Happy reading ❤❤❤
"Kita putus! Aku nggak mau nama baik keluargaku hancur gara-gara berita mengenai mbakyumu yang lagi viral itu ...."
"Tapi, Nu ...."
"Tidak ada kata tapi, Nin. Mau tidak mau, suka tidak suka ... kita harus putus. Aku malu dengan masalah yang menimpa keluargamu."
"Nu, jika kamu memang ingin memutuskan hubungan kita, jangan hanya lewat telepon. Kita harus bertemu, Nu ...."
"Sudahlah, Nin. Mulai detik ini, kita tidak usah bertemu lagi. Aku malu, Nin. Aku tidak ingin keluarga besarku tau bahwa kita pernah menjalin hubungan. Mau ditaruh di mana mukaku, jika mereka mengetahui bahwa kakak kekasihku tengah menjadi perbincangan. Bahkan menjadi topik utama di seluruh media sosial."
"Nu ... tapi apa yang diberitakan di media sosial sungguh tidak benar. Mbak Ratna tidak sepenuhnya bersalah. Yang salah ... calon suaminya."
"Aaahhhh, emboh. Pokoknya, aku ingin kita putus. Titik."
Tutt ... tutt ... tuttt ....
Pria yang baru dua bulan menjadi kekasihku itu memutus panggilan teleponnya. Dia memutuskan hubungan kami, melalui telepon. Bijaksana 'kah dia??? Tentu tidak. Itu menurutku.
Aku benar-benar teramat shock dan berduka. Pria yang seharusnya berada di sisiku ketika ujian berat menimpa dan ku yakini kelak bisa menjadi imam terbaik untukku, ternyata memiliki pemikiran yang teramat sempit. Bahkan ia tega memutus hubungan yang baru dua bulan ini terjalin. Entah, bagaimana dia mengartikan makna cinta ....
.
.
Namanya, Raden Danu Prasetya. Dia seorang keturunan ningrat. Entah ningrat dalam artian yang sesungguhnya, atau ... ning-ratan.
Yang aku tau, nama depan Danu dan kakak kandungnya berawal dengan gelar 'Raden'. Kata Danu ... almarhum ayahnya memiliki hubungan kekerabatan dengan keraton. Tentang benar atau tidaknya ... hanya dia dan keluarganya yang tau.
Aku sungguh tidak peduli, benar atau tidaknya ... Danu seorang keturunan ningrat. Aku menerima Danu bukan karena ketampanan, kekayaan, atau status keluarganya.
Dua bulan yang lalu ... aku menerima Danu bukan karena ada rasa di dalam hati, tetapi karena ingin menebus kesalahan di masa lalu.
Enam tahun yang silam, tepatnya ketika kami masih duduk di bangku SMP, aku menggantung hubungan kami. Tidak menolak dan tidak menerima cinta seorang Raden Danu Prasetya. Tetapi membalas perhatiannya yang acap kali ia salah artikan.
Kata salah seorang sahabatku yang bernama Wulan, Danu berubah ketika duduk di bangku SMA. Danu sering mabuk dan berlaku kurang ajar terhadap ibundanya. Bahkan, ia juga sering mengikuti balapan liar.
"Apa yang membuat Danu berubah, Wul ... ?" tanyaku saat itu.
"Dia berubah karena kamu tidak menerima cintanya, Nin. Andai dulu kamu menerima Danu sebagai kekasih, pasti dia tidak akan berubah menjadi pemuda yang kurang akhlak."
"Tapi Wul, saat itu 'kan ... aku masih SMP. Bukankah belum saatnya anak SMP berpacaran?"
"Kata siapa anak SMP belum saatnya berpacaran? Buktinya, Nano dan Diana ... berpacaran lho. Bahkan mereka selalu terlihat mesra."
"Hmmm, aku bukanlah gadis seperti Diana, Wul. Takut kebablasan. Kasihan ibu dan adik-adikku."
"Mbak ...." Suara lembut Asti membuyarkan lamunanku.
.....
Namaku Aninda Sukma. Aku memiliki saudara kandung enam orang. Empat orang kakak dan dua orang adik.
Kakak pertamaku bernama Ajeng. Mbak Ajeng memiliki suami yang bernama Anto. Mereka dianugerahi empat orang anak perempuan.
Kakak keduaku, ia bernama Arjuna. Sesuai dengan namanya, Mas Arjuna digandrungi oleh banyak gadis karena ketampanan dan karakternya yang mempesona. Mas Arjuna melabuhkan hatinya pada seorang gadis yang memiliki kecantikan lahir batin. Gadis itu bernama Indah. Mereka dianugerahi dua orang putra.
