NovelToon NovelToon

The Wife ( Istri Yang Teraniaya )

Kesalahan Fatal

Suara tamparan terdengar di dalam rumah. Seorang ayah murka terhadap kelakuan putrinya dan seorang ibu menangis pilu meratapi takdir yang menimpa mereka.

Putri yang disayang, dimanja. Diberi segala apa yang dibutuhkan, malah mempermalukan nama baik keluarganya sendiri. Usia sang putri baru delapan belas tahun, tetapi sudah hamil di luar nikah.

"Pergi kamu dari sini! Anak sialan, tidak tahu diuntung!" ucap sang Ayah saking murkanya.

Sang putri yang bernama Kara hanya bisa menangis dan tertunduk mendengar kemarahan sang ayah. Nasi sudah menjadi bubur dan Kara tidak bisa mengembalikan waktu yang telah berputar.

"Saya akan tanggung jawab, Om," ucap sang pria. Kekasih dari Kara yang bernama Elno.

"Tanggung jawab! Kamu memang harus tanggung jawab!" Pria paruh baya itu tersengal-sengal menahan amarahnya.

"Sudah, Pa. Cukup," ucap sang Ibu.

"Kita kerja keras untuk menyekolahkan Kara. Memberi segalanya yang terbaik, tetapi dia malah mencoreng wajah orang tuanya sendiri."

Kara menangis tersedu. Rencananya selepas tamat sekolah menengah atas, Kara akan mendaftar di universitas ternama. Ia telah lulus tes, tetapi tidak disangka kejadian dua bulan lalu menyebabkan ia hamil.

Kedua orang tuanya sudah menyiapkan biaya pendidikan agar Kara menjadi wanita karir yang dapat membanggakan mereka. Namun nyatanya, bukan kebahagian yang Kara berikan, tetapi kotoran.

"Maafin Kara, Pa."

"Pergi kamu! Aku tidak sudi punya anak sepertimu!"

Sang ayah menyeret putrinya keluar. Dengan diiringi oleh tangis sang ibu. Sang ayah sudah kecewa berat. Impiannya telah dimusnahkan begitu saja.

"Maafkan kesalahan Kara, Pa."

"Diam kamu! Pergi dari sini. Mulai saat ini, kamu bukan anakku. Bukan bagian dari keluarga Handoko!"

"Ayo, Kara. Kita pergi dari sini," kata Elno.

"Sayang!" sang Ibu memeluk putrinya. "Maafkan papamu. Dia memang marah, tetapi kemarahannya akan reda. Jangan pergi, Nak."

"Mama!" Handoko menarik tangan istrinya. "Lupakan dia! Kara bukan lagi anak kita."

Handoko membawa istrinya masuk ke dalam rumah meski sang istri menolak. Pintu ditutup dengan dibanting. Kara semakin sedih karena kedua orang tuanya sudah tidak menganggapnya lagi sebagai seorang anak.

"Ayo kita pergi," kata Elno.

"Kita mau ke mana?" tanya Kara.

"Pulang ke rumah. Orang tuaku pasti akan menerima kita. Jangan takut, Sayang. Aku akan bersamamu selalu." Elno memeluk Kara dan juga mengusap perut kekasihnya.

Kara mengangguk, "Iya."

Kara dan Elno sepasang kekasih yang menjalin hubungan asmara dari mereka kelas dua sekolah menengah ke atas. Keduanya berbeda sekolah, tetapi lokasinya saling berdekatan.

Kesalahan fatal itu bermula saat keduanya lepas ujian kelulusan. Baik Kara dan Elno bersama-sama menghadiri acara yang dibuat oleh teman-temannya di pantai.

Kara meminta izin kepada orang tua untuk membuang segala kejenuhan. Berbagai alasan diberikan agar keduanya percaya bahwa putrinya akan menjaga kepercayaan yang diberikan. Namun faktanya, sang putri hanyut akan buaian dari sang kekasih.

Sekali mencoba, akhirnya menjadi ketagihan. Setiap bertemu, Elno dan Kara akan melakukan hubungan terlarang hingga kejadian tidak terduga, yaitu hamilnya sang kekasih.

"Ayo kita masuk," ajak Elno.

Rumah sederhana ini memang telah beberapa kali Kara kunjungi, tetapi kunjungan kali ini jelas berbeda. Keduanya datang untuk mengakui kesalahan dan berharap mereka segera dinikahkan.

