Upacara penyambutan untuk Raka di sekolah terlihat sangat ramai. Suara sorak gembira teman-teman yang bangga padanya juga tak kalah heboh.
Beberapa guru pembimbing sampai meneteskan air mata untuk bocah yang dikenal tak memiliki ayah sejak lahir ini.
Raka memang hanya hidup bersama sang ibu dan nenek asuhnya. Sedang keluarga yang lain ia tak tahu.
Selama ini Raka memang tak pernah menanyakan keberadaan sang ayah. Sebab sang ibu selalu bilang, bahwa ayah Raka ada di hati Raka. Ayah tidak ke mana-mana. Jadi tak perlu dicari.
Di dalam akte bocah tampan ini memang hanya tertulis nama ibu, tapi ia tak malu. Meskipun tak sedikit teman-teman dan tetetangga mengejeknya. Karena ia yakin, ibunya adalah wanita yang baik. Tidak seperti yang mereka gunjingkan selama ini.
Raka sangat terkenal dengan kecerdasannya. Ketangkasannya dalam berpikir dan juga kebaikan hatinya. Anak ini juga lihai dalam ilmu bela diri. Pandai bermain ketapel dan juga memanah.
Raka ingin sekali jadi atlet panahan. Itu sebabnya ia sangat rajin berlatih. Hobi Raka ini didukung dengan tempat berlatih yang lumayan strategis. Lahan yang luas milik nenek asuhnya, ia jadikan markas tempatnya menyalurkan hobi. Meski kadang-kadang tak jarang ia kena omel, sebab tanpa sengaja Raka sering merusak tanaman bunganya. Maklum, usaha sang nenek dan sang ibu adalah berjualan bunga sekaligus perlengkapan jenazah.
Raka anak yang baik hati. Meski sering menang dalam lomba, tak sekalipun ia besar kepala. Ia hanya tersenyum ketika ada yang memujinya dan diam ketika orang lain mengoloknya. Begitulah Raka dengan segala kesederhanaan dan kerendahan hati yang diajarkan oleh Nandita, ibudanya.
Kali ini, juara debat bahasa Inggris dan juga matematika, antar kecamatan berhasil dia sabet dengan mulus. Piagam, piala dan juga hadiah uang tunai ia dapatkan. Bukan hanya itu, Raka juga lulus seleksi untuk mengikuti lomba selanjutnya di Kabupaten.
Kabar gembira ini di sampaikan langsung oleh Pak Joko. Selaku kepala sekolah di mana bocah tampan ini menimba ilmu.
"Selamat kepada Raka Octaviant karena kali ini ada tiga kabar baik untuknya. Untuk kita, untuk sekolah ini dan untuk semuanya tentunya," ucap Pak Joko sembari memakai kaca mata bacanya.
Terdengar suara riuh tepuk tangan dan juga sorak-sorai dari semua murid yang ada di aula sekolahan tersebut.
"Ayo diam, diam semuanya. Bapak belum selesai membacakan apa saja yang menjadi kabar gembira hari ini," ucap Pak Joko lagi. Mengambil napas untuk mulai menyampaikan apa yang ia baca dalam hati. Selesai merekam baris demi baris kata ke dalam memorinya, Pak Joko pun langsung menyampaikan kabar gembira ini.
Serempak anak murid pun diam. Tanpa terkecuali Raka.
"Yang pertama ...." Pak Joko kembali membuka lembaran lain, sembari mengerutkan kening, masih manatap intens pada map berwarna merah yang ada di tangannya tersebut.
"Anak didik kita, teman kita, sahabat kita dan saudara kita, Raka Octaviant Abimayu berhasil menjadi juara umum dalam debat bahasa Inggris sekecamatan dan juga juara umum kategori Anak Genius dalam mata pelajaran Matematika serta lolos seleksi masuk dalam lomba Cerdas Cermat yang akan dilaksanakan di GOR Kabupaten yang di sponsori oleh PT Golden Gold dan jika menang maka .... hadiahnya sangat fantastis ini." ucap Pak Joko, suaranya terdengar lirih di akhir. Mungkin beliau sembari membaca dan mencermati sederetan hadiah yang tercantum dalam lomba tersebut.
Anak murid dan juga para guru pembimbing masih diam. Lalu Pak Joko pun kembali melanjutkan ucapannya.
