

Tidak Apa-apa

"Dira, nggak apa-apa kalau kita harus menggunakan jasa ibu pengganti untuk mengandung anak kita. Aku siap membayar mahal untuk itu."

Adnan yang tajir melintir dan kaya raya berusaha membujuk sang istri. Tetapi tetap hati Dira kekeh ingin mengandung bayi itu dalam rahimnya sendiri.

Ia ingin berusaha terlebih dahulu, baru menyerah kemudian. Ia sudah terlanjur berjuang keras selama ini, dan menolak untuk menyerah sebelum maju.

"Aku mau fight dulu, mas. Aku pengen banget anak itu berkembang dan tumbuh di rahim aku sendiri. Aku pengen merasakan ikatan emosional antara aku dan anak kita. Aku mau jadi ibu yang seutuhnya."

Ucapan Dira tersebut cukup membuat hati Adnan menjadi luluh lantak. Ia mengerti betul perasaan Dira saat ini. Wanita mana yang tak ingin mengandung dan melahirkan anaknya sendiri.

Tapi kalau memang keadaan tidak memungkinkan, Adnan sejatinya tak masalah. Bahkan tak memiliki anak pun, Adnan dan keluarga tidaklah mengapa.

Ayah, ibu, dan saudara-saudara kandungnya adalah tipikal manusia yang open minded. Tapi memang keluarga jauh dari kedua belah pihak dan juga tetangga mereka-lah yang suka nyinyir.

Hingga akhirnya Dira merasa stress sendiri dan mengupayakan berbagai cara untuk mendapatkan keturunan.

"Dira, nggak masalah anak itu mau lahir dari rahim siapa. Semua anak itu titipan, asal kita menjaga dan mengasuhnya dengan baik, memberi pendidikan terbaik. Itu sudah lebih dari cukup koq." ujar Adnan.

"Menjadi orang tua itu bukan darimana anak itu berasal. Tapi bisa nggak kita menyayangi mereka." lanjutnya lagi.

"Tapi aku pengen hamil mas." ujar Dira.

"Iya, aku ngerti. Tapi kalau emang nggak bisa mau diapakan coba?. Kita harusnya bisa menerima takdir Tuhan. Dengan Tuhan memberikan kita kesempatan kayak gini aja udah bersyukur." lagi-lagi Adnan berujar.

Dira tertunduk dalam diam.

"Aku mau berusaha dulu. Habis itu kalau emang nggak bisa, aku setuju kita sewa rahim dari ibu pengganti." ujarnya lagi.

Adnan menghela nafas panjang dan terus menatap istrinya itu. Agaknya Dira memang masih enggan untuk menyerah.

"Oke, senyaman kamu aja. Aku mendukung setiap keputusan yang kamu ambil." ucap pria itu.

Maka Dira pun mulai mereda dari segala kerusuhan yang terpancar di wajahnya. Sementara Adnan terus mengemudikan mobil, agar mereka segera sampai di rumah.

***

"Put, lo tadi kenapa?"

Salah satu rekan Putri yang bernama Tiwi, bertanya pada gadis itu. Ketika istirahat makan siang telah tiba dan mereka berada di warteg dekat minimarket.

"Gue lagi kepikiran omongan nyokap gue, Wi."

Putri menjawab pertanyaan Tiwi, sambil menunduk dan memperhatikan es teh manis di dalam gelasnya yang masih banyak.

"Emang nyokap lo ngomong apa?. Disuruh nikah?" Tiwi menebak.

Sebab biasanya jika seorang anak terpikir akan ucapan orang tuanya. Pasti topik obrolan mereka tak jauh dari hal itu.

"Bukan soal itu." jawab Putri.

"Terus?"

"Tiba-tiba aja nyokap gue minta gue ngangsurin utangnya dia, yang gue nggak tau sebelumnya." lanjut gadis itu kemudian.

"Hutang apaan?" tanya Tiwi heran.

"Nggak ngerti gue. Katanya hutang bank keliling, buat beli ini itu dan keperluan adek-adek gue. Tapi koq banyak banget dan bebannya balik ke gue semua." jawab Putri.

Tiwi tampak menarik nafas panjang. Di negara ini memang tak luput dari orang tua yang suka menyusahkan anak. Padahal fisik mereka masih mampu mencari uang.

"Bokap tiri lo nggak kerja emangnya?" tanya Tiwi pada Putri.

"Katanya sih lagi nggak ada kerjaan sekarang." jawab Putri.

"Tau deh, itu juga nggak paham gue gimana konsepnya. Koq bisa perempuan macam nyokap gue nikah asal nikah aja. Sama cowok yang kerjaannya masih nggak jelas. Mending kalau nikahnya walaupun susah tapi berusaha. Ini malah nyusahin gue, anjir." lanjutnya lagi.

