***
Secepat mungkin aku berusaha menghindar, tetapi pukulan itu melayang tepat di kepalaku. Ah… Kepalaku tiba-tiba pusing. Apa hanya sampai di sini saja batasan-ku? Aku merasa tidak lagi sanggup melawan mereka. Perasaan bersalah masih terus dan terus menghantuiku. Penglihatanku makin kabur, semuanya terlihat makin gelap dan gelap.
“Ini semua karenamu.”
“Ini semua karenamu.”
“Ini semua karenamu.”
Hanya itu yang kudengar darinya.
***
“Woyyy!!” Pukulan botol langsung mendarat tepat di wajah lelaki berumur delapan belas tahun itu. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memarahi kakak perempuannya itu.
“Aku kan sudah bilang berulang kali padamu, jangan begadang kalau ujung-ujungnya tidak bisa bangun pagi.” Kakak lelaki itu terlihat gusar dan ganas layaknya singa yang belum diberi makan berhari-hari.
Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk tetap begadang agar dapat menyelesaikan seluruh tugas rumah yang diberi oleh guru mapel. Harinya selalu disibukkan dengan jadwal klub badminton yang tidak ada habisnya. Belum lagi, dia harus membantu kakaknya untuk mengerjakan aktivitas di rumah. Mereka lebih sering tinggal berdua saja karena orang tua-nya sibuk mengurusi perusahaan tempat mereka bekerja yang bisa dibilang lebih dari delapan belas jam. Mereka terpaksa tinggal di apartemen sekitar dan kembali pulang saat hari libur saja. Karena itulah walau kakaknya sering bersikap kasar, tetapi dia tidak tega melihatnya melakukan ini semua sendiri.
“Kenapa kamu melihatku seperti itu? Ah… aku mengerti, sepertinya kau telah menyadari betapa cantiknya kakakmu, ini bukan?”
“Mana ada wanita cantik yang suka mengamuk seperti singa kelap—”
Belum juga selesai bicara, dia sudah mengejarnya seperti orang kesurupan.
“Daylonnn…!!! Awas kamu, ya! Sepertinya tujuh tahun aku ikut karate hanya untuk menghajarmu kali ini.”
Daylon yang bingung harus sembunyi di mana, kabur dan mengunci diri di dalam kamar mandi. Dalam diam, dia tiba-tiba mengingat apa yang terjadi di dalam mimpi. Entah kenapa dia bisa bermimpi semacam itu.
Dia tidak mengerti kenapa, tapi rasanya sangat nyata dan aku takut karena itu seperti akan terjadi. Daylon berharap hal itu tidak akan pernah dan tidak akan mungkin terjadi di dalam hidupnya.
Belum lama dia bersembunyi, tiba-tiba gagang pintu kamar mandi terlihat bergerak secara perlahan-lahan. Suara itu terdengar mengendap-endap dan semakin keras. Daylon hanya bisa menelan ludah saja dengan perasaan penuh ketakutan. Gagang pintu kamar mandi pun mulai diputar secara perlahan dan makin lama makin kencang.
“Day?? Kamu di dalam kan? Kenapa pintunya tidak bisa aku buka? Coba buka deh!” kata kakaknya tiba-tiba panik.
“Eh?!! Bentar-bentar… Pasti bohong kan? Pasti ini cuma siasat supaya Kakak bisa menangkapku.”
“Terserah aja kalau enggak percaya.”
Daylon sontak panik dan mencoba membuka pintunya berulang kali dan ternyata memang tidak bisa. Kakaknya juga mencoba mendobraknya, tetapi tidak cukup kuat untuk membukanya.
“Kamu tadi gimana pas buka pintunya? Emang enggak kerasa aneh?” Kakaknya mencoba mencari tahu penyebab kunci pintunya yang tiba-tiba macet kepada Daylon dan berusaha untuk tetap tenang.
“Tadi pintunya terbuka lebar. Aku langsung cepat-cepat menutup pintunya saat kamu mengejarku.”
“Lalu kita minta bantuan siapa? Tetangga ada yang keliatan enggak?”
Kakaknya langsung pergi keluar beberapa saat dan mencari tahu apakah ada tetangga yang bisa dimintai tolong.
Pada akhirnya, mereka terpaksa harus memanggil pemadam kebakaran untuk mengeluarkanku karena tidak ada yang bisa membantu kami saat itu. Sejak saat itu, mereka sepakat untuk tidak lagi berselisih di dalam rumah.