"Eh, ayo tepuk tangan. Tepuk tangan untuk teman kita, mana?" tagih Pak Joko. Kemudian, barulah terdengar suara sorak sorai dan tepuk tangan itu lagi.
"Apakah kalian tahu Golden Gold itu apaan anak-anak?"
"Tidak, Pak!" jawab Mereka serempak.
"Bapak sendiri juga belum tahu ini perusahaan apa? Tapi kasih hadiahnya beasiswa sampai SI loh, wis keren pokoke iki joss, Raka. Kamu kudu iso iki yooo, Semangat!" Pak Joko diam sesaat, terlihat masih terlihat fokus dengan map yang ia pegang. Sayangnya seluruh anak-anak malah tertawa. Pak Kepala Sekolah satu ini terlihat lucu dan menggemaskan di mata mereka.
"Hah, oke baiklah anak-anak. Mari kita do'akan Raka dan juga Ibu Sonia selaku guru pembimbing, supaya bisa melewati ini semua dan bisa membawa harum nama baik sekolah. Mau menang mau kalah semangat Raka, kamu pasti bisa. Kalau bisa Bapak berharap kamu menang sih!" Pak Joko tertawa. Bukan hanya Pak Joko, para guru pembimbing yang lain juga ikut tertawa.
Sedangkan Raka hanya tersenyum. Bocah tampan ini terlihat antusias dan tak sabar ingin memberitahu ibu dan juga sang nenek akan kabar baik ini. Namun sebelum itu beberapa temannya langsung memeluk dan membopong Raka di pundak mereka. Sebagai wujud betapa bangganya mereka memiliki teman dan sahabat seperti Raka.
***
Keesokan harinya....
Mobil yang hendak mengantar Raka ke Kabupaten sudah siap. Kali ini ibu Sonia tidak sendiri, ia di temani satu guru lagi, yang khusus mengajar bahasa Inggris. Mereka terlihat tak sabar ingin segera berangkat dan menghadapi tantangan ini.
Antusias kedua guru Raka, tentu saja membuat Nandita merasa senang. Bukan hanya senang, ia juga merasa tenang memasrahkan putra semata wayangnya pada kedua guru tersebut.
Senyum merekah indah di bibir Nandita. Rasa bangga begitu menyelimuti hati wanita ayu ini. Bagaimana tidak? Selama ini Raka sama sekali tak pernah merepotkannya. Tak pernah meminta hal aneh padanya. Sang putra selalu bersikap santun dan peduli padanya. Entahlah, meskipun Nandita tahu, dan bahkan mengalaminya sendiri bagaimana proses hadirnya Raka dalam kehidupannya, wanita cantik ini tak pernah membencinya. Bahkan dia sangat sayang pada anak ini.
Nandita memang tak pernah mengenal ayah kandung Raka. Karena pria itu memaksanya dan wanita ini juga tak tahu apa alasan pria itu melakukan hal gila itu padanya. Sedangkan mereka sama sekali belum pernah bertemu. Semua terjadi begitu saja.
Nandita tersadar dari lamunanya ketika Raka menyenggol lengannya.
"Bun, Bunda!" panggil Raka lirih sembari menyenggol lengan tangan wanita ayu itu.
"Eh, iya apa Ka?" tanya Nandita gugup.
"Di sapa sama bu Sonia tu," jawab Raka sembari tersenyum menahan tawa, sebab ibunya terlihat linglung.
"Eh, Bu Sonia. Maaf Bu, terpesona sama Raka, saya!" Nandita terkekeh.
"Putra Ibu tampan ya!" ledek Bu Sonia.
Nandita hanya tersenyum sembari melirik gemas pada sang putra yang kini mulai terlihat dewasa.
"Selamat ya, Bun. Anak Bunda luar biasa," ucap Bu Ganita selalu guru pembimbing bahasa Inggris Raka.
"Terima kasih Bu Guru, ini semua tak lepas dari kerja keras bapak dan ibu di sekolah." Nandita tersenyum malu.
"Dasarnya putra panjenengan ini memang cerdas kok, Bun. Kita sih yakin Raka bakalan menang lagi," Bu Sonia dan Bu Ganita tertawa lirih. Sedangkan Nandita tetap bertahan dengan senyuman.