"Ada Kara." Wanita dewasa tersenyum memandang teman wanita putranya. Ibu Elno tahunya Kara, adalah teman anak laki-lakinya. "Kara habis menangis?"

"Elno mau bicara pada Mama dan papa."

"Ada apa, Sayang. Ayo duduk. Mama panggil papa dulu."

Elno membawa Kara duduk di sofa sementara menunggu kedatangan sang ayah. Kara sangat gugup. Ketakutan melandanya, ia takut kedua orang tua Elno akan menolak kehadirannya.

"Ada apa, El?" tanya pria dewasa yang langsung duduk di sofa bersama sang istri di sampingnya.

"Kara hamil, Pa," ucap Elno.

"Hamil?" ulang Mama dan Papa Elno.

"Kara hamil anak Elno."

"Apa!? Kamu jangan bercanda," teriak sang ibu.

"Benar, Ma. Kara hamil anak Elno. Sudah mau jalan dua bulan."

Sang ibu beranjak dari duduknya. Ia menarik rambut Kara. "Wanita penggoda! Kamu pasti menggoda anakku!"

Kara meringis kesakitan. "Enggak, Bu. Kara enggak melakukan itu."

"Lepasin, Kara, Ma. Dia tidak salah apa-apa. Elno yang salah." Elno menggengam tangan sang ibu, tetapi mendapat tamparan dari sang ayah.

"Kalian tidak sadar dengan kesalahan yang kalian lakukan, hah! Astaga, Elnoo! Mau taruh di mana wajah Papa ini?"

"Maaf, Pa. Elno memang salah."

Sekali lagi tamparan mendarat di pipi Elno. "Apa kamu tidak berpikir saat melakukannya, hah? Kalian baru saja tamat sekolah. Mau dikasih makan apa bayi itu? Kalian pikir cari uang itu gampang apa? Apa ini yang kamu pelajari selama sekolah?"

"Elno khilaf, Pa."

"Pergi kalian dari sini! Kalian berani berbuat dan sekarang tanggung jawab sendiri akibatnya."

"Papa, anak perempuan ini yang menggoda anak kita."

"Tidak peduli! Mereka sama-sama salah. Sekarang pergi dari rumah ini. Kami tidak menerima kalian di rumah ini! Mulai saat ini, kamu, Elno. Bukan bagian dari keluarga Sanjaya."

"Pa, maafkan Elno. Tolonglah kami, Pa."

"Pergi!" ucap Sanjaya.

"Ayo, Kara. Kita pergi dari sini." Elno membawa Kara keluar dari rumahnya.

Entah ke mana lagi tujuan mereka sekarang. Orang tua sudah mengusir dan tidak menganggap mereka anak.

"Kita mau ke mana?" tanya Kara.

Elno menggeleng, "Entahlah. Naik saja. Kita cari dulu kontrakkan."

Kara memegang pundak kekasihnya untuk naik ke atas sepeda motor, dan Elno melaju keluar dari halaman rumahnya. Elno sendiri tidak tahu harus ke mana membawa kekasih yang sedang hamil. Namun yang pasti, mereka harus mencari rumah untuk berteduh.

"Kita makan dulu," kata Elno yang singgah di warung makan tepi jalan.

Kara duduk di kursi kayu sembari memandang kendaraan yang lewat. Elno datang menyodorkan sepiring nasi untuknya, tetapi Kara tidak bernapsu untuk makan apa pun.

"Anak kita perlu makan, Kara. Ayo makan," kata Elno.

Kara mengambil sepiring nasi yang disodorkan kekasihnya, lalu makan dengan lahap. Bersyukur kehamilan Kara tidak terlalu merepotkan, bahkan awalnya Kara tidak tahu ia hamil.

Kara yang curiga ia tidak datang tamu bulanan, akhirnya membeli test pack dan mengujinya sendiri. Test pack itu menunjukkan bahwa ia hamil, lalu sang kekasih yang tidak percaya, membawa Kara ke dokter kandungan yang membuka praktek pribadi. Sekali di USG, Kara memang hamil dan usianya memasuki dua bulan. Sore itu juga, selepas periksa Kara memberitahu orang tuanya dan akhirnya terusir.

"Kamu punya uang berapa?" tanya Elno.

"Tiga ratus ribu."

"Aku punya satu juta hasil bertaruh main game bersama teman. Kita akan cari kontrakan, lalu sisanya untuk kita menikah," kata Elno.

