Pagi yang membosankan, hari-hari yang memuakkan. Meira ingin mengeluh, tapi sumber rejeki dan penghasilannya berasal dari sana. Ya, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi cat terbaik se Indonesia. Dia sudah menjadi bagian dari perusahaan itu. selama tiga tahun lamanya. Gajinya pun bisa di katakan lebih dari cukup. Dia bisa menghidupi dirinya sendiri, bahkan sesekali mengirimkan uang jajan untuk adiknya yang masih tinggal di kampung.
Meira tinggal di kota metropolitan ini, sebatang kara, awalnya. Tapi sejak kuliah di kota ini, bahkan sekarang, menjadi tempat dia mencari nafkah, dia jadi punya banyak teman, bahkan ada yang senasib, sama-sama merantau.
Kos-kosan mewah, menjadi tempat tinggalnya, kini. Dengan fasilitas yang layak, seperti wifi, AC, kamar mandi, serta dapur, bisa di katakan ini jauh lebih baik dari pada awal-awal dia menginjakkan kaki di kota Jakarta. Semenjak gajinya naik dan dia di promosikan menjadi sekretaris direktur, memang Meira merasa hidupnya lebih high. Tapi, di balik itu semua, dia memiliki aktifitas yang sangat membosankan. Harus selalu mendampingi bosnya dalam keadaan apapun, untuk urusan perusahaan. Bahkan, tak jarang Meira juga harus pulang terlambat karena si bos tua lembur. Entahlah, Meira hanya bosan dengan aktifitasnya selama setahun belakangan ini.
Mandi, berpakaian rapi dan berdandan seadanya, sudah menjadi ciri khas Meira untuk menjalani harinya. Dia tidak akan berpenampilan menor, meski si direktur selalu memintanya untuk merias wajahnya lebih menor lagi, ketika harus menghadapi klien. Itu artinya, dia di jadikan pemikat, oh no! jelas Meira tidak mau.
Menyalakan motornya tepat di pukul enam pagi, Meira masih menguap. Dia masih terkantuk-kantuk, akibat semalam menonton drama korea untuk menyempurnakan kehaluannya tentang seorang pria idaman yang tak kunjung dia temukan.
Tak peduli dengan urusan cinta, Meira lebih fokus pada mencari uang, uang dan uang. Karena menurutnya, dengan uang, dia bisa lebih di hargai, tidak di pandang sebelah mata. Apalagi, Meira sadar, sangat banyak yang iri akan posisinya saat ini. Namun, andai mereka tahu yang sebenarnya, apa mereka akan tetap menginginkan menjadi sekretaris dari seorang Warsono, pria berusia lima puluh tahun yang banyak lupanya. Meira harus berulang kali mengingatkan hal yang itu-itu saja, sampai dia muak. Tak hanya itu, Meira juga harus menjelaskan berulang-ulang tentang suatu hal yang tak di mengerti oleh lelaki itu.
“Pagi semua.” Meira menyapa para staf wanita lainnya, staf divisi marketing(pemasaran). Dulunya Meira juga bagian dari mereka, namun entah apa sebabnya tiba-tiba saja dia di paksakan untuk menjadi sekretaris.
“Senyum dikit kek.” Nia, salah satu mantan rekannya, mengingatkan. Meski tak lagi menjadi bagian dari mereka, tapi Meira tetap berteman akrab dengan empat orang wanita di sana. Namun yang paling akrab bersama Nia, karena dia adalah temannya sejak kuliah.
“Nanti deh ya, senyumnya di simpan saja buat ketemu klien.” Lantas Meira berjalan lurus, menuju ruangannya, yang berhadapan dengan ruangan direktur.
Duduk di sana, menyalakan komputer, untuk memastikan jadwal sang direktur hari ini. Atau hal-hal lain yang dia anggap perlu, sebelum Warso memanggilnya dengan nada tinggi, sampai Meira ingin sekali mengumpatnya supaya terkena darah tinggi. Oh tidak… itu terlalu kejam.
Meira berdecak, ketika dia sedang sangat asyik dengan pekerjaannya, tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Dari nomor istrinya si bos, ada apa gerangan? biasanya nyonya cerewet itu akan menghubunginya jika suaminya tidak bisa di hubungi, atau hapenya lowbat. Sedangkan saat ini, lelaki paruh baya itu bahkan belum memperlihatkan batang hidungnya.