"Kak Mar..... Aku berangkat duluan."
"Tunggu bentar, bawa sekalian bekalnya! Kakak malas nganterin hari ini. Lagi sibuk soalnya. Padahal ini hari Kamis, tapi tugasnya tuh bikin orang jadi pesimis. Dikasihani dikit kek!” Ucapnya sambil menggerutu.
Hari ini Martha, kakaknya Daylon lagi sibuk-sibuknya mengerjakan tugas mata kuliahnya yang tiba-tiba menumpuk bak tanggul air yang jebol. Biasanya Martha selalu mengantar bekal Daylon saat siang hari sebelum dia mulai ekskul badminton. Daylon wajib datang lebih awal karena dia adalah ketua ekskul badminton, yang wajib mengawasi dan mengarahkan anggotanya selama kegiatan ekskul. Sebenarnya, Daylon dipilih menjadi ketua karena saat pemilihan dia sedang tidak masuk sekolah dan akhirnya menjadi target empuk bagi teman-temannya yang enggan menjadi ketua. Akan tetapi, selama dipilih semua anggota ekskul terlihat puas dengan kinerja Daylon karena dia sangat bertanggung jawab sebagai seorang ketua.
"Nih bekalmu."
"Oke, makasih, Kak."
"Eh! Ngomong-ngomong, nanti aku bakal pulang sore karena ada urusan badminton. Jadi, Kakak tidak perlu menyiapkan makanan dan fokus saja dengan tugas kuliahmu."
Martha hanya menunjukkan senyum tipis sambil mengisyaratkan 'oke' dengan tangannya.
Walaupun mereka terkadang ribut karena hal kecil, tetapi nyatanya mereka berdua saling peduli dan tidak ingin merepotkan satu sama lain.
Suara keramaian terdengar saling menyahut dari segala arah. Udara pagi yang tadinya terasa segar, perlahan tertutup asap kendaraan yang melintas. Memang sudah menjadi rutinitas jika banyak kendaraan lalu lalang di jam segini, mengingat ini waktu berangkat kerja maupun sekolah. Untungnya, jarak antara rumahku dengan sekolah bisa dibilang tidak terlalu jauh. Berjalan kaki saja sudah cukup bagiku untuk pergi ke sekolah.
"Aku pikir kamu bakal datang lebih cepat seperti biasanya," kata lelaki yang duduk sebangku dengannya.
"Kak Martha lagi sibuk, dia langsung menyiapkan bekal di pagi hari untukku."
Daylon mengeluarkan beberapa buku sambil membenahi posisi duduknya. Tak lama kemudian, guru pun masuk ke dalam kelas.
Panas matahari kian menyengat, bel pertanda jam pelajaran berakhir telah berbunyi. Seluruh murid tampak berbondong-bondong keluar dari kelas mereka dan sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.
"Nicole, ikut badminton 'kan'?" Daylon memastikan jika teman sebangku-nya ini tidak lagi kabur karena berbagai alasan seperti biasanya.
"Ikut. Lagian kamu tidak punya teman sampai sore nanti kan? Aku bakal sekalian ke rumahmu selesai kita main badminton."
“Oke. Dan aku tidak se-penyendiri yang kau kira.” Daylon membalas dengan perasaan sedikit kesal pada Nicole.
Daylon dan Nicole kemudian memutuskan untuk segera pergi menuju lapangan badminton sekolah. International Public High School merupakan salah satu SMA swasta yang paling bergengsi di sana. Banyaknya fasilitas seperti sarana olahraga dan perpustakaan yang cukup luas, membuat banyak murid baru ingin bersekolah di tempat ini. Daylon yang bukan berasal dari keluarga kaya cukup bersyukur karena berhasil masuk ke dalam sekolah ini berkat nilai sempurnanya di mata pelajaran Matematika.
"Aku tidak paham kenapa kamu selalu saja bisa menjawab pertanyaan dari Bu Sylvia selama pelajaran. Padahal soal yang beliau berikan benar-benar tidak masuk akal." Nicole bercerita dengan perasaan jengkel sendiri. Bu Sylvia memang selalu menganggap semua murid itu sudah pintar dan pertanyaan yang dilemparkan selalu tidak masuk akal bagi Nicole. Jika saja dia tidak sebangku dengan Daylon, mungkin dia bakal terkena serangan mental yang cukup hebat karena tidak tau cara menyelesaikan soal-soal itu.