"Sama kayak sepupu gue. Ada tuh yang nikah asal nikah, biar bisa pamer di sosmed. Terus sekarang anaknya udah tiga dan kerjaan nggak jelas. Jadi numpang deh di rumah nenek gue." ujar Tiwi.

"Makanya ini gue pusing banget. Kenapa sih harus semuanya anak pertama yang ngempanin anak-anak lain. Asal nyetak anak aja, pas ngidupin bingung." gerutu Putri.

"Gue juga nanggung orang tua sama dua adek gue sih." ucap Tiwi.

"Oh ya?"

"Lah iya, lo pikir darimana coba mereka bisa hidup kalau nggak gue bantu." jawab Tiwi.

Putri terus terbelenggu dalam kebisuan.

"Malah orang-orang di negara kita ini ya gitu, hampir semuanya sama." tukas Tiwi.

"Anak pertama di haruskan menafkahi bokap-nyokap plus membiayai hidup anak-anak lainya. Cuma ka bedanya bokap-nyokap gue emang udah sakit-sakitan. Jadi ya gue mau nggak mau."

"Nah kalau orang tua gue masih sehat dan seger, anjir. Masih muda, masih glowing emak gue. Skincare-an mulu. Gue yang busuk nyari duit banting tulang. Gue nggak masalah kalau ke nyokap, lah ini gue ikut ngempanin bapak tiri sama adek tiri. Kan nggak ngotak." ucap Putri.

Tiwi menghela nafas dan melanjutkan makan, begitupula dengan Putri pada akhirnya. Permasalahan ekonomi dan mengandalkan anak dalam menopang hal tersebut, akan selalu menjadi topik yang tak pernah ada ujungnya.

Putri dan Tiwi menghabiskan makan, dan setelah itu mereka kembali ke dalam gedung kantor. Guna kembali bekerja, demi gaji mereka yang tidak seberapa itu.

***

Pesan Dari Miska

"Emang emak-emak di kampung kita sekarang lagi ketagihan ngutang sama bank keliling."

Miska teman sepermainan sekaligus tetangga rumah di kampung, berkata pada Putri. Saat Putri curhat masalah hutang ibunya pada bank keliling.

Miska juga bekerja di Jakarta dan kosan gadis itu ada di seberang kosan Putri. Sebagai tetangga satu kampung tentulah mereka cukup dekat dan saling menjaga satu sama lain di rantau orang.

"Gue kesel banget, Mis. Nggak tau apa-apa, tiba-tiba di sodorin hutang. Gue ngeliat nggak uangnya seberapa, kayak gimana, ikut makan uangnya juga nggak." ucap Putri.

Miska menatap temannya itu.

"Lo nanya nggak, nyokap lo pinjam duit itu buat apa?" tanya nya kemudian.

"Apa buat biaya berobat karena sakit, biaya sekolah adek lo atau apa gitu?" lanjutnya lagi.

Putri terlihat menghela nafas agak dalam.

"Nggak ngerti, pas gue tanya jawabnya cuma buat adek-adek. Tapi pas gue tanya lebih lanjut, malah berbelit-belit jawabannya. Muter-muter kesana-sini, intinya nggak ada." ujar Putri.

"Ngempanin bapak tiri lo kali. Kan sorry ya, nyokap lo kalau gue lihat emang bucin banget ke bokap tiri lo. Apa-apa di turuti, padahal bapak tiri lo kagak kerja." tukas Miska.

"Emang." celetuk Putri.

"Emak gue bucin banget kalau sama bapak tiri gue. Sampe kayak babu anjir, kadang." Ia menambahi.

"Aturan mah kerja ya. Kan laki-laki, mana kepala keluarga juga." ujar Miska.

"Makanya." Lagi-lagi Putri menjawab.

"Ini yang ada malah ngandelin gue. Apa-apa gue." lanjutnya kemudian.

"Kalau kata gue better nggak usah di bayarin, Put. Biar nyokap lo juga kapok. Lo kasih aja perbulan sesuai yang biasa lo kasih." ujar Miska.

"Pengennya sih gitu, tapi mau gimana. Pasti nyokap gue merongrong mulu nantinya. Terus nangis-nangis kayak waktu itu. Gue juga lagi yang pusing." ucap Putri.

Miska menarik nafas panjang dan menjatuhkan pandangan ke suatu sudut.

"Susah emang jadi anak-anak di negara kita. Orang tua suka seenak jidat. Mentang-mentang merasa udah melahirkan dan membesarkan kita. Padahal yang mau punya anak kan mereka, bukan kita yang menuntut supaya dilahirkan." ujarnya.