Mendengkus kesal, Meira menerka-nerka. Atau jangan-jangan, si bos tidak pulang ke rumah dan mengira bermalam bersamanya. Meira bergedik geli, benar-benar bayangan yang menjijikkan.
“Halo Bu, selamat pagi.” Meira tetap menyapa dengan ramah. Terdengar suara di seberang sana, dengan nada bicara yang gemetar, menangis terisak. Ya, istri bos mengabarkan sebuah kabar duka yang tak di sangka-sangka.
Semuanya berawal dari sini…
\~
Hai, ketemu lagi. Selamat menikmati ya. Perlu aku ingatkan bahwa novel ini tidak update setiap hari. Jadi, jangan terlalu di nanti, dan nikmati saja alurnya. Jangan lupa tambahkan ke favorite supaya dapat notif jika update. Terimakasih 🥰
Kasih komen yang banyak dong biar aku semangat, hehe.
Meira memang sering menggerutu kesal, bahkan tak jarang dia merutuki Warsono, tiap kali dia merasa terintimidasi atas tingkah laku lelaki paruh baya itu. Memang Meira paham, segala kelakuan lelaki itu bukan di sengaja, melainkan karena usia Warsono yang tak muda lagi, tentu saja sedikit kesulitan dalam memahami seseuatu yang baru.
Gadis itu masih mencoba menenangkan diri, mengambil napas dalam-dalam. Antara percaya dan tidak, dengan kabar yang baru saja dia dengar. Bos yang sehari-hari selalu bersamanya, kini telah tiada. Pandangan Meira langsung tertuju pada pintu ruangan di hadapannya. Seketika, Meira merinding.
Dengan lutut yang masih gemetaran, gadis itu melangkahkan kakinya menuju ruangan para staf marketing. Terdengar riuh tawa riang di pagi hari, seperti biasa sebelum bos datang, mereka akan bersenang-senang menghibur diri.
“Kalian bisa tenang dulu, nggak?” suara Meira menghentikan tawa mereka. Meira tidak tahu harus seperti apa menggambarkan perasaannya kini. sedih? sepertinya tidak. Mungkin, lebih tepatnya dia syok. Iya benar.
“Sini gabung, tegang banget tuh muka kayak kanebo kering.” celetuk Dafa.
“Tauk tuh, dari tadi kesel mulu padahal pak botak belum datang—“
“Pak Warsono meninggal.” tegas Meira.
Lantas sebagian dari mereka ada yang tertawa cukup nyaring. “Jangan ngeprank Mei. Kita tau lo kesal setengah mampusss sama beliau, tapi nggak gitu juga.” ucap Nia.
“Innalillahi.” sambung Andi, ya hanya dia yang bersikap waras atas respon dari kabar yang Meira berikan. Staf baru yang sedikit culun itu pun berdiri. “Mbak Mei serius?” tanya lelaki itu.
“Muka gue tegang begini, menurut lo pada, gue bercanda?” Meira kembali terduduk lemah di kursi kosong yang tersedia di sebelah Daffa.
“Ya ampun—“ Nia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Merasa menyesal menganggap ini bercanda, apalagi, tiga hari lalu dia sempat kesal dan memaki bos mereka itu dalam hati, karena kesal dengan bos yang tidak percaya dengan data yang dia berikan.
“Jadi gimana nih? kita ngelayat, kan?” tanya Daffa lagi.
“Gue bingung.” Meira memegang kepalanya, bisa di bayangkan, orang-orang yang sehari-hari bersamanya di kantor kini telah tiada. Meira yakin malam ini, dia tidak akan bisa tidur dengan nyenyak.
“Almarhum sih, suka marah-marah kan pasti tensi darahnya naik—“
“Nggak baik bicarakan orang yang udah nggak ada, Nia. Jaga mulut lo!” kesal Meira. entahlah Meira hanya bingung saja dengan keadaan ini. Belum lagi, hari ini, dan beberapa hari ke depan, jadwal almarhum bosnya itu cukup padat. Untuk bertemu dengan beberapa klien. Bagaimana dia menghandle semuanya, sendirian?
🌸🌸🌸
“Udah dengar kabar hari ini, kan?” Ibra yang kini masih bersemangat menjalani hari-harinya sebagai pemimpin di perusahaannya sendiri, menelpon anaknya Darel Arsenio yang kala itu sedang menduduki posisi sebagai staf divisi marketing di perusahaan property miliknya.