"Yah nanti aku ajarin caranya kalau kamu mampir ke rumah—"
Di depan Daylon, seorang perempuan tiba-tiba berlari dan tanpa sengaja menabrak bahunya. Sesaat, mereka sempat saling bertukar pandang. Entah kenapa tatapannya begitu menarik perhatian Daylon. Dibalik iris mata coklat dan indah itu, rasanya ada hal yang membuat tatapannya seolah mati saat menatapnya. Dengan gestur meminta maaf, perempuan itu lanjut berlari dan bersembunyi ke toilet. Daylon dan Nicole cukup heran kenapa dia terlihat seperti sedang dikejar-kejar seseorang. Tak lama setelahnya terlihat tiga orang perempuan yang terlihat kesal juga berlari, kemudian bertanya kepada mereka.
"Apa kalian barusan melihat perempuan berlari ke arah sini?" Salah satu dari tiga perempuan itu bertanya kepada mereka.
Belum sempat Nicole menjawab, Daylon langsung memotong perkataannya.
"Aku tidak melihat siapa pun berlari kemari, mungkin kalian salah arah."
"Benarkah? Terima kasih." Mereka bertiga langsung berbalik arah sambil berlari.
Nicole terlihat heran karena dia tiba-tiba melindungi perempuan itu.
"Kenapa kamu melindunginya?"
"Entahlah. Firasatku berkata seperti itu."
Saat itu Daylon tidak sadar kalau pertemuan tidak sengajanya dengan perempuan itu, pada akhirnya akan mengubah kehidupan dalam hidupnya.
“Ngomong-ngomong anak-anak sudah kamu suruh kumpul di lapangan apa belum?” Nicole tiba-tiba bertanya.
“Katanya mereka sudah pada kumpul dan main bareng.”
“Kau benar, aku bisa melihat mereka dari sini. Ayo kita segera masuk!” Ucap Nicole ketika mereka telah dekat dengan lapangan badminton tersebut.
“Oke.”
Suasana di dalam lapangan badminton cukup kondusif. Terlihat beberapa anggota sedang latihan tanding satu sama lain. Beberapa dari mereka sedang ngobrol santai tentang hal-hal yang terjadi di kelas sebelumnya.
"Wah wah wah... Akhirnya kamu berhasil membawa Nicole kemari, Daylon," kata wakil ketua ekskul badminton yang merasa senang dengan kehadiran Nicole.
"Hey.. Lagipula aku menyempatkan diri kemari hanya karena kakaknya Daylon sedang sibuk. Jadi, kurasa dia masih belum bisa dihitung berhasil membawaku." Nicole mencoba menentang pernyataan wakil ketua itu dengan wajah sok menang.
"Terserahmu saja jerapah lembek!!!"
"Apa katamu?!! Tikus cerewet!!!"
"Apa?!!"
"Sudahlah Frey, Nicole, kalian selalu saja ribut tiap kali bertemu. Apa kalian tidak bisa damai sedikit saja?" Daylon ikut kesal melihat mereka yang tidak pernah akur setiap kali bertemu.
Frey dan Nicole adalah teman dekat sejak masih SD. Bisa dibilang alasan Frey mengikuti badminton karena dendam kesumatnya kepada Nicole. Semasa kecil, Nicole pernah bersaing dalam pelajaran melawan Frey dan akhirnya kalah. Frey merasa kalau Nicole tidak dapat mengalahkan dia dalam hal apapun. Hingga akhirnya Nicole tiba-tiba menantang Frey untuk bermain badminton, Nicole mengatakan bahwa sekeras apapun Frey mencoba melawannya dia berani menjamin kalau Frey pasti kalah. Mendengar hal itu, Frey murka dan terpancing perkataan Nicole. Dan alhasil memang benar, Nicole menang telak melawan Frey. Sejak saat itu, Frey berlatih badminton tanpa henti agar bisa menang melawan Nicole. Nicole yang tau hal itu juga ikutan rajin badminton agar Frey tidak bisa mengalahkannya. Mereka selalu bersaing tentang siapa yang paling banyak menjuarai perlombaan badminton dan terus bersaing satu lawan satu di lapangan. Tetapi, Frey masih belum bisa mengalahkan Nicole sampai saat ini. Dan Frey selalu geram karena hal itu. Karena itulah, bisa dibilang Frey dan Nicole adalah anak emas dalam ekskul badminton saat ini. Permainan Daylon sendiri mungkin masih bisa dibilang bagus, tetapi tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka berdua. Namun, akhir-akhir ini Nicole disibukkan dengan persiapannya agar dapat kuliah di luar negeri. Nicole jadi jarang mampir ke tempat ekskul karena harus belajar terus-menerus hingga kadang lupa diri, mengingat dia selalu saja mendapat nilai merah di setiap ujiannya.