Kakak ketigaku bernama Ratna. Setelah menikah, mbak Ratna tinggal di kota MG bersama suaminya. Mereka dianugerahi dua orang anak kembar, Fadhil dan Fadhlan. Sungguh sangat disayangkan, kebahagiaan yang baru saja menyapa karena kelahiran dua anak kembar, harus berganti duka. Mbak Ratna didera ujian bertubi-tubi. Beberapa bulan setelah kelahiran si kembar, suami mbak Ratna meninggal karena penyakit yang tidak diketahui pasti penyebabnya. Beberapa orang menduga bahwa almarhum meninggal karena penyakit kiriman atau guna-guna. Wallahu a'lam. Hanya Allah yang tau.
Beberapa tahun setelah suaminya meninggal, mbak Ratna memiliki seorang kekasih yang bernama Ryan. Mbak Ratna tidak tau, ternyata kekasihnya itu seorang psikopat. Di awal mereka menjalin hubungan, Ryan terlihat sangat perhatian pada kedua putra kembar mbak Ratna. Hingga suatu ketika .... mbak Ratna dan salah seorang putranya yang bernama Fadhil, dibawa oleh Ryan ke desa P. Sedangkan Fadhlan dititipkan pada pakdhenya, karena bocah kecil itu merengek tidak ingin ikut pergi.
Selama berada di desa tersebut, Ryan mengontrak rumah yang teramat sederhana. Ryan memaksa mbak Ratna untuk tinggal satu atap bersamanya meski mereka belum resmi menikah. Karena dibutakan oleh cinta atau magic, mbak Ratna bersedia menuruti semua keinginan Ryan, termasuk melayani di atas ranjang. Belum ada satu tahun mereka hidup bersama, Ryan mulai menunjukkan sifat aslinya. Ryan menyiksa mbak Ratna jika keinginannya tidak dituruti.
Pria lucnut itu ternyata juga memaksa mbak Ratna untuk mencari uang. Dengan berat hati, setiap pagi hingga sore hari, mbak Ratna bekerja di salah satu toko pakaian dan menitipkan putranya pada Ryan. Selama ditinggal bekerja oleh mbak Ratna, Fadhil yang saat itu masih berusia tiga tahun, sering disiksa oleh Ryan. Hingga suatu hari, Fadhil berusaha melarikan diri ....
🍁🍁🍁🍁
Bersambung ....
Mohon maaf jika ada typo 😊🙏
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak like 👍
Rate 5 ⭐⭐⭐⭐⭐
Beri komentar, gift, atau vote jika berkenan 😊🙏
Trimakasih ❤❤❤
Happy reading 😘😘😘
Pria lucnut itu ternyata juga memaksa mbak Ratna untuk mencari uang. Dengan berat hati, setiap pagi hingga sore hari, mbak Ratna bekerja di salah satu toko pakaian dan menitipkan putranya pada Ryan. Selama ditinggal bekerja oleh mbak Ratna, Fadhil yang saat itu masih berusia tiga tahun, sering disiksa oleh Ryan. Hingga suatu hari, Fadhil berusaha melarikan diri ....
"Fadhil, mau ke mana kamu, Le?" Seorang ibu yang bernama Ngatmi berteriak dan berusaha menghentikan langkah kaki Fadhil.
Seketika, langkah kaki Fadhil terhenti. Raut wajah bocah yang masih berusia tiga tahun itu menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Dengan bibir gemetar, Fadhil menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Ngatmi. "Fadhil mau ke lumah simbah, Budhe. Fadhil kangen simbah."
Ngatmi mengerutkan kening, sehingga kedua pangkal alisnya saling bertaut. "Sendiri? Bapak dan ibumu ke mana, Le?"
Fadhil hanya menggelengkan kepala dan berusaha menahan tangisnya. Meski masih berusia tiga tahun, Fadhil bukanlah seorang anak yang cengeng.
"Rumah simbah di mana, Le?" sambung Ngatmi. Ia sedikit membungkukkan badan dan mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepala Fadhil. Lalu ia mengusap kepala Fadhil dengan penuh kelembutan.