Ya, dia tidak serta merta memberikan Darel posisi yang tinggi di perusahaan. Anak semata wayangnya itu harus memulai dan mengerti dari posisi yang rendah, minimal staf. Jika pengalaman dan hasil kinerjanya semakin baik, makan Ibra tidak ragu untuk memberikannya posisi yang lebih layak pada anaknya yang kini berusia dua puluh tujuh tahun itu.
“Belum, ayah.” ucapnya dengan nada halus.
“Warsono, direktur pemasaran di perusahaan cat kita, meninggal karena serangan jantung.” jelas Ibra.
“Ya, terus?” Darel, sifat acuh tak acuhnya tentu saja dia turunkan dari sang Ayah. Memang buah tak jauh jatuh dari pohonnya, tak hanya ketampanan yang El warisi darinya, tapi juga sifat. Kadang, Ibra sendiri kelimpungan menghadapi sikap anaknya yang termasuk sulit untuk di ajak bicara baik-baik, Darel hanya akan bersikap manis dan baik, kepada seorang wanita yang amat dicintainya setengah mati, yaitu bundanya.
“Menurutmu, untuk apa ayah mengabarkan ini?” suara Ibra agak meninggi, perdebatan kecil dan besar memang kerap terjadi di antara mereka.
“To the point aja, Yah. aku lagi sibuk.” tegas El.
Ibra berdecak, “Serahkan apa yang lagi kamu kerjakan, kepada rekanmu. Kamu temui ayah di atas sekarang!” titah Ibra, langsung memutus panggilan begitu saja.
Jika ayah sudah berkata tegas ditambah dengan nada tinggi, itu artinya ada hal yang sangat penting untuk di bicarakan. El tidak menggunakan lift khusus para pimpinan, untuk naik ke ruangan ayahnya. Layaknya staf lain, dia menggunakan lift umum. Meski El berupaya menyembunyikan tentang siapa dirinya, namun orang-orang di perusahaan tidaklah bodooh, dan langsung bisa menerka dia siapa, dari nama belakangnya, Arsenio. Menyebalkan.
Saat sebagian orang bisa merasa bangga menjadi anak pemilik perusahaan, El justru risi dan tidak nyaman. Apalagi, banyak staf-staf wanita yang sering mencari perhatian dengannya, namun jangan harap perhatian itu akan berbalas, karena El tidak pernah peduli. Bahkan sebagian dari wanita-wanita di sana menganggapnya tidak selera dengan mahluk yang namanya perempuan.
🌸🌸🌸
Next? jangan lupa like dan koment hihi biar rame
Sore itu, pikiran Meira tak bisa tenang. Hari itu, pekerjaannya hanya menghubungi para klien untuk menunda segala pertemuan sampai direktur pengganti hadir. Dia hanya mengerjakan apa yang di perintahkan oleh manager. Bahkan, saat masuk ke ruangan bosnya itu, pikiran Meira semakin kacau, dia tak bisa fokus sama sekali. Memang, bukan keluarga atau kerabat dekat, tapi, karena keseharaiannya selalu bersama lelaki itu, dia terus saja kepikiran.
Sekitar jam lima sore, Meira menuju ke parkiran khusus kendaraan roda dua, di gedung perusahaan itu. Dia menghela napas, setelah duduk di atas motor, Meira diam sejenak agar pikirannya fokus, karena setelah ini dia akan mengemudikan motornya. Dangat berbahaya jika dia tidak fokus.
Praaaakkkk
Suara benturan antara motor Meira dan sebuah mobil mewah yang baru saja masuk melalui gerbang. Meira terjatuh bersama motornya, dia gemetaran, baru saja menabrak sebuah mobil toyota Land Cruiser mewah keluaran terbaru dengan motor honda scoopy miliknya. Pikirannya masih tak bisa fokus. Rasa takut menerpa, apalagi, melihat ada beberapa goresan di bagian depan mobil itu akibat terbentur dengan motornya.
Meira berdiri dengan lutut yang masih lemas. Saat seseorang keluar dari mobil. “Maafkan saya, Pak. Saya nggak sengaja.” lirih Meira pada lelaki gagah berkemeja hitam itu.
Duh, ganteng. Sayang banget, pertemuan awal nggak mengenakkan begini. Batin Meira.
“Kamu mau keluar dari gerbang, kan? harusnya kamu ada di sisi kiri, tapi kamu malah ngambil jalan saya—“
“Iya, Pak. Saya tau, saya salah. Saya sedang nggak fokus. Sekali lagi saya minta maaf.” Meira bahkan tak punya tenaga untuk menegakkan kembali motornya. Dia juga tak menyadari lutut kirinya lecet dan berdarah.