"Semoga saja, Bu Guru. Monggo silakan diminum dulu tehnya," ucap Nandita mempersilahkan.
"Ngapunten Bun, bukannya kita nolak. Ini jamnya sudah mepet. Takut telat, kan sayang kalau telat." Bu Sonia menunjukkan jamnya pada Nandita.
"Oh, ya sudah kalau begitu. Raka hati-hati ya Nak. Ingat pesan Bunda jangan merepotkan siapapun. Berdoa, berusaha lalu pasrah. Allah pasti bantu kamu," ucap Nandita sembari memeluk sang putra.
Suasana haru selalu terjadi ketika Raka hendak berjuang ke medan perang yang telah Tuhan sediakan untuknya. Namun tak lupa sebelum berangkat, ia pasti selalu mencium kaki sang ibu sebagai wujud meminta doa restu agar dipermudah segala urusan dan tujuannya.
Bersambung...
Jangan Lupa like komen dan krisannya ya... makasih sebelumnya🥰🥰🥰
Raka telah melewati tantangannya. Tinggal menunggu hasilnya saja. Dewan juri meminta mereka, para peserta untuk pulang ke rumah masing-masing dan menunggu pengumuman yang akan mereka sampaikan melalui pihak sekolah.
Tanpa diketahui oleh pihak sekolah dan juga para peserta yang lain. Telah terjadi perdebatan mengenai hasil lomba.
Tak ada satupun anggota yang masuk dalam kriteri pemenang hadiah tambahan. Sebab, untuk mendapatkan hadiah tambahan tersebut, nilai yang diperoleh harus sempurna. Alias tak ada satu pun yang salah atau bisa dikatakan 100 semua. Sedangkan Raka, ada satu mata pelajaran nilainya di bawah itu.
Dewan juri segera menghubungi perwakilan perusahaan yang menjadi sponsor acara tersebut. Mengajak mereka berdiskusi, apakah hadiah tambahan akan tetap diberikan atau ditarik karena tidak ada satupun peserta yang memenuhi syarat.
Dion, adalah perwakilan dari perusahaan tersebut. Namun, ia tak bisa memutuskan sebelum mendapatkan Acc dari pimpinannya atau pemilik perusahaan yang menyediakan hadiah tambahan tersebut.
"Kami sedang menghubungi bapak Zidan selalu pemilik, Pak. Beliau yang berhak memutuskan. Apakah anak ini berhak mendapatkan hadiah tambahan tersebut atau tidak. Sebab sesuai syarat dan ketentuan dia tidak masuk. Hanya bisa masuk juara lomba saja dan hanya mendapatkan hadiah sesuai yang tertera, tetapi tidak untuk hadiah tambahan. Namun, semua itu tergantung pemimpin kami. Mungkin beliau ada penilaian khusus, kita tidak tahu," jawab Dion selaku wakil Zidan di tempat ini.
"Baik, Pak," jawab Ketua Dewan Juri.
"Tetapi semua peserta paham kan, hadiah tambahan ini hanya diberikan kepada mereka yang memenuhi kriteria?" tanya Dion memastikan.
"Kami rasa sudah, Pak. Sebelum lomba dimulai, kami selaku panitia sudah membaca kembali dan meminta pada seluruh peserta agar membaca dengan baik ketentuan untuk hadiah tambahan dari perusahaan. Kami rasa mereka semua sudah paham. Namun, jika boleh kami meminta, pikirkanlah kembali, sebab anak ini sungguh istimewa, Pak. Jika anda tidak percaya, bisa diuji kembali!" pinta Ketua Panitia penyelenggara acara tersebut.
"Bapak benar, awal saya mengikuti jalannya perlombaan ini, saya sudah tertarik dengan anak tersebut. Dia luar biasa, kecerdasan dan ketangkasanya di atas rata-rata. Saya menyukainya. Semoga atasan saya bisa melihat sisi keistimewaan anak ini, Pak. Kita doakan saja semoga hadiah tambahan ini adalah rezeki anak tersebut," balas Dion dengan senyum tampannya.
"Oke, Terima kasih banyak atas waktunya, Pak. Kami berharap keputusan pak pemimpin, bisa kami dapatkan sebelum pengumuman hasil lomba kami bacakan," ucap Ketua Dewan Juri.