Pada akhirnya separuh waktu ekskul dihabiskan Frey dan Nicole bertanding satu lawan satu, dan yang lainnya hanya menikmati pertandingan gila mereka.
"Agkhh.... Sakit sakit.."
"Lagian enggak ada juga yang menyuruhmu bermain badminton segila kemarin. Kesel sih ga masalah, tapi gaperlu maksa juga."
Sepanjang awal masuk sekolah, Nicole hanya menggerutu soal seluruh badannya yang sakit karena pertandingan tanpa hentinya melawan Frey. Aku tidak mengerti kapan mereka akan berdamai. Mungkin setelah diasingkan ke hutan terpencil berdua saja, baru mereka akan sadar
"Ren, bagaimana dengan Frey?"
Ren hanya menghela nafas panjang setelah mendengar pertanyaan Daylon. Karena kondisi Frey sama saja dengan Nicole. Walaupun mereka berdua pemain yang hebat, tetapi mereka juga punya batasan. Sayangnya mereka sering lupa soal hal itu ketika saling berhadapan dalam lapangan.
"Awas aja kalau udah ketemu Frey lagi. Pertandingan kemarin masih belum ada pemenang—"
"Tanding, tanding.. Apanya yang mau ditandingin?! Badan udah enggak karuan begini, masih aja mau nantangin Frey," potong Ren sambil memukul lengan kanan Nicole yang sakit.
"Berisik Ren, paling kalau tanding melawanku juga aku yang bakal—"
"Oke..!!! Siapa takut!" Ren menunjukkan wajah menantang seolah dia pasti menang melawan Nicole.
"Kalian bisa diam atau tidak sih?"
Daylon memotong pembicaraan mereka karena dia benar-benar lelah mendengar keributan mereka berdua.
Bel pertanda jam pertama berbunyi. Nicole dan Ren langsung kembali ke posisi duduk masing-masing. Kali ini adalah waktunya pelajaran dari Pak Anthony, guru seni rupa. Kali ini beliau meminta para murid untuk berekspresi bebas melalui sebuah gambar dalam kertas ukuran A4. Tanpa berpikir panjang Daylon langsung menggambar apa yang terlintas di pikiran.
"Perempuan yang kau gambar itu.. Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya," Nicole merasa ingat sesuatu saat melihat gambaran Daylon.
Tunggu dulu. Kenapa aku tiba-tiba menggambar-nya? Kenapa aku jadi kepikiran dengan perempuan kemarin? Lalu kenapa dia dikejar tiga perempuan lainnya? Pada akhirnya Daylon terjebak dalam lamunan-ku sendiri.
"Ah...! Ini perempuan yang kamu lindungi kemarin kan? Jangan-jangan ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh nih," Nicole menebak-nebak sambil menggodaku.
"Mana mungkin. Kenal aja enggak."
"Ya.. Siapa tau bisa aja kejadian."
"Terserah lah. Aku ga peduli juga."
Ren yang terlihat kebingungan tiba-tiba mendekati kami.
"Gila! Bagus banget itu gambar. Buatin juga dong!"
"Sini aku aja yang buatin. Daylon lagi sibuk dengan imajinasi cinta pertamanya," Nicole berbicara seolah tau segalanya. Dan bodohnya, Ren percaya akan hal itu.
"Oh begitu... Ya sudah, aku minta bantuan Nicole aja. Nic, warnain yang bagian ini dong!!"
"Dibilang bukan, masih ngotot aja bilang cinta pertama."
Daylon agak kesal saat digoda seperti itu. Akan tetapi, entah kenapa akhir-akhir ini pikirannya terus disibukkan dengan perempuan itu.