"Lumah simbah ada di Jogja," jawab Fadhil. Rumah simbah yang dimaksud oleh Fadhil adalah rumah ibuku. Sudah beberapa kali, mbak Ratna membawa Fadhil ke rumah ibu. Setiap berada di rumah ibu, Fadhil selalu terlihat ceria. Fadhil tidak seperti bocah kecil yang seumuran dengannya. Ia sangat pintar dan sama sekali tidak nakal. Pernah suatu hari, Fadhil memperhatikan mas Bima yang tengah mereparasi kompor. Seperti layaknya seorang wartawan, Fadhil mencecar om nya itu dengan berbagai pertanyaan. Kenapa kompornya bisa rusak, bagaimana cara memperbaikinya, apa saja alat yang digunakan .... Senyuman terlukis di wajah mas Bima tatkala mendengar pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibir mungil Fadhil. Lalu ia pun menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh Fadhil tanpa memudarkan senyuman yang menghiasi wajahnya.
Mas Bima ... ia kakakku yang keempat. Sesuai dengan namanya, mas Bima memiliki tubuh tinggi besar dan berwajah ganteng. Tetapi sayang, mas Bima belum juga memiliki kekasih karena ia kurang PD ketika mendekati seorang gadis. Mas Bima selalu merasa rendah diri karena ia hanya bekerja sebagai seorang penyapu jalan sekaligus tukang ojek.
"Fadhil ...." Terdengar suara bariton yang sangat familiar bagi Fadhil. Raut wajah bocah kecil itu berubah pias dan tubuhnya bergetar ketika si pemilik suara berjalan semakin mendekat.
"Mas Ryan ...." Ngatmi menyapa Ryan disertai senyuman ramah. Ryan yang terlihat sedang emosi, sama sekali tidak mengacuhkan sapaan Ngatmi.
"Dasar bocah nakal, ayo bali!" Ryan mencengkram tangan mungil Fadhil. Lalu menyeret keponakanku itu dengan sangat kasar.
"Mas Ryan, jangan terlalu kasar pada Fadhil! Fadhil masih sangat kecil, Mas ...," pinta Ngatmi sembari menghentikan langkah kaki Ryan. Wanita paruh baya itu tidak tega menyaksikan Fadhil diperlakukan kasar oleh Ryan, seorang pria psikopat yang mengaku-ngaku sebagai bapak kandung Fadhil kepada seluruh warga desa.
Ryan menghentikan langkah kakinya sejenak lalu membalas ucapan Ngatmi. "Jangan ikut campur, Bu! Fadhil anak saya sendiri. Mau saya kasari, bahkan saya bunuh pun ... tidak masalah."
Ucapan Ryan yang terdengar kasar sukses membuat Ngatmi terkesiap.
"Ayo, cepet sik mlaku!" (Ayo cepat yang jalan!) Ryan kembali menyeret Fadhil dengan kasar.
"Dasar wong edan, bapak gemblung." Ngatmi memaki Ryan karena luapan amarah.
.
.
BRUK
Ryan membanting tubuh Fadhil ke lantai. Seolah tidak puas jika hanya membantingnya, Ryan membenturkan kepala Fadhil ke dinding.
Astaghfirullah .... Sumpah demi apapun, aku tak kuasa menahan rasa amarah ketika membayangkan keponakanku yang baru berusia tiga tahun itu disiksa oleh manusia berhati iblis. Bahkan melebihi iblis.
Ingin rasanya, aku menyeret Ryan dan mendorongnya ke neraka jahanam saat itu juga.
....
Langit berselimut gumpalan awan hitam disertai petir yang berkali-kali mengamuk bumi. Seolah menandakan kemurkaan Illahi. Entah, apa yang membuat-Nya murka ....
Drrrttt ... drttt ... drttt ....
Terdengar suara getaran benda pipih yang tergeletak di atas meja. Rupanya ada panggilan telepon dari mbak Ratna. Aku meraih benda pipih itu lalu menggeser gambar gagang telepon yang berwarna hijau.
"Nin ...."
"Ya, Mbak. Ada apa?"
"Nin, adek ... adek kritis." Suara mbak Ratna terdengar bergetar.
"Adek siapa?" Aku meninggikan intonasi suara.
"Fa-Fadhil, Nin."
"Inalillahi .... Apa yang terjadi pada Fadhil, Mbak? Fadhil sakit apa?"
"Fa-Fadhil terpeleset di kamar mandi."
"Astaghfirullah .... Mbak, sekarang Fadhil dirawat di rumah sakit mana? Biar nanti, mas Bima dan mas Arjun segera menyusul ...."
"Rumah sakit BTD."
"Sekarang mbak Ratna yang tenang ya! Berdoa, semoga Fadhil bisa diselamatkan."
"Iya, Nin ...."
Setelah panggilan telepon dari mbak Ratna berakhir, aku segera menghubungi mas Bima dan mas Arjun untuk mengabarkan pada mereka bahwa Fadhil ... kritis.