"Siap, Pak. Malam ini pak Zidan akan tiba di hotel, semoga saja beliau mau langsung memeriksa file yang sudah saya kirimkan," jawab Dion penuh harap.
"Semoga saja, Pak. Oia Pak, sebelumnya kami mau bertanya satu lagi?" tanya Pak Dewan Juri.
"Silakan, Pak!" jawab Dion.
"Apakah pak Zidan berkenan menyerahkan hadiah secara langsung dan menyampaikan sepatah dua patah kata nanti. Di acara penyerahan hadiah nanti, maksud saya? " tanya Pak Ketua Panitia.
"Seharusnya bisa, Pak. Karena pas tanggal itu, beliau tidak ada jadwal rapat. Tak ada jadwal ke luar kota atau pun luar negeri. Saya harap sih bisa, semoga nggak ada jadwal dadakan, " jawab Dion sembari memeriksa jadwal Zidan yang ada di tabletnya.
Kepala panitia dan juga ketua dewan juri tersenyum. Mereka terlihat bahagia. Sebab, jika yang menyerahkan hadiah kepada peserta adalah pemilik sponsor langsung, pasti rasanya akan berbeda. Dibanding dengan wakilnya. Pasti ada kebanggaan tersendiri bagi Panitia, Dewan juri atau bagi para peserta itu sendiri.
"Kami sangat berharap, beliau bisa hadir di acara penyerahan hadiah, Pak," ucap Pak Kepala Panitia
"Siap, Pak. Bisa atau tidaknya nanti saya kabari. Soalnya saya sendiri tidak bisa memprediksi waktu beliau, Pak. Harap maklum, " jawab Dion.
"Siap, Pak. Kami tunggu kabar baiknya," balas salah satu dari mereka. Kemudian mereka saling berjabat tangan dan kedua orang tersebut pun berpamitan meninggalkan tempat rapat tersebut.
Kini tinggalah Dion sendiri, mempelajari daftar riwayat lomba yang pernah Raka ikuti. Pria ini tersenyum. Entah mengapa ia merasa ada kebanggaan tersendiri di hatinya. Melihat anak seusia Raka bisa secerdas ini. Raka terlihat bersemangat dan antusias mengikuti lomba ini. Anak ini juga terlihat selalu mempunyai cara tersendiri untuk membabat habis soal-soal yang di sodorkan oleh Panitia padanya. Ketangkasannya sering membuat orang takjub. Kecerdasannya membuat Dion terpesona. Dion berharap, pemimpinnya bisa melihat sisi keistimewaan anak ini.
***
Di sisi lain ada Raka yang terlihat melamun. Diam, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Sebab, kalau boleh jujur bocah tampan ini diam-diam mengharapkan hadiah tambahan itu. Agar tak membebani sang ibunda tercinta. Raka tahu jika usaha ibunya saat ini bisa membawanya sekolah sampai S1. Namun, sang ibu harus tetap bekerja keras dan Raka tak menginginkan itu. Raka ingin membayar sekolahnya sendiri, tanpa harus membuat ibudanya bekerja keras untuk itu.
Beasiswa ini adalah harapan satu-satunya untuk saat ini. Dengan beasiswa itu, ia tinggal belajar dengan giat. Tanpa memikirkan biaya lagi untuk sekolahnya nanti.
"Hayo, kenapa melamun!" kejut sang Bunda sambil menepuk pundak Raka. Tentu saja Raka terkejut, namun tetap tersenyum.
"Eh, Bunda. Nggak, Raka hanya pengen bikin rumah pohon di situ!" jawab Raka berbohong, tetapi ia tetap menunjuk pohon mangga yang ada di depan pandangannya.
Nandita ikut menatap pohon itu. Kemudian ia melirik raut wajah anaknya. Nandita tersenyum. Sebab ia tahu jika putranya ini sedang berbohong padanya.
"Gimana acara lombanya kemarin? Seru nggak?" pancing Nandita sambil mengelus rambut lurus bocah tampan ini.