Bersambung

Hidup Baru

Elno dan Kara mendapat rumah kontrakan kecil dengan sewa empat ratus ribu perbulan. Hanya ada satu kasur lantai, lemari kecil dan kamar mandi dalam kamar itu. Yang lainnya masih kosong dan itu artinya Kara dan Elno harus membeli perlengkapan yang lain.

"Ini uang seratus ribu. Tambahin sama uang yang kamu punya buat beli keperluan lain," kata Elno sembari menyodorkan uang satu lembar kepada Kara.

"Aku akan pergi belanja besok. Kita juga tidak punya pakaian. Kita memerlukannya untuk berganti."

"Sepertinya kita menikah siri dulu. Setidaknya, biar tidak dianggap yang macam-macam sama warga di sini," kata Elno.

"Kalau bisa besok kita menikah saja."

Elno mengangguk, "Kamu tenang saja. Sebaiknya kamu istirahat dulu. Besok hari yang melelahkan untuk kita."

Kara berbaring di atas kasur, sedangkan Elno tidur di lantai. Tempat tidur nyaman serta pendingin ruangan, tidak dapat lagi mereka rasakan. Yang ada hanya kasur busa yang ditiduri tidak enak, satu bantal dan guling, lalu kipas angin. Untung saja pemilik rumah sewa menyediakan kipas angin duduk. Setidaknya Kara dan Elno tidak kepanasan.

...****************...

"Kara, aku pulang!" seru Elno dengan mengetuk pintu.

Kara bergegas membukakan kekasihnya pintu. "Sudah pulang."

"Sarapan dulu," kata Elno.

Hanya satu bungkus nasi uduk yang Elno beli. Mereka harus berhemat mulai sekarang karena tidak ada lagi orang yang dimintai uang. Mereka berdua harus mandiri.

Kara tidak mempermasalahkan hal itu. Toh dia bukan dari orang kaya raya. Orang tuanya sederhana, tetapi berbagi nasi memang Kara belum pernah melakukannya.

"Kita setengah-setengah nasinya," kata Elno.

"Iya," sahut Kara tersenyum.

Nasi bungkus dibagi dua. Jika dimakan bersama seseorang yang dicintai, maka akan terasa sangat nikmat. Kara tetap bisa makan dengan lahap begitu juga dengan Elno.

"Coba kamu cari tahu. Mungkin ada yang menyewakan pakaian muslim untukmu. Kita tidak mungkin menikah dengan memakai kaus dan celana jeans, kan?" kata Elno.

"Kamu antar aku ke pasar dulu. Aku ingin membeli beberapa keperluan," kata Kara.

Elno mengangguk, "Aku antar kamu dulu. Nanti kalau sudah belanjanya, kamu telepon saja. Aku akan datang menjemputmu."

Keduanya menyelesaikan acara sarapan bersama, lalu pergi ke pasar dengan mengendarai sepeda motor.

"Kamu hati-hati. Aku pergi dulu," kata Kara.

"Jangan lupa telepon," pesan Elno yang langsung pergi dengan sepeda motornya.

Kara membeli beberapa kaus untuk Elno, celana pendek dan juga pakaian dalam. Ia juga membeli daster murah sebanyak tiga helai dan menghabiskan uang tiga ratus ribu.

"Beli perlengkapan mandi sama panci, deh, sisanya. Oh, ya apa aku harus membeli kompor gas mini?" gumam Kara.

Kara meraba kalung yang melingkar di lehernya. Kalung emas pemberian orang tuanya. Rumah kontrak mereka memerlukan pekakas dapur agar tidak terus-terusan membeli nasi bungkus.

Kara menuju toko penjual emas. Ia terpaksa menjual benda berharga satu-satunya demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Karena kalung itu tidak bersurat, jadi harganya sedikit murah.

Hasil yang didapat dari menjual kalung, sekitar dua juta. Kara membeli gelas, sendok, piring plastik, serta termos, lalu ia juga membeli kompor gas satu tungku. Kara juga pergi ke tempat penyewaan pakaian untuk menyewa baju untuk mereka menikah nanti.

"Capek juga seharian jalan. Mana panas lagi," kata Kara sembari mengirim pesan kepada Elno agar menjemputnya.

Tidak lama, Elno datang menjemput dan kaget mendapati belanjaan kekasihnya. "Kamu belanja sebanyak ini uang dari mana?"

"Aku menjual perhiasanku," jawab Kara.

"Kenapa dijual? Itu untuk biaya mendadak, Kara."