Gegas, mas Bima dan mas Arjun menyusul mbak Ratna ke rumah sakit BTD.
Bagai dihujam ribuan tombak yang tak kasat mata, hatiku teramat perih ketika mas Arjun mengabarkan bahwa Fadhil telah tiada, melalui panggilan telepon. Tubuhku luruh ke lantai.
"Ada apa, Mbak?" tanya yang terucap dari bibir Asti. Raut wajah adikku itu menyiratkan kekhawatiran.
"Fa-Fadhil meninggal, As."
Asti terkesiap mendengar jawaban yang keluar dari bibirku. Namun, bukan hanya Asti saja yang terkesiap, ibu dan adik bungsuku yang bernama Azizah juga sangat terkejut.
"Tidak mungkin, tidak mungkin cucuku meninggal ...." Tubuh ibuku luruh disertai suara tangisan yang menyayat hati.
Aku segera bangkit lalu meraih tubuh ibu. Aku, Asti, dan Azizah memeluk tubuh ibu yang kini berguncang hebat.
"Ibu ...."
🍁🍁🍁🍁
Bersambung ....
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak like 👍
Happy reading 😘😘😘
Bagai dihujam ribuan tombak yang tak kasat mata, hatiku teramat perih ketika mas Arjun mengabarkan bahwa Fadhil telah tiada, melalui panggilan telepon. Tubuhku luruh ke lantai.
"Ada apa, Mbak?" tanya yang terucap dari bibir Asti. Raut wajah adikku itu menyiratkan kekhawatiran.
"Fa-Fadhil meninggal, As."
Asti terkesiap mendengar jawaban yang keluar dari bibirku. Namun, bukan hanya Asti saja yang terkesiap, ibu dan adik bungsuku yang bernama Azizah juga sangat terkejut.
"Tidak mungkin, tidak mungkin cucuku meninggal ...." Tubuh ibuku luruh disertai suara tangisan yang menyayat hati.
Aku segera bangkit lalu meraih tubuh ibu. Aku, Asti, dan Azizah memeluk tubuh ibu yang kini berguncang hebat.
"Ibu ...."
Karena teramat shock, ibuku pingsan. Kami bertiga membopong tubuh ibu kemudian membaringkan beliau di atas ranjang.
.
.
Aku, ibu, mbak Ajeng, dan kedua adikku menyambut kedatangan jenazah Fadhil dengan tangis kesedihan karena duka yang mendalam.
Mas Arjuna membaringkan jenazah Fadhil di tikar yang sudah kami persiapkan di ruang tamu.
"Ya Allah, Le. Apa yang terjadi padamu? Mengapa kamu tega meninggalkan simbah, Dhil?" Ibuku memeluk tubuh Fadhil dan menciumi wajah cucunya yang sudah tidak bernyawa itu disertai isak tangis.
"Di mana Ratna?" tanya yang keluar dari bibir ibu setelah beliau puas menciumi wajah Fadhil yang dipenuhi luka lebam. Raut wajah ibu menyiratkan kesedihan ... berbaur dengan amarah.
"Sedang di perjalanan, Bu ...," jawab mas Arjuna dengan suaranya yang terdengar lirih. Kentara sekali, mas Arjuna berusaha menahan rasa sesak di dalam dada.
"Ibu ... maafkan anakmu ini!" Mbak Ratna yang baru saja tiba di rumah bersama Ryan, bersimpuh di hadapan ibu seraya memohon ampun.
PLAK
Ibu menampar mbak Ratna, meluapkan rasa amarah.
"Kamu apa-kan cucuku, hah?" Ibu melontarkan kalimat tanya disertai tatapan nyalang. Amarah beliau meletup-letup.
"Bu, adik terpeleset di kamar mandi ...," lirih mbak Ratna.
"Ora mungkin ...," (Tidak mungkin) tandas ibu tidak percaya.
"Siapa pria itu, Na?" Ibu menggulirkan pandangannya ke arah seorang pria yang berdiri di belakang mbak Ratna. Pria itu, Ryan.
"Di-dia ... Mas Ryan, Bu. Calon suami Ratna."
Ibu terkesiap mendengar pengakuan mbak Ratna. Namun, bukan hanya beliau saja yang terkesiap. Aku, Asti, Azizah, mas Arjuna, mas Bima, dan para tetangga yang berada di rumah kami pun sangat terkejut. Selama ini, mbak Ratna tidak pernah bercerita pada kami bahwa ia memiliki seorang calon suami.
"Astaghfirullah ...." Tetiba pak Ridwan, salah seorang tetangga kami memekik.