"Seru, Bun. Raka foto sama pak Bupati, wakilnya juga, terus ada bapak dari perusahaan itu, terus ama pak... siapa lagi ya? Lupa!" jawab Raka. Senyum dan binar kebahagiaan begitu memancar indah dari raut wajah bocah tampan ini. Tetapi, nuluri seorang ibu jarang bisa dibohongi. Nandita yakin jika Raka sendang menghawatirkan sesuatu.
"Raka tahu nggak kalau hidup, mati dan rezeki itu itu Tuhan yang atur," ucap Nandita. Wanita ayu yang berprofesi sebagai penjual bunga ini terlihat sangat bersahabat jika begini.
"Tahu, Bun! Tapi?" Raka diam, wajahnya terlihat muram.
Benar kan apa yang dipikirkan Nandita. Bahwa putranya sedang menghawatirkan sesuatu.
"Raka memikirkan sesuatu atau lagi menginginkan sesuatu?" tanya Nandita lembut.
"Apa Bunda bakalan marah kalau Raka jujur?" tanya Raka sedikit takut.
"Tentu saja tidak, Putraku. Apa Raka pernah lihat Bunda marah?" Nandita melirik sang putra dengan lirikan persahabatan.
"Sebenarnya Raka takut nggak menang, Bun," ucap Raka lirih. Namun, suara serak itu terdengar jelas di telinga Nandita, sang ibu. Menandakan bahwa Raka memang memendam beban di hatinya.
"Nggak menang nggak pa-pa, Sayang. Kan kamu udah usaha. Udah maksimal kan kata bu guru hari itu. Nggak pa-pa nggak usah sedih. Ingat rezeki itu rahasia Allah. Kalau semua itu udah digariskan untuk Raka. Raka pasti dapet. Kalau nggak ya nggak pa-pa. Masih banyak pintu rezeki yang lain, yang memang dikhususkan untuk Raka. Raka paham kan maksud Bunda?" Nandita mengelus kepala sang putra, agar anak ini mengerti apa yang ia sampaikan. Apa yang ia maksud. Supaya sang putra jangan sampai tenggelam pada harapan yang mungkin tidak akan ia dapatkan.
Bersambung....
Jangan lupa like komen n sharenya ya. Makasih🥰🥰🥰🥰
Rintik hujan membasahi kota besar ini. Terlihat seorang pemuda sedang menikmati segelas kopi dan juga roti bakar di kamar hotel di mana dia menginap. Dia adalah Dion, yang tak lain adalah asisten pribadi Zidan. Pemilik perusahaan besar itu. Perusahaan yang mensponsori lomba yang diikuti Raka dan beberapa peserta yang lain.
Pria ini sedang menonton rekaman video yang memperlihatkan jalannya lomba. Entah mengapa Dion tak bosan-bosan menonton video Raka dalam lomba debat tersebut. Rasanya gaya bicara dan gestur tubuh anak ini mirip seseorang.
"Mirip siapa ya?" tanya Dion pada dirinya sendiri. Terlihat pria ini menatap kosong pada gunung yang menjulang tinggi, yang kini berada dalam jangkauan matanya. Namun, otaknya masih berusaha mengingat.
Dilihatnya lagi, cara bicara Raka. Tatapan mata bocah tampan ini dan tak lupa adalah senyumnya. Senyum itu sangat familiar.
"Bener banget, anak ini memang cerdas." Dion menyeruput kopi yang ada di tangannya. Kemudian, memfokuskan padangannya pada laptop miliknya.
"Tangkas sekali memperhitungkan segala hal. Kalau sampek nggak bisa sekolah, kasihan amat," guman Dion lagi. Sesekali ia tersenyum sendiri. Sebab Raka terlihat sangat menggemaskan.
Fokus Dion buyar ketika suara sering ponsel mengagetkannya. Sang big bos menghubunginya. Mungkin ada sesuatu yang penting.
"Kamu di mana?" Suara di seberang sana terdengar galak.
Seketika Dion pun meloncat dari sofa tempatnya bersantai.
"Maaf, Bos maaf. Saya masih di hotel Bos," jawab Dion gelagapan. Terang saja pria ini gugup. Sebab ia lupa bahwa seharusnya ia sudah di bandara menjemput majikannya ini. Sebab, jadwal Zidan diubah. Yang harusnya tadi malam datang. Ia meminta jadwal pesawat pagi saja. Jadi wajar kalau Dion lupa.
"Apa!" bentak Zidan kesal.