Putri diam, karena yang dikatakan oleh temannya itu semuanya benar. Orang tua sering memaksa anaknya berterima kasih karena telah dilahirkan dan diasuh. Berterima kasihnya dengan cara harus bekerja untuk membiayai adik-adik.

Padahal ana adalah tanggung jawab orang tua. Bukan anak yang meminta dilahirkan. Tapi orang tua lah yang dengan secara sadar memutuskan untuk mempunyai anak.

"Sekarang nyari duit tambahan susah. Mesti ngapain juga bingung." lanjut Miska.

"Apa jadi simpanan om-om aja nih kita?" ujarnya lagi.

Seketika Putri pun tertawa.

"Iya, yang kaya tapi om-omnya." seloroh gadis itu.

"Ya iyalah, Put. Ngapain jadi simpanan om-om kere. Udalah di simpan, tambah miskin pula hidup kita. Percuma dong say." ujar Miska sambil tertawa-tawa. Putri pun jadi makin terkekeh.

"Eh tapi serius loh, gue mau kalau ada om-om tajir yang nge-keep gue. Biar gue makmur, nggak harus kerja keras. Gue akan mempercantik diri aja setiap hari." ujar Miska.

"Sama belanja barang branded." timpal Putri.

"Nah, bener banget itu. Gue di buntingin juga nggak apa-apa deh, asal hidup gue dijamin." ujar Miska lagi.

"Terus kalau keluarga lo tau gimana?" tanya Putri.

"Ya, jangan kasih tau. Lagian kan mereka di kampung, mana tau mereka kalau gue buncit."

"Hahaha." Putri tertawa.

"Gila lo." selorohnya kemudian.

"Mendingan di bikin melendung sama om-om berduit, Put. Ketimbang sama cowok single tapi gaji dibawah UMR. Realistis aja gue mah." ujar Miska.

Sementara Putri masih tertawa dan mendengarkan.

"Biaya ngidupin anak sekarang susah. Kita butuh laki-laki kaya raya buat menopang hidup. Kalau nggak gitu, misalkan gue pas-pasan hidupnya. Terus laki gue juga pas-pasan. Kita bakal melahirkan lebih baik generasi yang serba pas-pasan. Bahkan menyumbang angka kemelaratan buat negara." ucap Miska.

"Iya juga sih. Kemiskinan dan kemelaratan itu terstruktur soalnya. Liat aja keluarga gue." tukas Putri.

"Emak gue ekonomi pas-pasan, nikah sama laki-laki ekonomi sulit dan lemah plus pemalas juga. Oke mungkin sekarang gue masih biayain adek-adek gue. Katakanlah sampai mereka SMA. Setela itu belum tentu gue bisa lanjut." lanjutnya kemudian.

"Nah iya, akibatnya mungkin mereka nggak akan bisa pergi ke universitas. Kalau udah gitu ya, nasibnya bakalan sama kayak kita gini. Jadi pekerja golongan bawah dan gaji rendah." Lagi-lagi Miska berujar.

"Gue mau sih kalau ada om-om yang mau sama gue."

Kali ini Putri yang berseloroh. Miska pun tertawa.

"Ntar kita cari bareng-bareng, biar kita kaya say." ujarnya kemudian.

Maka mereka pun kembali tertawa-tawa untuk hal tersebut.

***

"Di dekat tempat saya ada tuh pak, kayak orang pinter gitu. Dia udah banyak ngobatin orang yang susah punya anak. Coba aja bawa istri bapak kesana."

Irma salah salah satu karyawan di kantor Adnan berujar. Ketika ia akhirnya mengetahui perihal bayi tabung yang di program Adnan dan Dira, tak bisa di kandung sendiri oleh Dira.

"Orangnya perempuan koq pak, mbah-mbah gitu. Jadi nggak perlu takut kalau dukun palsu atau dukun otak nggak bener gitu." ucap Irma lagi.

"Itu di daerah mana?" tanya Adnan.

Maka Irma lalu memberikan alamatnya.

"Ini persis dekat rumah orang tua saya, pak. Orang tua saya kenal baik sama mbah ini." ucap Irma.

"Ya sudah, nanti saya coba bicarakan dulu sama istri saya." ucap Adnan.

"Iya pak, mana tau rejekinya ada disana. Nggak ada salahnya kan berusaha dulu." tukas Irma.

Maka Adnan pun mengangguk. Saat ini tak ada yang lebih penting ketimbang menyenangkan hati Dira. Degan cara member dukungan dan membantunya mewujudkan keinginan.

Adnan yakin tak akan ada hasil yang mengkhianati usaha seseorang. Apabila orang tersebut bersungguh-sungguh.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!