"Kita memerlukan barang-barang ini, El. Sebaiknya kita pulang dulu. Hari semakin terik," kata Kara.

"Ayo pulang."

Motor Elno penuh dengan barang-barang belanjaan. Sekarang mereka bukan lagi anak muda yang memikirkan diri sendiri. Sekarang keduanya harus saling memikirkan satu sama lain.

"Kapan acara pernikahan kita?" tanya Kara saat mereka telah sampai di kontrakkan.

"Sore ini jam tiga. Kamu siap-siap saja. Aku sudah izin dengan Rt setempat dan meminta mereka menjadi saksimu," kata Elno.

"Aku juga sudah menyewa pakaian."

"Baguslah," kata Elno sembari membawa masuk barang belanjaan Kara.

...****************...

Jam dua sore, Kara dan Elno bersiap-siap. Kara memakai kebaya panjang dengan kerudung, sedangkan Elno memakai kemeja berwarna putih. Mereka akan menikah di rumah Rt setempat.

"Sudah siap?" tanya Elno, "kita berangkat sekarang. Lebih baik menunggu daripada datang terlambat."

"Aku sudah siap," ucap Kara.

Kara wanita yang cantik. Meski ia tidak berhias, tetap saja kelihatan cantiknya. Kulitnya putih, hidung bangir, bibir tipis, dan tubuhnya tinggi sekitar seratus enam puluh lima centimeter.

"Hanya ini yang bisa kuberikan padamu," kata Elno sembari mengeluarkan cincin dari sakunya.

"Dari mana kamu dapatkan ini?"

"Cincinnya sudah lama kubeli. Rencananya buat anniversary hari jadian kita," ucap Elno.

Kara tersenyum, "Tidak apa-apa. Asal kita menikah saja sudah cukup."

Elno meraih tangan Kara dan mengecupnya. Keduanya keluar, menaiki motor dan berlalu menuju rumah Rt setempat.

Di rumah pak Rt sudah ada empat orang yang datang. Mereka yang akan menjadi saksi pernikahan keduanya. Selagi menunggu penghulu datang, Elno menghapalkan kalimat ijab kabul.

Tidak lama penghulu datang. Acara pernikahan pun dilaksanakan. Elno mengucapkan ijab kabul dengan lantang dan hanya sekali ucap. Kini resmilah Elno dan Kara menjadi pasangan suami istri.

"Sekarang kamu istriku."

Kara tersenyum, "Sekarang kamu suamiku."

...****************...

Elno terlihat melamun di depan rumahnya. Sekarang ia sudah beristri dan sebentar lagi akan punya anak. Pekerjaan belum punya dan ijazahnya juga belum diberikan oleh pihak sekolah.

Elno dan Kara memang sudah dinyatakan lulus sekolah, tetapi ijazah mereka belum diberikan. Kemungkinan dokumen sekolah akan diberikan seminggu lagi.

"Sayang," tegur Kara.

"Belum tidur?"

"Aku lagi beres-beres," kata Kara yang turut duduk di kursi kayu depan teras.

"Jangan terlalu lelah. Kamu lagi hamil," kata Elno.

"Enggak, kok."

"Besok aku harus cari kerja. Selama ijazah kita belum ada, sepertinya akan sulit," ucap Elno.

"Kalau begitu aku juga."

"Jangan! Kamu lagi hamil masa kerja. Nanti ada apa-apa gimana?"

Kara mengangguk, "Kita masuk, yuk! Sudah malam."

Dering ponsel berbunyi. Pesan beruntun masuk ke ponsel milik Elno dan pria itu segera membacanya. Pesan dari teman-teman kumpul yang mengajak untuk bermain game di cafe.

Elno tidak membalas pesan itu. Statusnya berbeda sekarang. Ia bukan lagi remaja, tetapi seorang suami. Pergi ke cafe pasti akan mengeluarkan uang.

"Ayo, kita tidur saja," kata Elno dengan merangkul istrinya masuk ke dalam rumah.

"Teman-temanku juga mengirim pesan. Mereka mengajakku untuk kumpul bersama, tetapi aku menolaknya," kata Kara.

"Kalau aku punya uang, pasti aku akan mengajakmu ke cafe seperti kita kencan waktu dulu."

"Aku akan menunggu saat itu," ucap Kara.

Bersambung

Dapat Pekerjaan

Elno berkeliling dengan sepeda motornya mencari lowongan pekerjaan. Di cafe, restoran, ia singgahi untuk sekadar bertanya. Tidak ada yang bisa menerima dirinya tanpa surat lamaran dan dokumen lain.