Dia tetap fokus menggambar secara mendetail dan hati-hati. Warna demi warna ditorehkan ke dalam gambaran itu.
"Bapak sepertinya pernah melihat perempuan ini.. Jangan-jangan itu pacar kamu ya Day?" Pak Anthony tiba-tiba saja berjalan di dekatnya dan melirik sambal mengomentari hasil karya yang digambar Daylon.
"Dia jatuh cinta dengan perempuan itu dalam sekali pertemuan pak. Ya.. Mirip-mirip kejadian di novel lah, Pak," Nicole tiba-tiba memotong pembicaraan dan berkata seenaknya saja.
Pak Anthony langsung tertawa mendengar penjelasan Nicole.
"Hahaha... Enak ya masa muda. Bisa bebas dan lepas dalam mencintai orang lain. Yah, semoga dia memang jodoh kamu, Day."
Daylon hanya bisa tersenyum tipis, karena baginya pernyataan Nicole tidak sepenuhnya salah. Dia memang tertarik dengan perempuan itu.
Jam istirahat telah berbunyi, seluruh murid di kelas 11-A menghentikan aktivitas menggambarnya. Hasil pekerjaan kami langsung diberikan kepada Pak Anthony selesai atau belum selesai.
"Aghhh....!! Tinggal sedikit lagi padahal. Kan hasilnya jadi belum sempurna," jelas Ren dengan perasaan yang tidak puas.
"Sudahlah Ren. Sebagus apapun hasilmu nantinya, pasti masih belum bisa mengalahkan hasil-nya Daylon."
"Kau itu terlalu memuji gambaranku, Nicole. Hasil milik Ren juga sangat bagus bagiku."
"Muncul juga tuh, sikap merendah-nya."
"Terserah kau saja."
"Day, Nic, makan dulu yuk ke kantin! Laper banget gila," Ren tiba-tiba memecah obrolan dengan perutnya yang mulai berbunyi. Mereka pun setuju dan pergi ke kantin bersama-sama.
Kantin sekolah yang terletak di lantai dua ini terbilang cukup luas dan terlihat modern. Hampir seluruh dinding luarnya menggunakan kaca agar pemandangan perkotaan dari luar terlihat jelas dan menenangkan. Di bagian luar kantin, terdapat meja-meja yang dikhususkan bagi murid yang ingin makan atau berkumpul di area outdoor. Dengan menggunakan kursi dan meja yang terbuat dari kayu sekaligus ditutup dengan semacam payung besar di atasnya, membuat nuansa alam bisa didapatkan dari area outdoor kantin ini. Untuk para penjual makanan, biasa membawa seluruh bahan-bahannya melewati lift, karena akan kesulitan jika harus menaiki dan menuruni tangga secara berkala. Memang sehebat ini fasilitas yang disediakan oleh sekolah internasional. Namun, bagi kebanyakan siswa mengunjungi kantin saat istirahat sama saja seperti sedang berebut sembako. Seluruh murid berbondong-bondong memesan makanan hingga antriannya menumpuk. Untungnya jam istirahat di sekolah ini cukup lama (sekitar satu jam), jadi mereka bisa bersantai dan menunggu antriannya mereda.
"Untung aku bawa cemilan, setidaknya bisa mengurangi rasa laparku saat ini," kata Ren sambil membuka snack yang dia bawa dari rumah.
Daylon yang awalnya melihat snack yang dibawa Ren, tiba-tiba teralihkan saat melihat perempuan yang dia temui kemarin terlihat duduk menyendiri di sisi pojok dekat area outdoor kantin. Karena terlihat sendirian, dia pun berinisiatif mendekatinya.
"Aku tinggal bentar."
"Ngapain tuh anak, tiba-tiba mau pergi."
Nicole celingak-celinguk melihat arah kemana tujuanku. Dan kemudian ekspresinya berubah setelah mengetahui-nya.
"Kemana sih dia?" Ren penasaran.
"Cie yang lagi kasmaran!!" Teriak Nicole.
Daylon hanya berpura-pura tidak mendengar, agar orang lain tidak tahu kalau yang Nicole maksud adalah dia.
Tanpa berpikir panjang dia langsung duduk di depan perempuan itu.
"Kamu ini siapa?"
"Entahlah, aku hanya ingin duduk disini karena kamu sendirian."
"Kamu mengejekku?!"
Daylon tidak menghiraukan pertanyaannya.