Lelaki di hadapannya, hanya melipat kedua lengan di dadanya, terlihat sangat angkuh, dan tak ada rasa simpati sedikitpun padanya. Menatap Meira dengan tatapan sinis tanpa ada rasa iba untuk menolong. Satpam yang menyadari ada kejadian di gerbang, langsung mengarah ke mereka dan menolong Meira untuk menegakkan kembali motornya.
“Makasih Pak.” ucap Meira.
“Sama-sama, lain kali hati-hati, Bu.” Satpam mengingatkan.
“Terus ini gimana? mobil saya tergores, untung nggak patah atau pecah.” Lelaki itu menyentuh bagian mobilnya yang tergores.
Meira masih diam, dia juga bingung. Ini mobil mahal, pasti biayanya tidaklah murah.
“Kamu kerja di perusahaan ini?” Lelaki sinis itu mengarahkan wajahnya pada gedung tinggi tujuh lantai di hadapan mereka.
“I-iya, saya kerja di sini.” ucap Meira sedikit terbata.
“Perlihatkan KTP kamu!” titah lelaki itu.
Meira mengangguk, membuka tasnya dengan jemari yang masih gemetaran. Mengeluarkan KTP dan menyerahkannya pada lelaki di hadapannya.
“Meira Amanda.” menyebut nama lengkap Meira sambil menaikkan satu alisnya.
“Berarti kamu punya gaji yang lumayan.” ucap lelaki itu dengan senyum sinisnya. “Baik, saya akan menghubungi bagian keuangan, tepatnya bendahara. Gaji kamu bulan depan akan saya potong untuk biaya perbaikan mobil saya, deal?” tegas lelaki itu.
Siapa dia berani mengambil keputusan seenaknya. Meira menggerutu dalam hati. “Loh, ya nggak bisa begitu dong, Pak-“
“Saya nggak mau tau, saya juga nggak punya banyak waktu. Dan itu, sudah jadi keputusan saya.” ucap lelaki itu sambil menunjuk ke arah wajah Meira. Lalu masuk ke dalam mobil mewahnya.
Meira menggeram, kesal dan sedih bercampur jadi satu. Tak bisa menolak, melawan, karena dari awal kejadian ini memang kesalahannya.
TIIINNN
Gadis itu kembali terlonjak, saat suara klakson di hadapannya begitu menganggetkan. Meira menyingkirkan motornya agar lelaki arogan itu bisa lewat. Dia tak tahan lagi, sedari tadi menahan air matanya. Kini tumpah, mengalir deras. Meira menangis sejadi-jadinya.
“Kamu yang nabrak saya, kenapa kamu yang nangis?” sebelum benar-benar berlalu, lelaki itu bertanya, sambil membuka sedikit kaca mobilnya.
Meira tak menjawab, hari ini benar-benar terlalu sulit dia lewati. Dia masih syok dengan kabar pagi tadi, ditambah kejadian sore ini. Meira mengusap air matanya, dengan tangan. Tanpa sadar kini dia jadi pusat perhatian para pegawai lain yang juga melewati gerbang untuk keluar dari pekarangan gedung kantor.
Meira benci hari ini. sangat benci. Terutama terhadap lelaki sombong yang baru saja dia tabrak mobilnya.
“Nggak usah nangis, lebay. Nih tisu.” dua lembar tisu keluar dari jendela mobil. Tapi Meira masih mengabaikan.
“Saya nggak butuh tisu!” hentak gadis itu. Hidungnya memerah.
Lelaki di dalam mobil menggerutu akan kesombongan dan kesongongan gadis yang menabrak mobilnya sore itu. “Jadi, butuh apa? sandaran? sayang sekali saya nggak bisa kasih, karena bahu saya terlalu berharga. Dan bukan untuk sembarang orang. Apalagi gadis songong seperti kamu!”
Meira mencibir, dia tak peduli lagi dengan lelaki itu. Hanya fokus pada ponselnya, baru saja dia menerima pesan dari manager, bahwa dia harus segera kembali ke lantai tujuh. Ruangan meeting, karena ada hal penting yang harus di bahas segera.
Mei menyimpan ponselnya kembali dalam tas. “Sial.” Mei mengumpat. Dia memutar arah motornya, kembali menuju area parkir sepeda motor, hingga lelaki di dalam mobil tadi heran, mengapa gadis itu justru kembali lagi?
🙂🙂
makasih yang sudah berkenan mampir
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!