"Ada apa, Pak?" tanya yang keluar dari bibir mas Bima karena terkejut mendengar pekikan pak Ridwan.
"Jika dilihat dari luka lebam di wajah Fadhil, sepertinya ... dia meninggal bukan karena terpeleset di kamar mandi, Bim."
Seketika, tatapan berpasang-pasang mata mengarah ke janazah Fadhil yang terbaring di atas tikar.
"Ada gunting?"
"Ada, Pak." Aku segera mengambil gunting lalu menyerahkannya pada pak Ridwan.
Setelah menerima gunting dariku, pak Ridwan menggunting pakaian yang masih melekat pada tubuh Fadhil dengan sangat hati-hati.
"Astaghfirullah ...." Suara pekikan terdengar bersamaan tatkala terlihat jelas luka lebam yang memenuhi tubuh Fadhil.
Amarah ibu semakin memuncak. Beliau mengambil pisau di dapur dan bersiap menghujamkannya ke tubuh Ryan. Ibu teramat yakin, Fadhil meninggal bukan karena terpeleset di kamar mandi, melainkan dibunuh oleh Ryan.
Gegas, aku dan Asti meraih tangan ibu. Sekuat tenaga kami berusaha mencegah beliau.
Merasa terancam, diam-diam Ryan pergi meninggalkan rumah kami. Pria laknat itu melarikan diri entah ke mana. Beberapa tetangga kami berusaha mengejarnya. Namun tidak berhasil.
Aku, Asti, Azizah, dan mbak Ajeng berusaha menenangkan ibu. Sebenarnya, bukan hanya beliau saja yang teramat marah. Aku dan saudara-saudaraku, serta para tetangga yang melihat luka lebam di seluruh tubuh Fadhil pun juga sangat marah. Ingin rasanya, kami menghajar pria laknat itu hingga nafasnya habis.
"Kurang ajar kowe, Na. Tegel kowe mateni anakmu dewe." (Kurang ajar kamu, Na. Tega kamu membunuh anakmu sendiri)
Ibu memukuli tubuh mbak Ratna dengan tangan kosong seraya meluapkan amarah yang semakin menjadi.
"Ampuni Ratna, Bu. Ratna benar-benar memohon ampun karena tidak bisa menjaga Fadhil ...," pinta mbak Ratna disertai buliran bening yang setia membasahi wajahnya.
Ibu mengepalkan tangannya. Beliau menghela nafas dalam dan sejenak memejamkan netra untuk meredam amarah.
"Astaghfirullah ... astaghfirullah." Ibu berusaha menenangkan diri dengan melantunkan istighfar sembari memegang dadanya yang serasa sesak.
"Nin, bagaimana? Kita laporkan calon suami mbakyumu itu pada penegak hukum atau menutup kasus ini?"
Aku membuang nafas kasar dan berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh pak Pahing. Beliau salah seorang sahabat almarhum bapak yang sudah ku anggap sebagai bapakku sendiri.
"Pak, Anin akan meminta persetujuan dari keluarga Jogja dan keluarga MG terlebih dahulu sebelum memberi keputusan. Jujur, Anin menginginkan pria laknat itu dihukum seberat-beratnya jika memang dia terbukti telah menganiaya dan membunuh Fadhil."
Pak Pahing mengangguk samar dan menepuk pundakku.
Aku segera menghubungi salah seorang kakak ipar mbak Ratna yang berada di kota MG untuk mengabarkan berita duka kepada beliau. Tak lupa, aku juga menghubungi mas Yusan. Beliau salah seorang anggota DPR yang menganggapku sebagai adiknya sendiri.
Dua jam berlalu, mas Yusan tiba di rumah bersamaan dengan keluarga dari MG.
Kakak ipar mbak Ratna yang bernama mbak Mala, menangis histeris tatkala melihat jasad Fadhil yang sudah tidak bernyawa.
"Ya Allah, Le. Seharusnya, budhe tidak mengijinkanmu ... ikut bersama dengan ibumu. Firasat Fadhlan begitu kuat. Kembaranmu itu terus saja memanggil namamu. Ia mengeluh sekujur tubuhnya terasa sakit, seolah ada seseorang yang menghajarnya. Dan sekarang, kembaranmu itu ... demam, Dhil. Dia sangat merindukanmu ...."
....
🍁🍁🍁🍁
Bersambung .....
Mohon maaf jika ada typo 🙏
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak like 👍
Beri komentar, gift, atau vote jika berkenan 😊😊😊🙏
Klik ❤ untuk fav karya
Trimakasih 😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!