"Tiga perempuan yang mengejarmu kemarin gimana? Mereka menemukanmu?"
"Hah? Kenapa bisa tahu?"
"Sebenarnya kamu salah apa sama mereka?"
Perempuan itu diam sejenak. Perlahan dia mencoba mencerna semua perkataan Daylon. Hingga akhirnya tanpa sadar perempuan itu menceritakan semuanya padanya.
"Kalau kamu butuh teman, kamu bisa bergabung denganku dan teman-temanku. Aku yakin mereka akan menerima dan tidak berbuat sejahat mereka." Daylon berkata sambil menunjukkan dimana posisi Frey dan Nicole berada. Mereka terlihat heran kenapa dia tiba-tiba menunjuk mereka.
"Kamu orang pertama yang tahu kondisiku. Terima kasih mau mendengarkan orang yang menyedihkan sepertiku ini."
"Santai saja."
"Kamu mau gabung bersama kami sekarang atau nanti saja?"
"Nanti saja. Aku ingin sendirian dulu."
"Oke deh."
Daylon langsung bangkit dari dudukku dan hendak pergi meninggalkan perempuan itu. Tapi ada hal yang lupa dia tanyakan dan kembali menatap mata wanita itu sembari menjulurkan tangannya.
"Ngomong-ngomong, namamu?"
"Arlenia. Untuk panggilan, panggil saja sesukamu. Aku tidak keberatan."
"Daylon. Salam kenal ya!" Mereka bersalaman dan Daylon pun tersenyum kepadanya. Setelah itu, dia pergi meninggalkannya sendirian.
"Cieee yang lagi PDKT." Nicole langsung saja mengganggu Daylon dengan godaannya.
"Ohh.. Jadi itu toh anak yang dimaksud Nicole. Pinter juga ya kamu Daylon, kalau milih cewek." Ren ikut-ikutan menggodanya.
"Berisik kalian."
Karena antriannya mulai sepi, kami pun memesan makanan dan langsung makan dengan lahapnya. Ren malah langsung memesan dua porsi makanan untuk dirinya sendiri. Daylon dan Nicole benar-benar heran dengan kemampuan makan Ren.
"Jawdwi swiawpa nawmanya, Dway—?" Ren bertanya sambil masih banyak makanan di mulutnya.
"Habiskan dulu makanan di mulutmu itu," potong Nicole.
"Arlenia."
Ren kemudian menelan makanan yang ada di mulutnya dan minum beberapa teguk air putih.
"Namanya nggak asing. Apa jangan-jangan dia itu anak yang sering dibully di kelasnya?"
"Jadi kau sudah tahu ya? Seperti biasa, pendengaranmu selalu tajam."
"Eh tunggu-tunggu. Aku enggak ngerti apa-apa soal ini. Ceritakan dulu kepadaku." Nicole merasa tidak terima karena tidak tahu apa-apa. Kemudian Daylon dan Ren menjelaskan keadaan Arlenia kepada Nicole.
"Kurang ajar mereka. Beraninya main keroyokan."
"Aku pun berpikir hal yang sama. Tetapi pelaku pembully-an ini adalah murid yang berasal dari keluarga ternama di sekolah ini. Aku tidak mau berurusan dengan kalangan atas seperti mereka."
"Tapi tetap saja kita harus membantunya," saran Nicole.
"Untuk sementara, kita biarkan saja dia bermain bersama kita. Itu pun jika dia mau menemui kita. Jika ada masalah dan kalian tidak mau terlibat. Biar aku saja yang mengurusnya. Toh orang tuaku juga ga begitu peduli dengan apa yang terjadi padaku. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya sendiri."
Ren dan Nicole diam saja mendengarkan ucapan Daylon. Mereka tidak ingin menceramahi atau apapun itu jika berkaitan dengan masalah kehidupannya. Mereka takut hal itu akan membuatnya makin kesal.
"Enggak masalah kan, kalau aku mengajak Arlenia bareng kita?"
"Tentu saja enggak masalah. Akhirnya ada tambahan cewek di kumpulan kita." Ren menjawab dengan ekspresi senang.
"Aku pun enggak masalah. Lagian Ren juga setuju." Nicole pun menyetujui-nya.
Pada akhirnya mereka sepakat menerima Arlenia menjadi bagian dari perkumpulan kami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!