"Maaf, Bos. Saya meluncur ke sana, sekarang juga!" jawab Dion, spontan. Dengan cepat pria ini pun langsung berlari, mengambil mobil untuk segera meluncur ke bandara. Di mana sang big bos sedang menunggunya.
Beruntung, jarak antara hotel dan juga bandara tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit saja. Jika lebih dari itu, kemungkinan Dion dipecat pasti terbuka lebar.
"Mati aku, mati aku! Semoga beliau mood-nya lagi baik!" ucap Dion sembari menggosok- gosok tangannya, berusaha menghilangkan kegugupannya.
Merasa mentalnya sudah siap, ia pun segera turun dari mobil. Merapikan jasnya dan segera menghampiri sang bos besar di restoran di mana pria gagah itu sedang menunggunya.
Terlihat Zidan sedang menelpon. Kali ini kesempatan Dion untuk mengalihkan perhatian pria tersebut. Jangan sampai Zidan ingat kesalahannya. Jika ingat, maka tamatlah riwayatnya.
"Pagi menjelang siang, Bos. Mari!" sapa Dion santun, tak seperti biasanya yang suka cengegesan.
"Hemmm, mana mobil?" tanya Zidan malas. Malas meladeni Dion yang sok lugu maksutnya.
"Mari silakan!" ucap Dion sembari menarik koper kecil milik Zidan. Pria tampan ini tak menghiraukan asisten isengnya. Ia pun langsung masuk ke dalam mobil sembari fokus pada telepon genggam yang ada di tangannya.
Dion bisa bernapas lega. Sebab Zidan sedang dalam mood yang baik. Seperti yang ia harapkan. Tak ada kemarahan di raut wajah pria itu. Ia hanya fokus dan fokus pada ponselnya.
Semoga selalu begitu, batin Dion licik. Tanpa di minta pria tampan ini pun melajukan kendaraannya. Dengan tenang dan pelan. Sebab jalanan licin habis diguyur hujan.
Zidan masih sibuk dengan gawainya. Sesekali ia tertawa, tak jarang juga ia tersenyum.
Belum ada pembicaraan berarti di antara mereka. Namun Dion sudah bersiap menyusun kata jika sewaktu-waktu Zidan bertanya. Tentang apapun itu. Tentang lomba ini mungkin.
Dion mengingat lomba itu, mengingat anak itu. Lalu, ia pun melirik Zidan. Jlek ... mereka mirip. Ya anak itu mirip dengan orang ini, batin Dion.
"Oh! Kenapa mereka mirip sekali ya" celetum Dion. Untung Zidan tidak dengar. Kembali melirik sang big bos kemudian memastikan penilaiannya.
Benar mereka mirip sekali, matanya, senyumnya, rambut hidung bahkan bibir. Seperti dublikat saja, ucap batin Dion lagi. Pria ini terlihat tersenyum lucu. Seperti menemukan sesuatu yang unik. Seperti menemukan sesuatu yang nyata akan prasangkanya.
Dion kembali melirik Zidan. Memastikan lagi. Lalu, ia tersenyum bahagia, seperti menemukan saudara kembar si pria cerdas di sampingnya ini. Jangankan postur tubuh dan wajah rupawannya. Gaya bicara mereka juga mirip. Sangat-sangat mirip.
Sepanjang jalan Dion masih memikirkan kemiripan mereka. Namun, tidak berani berasumsi bahwa mereka memiliki hubungan darah. Sebab, yang Dion tahu, Zidan bukan pria yang gampang menabur benih. Pria ini selalu pilih-pilih jika ingin bermain. Akhirnya ia pun berusaha membuang jauh pikiran anehnya.
Mobil yang dikendarai Dion akhirnya sampai di hotel tempat mereka menginap. Tanpa banyak bicara, Dion langsung turun dan membawakan koper sang big bos dan mengantarkannya ke kamar untuk beristirahat. Namun bukannya istirahat, pria gagah ini malah langsung meminta semua laporan hasil kerja Dion selama di tempat ini.
"Nggak istirahat dulu, Bos!" canda Dion. Zidan tak menjawab dengan suara. Ia hanya menjawab dengan lirikan yang diam menelan mentah-mentah sang asisten. Dengan cepat Dion pun langsung menciut. Merinding tentunya.