Ini berat bagi Elno. Biasa ia tinggal meminta uang kepada orang tua untuk berkumpul bersama teman-temannya di cafe. Namun kali ini, ia datang untuk melamar pekerjaan dan ditolak mentah-mentah. Sekarang ia bingung untuk biaya makan hari-hari bersama Kara.

"Jika begini terus, bisa mati kelaparan aku," gumam Elno.

Suara klakson motor membuyarkan lamunan Elno. Ia menoleh ke arah kendaraan roda dua yang mendekat. Elno tahu siapa yang menghampirinya. Sepeda motor yang dinaiki oleh dua remaja ia kenali. Mereka adalah teman-teman sekolahnya.

"Woy, Elno!" tegur pria remaja berkulit cokelat.

Dua orang pria turun dari sepeda motornya. Mereka duduk di bawah pohon rindang di mana Elno bersandar sembari meratapi nasib.

"Ditelepon enggak bisa, di sms enggak dibalas. Apa, sih, maumu?" tanya Tedy, pria yang menegur Elno pertama kali.

"Ya elah, kamu bertanya atau nyanyi?" sahut Ilmi.

"Kalau bisa bertanya sambil berdendang, kan, bagus. Elno pasti akan hanyut ke awang-awang setelah mendengar suara merduku," Tedy menimpali.

"Kenapa kalian kemari? Kok, bisa, di kota seluas ini kalian menemukanku?" tanya Elno.

"Kita ini belahan jiwa, El. Saling terkait satu sama lain. Kami merasa ada satu hal yang membuat sahabat kami ini melamun. Ada apa gerangan wahai sahabatku?" tanya Ilmi dalam nada candaan.

Tedy tertawa mendengar ucapan dari sahabatnya. "Kek, penyair."

"Oh, itu cita-citaku," sahut Ilmi.

Elno mengembuskan napas lelah. "Aku lagi cari kerja."

"Kerja?" sahut Tedy dan Ilmi berbarengan. Mereka tidak salah dengar kalau sang sahabat ingin bekerja.

"Eh, Elno. Kami mencarimu karena ingin bertanya. Kamu jadi daftar kampus, kan?" ucap Tedy.

Elno menggeleng. "Aku tidak tau. Aku diusir dari rumah. Kara hamil dan kami sudah menikah."

"Apa?!"

Sontak Elno menutup telinganya dari keterkejutan Tedy dan Ilmi. Wajar saja mereka kaget, bahkan Elno juga tidak percaya ia sudah terikat pernikahan.

"Kalau bercanda jangan kebangetan," ucap Ilmi.

"Ayo, aku ajak kalian ke rumah kontrakan. Biar kalian berdua percaya."

Elno bangkit berdiri disusul oleh kedua sahabatnya. Ketiganya sama-sama naik ke atas motor dan berlalu dari sana.

Sesampainya di rumah kontrakan, barulah Tedy serta Ilmi menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh sahabatnya adalah benar. Rumah sewa yang sederhana menjadi bukti serta Kara yang tersenyum manis menyambut kedatangan suaminya.

"Apa kalian tengah bermain rumah-rumahan?" tanya Tedy tidak percaya.

"Masuklah dulu," ucap Kara.

Tedy dan Ilmi masuk ke dalam rumah. Mereka langsung saja duduk di lantai. Keduanya tahu bagaimana kondisi rumah sewa dari bentuk luarnya saja.

"Nih, minum," kata Kara sembari meletakkan dua gelas berisi air putih.

Tedy dan Ilmi segera menghabiskan minuman yang disuguhkan. Menikah di usia muda, tetapi untungnya sudah tamat sekolah. Namun, apa pernikahan itu akan sempurna? Tedy dan Ilmi tidak dapat membayangkan jika itu terjadi pada mereka.

"Kamu beneran hamil?" tanya Ilmi.

Kara mengangguk. "Iya, hamil dua bulan."

"Orang tua kalian? Masa dibiarkan begitu saja," Tedy menimpali.

"Mau bagaimana lagi? Beginilah keadaannya. Kami diusir dari rumah," ucap Elno. "Kalau ada kerjaan, bagi tau aku. Kami harus mengumpulkan banyak uang. Biaya sewa rumah, keperluan makan dan kelahiran."