"Siap, Bos. Laksanakan!" ucap Dion seraya memundurkan langkahnya. Berlari menuju kamarnya dan mengambil file yang Zidan Inginkan.
Berkas, laptop dan semua peralatan kerja sudah di tangan. Saatnya menjalankan perintah sang atasan. Sebelum masuk, pria ini terlihat menghela napas dalam-dalam. Mempersiapkan mental agar tak gentar menghadapi amarah Zidan.
Dion mengetuk pintu kamar hotel di mana Zidan berada. Tak lama pria penghuni kamar itu pun membukakan pintunya dan Dion langsung masuk.
"Bagaimana lomba kemarin. Apakah ada yang masuk kriteria penerima hadiah tambahan?" tanya Zidan santai.
"Sebenarnya tidak ada, Bos. Tapi ada satu anak yang super istimewa. Dia selalu menang lomba apapun, karena memang cerdas sih. Tangkas dan mampu menjawab semua pertanyaan dengan baik. Namun, di salah satu mata pelajaran, nilainya tidak masuk kriteria kita," jawab Dion sambil memberikan berkas penilaian yang ia dapat dari Dewan Juri.
Zidan mulai meneliti lembar demi lembar nilai-nilai itu. Kemudian ia mulai mengoreksinya sendiri.
"Siapa nama anak ini?" tanya Zidan.
"Sebentar, Bos." Dion mencari biodata Raka dan menyerahkannya pada Zidan. Pria ini segera mengambil kertas itu dan mulai membacanya.
"Kok cuma nama ibunya, ayahnya nggak ada?" tanya Zidan.
"Sepertinya yatim, Bos," jawab Dion sesuai yang ia tahu.
"Ini anaknya yang kamu bilang cerdas?" tanya Zidan.
"Iya, Bos. Mau lihat video debatnya. Uwih keren, Bos. Ngomongnya lancar banget, saya aja kalah," ucap Dion pamer. Tanpa meminta persetujuan Zidan, Dion pun langsung memutar file itu.
Zidan diam, menyimak dengan khusuk video itu, tak ada perbincangan khusus antara mereka. Hanya saja, Dion terus memerhatikan raut wajah Zidan yang terlihat sangat mirip dengan anak yang ada di video tersebut.
"Cakep kan Bos?" canda Dion.
"Lumayan dia pintar," jawab Zidan.
"Cara ngucapin setiap kata juga jelas, enak. Pokoknya sip deh ni anak. Sayang Bos kalau anak pintar gini nggak bisa lanjut sekolah," bujuk halus Dion, berharap sang big bos sepemikiran dengannya.
"Kamu bener juga," balas Zidan.
Yes, semoga bos mau bermurah hati, batin Dion penuh harap.
"Oia Bos, dia mirip seseorang ya. Wajahnya, senyumnya, rambutnya sampai gestur tubuhnya juga mirip. Tahu nggak bos dia mirip siapa?" Dion tersenyum. Senyum meledek tentunya.
"Mirip siapa, ada-ada aja kamu." Zidan masih fokus dengan video itu. Sedangkan Dion tetap melanjutkan penilaiannya.
"Kalau aku bilang dia mirip banget dengan Bos. Kayak bapak sama anak." Dion tertawa. Sedangkan Zidan masih belum berpikir jika anak yang ada di video tersebut mirip dengannya.
"Ngawur kamu!" Zidan melirik kesal pada Dion.
"Ye, nggak percaya. Coba Bos perhatikan. Rambutnya mirip, matanya, hidungnya. Bos kalau lagi menyampaikan sesuatu di rapat kan kayak gitu gayanya. Nggak percaya, ni ya aku kasih tahu," ucap Dion lagi. Ia pun segera membuka aplikasi di ponselnya dan mencari salah satu video Zidan yang sedang menyampaikan materi rapat yang menurut Dion itu sangat-sangat mirip dengan Raka.
Zidan menerima ponsel itu dan membandingkan dengan cara bicara Raka. Bahkan wajah mereka, sangat-sangat mirip dan Zidan mulai mengakui dalam hati bahwa dia dan anak itu memang ada kemiripan.
Bersambung...
Terima kasih dukungannya. Like dan Komen kalian selalu kunanti... 😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!