Tedy dan Ilmi saling pandang. Elno tiba-tiba bicara serius. Bersikap lebih dewasa. Ke mana teman mereka yang selalu membicarakan game online, sepak bola atau tempat untuk nongkrong di pertemuan selanjutnya? Elno berubah dalam sekejap.

"Kami akan bantu mencarikan," ucap Ilmi.

"Kamu tenang saja dulu. Kita pasti bantu," sambung Tedy menambahkan.

"Sekarang kalian sudah tau keadaanku. Jadi, aku tidak akan meneruskan pendidikan. Uang buat makan saja susah," ucap Elno.

Kara menunduk mendengar perkataan suaminya. Keinginannya meneruskan pendidikan telah pupus. Tidak ada yang bisa disalahkan. Ini semua karena napsu yang tidak bisa dikontrol sampai meninggalkan benih di dalam perutnya. Meski begitu Kara tetap bersyukur. Elno mau bertanggung jawab pada dirinya.

"Coba minta kerjaan sama bang Didi di bengkel. Kali saja ada pekerjaan ringan untukmu selagi nunggu ijazah diberikan," kata Tedy.

"Benar, El. Dibayar perhari lumayan buat makan," sambung Ilmi.

"Kenapa aku bisa lupa dengan bang Didi. Mumpung masih siang. Kita ke sana saja," kata Elno.

"Cus, berangkat," kata Tedy.

"Hati-hati," ucap Kara.

Elno mengecup kening istrinya. Tedy dan Ilmi memalingkan wajah mereka. Sudah sah! Wajar jika bersentuhan. Ada suka dan duka dalam menikah muda. Enaknya bisa saling bergulat dalam satu tempat tidur dan selimut.

"Kamu baik-baik di rumah," pesan Elno.

Kara tersenyum. "Iya, kamu jangan khawatir."

Ketiganya berangkat menuju bengkel bang Didi yang lokasinya tidak jauh dari sekolah mereka. Memang Elno dan dua sahabatnya terbiasa berkumpul di sana. Kadang-kadang membantu pria dewasa itu memperbaiki motor murid yang bocor.

Kara menutup pintu dan menguncinya. Ia langsung merebahkan diri di kasur lantai. Tubuhnya gampang lelah dan mudah mengantuk.

"Semoga saja Elno dapat pekerjaan," ucap Kara sembari mengusap perutnya.

...****************...

Elno pulang dengan membawa dua potong ayam goreng yang ia beli di pinggir jalan sehabis dari bengkel bang Didi. Hari ini satu masalah telah selesai. Ia mendapat pekerjaan dari pria itu, dan sebagai perayaannya adalah dua ayam goreng ini.

"Kara!" seru Elno.

Terdengar sahutan dari dalam. Kara memutar kunci kemudian membuka pintu. Elno melambaikan kantung makanan ke hadapan istrinya.

"Ada apa ini? Sepertinya lagi senang," ucap Kara.

"Keterima kerja dari bang Didi."

"Syukurlah." Kara memeluk Elno.

"Selagi menunggu ijazah, aku kerja itu dulu."

"Enggak apa-apa. Aku juga ingin cari kerja juga sebenarnya."

"Kamu hamil begini mau kerja apa? Sudahlah, jangan banyak dipikirkan masalah keuangan. Aku masih sanggup memberimu makan dua kali sehari," ucap Elno.

Kara tersenyum. "Iya. Ayo, kita makan. Aku sudah lapar."

Selagi Kara menyiapkan makanan, Elno pergi membersihkan diri. Kara mengaut nasi putih ditambah ayam goreng. Ia memasak sebungkus mie instan kaldu sebagai kuahnya.

"Nanti aku mau keluar," kata Elno yang sudah selesai dari kamar mandi.

"Mau ke mana?" tanya Kara.

"Keluar saja. Siapa tau ada yang perlu tenagaku." Elno duduk berhadapan dengan istrinya. "Bang Didi cuma bisa kasih gaji tujuh ratus ribu. Kamu tau bengkelnya kecil dan keahlianku tidak seberapa. Bayar sewa empat ratus ribu. Belum bayar listrik dan air."

Kara mengangguk. "Jangan pulang terlalu malam. Aku takut sendirian."

"Aku bawa kunci nanti. Kamu tidur saja yang tenang."

Elno dan Kara punya cita-cita sebagai pegawai kantoran atau pemerintahan. Harapan mereka pupus sekarang. Andai waktu bisa diputar kembali, pasti mereka tidak akan melakukan tindakan buruk seperti itu.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!